kehendak



Setelah runtuhnya otoritas gereja di Abad Pertengahan, hampir tanpa kecuali, semua pemikiran yang kemudian berkembang menempatkan nalar (rasio) sebagai hakikat jiwa. Satu yang paling terkenal adalah ungkapan Rene Descartes ‘cogito ergo sum’– eksistensi manusia adalah aku yang berpikir.

Akal, atau intelek, atau rasio, atau kesadaran, atau dan seterusnya, dianggap sebagai titik tolak dalam menjelaskan relitas. “Hanya kerja akal-lah yang paling bisa dipercaya,” katanya.

Arthur Schopenhauer (1788–1868) menepis semua anggapan itu. Menurutnya, hakikat jiwa manusia bukanlah rasio. Rasio hanya berada dipermukaannya saja. Dibawah rasio, sesungguhnya ada representasi dari kehendak (will). Dialah yang mengontrol kesadaran.

Kadang-kadang, rasio memang seolah mengendalikan kehendak. Tapi itu sifatnya hanya membantu keinginan ‘kehendak’ bisa tercapai. “Untuk sebuah benda yang tidak diinginkan, kita punya alasan rasional mengapa kita tidak menginginkan benda tersebut. Tetapi, kita bisa membuat dalih atau pembenaran yang seakan-akan rasional, demi sebuah benda yang sangat kita inginkan.

Pendeknya, rasio adalah ‘alat’ bagi kehendak.


Tujuan serta sikap manusia pun bukan terletak di dalam rasio. Melainkan di dalam kehendak. Bahasa sehari-hari menunjukkan dengan tepat, bahwa watak manusia ada pada hati bukan pada kepala.
‘Hati yang baik’ lebih mendalam dan lebih bisa dipercaya ketimbang ‘pikiran yang jernih’. Agama menjanjikan pahala bagi kesucian hati (moralitas), tapi belum tentu untuk keunggulan kepala (rasio/intelek).

Manusia yang berebut makanan, hubungan seksual, atau tingkah laku anak-anak pada umumnya, bukan mengandalkan proses berfikir sebelumnya. Sumber perbuatan mereka adalah dorongan kehendak setengah sadar untuk hidup.

Manusia kelihatannya saja ditarik dari depan. Yang sebenarnya, mereka didorong dari belakang. Manusia mengira dibimbing oleh apa yang terlihat oleh indera (tahap awal kerja rasio). Kenyataannya mereka didorong oleh instink-instink alamiah (kehendak/hasrat) yang dirasakannya.

Kehendak bagi Schopenhauer adalah Id bagi Sigmund Freud (1856–1890).
Dikatakan, bahwa manusia memiliki tiga sub sistem yang berinteraksi dalam kepribadiannya. Id, Ego, dan Superego.
Id adalah bagian jiwa yang menyimpan dorongan-dorongan biologis manusia. Id adalah pusat instink (hawa nafsu), yang oleh Freud dipisahkan menjadi dua macam. Yakni (1) Libido– instink reproduktif yang menjadi energi konstruktif dalam kelangsungan hidup manusia; (2) Thanatos– instink destruktif dan agresif.

Libido merupakan instink kehidupan, seperti yang terlihat pada manusia yang berebut makan, hubungan seksual, ataukah tingkah anak kecil. Thanatos merupakan instink kematian, seperti yang dilakukan Kurt Cobain (vokalis Nirvana) pada 8 April 1994, menembakkan sebutir peluru ke kepala sendiri.

Meski Id melahirkan kehendak, namun ia belum mampu untuk merealisasikan keinginannya secara mandiri. Untuk itu, Ego dibutuhkan agar proyek kehendak Id bisa terealisasi.

Menurut Freud, Ego adalah mediator segitiga antara tuntutan ‘instink’ kehendak, tuntutan ‘rasio’, serta tuntutan realitas di luar kehendak. Ego-lah yang selalu rajin tawar-menawar dengan Id (kehendak). Sehingga manusia kelihatan hidup sebagai ‘makhluk rasional’.

