Legenda Hidup dari Kampung Tempat Tinggalku

fe
Sering ia ikut ke gedung olahraga, bilamana menengok rumahnya di kampung kami. Pemukiman kelas ‘menengah cenderung biasa-biasa saja’ di kota ini. Tempat dulu ia juga tumbuh besar.

Tapi tidak untuk mengayunkan raket. Bukan untuk bermain bulutangkis. Ia hanya duduk di salah satu sudut bangku, tersenyum geli bila ada kejadian lucu di tengah lapangan. Sesekali ia mengusap jenggot lebatnya, ataukah membetulkan kuncir rambut gondrongnya yang kuning keemasan oleh pewarna rambut.

Bukan berarti pula ia tak pandai bulutangkis. Ia mahir. Malah dulu, di masa usianya dua-puluhan, tiap perayaan tujuh-belasan kerap ia tampil sebagai juara. Si pemilik jumping smash keras, begitu ia kesohor di kampung kami. Tentulah jika malam ini ia bermain, paling tidak jejak-jejak kelihaiannya masih membekas.

Yang tak kalah hebatnya, saat itu ia sebenarnya adalah atlit voli pantai profesional. Sebagaimana atlit, masa mudanya mengalir dari satu kejuaraan ke kejuaraan lainnya. Kadang ia berada di Lombok, Ambon, Manado, ataukah Bali. Dari satu tepi pantai ke tepi pantai lainnya. Bertanding di ajang PON ataukah Kejurnas. Beberapa trophy masih terpajang di rumah orangtuanya, di kampung kami yang biasa-biasa saja.


Lama-lama usianya kian bertambah. Kondisi kebugarannya tak segesit dulu lagi. Karir atlitnya beralih menjadi karyawan di salah satu kantor cabang perusahaan penjualan mobil yang letaknya ratusan kilo dari kota ini.

Walau waktu itu terpaksa hidup jauh dari rumah, tetapi tali hubungan terikat erat di tiang nadi kehidupan keluarganya. Beberapa tahun sebelumnya, ayahnya berpulang. Sebagai anak lelaki tertua, ia harus menjadi motor penggerak bagi ibu dan ketujuh saudaranya yang lain. Ia tumpuan sekaligus nahkoda bagi perahu keluarga.

Segala kebutuhan sehari-hari maupun keperluan sekolah adik-adiknya ia penuhi. Peran yang ditinggalkan ayahnya berusaha dilakoni dengan baik dan sungguh-sungguh.

Syukur karirnya kian menanjak. Tumpuan itu semakin lama semakin kokoh. Ia lebih mapan. Kami masih ingat, murah-hatinya ia jika membelikan barang yang diidam-idamkan adik-adiknya. Tak tanggung-tanggung, ia hanya akan membungkus yang terbilang kualitas bagus. Made in luar negeri adalah kesukaannya. Sebab ia punya semboyan ‘lebih baik bayar mahal untuk mutu bagus ketimbang murah tapi sehari keok’. Pun tak jarang, kami para tetangganya kecipratan traktiran beramai-ramai bila ia kebetulan datang.

Perahu itu kini bisa berlayar dengan tenang. Tak lama, ia pun menikah dengan seorang gadis di kota tempatnya bekerja dan dikaruniai 2 anak. Semua berjalan dengan baik. Rumah dan mobil pribadi meski sederhana, dimiliki. Tak lupa, Ibunya ia berangkatkan ke hadapan Ka’bah untuk menunaikan rukun islam yang kelima. Peran yang ditinggalkan ayahnya dilakoninya dengan baik dan sungguh-sungguh. Sungguh-sungguh baik malah.

Hingga sekitar tujuh tahun yang lalu. Tak ada angin apalagi hujan, tiba-tiba saja ia memutuskan berhenti dari pekerjaannya. Kemudian meninggalkan rumah dan seluruh isinya. Hijrah ke sebuah dataran di perbatasan kota ini. Memilih hidup baru secara sederhana, bersama dengan sebuah komunitas islam bernama An-Nadzir*.

Di tempat baru itu, bersama dengan komunitasnya, ia harus memulai bertani, berkebun, dan memelihara tambak ikan untuk menghidupi kehidupan bersama. Setiap orang harus memotong pohon di hutan untuk dijadikan tiang-tiang rumah tempat berteduh.

Tak ada yang bisa mengira akan keputusannya ini. Tidak saudara-saudaranya, ataukah istrinya, bahkan ibunya sendiri. Semua tiba-tiba terjadi begitu saja.

