Buncis


Ccrrruuiiiiiissst….crruiiiissst…!!” teriaknya.

Buncis yang malang. Melompat-lompat. Mengeluh panas di atas pemanggangan. Segenap tenaga berusaha untuk segera keluar dari dalam kuali. Lidah-lidah merah nyala api mulai menjilati sekujur punggunggnya.

Duhai…buncis yang malang, bersabarlah di dalam sana. Sebab di balik itu, sesungguhnya sang juru masak ingin mengajarkan suatu rahasia. Tentang hakikat bagi siapa saja.

Bahwasanya ia, buncis yang malang, yang tadinya hanyalah sebuah biji yang berkecamba, yang setiap pagi tumbuh kehijauan dengan embun dan pesona mentari, sekiranya akan tiba pada tujuan penciptaan berikut: suatu kehidupan baru.

Sekali buncis yang malang menjadi lembek dan benar-benar matang, selanjutnya menjadi sajian bagi manusia nan bijak. Dicerna dan diperhalus di dalam tubuh. Hingga suatu waktu, ia mengalir berubah menjadi gumpalan air mani. Kemudian menjelma, menjadi sesosok wajah kecil: manusia.

Buncis di dalam kuali, bertransformasi melalui tubuh, yang tadinya hanyalah tangisan bayi mungil dalam dekapan, kini ikut serta merasakan apa itu melihat, mendengar, imajinasi, inteleksi, keindahan, bahkan juga cinta yang tengah dirasuk rindu.

‘Maulana’ Jalaluddin Rumi (1207-1273), seorang penyair besar sufi dari Konya, yang dalam karyanya Mastnawi, mengumpakan manusia serupa buncis yang dimasak. Semua yang mentah harus dimasak. Semua yang mentah harus matang. Biar menjadi hidangan lezat bagi yang terberkati.

Juga manusia kata Rumi. Seperti halnya kuali, yang dihitamkan panas dan asap kayu tungku pembakaran. Namun manakala memang mereka terbuat dari emas, kehitaman luar takkan mampu mengurangi kadar hakikatnya.

Jalaluddin Rumi, sumber ajaran Tarekat Maulawiyah*, sesungguhnya ingin mengingatkan siapa saja. Bahwa ‘manusia’ pun harus melewati serangkaian proses. Seperti apa yang dirasakan buncis dan kuali. Tahap kematangan yang serasa penderitaan bagi kebanyakan manusia. Demi sampai ke tangga penciptaan menaik. Suatu ‘jalan rahasia’ ke kebahagiaan sejati. Suatu kehidupan baru, tempat dimana Dia– yang azali mungkin bersemayam.

* * *

Hujan belum reda hari ini.
Ada buncis yang ditumis di atas meja makan itu. Di temani sambal terasi dan lalapan, tempe goreng bahkan telur dadar.

Dan meski tanpa suara, buncis itu seolah sedang berkata, bahwa proses itu telah dilampaui dengan tawaduk. Lalu, mulut-mulut itukah milik manusia nan bijak? Yang nantinya sanggup membawanya merasakan apa itu melihat, mendengar, imajinasi, inteleksi, keindahan, bahkan juga cinta yang tengah dirasuk rindu?

Rasanya baru kemarin masa kanak-kanak itu. Ketika setiap ibu selalu mengingatkan. Tentang rapalan sederhana sesaat sebelum bersantap. Sekiranya engkau menagih, hanya doa yang entah telah berapa lama sering terlewati itu, yang bisa diberikan, duhai… buncis yang malang. Di balik hujan yang masih membasahi daun-daun akasia di seberang rumah.

Dan semoga esok, lalu hari-hari setelahnya. Sungguh, maaf bila hanya sekedar janji yang kerap terlewatkan itu.

Allaahumma Baarik Lanaa Fiima Razaqtanaa waqinaa ‘adzaaban Narii.

__________________

*Para Maulawis– pengikut Tarekat Maulawiyah– dikenal sebagai ‘Darwish (penganut sufisme) yang berputar cepat’. Ritualnya yang disebut sama’ (sama’- i samawi atau tarian surgawi), sebuah tarian berputar cepat menyerupai gasing, merupakan bentuk ekstatik/ mistisme mereka akan kecintaan mendalam pada Ilahi. Tarian ini, selain melambangkan kerinduan perpisahan dari ‘Yang Azali’ juga diumpamakan gerak kosmos yang harmonis (seperti gerak planet-planet yang selalu mengelilingi matahari pada orbitnya).
Tentang Jalaluddin Rumi, lihat Annemarie Schimel dalam Dunia Rumi; Hidupdan Karya Penyair Besar Sufi Penerbit Pustaka Sufi, Yogyakarta 2002.

catatan:
Tulisan ini didaur ulang dari penggalan awal tulisan berjudul Melampaui Manusia milik Eeduy Haw (pengasuh blog ini) yang di tulis pada 28 februari 2007 untuk naskah buku yang sampai hari ini belum juga diterbitkan.


sumber gambar: http://www.klikdokter.com/userfiles/memenuhi1.JPG

* *
Kampung Pettarani, Makassar 20 Januari 2010.

2 komentar:

  1. salam,kak numpang baca sekaligus membayangkan rasanya tumis buncis ta'..:)

    BalasHapus
  2. waalaikumsalam...numpang meki ces, tinggal skalian jg nd apa2ji..he..he..nah bgmnmi rasanya stlh membyngkan buncis? manis, asem atau garing2 pahit...tanya2 dule ^_^

    BalasHapus