Superego adalah internalisasi dari norma-norma sosio-kutural masyarakat. Tak usah heran, ketegangan tentu akan sering terjadi antara Superego (kehendak sosial) dengan Id (kehendak individual).

Ego-lah yang kemudian tampil sebagai jembatan atas konflik keduanya.
Ada seorang prajurit TNI yang sedang dimaki-maki kasar oleh komandannya. Maka Id– kehendak mempertahankan hidup si prajurit– refleks bereaksi, kiranya membalas hinaan tersebut.
Tetapi Ego memperingatkan, bahwa yang ada di depan adalah bos sendiri. Kiranya perlu Id ketahui, dalam sistem ke-TNI-an (Superego), melawan bos sama saja ‘cari-mati’.

Interaksi antara ketiga sub sistem inilah (Id, Ego, dan Superego) yang menjadi dasar psikoanalisa perilaku manusia. Begitu anggapan Freud.

Anggapan Schopenhauer lain lagi. Ia tetap kukuh, bahwa meski ‘kehendak naluriah’ (Id) kadangkala tunduk pada rasionalitas luar individu (Ego yang memihak Superego), tetapi itu semata-mata dilakukannya hanya untuk ‘mempertahankan kelangsungan hidup dirinya’.

Sikap patuh Id kepada Superego, tidak diartikan tunduknya ‘kehendak’ terhadap ‘rasio’. Kehendak hanya menuruti saran rasio (Ego), bila saran tersebut akan menjamin kelangsungan hidupnya sendiri (Id).
Manakala sebaliknya, saran rasio dianggap justru mengancam stabilitas hidup Id, maka kehendak (Id) akan menggugurkan petimbangan-pertimbangan rasional. Itu misalnya terlihat dalam tindakan bunuh diri atau bom bunuh diri.

Dialektika antara rasio dan kehendak lebih pada pengabdian ‘Si Pembantu’ (rasio) kepada ‘Sang Majikan’ (kehendak). Schopenhauer sendiri mengumpamakan “Kehendak adalah orang kuat yang buta, yang mengendong orang lumpuh yang melek (rasio)”.

Minus ‘kekuatan kehendak’, rasio tak ada gunanya. Rasio tak punya dua kaki untuk menjalankan skenarionya.

Jika demikian adanya, implikasi dari pemahaman ini, ketika esensi manusia bersumber pada kehendak, maka dengan senidirinya dunia manusia sebenarnya dunia penderitaan.

Ya, itu karena kehendak identik dengan keinginan. Sementara apa yang diinginkan selalu lebih besar, lebih banyak, lebih rakus ketimbang apa yang diraih. Keinginan tak pernah berhingga. Naluri manusia selalu ingin menuntut yang lebih.

Dunia manusia yang dipenuhi kehendak adalah dunia penderitaan. Sebab usaha untuk memenuhi keinginan setiap ‘kehendak’ justru kesia-siaan semata. Kehendak tak akan pernah bisa terpuaskan. Kehendak yang terpenuhi, selalu menciptakan kehendak baru yang lebih serakah. Kehendak tak mengenal kata ‘cukup’ dalam kosa katanya.

Maka manusia yang hidup hanya untuk menuruti kehendak, niscaya semata-mata akan dijadikan ‘budak’ oleh kehendak.

Dunia manusia adalah dunia penderitaan. Hidup kata F.W. Nietzsche adalah tragedi dari persaingan kehendak untuk berkuasa. Dalam tragedi, tiap detik, genderang perang ditabuhkan. Di setiap sudut kehidupan manusia, selalu ada kekerasan, pertentangan, kompetisi, atau konflik. Pemicunya tak lain semata-mata perseteruan kehendak.

Setelah manusia memiliki apa yang sejak dulu diidamkan, rasa bosan selanjutnya datang. Segera timbul keinginan lain. Tapi diujung sana, kebosanan lain juga menunggu. Apa reaksi anak kecil ketika melihat mainan baru? Mainan lama di genggamannya serta-merta dicampakkan terabaikan.