Dan seperti biasa, perdebatan pun bermunculan. Yang di dalam rumah apalagi yang di luar rumah. Orang-orang sekampung kami, meski ributnya tak sampai macam petasan meletus, tapi mulut-mulut usilnya tak tahan ikut bisik-bisik. Bergunjing pagi dan sore hari, persis acara gosip di tivi-tivi.

“Besar kemungkinan komunitas ini aliran sesat, karena tak menyeimbangkan urusan duniawi dan akhirat,” begitu bunyi argumen yang bercokol di balik sebagian besar batok kepala orang-orang di kampung kami waktu itu.

Tetapi hatinya haqul-yaqin. Tak pernah sekalipun ia terlihat menyinggung soal keputusannya itu. Apalagi berusaha meyakinkan siapapun yang ia jumpai, bahwa apa yang ditempuhnya adalah beralasan. Ia seperti telah memperkirakan kondisi ini sebelumnya, tapi tak mau menggubrisnya.

Ia telah pasrah terhadap konsekuensi terberat apapun yang harus diterima. Itulah mengapa isteri dan anaknya ia titipkan kembali ke orangtua (mertuanya). Ia telah bersiap, “Jika dalam suatu keluarga, istri atau anak-anak tak lagi mempercayai pemimpinnya, maka pemimpin harus ikhlas memeberikan kebebasan jalan baginya untuk menentukan pilihan,” itu yang pernah ia ucapkan bertahun-tahun kemudian. Meski saat itu pertanyaan kami bukan dimaksudkan ihwal istrinya, melainkan soal pandangannya tentang sebuah keluarga. Namun bagi kami, kalimat ini sekaligus menjawab soalan istrinya waktu itu.

Kini tujuh tahun telah berlalu. Pelan-pelan, perahu-perahu itu mulai menemukan air tenang. Semakin lama semakin tenang. Peran yang ditingalkan ayahnya berpindah ke tangan lain. Malah peran itu terasa tak berasa, sebab hampir semua saudaranya melakoninya dengan baik. Tumpuan keluarga kini tak lagi diemban satu orang. Setidaknya enam orang saudaranya sekaligus telah menggantikannya sebagai nahkoda.

Sampannya sendiri, meski hanya terbuat dari kayu sederhana hasil tebangannya dan orang-orang sekomunitasnya, terus berlayar tegak menantang lautan. Beberapa tahun terakhir, anak dan isterinya telah berkumpul dengannya di dataran perbatasan kota itu. Namun, sama sekali bukan berarti ia dan istrinya merajut kembali hubungan, sebab mereka memang tak pernah berpisah.

Tentang pernikahannya waktu itu, sekali lagi, ia hanyalah menitipkan isteri dan anaknya ke orangtua (mertuanya). Sifatnya hanyalah sementara, tentulah sewaktu-waktu ia berhak memintanya jika semuanya memang bersedia.

Tadi siang kami lewat depan rumah orangtuanya, di kampung kami yang biasa-biasa saja. Ia berjongkok menyikat tembok pagar rumah itu dengan air. Tinggal hitungan hari lagi Idul Fitri datang. Seperti tahun-tahun kemarin, itu pertanda ia bermaksud mengecat tembok rumah itu, biar penampilannya semakin cerah.

Selepas maghrib kami bertemu adiknya. Kami menanyakan, kapan kiranya Kakak Tom datang, sedari dulu kami memanggil abangnya dengan nama itu.

“Kemarin sore. Eh, dia bawa ikan dari tambaknya banyak, besar-besarnya lagi. Coba malamnya kau ke rumah, pasti kau dapatki acara bakar-bakar ikan di pekarangan,” seru adiknya yang sehari-harinya memang sepergaulan dengan kami.



Sekonyong-konyong, tawa terpingkal-pingkal menyeruak sampai ke langit-langit gedung. Pasalnya, salah satu dari kami terbaring menjatuhkan diri di tengah lapangan karena tergopoh-gopoh berusaha mengambil dropshot lawan yang melesat tipis di bibir net. Semua yang melihatnya pasti tertawa. Adegan itu memang sungguh lucu.

Tak terkecuali dirinya, yang berada di salah satu sudut bangku, sembari berkomentar mengenai kejadian itu, dengan salah satu dari kami yang kebetulan duduk di sebelahnya. Sesekali ia mengusap jenggot lebatnya, ataukah membetulkan kuncir rambut gondrongnya yang kuning keemasan oleh pewarna rambut.

Pakaian yang dikenakannya sangat sederhana. Teramat sederhana. Celana gombrangnya berbahan kain. Panjangnya tak melebihi mata kaki. Di ujung lipatan bawahnya, tampak ada bagian benang yang dijahit tangan. Kali ini ia memadukannya dengan topi rimba di kepala, yang warnanya telah memudar.

Tak ada yang bisa mengira akan keputusannya waktu itu. Tidak itu saudara-saudaranya, istrinya, bahkan ibunya sekalipun. Apalagi kami yang cuma adik-adik tetangganya. Bahkan bertahun-tahun hingga sekarang, bila mendengar kisah ini, masih saja ada yang pikirnya tak bisa habis.

Dulu, lain waktu di gedung olahraga ini, dia pernah berkata, “Segala sesuatu (kejadian) itu hanyalah keinginan Allah, sebab tak ada sesuatu pun yang memang bukan miliknya.”
Seperti halnya malam ini, bila melihatnya tertawa geli di sudut bangku itu, selalu mengingatkan tentang Ibrahim Ibn Adham* dan Sidharta ‘Buddha’ Gautama.

Demikian tentang legenda hidup dari tempat tinggalku.


***
Kampung Pettarani, 2 Sepetember 2010

sumber gambar: blepot.com - tittle "Pakistan Darvish Tamin"

___________________
*Komunitas An-Nadzir adalah sebuah kelompok muslim yang mungkin jumlahnya sekarang mencapai 300an orang. Mereka hidup commune di kawasan Mawang, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, dekat dengan perbatasan Kota Makassar.
Komunitas ini memiliki ciri khas dari sisi penampilan, kaum lelaki berambut gondrong berwarna pirang. Sementara, kaum perempuan memakai cadar. Pakaiannya selalu berwarna hitam-hitam.
Pada dasarnya, mereka menghidupi diri dengan mengelola sawah, kebun dan tambak ikan. Namun kabarnya juga membuka bengkel dan dan usaha penyulingan air galon.

*Ibrahim ibn Adham atau lebih lengkapnya Abu Ishaq Ibrahim Ibn Adham adalah seorang legenda darwish dalam wiracarita sufisme. Seperti juga ‘Buddha’ Gautama yang tadinya seorang pangeran kerajaan, ia adalah pewaris tahta keturunan Arab Kerajaan Balkh.
Yang diceritakan orang-orang suci (wali), meski dunia di bawah kekuasaannya, meski 40 pedang emas dan 40 tongkat emas selalu mengiringi depan serta belakangnya, tetapi semuanya urung menghalangi bisikan hatinya.
Suatu waktu, setelah pertemuan misteriusnya dengan seseorang di atap rumahnya pada tengah malam buta, serta dialognya dengan lelaki asing di dalam istananya, hati Ibrahim Ibn Adham menjadi gelisah. Konon, lelaki di atap rumah dan di dalam istananya itu tak lain adalah Nabi Khidhr as.
Hingga akhirnya, ketika bisikan hatinya telah paripurna, ia lalu menghampiri seorang gembala domba. Diberikannya jubah bersulam emas serta mahkota bertahta permata yang biasa ia kenakan, kemudian ia berganti dan mengenakan pakaian dan penutup kepala sang gembala yang terbuat dari bulu hewan.
Syahdan, saat itu semua malaikat seraya berdiri memandang Ibrahim Ibn Adham.
“Betapa agung kerajaan yang kini dimiliki Ibn Adham,” ujar para malaikat.
“Ia telah membuang pakaian dekil duniawi, dan kini mengenakan jubah agung kemiskinan.”
Ibrahim Ibn Adham, seorang legenda sufi, lalu memilih menghilang dari Kerajaan Balkh, dan mengembara ke arah barat untuk menjalani kehidupan sebagai pertapa (asketisme). Dengan dan dalam kealpaan harta.
Dalam riwayat sufisme, ia akhirnya syahid di tahun 165 H/ 782 M dalam sebuah ekspedisi laut melawan pasukan Byzantium.
Selengkapnya...

“Siapa Yang Bilang Kita Telah Merdeka!”


Syamsul sebenarnya pin-pin-bo, alias ‘pintar-pintar bodoh’. Dibilang pintar ya iya juga, dibilang bodoh ya iya juga.

Pintarnya, meskipun masih duduk di kelas 2 SMP, syamsul wawasannya luas. Dia hobi baca. Kalau lagi semangat-semangatnya, bekas koran yang dipakai Kang Udin buat bungkus kacang goreng dipelototi juga sambil manggut-manggut. Walhasil, dibanding teman-temannya di kelas, omongan Syamsul kadang suka aneh sendiri. Ciri-ciri anak kritis.