Darinya, kebijaksanaan hidup tentulah tidak terletak pada pemuasan kehendak.
Kebahagiaan hidup tidak tergantung pada seberapa banyak yang kita miliki (have). Melainkan keber’ada’an (is) kitalah yang menentukan kebahagiaan sejati.
Banyak yang bergelimang, namun tetap mengeluh mengaku tak jua bahagia. ‘Ada’ kitalah yang lebih penting ketimbang isi kantong.

Kebijaksanaan tentulah kebahagiaan. Kebijaksanaan hidup berarti bagaimana mengatasi kehendak. Manusia keliru, jika mengira kebahagiaan akan datang bila telah berhasil menaklukkan dunia (eksternal). Justru, diri sendiri-lah (internal) yang harus dijinakkan guna menciptakan kebahagiaan.

Orang bijaksana, memiliki pengetahuan yang tak banyak unsur kehendaknya. Pengetahuan yang jernih adalah ‘obyektifitas’ yang terbebaskan dari nafsu (kehendak). Bila pikiran menembus nafsu, ia akan mampu melihat objek sebagaimana adanya. Pikiran yang bijaksana, memiliki visi yang jelas tentang dunia dan kehidupan. Begitu gambaran Schopenhauer tentang manusia ‘jenius’.

Spesies terendah (tumbuhan dan binatang) bertindak hanya berdasarkan naluri kehendak. Seekor monyet, secara naluriah tahu bila api unggun sumber kehangatan di malam hari. Tapi karena ketidakunggulan pengetahuan atas naluri, beratus-ratus abad berlalu, monyet tak bisa-bisa juga membuat api.

Pun proses serupa terjadi pada manusia. Maksudnya, banyak manusia masih hidup dalam ‘fase monyet’. Fase terpenjaranya rasio atas kehendak. Akibatnya manusia fase ‘jenius’ ibarat pemandangan minor di tengah hiruk-pikuk mayoritas monyet.

Melalui seleksi ketat, alam hanya menghasilkan sangat sedikit manusia ‘jenius’ di antara berjuta-juta ras manusia. Hukum alam memang begitu adanya.
Lihat ‘batu mulia’ yang mengkristal di perut bumi. Ia baru bisa berkilau, bila dengan sabar berhasil ditempa proses seleksi alam bertahun-tahun lamanya.
Batu mulia adalah minoritas di antara berjubel-jubelnya kerikil, karang, pasir, bahkan lumpur.

Manusia ‘jenius’ berbeda dengan manusia kebanyakan. Karakternya maladaptif (cenderung sulit menyesuaikan diri dengan aktifitas dunia yang penuh kehendak). Ia juga asosial (asing dengan riuh keramaian).
‘Jenius’ selalu berpikir yang fundamental, abadi dan universal. Manusia kebanyakan, selalu berpikir dipermukaan, temporer, dan serba sesaat.
Apa boleh buat, konsekuensi dari manusia ‘jenius’ adalah pengisolasian diri dalam dunia ‘kesendirian’ bahkan ‘kegilaan’ sekalipun.

Martin Heidegger (1889-1976) membenarkan tentang keterasingan kehidupan manusia ‘jenius’. Menurutnya, ‘kesendirian’-lah hakikat personal manusia yang tidak mungkin dihindarkan.

Bedanya, manusia ‘jenius’ kata Heidegger adalah Dasein, yakni ia yang terus-menerus hidup dengan mempertanyakan ‘Ada’-nya yang otentik. Sementara manusia ‘kebanyakan’ adalah das Man, ia yang memilih hidup tidak-otentik dengan membiarkan orang lain memutuskan apa yang terbaik bagi dirinya.

Eksistensi das Man itu tidak ada (kosong). Sebab memutar roda hidupnya– cara berpakaian, cara bertutur, gaya hidup, berpikir, selera, sampai cara mengunyah sekalipun– dengan dituntun orang lain melalui norma atau konvensi sosial sesat.

‘Publik Figur’, iklan, mode, media massa, populerisme adalah ciri ‘manusia kebanyakan’ (das Man). Dia yang terinveksi ‘penyakit populer’ akan bertindak berdasarkan keinginan orang lain. Popularitas hanya akan memaksa orang untuk menipu diri sendiri. Senyum sana-senyum sini, meski hati sebenarnya sedang sedih.