Nah, bodohnya, Syamsul suka kurang perhitungan. Padahal, di rapor matematikanya bagus lho. Mulut nyinyirnya ini, kadang asal tubruk saking kelewat jujur dengan isi kepalanya. Suka asbun-sektu, alias ‘asal bunyi sembarang waktu’. Kalau dalam bahasa jawanya; timing Syamsul sering kurang pas. Apa yang dipikirkan selalu dibuat kompak dengan bibirnya.

Kejujuran Syamsul itu mungkin bawaan kandungan. Soalnya, waktu sedang dihamilkan, emaknya ngidam kue ‘cucur’ (lha… apa hubungannya?).

Tapi kalau bukan, pasti hasil didikan almarhum bapaknya. Maklum, tiap mau tidur dan bangun pagi, si bapak tak pernah alpa mengingatkan, “Hanya satu yang membuat orang selamat Sul, jujur dan iman. (whooaaalaaaah… itu sih bukan satu pak…!!!).

Dan wasiat itu memang bekerja efektif. Terhadap jualan pisang goreng Bu Warsih kantin, Syamsul menjadi satu-satunya murid laki-laki yang tak pernah sekalipun menerapkan jurus katga-kutu, alias ‘sikat tiga ngaku satu’. Ia tumbuh sebagai anak yang jujur. Kelewat jujur malah.

Tak pernah terlintas di kepala Syamsul untuk berbohong. “Faedahnya sama sekali gak ada…” pikirnya. Saking antinya dengan yang namanya bohong, dalam hati Syamsul berjanji, tak akan pernah bibirnya menghianati isi kepalanya. Maka, bersama ikrar kesetiaannya ini, omongan Syamsul suka bebuah bumerang.

Seperti di kelas kemarin, penyakit Syamsul kumat lagi. Ceritanya, guru sejarah Syamsul menjelaskan soal Proklamasi. Biasalah kalau bulan Agustus, bukan cuma umbul-umbul yang muncul musiman di gang-gang. D kelas juga dijangkiti euforia merah-putih.

Iseng-iseng atau entah apa namanya, tiba-tiba gurunya lempar pertanyaan ke Syamsul, “Coba Syamsul, tanggal berapa proklamasi kemerdekaan dibacakan Bung Karno?” begitu bunyi pertanyaannya.

Syamsul tiba-tiba tersentak, diam lumayan lama. Diamnya Syamsul, bukan lantaran dia sulit menemukan jawaban. Pikirannya bercabang dua.

Cabang yang pertama : “Nih, guru goblok apa salah tingkah ya? Padahal udeh tahunan ngajar di sekolah ini. Masa sih masih kena syndrome kikuk, macam guru baru di hari pertama nginjak kelas. Pertanyaannya kok begitu ya? Whooiii… Pak Guru kalau pertanyaannya begini sih, bocah kelas 1 SD juga bisa jawab kalee…” seperti itu pikiran Syamsul keheranan.

Cabang yang kedua : Nah, ini lain lagi. Isinya agak lebih panjang. Hanya saja, bibir Syamsul terlanjur bulat lebih memilih cabang ini untuk diucapkan sebagai jawaban pertanyaan Pak Guru.

“Siapa bilang kita telah merdeka?”
Sontak siswa sekelas ngakak-ngakak mendengar jawaban Syamsul yang ternyata berupa pertanyaan. Mata Pak Guru sendiri ikut-ikutan membelalak kaget. Tak menyangka jawaban Syamsul seperti itu.

“Alasa…”
Baru saja Pak Guru mengucapkan awalan tersebut, bermaksud menayakan alasan Syamsul berkata demikian, yang bersangkutan sudah langsung nyerocos duluan melanjutkan kalimat pertamanya tanpa ada lagi yang bisa membuatnya jeda.

“Bagi saya, sampai hari ini kita belum merdeka. Merdeka itu artinya bebas dari penjajahan. Sementara penjajahan itu adalah pemaksaan perilaku tidak adil dari pihak yang menjajah ke pihak lain.

Contohnya Belanda. Dia datang bawa bedil. Memaksa mengatur hasil bumi kita. Memaksa orang-orang kita melakukan kerja rodi. Itu jelas ketidakadilan. Nah, sekarang Belanda sudah pergi. Tapi itu bukan berarti penjajahan ikut-ikutan pergi. Ketidakadilan ikut-ikutan pergi.

Penjajahan masih tetap tinggal di negeri kita. Cuma, kali ini pelakunya tidak berkulit putih seperti Raymond Pierre Paul Westerling. Pelakunya sama seperti kita juga, berkulit sawo matang. Makannya sama seperti kita juga, nasi dan tempe, bukan roti dan keju. Tapi kelakukannya sebelas-duabelas dengan pembantaian Westerling di Makassar 1946 lalu.

Kalau dulu gara-gara penjajah, nasib rakyat jadi kelaparan. Sekarang ya hampir sama saja. Buktinya, masih banyak yang sekarang makan tiwul dan nasi aking. Lauknya kalau bukan krupuk ya air mata.

Orang miskin banyak. Lihat grafik angka pengangguran tiap tahun, kejar-kejaran dengan jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT). Cari kerja susah, kena PHK yang gampang. Tiap bulan pasti ketemu.

Buntutnya kriminalitas marak terjadi. Tak kenal tempat apalagi waktu. Modusnya macam-macam. Itu tandanya, perut memang makin banyak yang keroncongan.

Ekonomi susah. Petani susah berkembang. Dulu meneer Belanda memonopoli dan memaksakan harga. Sekarang bentuk akal-akalannya lain, tapi intinya sama doang. Bila musim tanam, harga pupuk naik. Pas musim panen, harga jual langsung menurun. Apa namanya ini kalau bukan pengaturan harga.

Mau dagang susah. Daya beli masyarakat megap-megap, senin-kamis lagi. Perusahaan perkreditan menjamur, padahal sekarang musim kemarau. Jangankan mobil atau motor, hari genee kipas angin bisa dikredit.

Harga-harga naik. Tarif listrik naik. Bensin naik. Minyak tanah apa lagi. Air PAM juga tak mau ketinggalan. Bahkan hebatnya sodara-sodara, cabe naik pula.

Jaman Belanda dulu, banyak granat meledak dan senapan meletus. Sekarang sami mawon. Lihat acara kriminal di tivi-tivi. Sedikit-sedikit berita residivis tersungkur didor aparat. Gedung-gedung ringsek diledakkan bom teroris.

Paling dahsyat temuan bom mutakhir model terbaru: tabung elpiji 3 kg. Tak tanggung-tanggung puluhan nyawa sudah merasakan kedahsyatannya. Nah, ajaibnya sebentar lagi harga bom tabung elpiji ini bakal dinaikkan juga. Astagfirullah.

Bukannya sekarang ada wakil-wakil rakyat yang akan membela?
Orang-orang di senayan politiknya ya politik Belanda juga. Kalau dulu politiknya ‘adu domba’, sekarang dimodifikasi sedikit ’serigala berbulu domba’. Tukang hisap rakyat. Sedikit-sedikit tunjangan ini-itu dinaikkan. Mau bikin rumah aspirasi, minta anggaran tinggi-tinggi. Giliran sidang, mending kalau tidur seperti di lagunya Bang Iwan Fals, ini batang hidungnya yang gak nongol-nongol, alias mbolos macam anak sekolahan.

Politiknya, politik hisap rakyat. Partai pendapatnya tergantung ke mana angin berhembus. Kalau merugikan Partai di tentang habis-habisan. Kalau menguntungkan, dibela mati-matian. Buntut-buntutnya transaksi politik.

Contoh waktu Century Gate, saat rapat paripurna menentukan sikap, salah satu partai pilih opsi ‘kasus ini diusut’. Giliran 2 bulan berikutnya, suaranya sudah putar haluan 180 derajat. “Kasus ini masukkan peti saja dulu,” begitu kilahnya. Politik ’serigala berbulu domba’, pikirnya untuk diri sendiri. Rakyat sih “selamat tinggal”.

Anehnya, tak satupun penjajah-penjajah masa kini ini yang masuk bui. Itu karena polisi kegemarannya cuma satu, makan uang suap. Macam polisi yang ada di film-film India. Hobi Jaksanya juga sama. Hakimnya ikut-ikutan. Pengacaranya mafia kasus. Di rekaman Anggodo, pengakuan Gayus Tambunan, Jaksa Urip, atau nyanyian Susno jelas mendendangkan lagu, banyak praktek suap di tata peradilan. Malah bisa bikin kamar hotel, tempat spa atau karaoke room di ruang tahanan LP.