Kemasyhuran dan popularitas adalah bodoh kata Schopenhauer. “Kepala-kepala orang lain merupakan tempat celaka untuk dijadikan rumah kebahagiaan sejati.” Kebahagian tidak datang dari orang lain. Itu justru tersimpan di dalam diri. Dan manusia ‘jenius’ (Dasein), setiap saat berusaha menggali di kedalaman nurani (moralitas).

Kehendak tentu saja adalah kehendak untuk hidup dan memaksimumkan kehidupan. Dan titik akhirnya, ia berpusat pada sistem reproduksi. Motif manusia melakukan hubungan seksual adalah strategi dari ‘kehendak’ demi memaksimumkan kehidupannya.
Benar kata Freud, bahwa “segala sesuatu didasarkan oleh libido”. Kehendak hidup (libido)-lah dasar dari setiap tindakan manusia.

Reproduksi alias melahirkan keturunan, semata-mata dorongan untuk menciptakan ‘reinkarnasi’ individual Sang Ayah dan/atau Sang Ibu. Di mata orang tua, anak adalah wujud diri yang baru. Orang tua sebenarnya memandang anak sebagai medium untuk menginjeksi dan mewariskan sifat-sifat (identitas) dirinya.

Perhatikan kecenderungan seorang Ayah, selalu menginginkan anak laki-laki. Perhatikan kecenderungan seorang Ibu, selalu mendambakan anak perempuan. Anak tak lebih dari strategi ‘kehendak’ lewat sistem reproduksi untuk mencoba membuat diri abadi.

Lagi kata Schopenhauer, menghancurkan hasrat bereporoduksi adalah kebajikan dan jalan untuk mengatasi kehendak. Orang-orang suci penganut tekun ajaran Budha (atau agama-agama ‘ortodoks’ lain), menolak untuk berhubungan dengan perempuan. Itu agar kemurniannya bisa terbebaskan dari nafsu kehendak. Bahkan di India, banyak yang menggembok alat kelamin demi menjaga hasrat seksualnya tidak bertingkah macam-macam.

Sifat yang dibenci kehendak adalah ‘kekalahan’. Bagi kehendak, kekalahan adalah representasi dari kematian. Sementara kematian musuh utama dari kehendak. Kehendak tidak menyukai kekalahan, sebab kekalahan sama saja menghambat pertumbuhan (pencapaian) kehendak. Kekalahan adalah negasi dari ‘kehendak untuk hidup’.

Seperti aturan dalam pertarungan ‘Gladiator’ (tawanan perang, politik, kriminal, budak-budak) di Colloseum Romawi. Kematian bagi ‘Sang Pecundang’, kehidupan bagi ‘Sang Pemenang’.

Bagi kehendak, hanya ada dua yang mungkin di dunia ini; Menang atau Kalah (Hidup atau Mati). Oposisi biner seperti ini adalah ‘metafisika semu’ yang diciptakan ‘kehendak’ guna mempertahankan eksistensinya.

Akhirnya, kematian-lah penaklukan paling akhir dan radikal atas ‘kehendak untuk hidup’. Impuls-impuls kehendak akan meredup bilamana kematian menjelang. Pada manusia, ketika sistem reproduksi tidak lagi berfungsi secara efektif (menopause), itu pertanda kematian tinggal menunggu waktu.

Kemenangan atas kehendak hanya bisa diperoleh melalui kematian. Tapi Schopenhauer sama sekali tidak menyarankan untuk bunuh diri, ”Destruksi yang disengaja pada eksistensi diri yang individual adalah tindakan sia-sia dan bodoh, karena kehidupan pada umumnya tidak dipengaruhi olehnya.”

Bunuh diri hanya mematikan kehendak individu. Tidak bagi kehendak manusia (dunia) secara umum. Dalam satu kematian yang disengaja, terdapat beribu-ribu kelahiran kehendak baru.