Yang bermental korupsi-nepotisme, persis seperti anjing-anjing Belanda di jaman dulu, lebih banyak lagi sekarang. Dari urusan KTP di kantor lurah, pembangunan infrastruktur, hingga penggelapan pajak. Semunya punya budaya satu; tak punya malu. Mau kaya- raya agar terpandang. Jadinya halalkan segala cara.

Mau bersuara lantang menantang Belanda? Siap-siap di bungkam. Syukur-syukur kalau cuma dilemahkan seperti KPK, atau kena tonjok orang tak dikenal macam Tama Satya Langkun (aktifis ICW).

Kalau nasibnya kayak Munir, yang diracun di udara, lalu misteri kasusnya tak terkuak karena disembunyikan, ya terpaksa dibawa ke masjid. Seperti biasa, mengadu kepada Tuhan YME saja. Kemudian lagu ‘Gugur Bunga’ dilantunkan. Daftar Pahlawan Kemerdekaan yang mati (di)sia-sia(kan), tambah satu lagi.

Yang namanya pahlawan, jaman sekarang hanya bisa mengurut dada, terima nasib. Tak usah jauh-jauh, yang senior veteran angkatan pejuang 45 saja, tiap malam tidurnya tak bisa nyenyak. Bukan lantaran Agresi Militer Belanda jilid III yang membonceng NICA mau datang lagi. Melainkan was-was sama Pol PP yang siap-siap menggusur rumah dengan pentungan.

Ini belum soal prestasi olahraga kita yang suka bikin malu. Soal TKI yang selalu dicueki. Atau soal seringnya insiden pelecehan oleh pihak Malaysia di perbatasan.

Kalau sudah begini, siapa yang bilang kita telah merdeka!

Alhamdulillah, khutbah Ju’matan Syamsul selesai juga. Teman-teman Syamsul yang sebelumnya ngakak-ngakak, kini terpaku kaku sambil menatap tak percaya ke arahnya. Sebagian di antara mereka, bahkan tak sadar kalau air liurnya menetes. Sama sekali bukan karena paham apalagi takjub dengan isi kalimat Syamsul.

“ini anak kesurupan jin apa…??? Ba..bi..bu..ngomong tak jelas mirip orang rapal mantra. Main krasak-krusuk aja tak kenal titik-koma,” itu yang serempak ada di kepala teman-teman Syamsul.

Pak Guru sendiri malah mematung. Mulutnya masih mangap. Nanti lima menit, baru bisa sadar diri, ketika seekor lalat terbang di dekat pipinya.

Dan lima menit kemudian pula, Syamsul sudah harus berdiri di depan kelas hingga lonceng pulang berbunyi. Syukur, kali ini tak pakai angkat satu kaki, sambil kedua tangan disilangkan ke telinga.

* * *

Dedicated to:
Generasi hari esok, mereka yang pernah menduduki senayan di tahun Reformasi 98. Yang nantinya akan mengambil bagian dalam usaha mengusir penjajah model baru. Generasi baru wajib lebih adil.


Kampung Pettarani, Makassar
19 Agustus 2010
Selengkapnya...

1 Syawal 1431 H, Mengucapkan “Selamat Menunaikan Ibadah Puasa”


Kamis, 30 Ramadhan 1413 H.
Di atas tembok depan Benteng Rotterdam. Dua menit sebelum toa Mesjid di sana itu memperdengarkan bunyi-bunyian bedug digebuk.


Sore kali ini, cerah. Padahal, siangnya hujan. Berturut-turut tiga hari lalu juga. Langit di ufuk, biru membaur kuning serta merah menyala. Kumpulan riak awan jadi hiasan pemanis. Sedikit lagi, horizon menelan utuh benda bulat berwarna emas itu. Pantai Losari mengalun tenang. Camar terbang bersahut-sahutan.

Kalau saja momen ini perempuan, lutut ini pasti langsung sujud bilang “I luv U… hidup matiku kuserahterimakan padamu!” Ora urus, kalau hati perempuan ini ternyata BBT (alias beda-beda tipis) dengan Medusa. Gampang, belakangan diatur.