Manusia ‘jenius’ sangat rindu pada ‘kematian’. Sebab kematianlah kunci pembuka penjara ‘kehendak’. Beda dengan manusia 'monyet', baru membicarakan kematian, bulu kuduknya berdiri entah apa maksudnya.

Manusia ‘jenius’, menghadapi kematian dengan ketenangan sikap dan kemerdekaan. Bukan dengan tetesan ‘mubazir’ air mata.


* * *

Kampung Pettarani
, Makassar di sekitar Oktober 2006.

sumber gambar: http://browse.deviantart.com/?q=hand&order=9&offset=0#/dyaj1f


Selengkapnya...

Lontong



Benarkah, bahwa makhluk hidup yang isi kepalanya terdapat seoonggok organ lunak berukuran dua-kepalan telapak tangan disatukan, yang berfungsi untuk mengelola sistem informasi berkesinambungan, sehingga disebut makhluk berakal itu, sebenarnya adalah makhluk hidup yang paling tolol?

* * *


Syahdan, sebelum Perang Dunia II meletus. Ilmuwan Albert Einstein melayangkan surat kepada Franklin Delano Roosevelt, Presiden Amerika Serikat. Isinya, tentang kabar bahwa Adolf Hitler sedang mengembangkan sebuah senjata baru yang luar biasa dahsyatnya: bom atom.

Di akhir surat, Einstein menyarankan agar Amerika Serikat sebaiknya mendahului pengembangan senjata itu. Sebelum Jerman berhasil melakukannya.

Saran Einstein diterima. Dalam waktu singkat, Amerika meresponnya dengan menggelar suatu proyek rahasia dengan sandi “The Manhattan Project”. Misinya sama, mengembangkan bom nuklir. Di tangan kendali J. Robert Oppenheimer, ahli fisika nuklir, proyek itu pun sukses*.


Proyek itu sukses melahirkan sebuah benda yang bentuknya mirip lontong dari baja seberat 4 ton. Panjang 3 meter. Diameter 0,7 meter. Diberi nama Little Boy.

Lontong itu dimasukkkan ke dalam perut pesawat B-29 bernama Enola Gay yang sedang parkir di Pulau Tinian, dekat Guam, Lautan Pasifik. Wilayah ini, dulunya direbut Amerika Serikat dari tangan Jepang pada 23 juli 1944.

Dini hari 6 Agustus 1945. Tepatnya pukul 02:45 waktu Tinian atau 01:45 waktu Hiroshima. Enola Gay lepas landas dari Tinian menuju Hiroshima.

Menurut catatan William D. Parson, co-pilot Enola Gay, pukul 09:09 waktu Tinian, lanskap kota Hiroshima sudah terlihat dari jendela depan pesawat. Begitu Enola Gay melintasi Jembatan Aioi, lewat 30 detik dari pukul 09:15 waktu Tinian (08:15 waktu Hiroshima), lontong tersebut dijatuhkan.

Sehabis melepas Little Boy, Enola Gay langsung menukik 155 derajat ke atas. Berbelok ke utara menghindari efek ledakan. Little Boy sendiri terjun bebas sekaligus memulai aksinya*.

Aksi dari benda yang mirip lontong itu kurang lebih demikian: bahan peledak di pantat Little Boy yang telah terpicu, menimbulkan kejut. Gelombang kejut menekan bagian utama bom yang sejenis peluru tapi berbahan Uranium-235. Melewati selongsong dan berujung pada bola Uranium-235. Selanjutnya, 'reaksi fisi' (pembelahan) pun mulai bekerja.

Teori 'reaksi fisi', pertama kali ditemukan oleh empat ilmuwan Jerman– Otto Hahn, Lise Meitner, Fritz Strassman, dan Otto Frisch– mengatakan inti atom-atom berat (radioaktif) seperti uranium bisa dibelah dengan menembakkan sebuah neutron. Partikel ideal untuk membelah inti atom.

Inti atom yang menyerap neutron akan menjadi tak stabil, lalu memecah diri. Dalam sebuah bom, proses tersebut berjalan secara terus menerus. Satu neutron yang ditembakkan ke setiap fisi, akan menyebabkan pembelahan menjadi dua. Dari dua, menjadi empat, empat menjadi delapan, delapan menjadi enambelas. Begitu seterusnya. Kadang-kala ini disebut juga reaksi berantai.

Proses pembelahan neutron terjadi dalam tempo sangat singkat. Hitungannya satuan piko detik (1 x 10 pangkat -12 detik). Reaksi berantai yang tak terkendali itu, menghasilkan radiasi sinar gamma dan sejumlah besar energi.

Pada Uranium seberat satu kilogram, ia mampu menghasilkan energi 23,7 juta kwh. Bila energi ini digunakan untuk menghidupkan bola lampu 100 watt, maka selama 30.000 tahun ia akan terus nyala tanpa henti.

Sekarang, bayangkanlah Little Boy, lontong yang beratnya empat ton.

Hanya 43 detik waktu yang dibutuhkan Little Boy untuk meledak sejak dimuntahkan Enola Gay. Tepat pada ketinggian 580 meter di udara. Di atas Rumah Sakit Shima.

1/10.000 detik setelah ledakan, dalam radius 17 meter dari pusat ledakan (hypocenter), panas mencapai 300.000 derajat celcius. Sementara yang sampai ke Rumah Sakit Shima sendiri sekitar 6.000 derajat celcius.

5 menit setelah ledakan, asap atom menguar laksana cendawan putih raksasa. Warga Hiroshima yang berada dalam radius 5 kilometer dari pusat ledak, sekonyong konyong binasa oleh zat radioaktif. Dari yang masih ngemot puting payudara ibu ataupun yang sudah aki-aki. Langsung maupun dalam hitungan hari. Kalaupun nafasnya sanggup megap-megap, menderita cacar kulit bahkan mutasi genetik. Bila sedikit beruntung, korban terkena cikal-bakal kanker atau leukimia.

* * *


Hingga saat ini, menurut desas-desus, jumlah koleksi lontong yang ada di permukaan planet ini, telah sukses mencapai angka ribuan lebih. Tersimpan rapi di Amerika Serikat, Rusia, India, Pakistan, Cina, Iran, Israel, Korea Utara, dan seterusnya.

Nah, andaikata, lontong-lontong itu disebar ke penjuru bumi, lalu dalam hitungan mundur ‘tiga-dua-satu’ masing-masing pantatnya dipicu sehingga 'reaksi fisi' bekerja, maka mungkin sekali, bumi yang diameternya 12.756 kilometer dan luas permukaannya 510 juta kilometer persegi ini, tempat dimana kaki setiap makhluk hidup memijak, hancur bercerai-berai tak ubahnya kotoran sapi.

Tidakkah ini bukti, jika makhluk hidup yang isi kepalanya terdapat seoonggok organ lunak berukuran dua-kepalan telapak tangan disatukan, yang berfungsi untuk mengelola sistem informasi berkesinambungan, sehingga disebut makhluk berakal itu, sebenarnya adalah makhluk hidup yang benar-benar tolol?


* * *
Kampung Pettarani, Makassar 14 Desember 2006

___________
* Seperti dikisahkan Wicaksono, pewarta TEMPO, dalam artikelnya berjudul Di balik Sebuah Bom Nuklir, pada majalah tersebut edisi 29 Desember 2002.

* Tulisan Bimo Nugroho, anggota perkumpulan Institut Studi Arus Informasi (ISAI), berjudul Menyusuri Jejak John “Hiroshima” Hersey dalam majalah PANTAU edisi Oktober 2002. Dalam tulisan tersebut, Nugroho menceritakan tentang sebuah karya jurnalistik dari John Hersey berjudul Hiroshima, yang dipublikasikan pertama kali di The New Yorker 31 Agustus 1946.
Salah satu paragrafnya berbunyi demikian: “Albert Einstein, sang penemu rumus atom, memutuskan untuk membeli 1.000 eksemplar edisi
Hiroshima itu, tapi ia tak berhasil mendapatkan satu pun dilapak-lapak penjual majalah.”


sumber gambar: http://www.flickr.com/photos/indonesiaeats/5069819396/

Selengkapnya...

muthos



Seekor kupu-kupu, hitam dan bercorak kembang kuning di kedua sayapnya, terbang kesana-kemari di dalam rumah. Manusia lantas berkeyakinan, hari ini, ia akan kedatangan tamu.