Ini mungkin– sekali lagi mungkin– pertanda kuasa Tuhan. Di buka puasa terakhir, alam kembali ceria. Seolah siap menyambut sesuatu dengan hati gembira. (Tuuueeeennngg… model tanda-tanda kekuasaan yang berkesan maksa. Tepatnya dipaksa-paksain! Sunset Losari mah lanskapnya dari dulu juga emang begitu kalee…!)
Hihihihibodo’ amat kalee!!! Kan… di atas udeh ngomong duluan: m+u+n+g+k+i+n… alias bersin! Bwuuueeeekk…^_^

Sebentar lagi, di segenap penjuru takbir berkumandang. Iring-iringan mobil hias, berparade keliling kota. Di atasnya, bedug dipukul bertalu-talu. Anak-anak kecil berlarian membunyikan petasan. Orang-orang berdesakan di toko pakaian, berburu diskon tengah malam. Lalu laksana bunga, kembang api beradu bintang menghias angkasa malam. Besok lebaran (versi pemerintah).

Sedari pagi tadi, ibu-ibu telah sibuk di dapur. Buku primbon warisan nenek-moyang, keluar sarang menerapkan jurus-jurus resep terbaik. Toples berisi nastar dan putri salju, malahan sudah sejak kemarin berjejer rapi di dalam lemari. Bersama dengan botol-botol sirup atau minuman ringan bersoda.

Ketupat dimasak di panci besar. Sekalian dengan buras ikut serta. Paling bagus dimasaknya dengan kayu bakar. Aromanya lebih alami. Pasangannya kari ayam atau soto.

Ada juga yang masih setia membuat lappa-lappa dan lopis. Penganan khas Bugis-Makassar, semacam lontong tapi dibuat dari beras ketan hitam atau putih. Lappa-lappa dibungkus daun kelapa, sementara lopis daun pisang. Dimakan dengan bajabu (abon ikan). Biasa juga dengan kelapa yang disangrai dengan sedikit ikan sunu yang dihaluskan sebagai perasa.

Tapi paling enak, kalau disantapnya dengan ayam likku. Ayam yang dimasak dengan santan dan lengkuas hingga kering. Trus… ayamnya ayam kampung. Mmh… te-o-pe sudah!
Sehari sebelum lebaran, ayam ramai nongkrong di kiri-kanan jalan besar. Tinggal pilih, mana yang ‘beruntung’ dibawa pulang. Kaki dan kepala dibasuh air, pisau dapur diasah sampai tajam, lalu ucap basmalah. Sreeeett… darah muncrat dari leher ayam.

Hahaha… kasian si ayam. Dipikir-pikir, inilah hari dimana peristiwa ‘bengis’ penggorokan tenggorokan bangsa ayam oleh tangan manusia, paling massal terjadi. Setiap tahun pula. Paling brutal tentu negara kita. Wong… penduduk muslimnya terbesar di dunia.

Mari berhiperbola; kalau saja setiap rumah tangga muslim Indonesia, acara sembelih ayamnya disatukan di Pantai Losari. Mungkin hamparan air tenang ini, bakal mengental berwarna merah. Selat Makassar mandi darah. (Wuuiidiiihh… sadis juga nih lebaran!).

Besok Lebaran! Pagi buta, orang-orang mandi dan bergegas. Dari balita sampai aki-aki. Semuanya pakai sarung dan peci. Menuju surau atau mesjid. Memenuhi lapangan atau jalanan. Sujud 2 rakaat, lalu kembali ke rumah masing-masing sambil bersalaman. Ribuan lembar koran pengalas adalah sisa-sisa jejaknya.
Eiitt… hampir lupa. Tumpukan piring berlemak bekas opor dan kari ayam, plus potongan-potongan daun pandan anyaman ketupat adalah jejak-jejak yang lain lagi. Cuma mereka adanya sejam kemudian di meja makan.


* * *


Kumandang takbir, parade mobil hias, petasan, kembang api, diskon toko pakaian, sirup, minuman ringan, nastar dan putri salju di toples, sarung, peci, baju koko, baju baru, THR, bagi-bagi angpao, saling bersalaman, ketupat, opor ayam, kari ayam, ayam goreng, semuanya adalah simbol-simbol lebaran.

Tentulah simbol bukan esensi. Melainkan makna di balik simbol itu. Tak perlu semiotika (ilmu tentang tanda), untuk memahami bahwa lebaran bukan semata berarti makan ketupat dan opor ayam dengan memakai baju baru.

Simbol hanyalah sekedar penanda untuk hadir sebagai wakil dari sesuatu yang lain. Sesuatu bernama makna, tentang fitrah yang baru (idul fitri). Setelah mensucikan diri melalui kontemplasi asketis (puasa) satu bulan lamanya. Menahan lapar, dahaga, nafsu hingga amarah.

Maka ketupat hanyalah tanda yang mewakili suatu kemenangan, keberhasilan menjalani semua itu.
(Anyway, kok kedengarannya tiba-tiba jadi serius mirip ceramah dosen di ruang kuliah gini ya…? Ah… e-ge-pe!)

Nah, hanya saja, dan sesungguhnya (tuh kan… makin ribet berbelit-belit dah ngomongnya!), ramadhan itu pun semata-mata sebuah simbol belaka. Ramadhan hanyalah satu di antara sekian bulan yang sengaja dipilih (dihadirkan) untuk mewakili 11 bulan lainnya. Sama seperti opor ayam mewakili Idul Fitri. Atau pepatah ‘ada udang di balik batu’. Yang penting bukan ‘udang’nya, melainkan ‘di balik batu’nya. (nah lho… bingung kan? Yang nulis aja ora ngerti maksud dan juntrungane opo rek…!)

Oke kita ganti contoh: (Kode DW mode on) misalnya simbol ‘lampu merah’. Yang terpenting dari konteks ini, tentu saja bukan lampu yang mengeluarkan cahaya warna merah itu, tapi apa konsep (makna) di baliknya. Konsep yang tidak lain ingin mengatakan, ‘jangan jalan/nyebrang dulu’ alias stop. Soalnya, kalau ngotot juga, tanggung sendiri akibatnya bila ban metromini disusul roda raksasa tronton, nggilas batok gundul sampean hingga terburai, macam buah semangka yang dijatuhkan dari lantai 14 gedung Hotel Indonesia.
(Bagaimana? Sepertinya contoh ini cukup jelas. Jelas-jelas berbau horror menjurus sadisme maksudnya. Hiks! ^_^… Kan udeh diwarning kode DW. Maksudnya ‘hati-hati bukan untuk konsumsi anak-anak’)

Jadi, jika kita tarik garis lurus dari koordinat x menuju y… (ups! Maaf ngaco. Sabar… ta’ liat dulu di halaman berapa contekan saya. ckliikckliik… bunyi kertas dibolak-balik) Oke nemu sudah!). Jadi, singkatnya, bukan ramadhan-nya yang penting, atau dalam kalimat lain: ramadhan ‘tidak penting’. Yang terpenting adalah apa yang diwakili ramadhan, yakni 11 bulan berikutnya.

Puasa– kontemplasi asketis melalui menahan lapar, dahaga, nafsu dan amarah– yang sejati bukan di bulan ramadhan. Melainkan di 11 bulan berikutnya. Atau dalam kalimat lain lagi: Bulan ramadhan sebagai simbol, ada 1. Sementara bulan ramadhan sejati sebagai makna, ada 11. Kalau ditambah = puasa satu tahun penuh alias 12 bulan.

Bila demikian, sepantasnyalah kita mengucap ‘syukur’ seperti ini, “Wah… terima kasih ya Allah, engkau ternyata memberikan kepada kami puasa (ramadhan) sejati yang jumlahnya bukan cuma satu, tapi gak tanggung-tanggung lho… 11 bulan bo’!”

Nah… sekarang bayangkan, andaikata puasa 11 bulan yang sejati itu, juga harus menahan lapar dan haus (selain yang utama amarah dan hawa nafsu). Duh… Gusti Allah tak kebayang apa yang terjadi. (Masalahnya, wong diberi kelonggaran bisa makan dan minum saja seperti biasa, orang-orang di negeri ini gendengnya sudah naudzubillah min dzalik)

Macam omongannya Armand Maulana vokalisnya GIGI:

Ramadhan tahan nafsu
Abis itu lupa lagi
Ramadhan tahan amarah
11 bulan berikutnya amnesia


Jadi, minta maap nih ye sebelumnye, 1 Syawal 1431 H itu sama dengan “Selamat menunaikan Ibadah puasa.”

Sama sekali bukan perayaan kemenangan parade mobil hias, petasan, kembang api, diskon toko pakaian, sirup, minuman ringan, nastar dan putri salju, sarung, peci, baju koko, baju baru, THR, bagi-bagi angpao, ketupat, opor ayam, kari ayam, ayam goreng, dan seterusnya… dan seterusnya…

Menang opo? Perayaan opo? Wong… takbir berkumandang di akhir ramadhan itu pertanda lonceng pertarungan sejati had just begun. Ibarat kate nonton layar tancap, “Ramadhan ntu trailer-nye doang!” kata bapaknya SI Doel seumpama masih idup.

* * *

Kampung Pettarani
, Makassar 9 September 2010


sumber gambar: reproduksi
http://rivafauziah.files.wordpress.com/2007/09/lebaran_cianjur.JPG
Selengkapnya...