* * *

Frankfurt, Jerman di tahun 1923. Sebuah ‘sekolah’ lahir. Tapi, lebih pada bukan ‘sekolah’ secara fisik. Melainkan suatu paradigma serta riset sosial-budaya. Frankfurt Schule namanya. Belakangan lebih terkenal dengan sebutan Mazhab Frankfurt.

Pendirinya, kebanyakan kaum intelektual Yahudi Jerman sayap kiri kelas menengah-atas. Mazhab Frankfurt lahir dari kekhawatiran akan fenomena sosial-budaya yang tengah berkembang saat itu. Ada yang salah dengan konsep pencerahan yang dijanjikan gerak bernama modernisme. Ada yang mesti diperiksa ulang dengan perluasan kebebasan manusia serta kecenderungan ilmu pengetahuan berazas rasionalitas buta. Kemajuan (modernisasi) justru seperti hanyut ke dalam mimpi buruk.

31 tahun kemudian, di tahun 1954, keresahan itu hijrah ke Prancis. Mengusik imajinasi seorang pemikir poststrukturalis, Roland Barthes. Hingga menorehkannya dalam rangkaian tulisan di majalah Les Letters Nouvelles. Ia merefleksikan beberapa kecenderungan modernisasi kehidupan sehari-hari orang Prancis. Budaya menonton gulat, anggur dan susu, hingga striptease pun sakasama ia amati.
Sampai akhirnya Barthes berkesimpulan; “orang moderen pun dikerumuni oleh banyak mitos, orang moderen juga produsen dan konsumen mitos.”


Muthos kata orang Yunani dulu, semacam bentuk ‘kefrustasian’ akal manusia dalam usahanya menjelaskan dengan gamblang fenomena-fenomena alam. Entah itu hujan, badai, kekeringan, ataukah berupa malapetaka.

Bangsa Skandinavia pun berhalusinasi, sesosok Thor pemilik godam sakti, yang sanggup menggetarkan langit menghasilkan petir. Hingga titik-titik hujan lalu jatuh ke bumi.

Kita juga dulu bermimpi tentang Dewi Sri. Yang memberi berkat pada kesuburan padi Pak Tani. Sama seperti orang Yunani sendiri yang mengenal Zeus dan Apollo. Dionysos dan Hera. Ataukah Pandora dengan kotak malapetaka-nya, yang ditugaskan turun ke bumi untuk balas dendam kepada Prometheus.

Muthos atau mitos punya tiga ciri.
Irasional. Dalam arti, mitos tidak berada dalam kontrol kesadaran manusia. Karenanya, ia sering dilawankan dengan kata logos (akal/rasio).
Intuitif. Ia tidak melalui rangkai uraian filosofis yang tersistem.
Ambiguous. Sesuatu yang tidak memiliki kejelasan benar-tidaknya.

Kupu-kupu, hitam dan bercorak kembang kuning di kedua sayapnya, yang terbang kesana-kemari di dalam rumah, apakah hari ini kita akan kedatangan tamu?

Tak ada uraian sistematis, logis, dan rasional yang mampu menjabarkan secara gamblang, apa dan bagaiamana hubungan antara ‘kupu-kupu’ dan ‘datangnya tamu’.

Lalu datanglah ke bumi, ilmu pengetahuan dan kecerdasan teknologi. Lamat-lamat mitos tergeser dalam kesadaran masyarakat. Keberadaannya mulai terkucilkan. Dengan mikroskop dan matematika, manusia kemudian mampu mejelaskan lebih akurat bahwa; hujan adalah penguapan air yang ada di permukan bumi (sungai, danau, lautan, dan samudera) akibat panas matahari. Lalu, uap naik terbawa angin membentuk gumpalan awan. Berkondensasi menjadi embun (air). Hingga muatan positif dan muatan negatif pada gumpalan awan saling bertemu mengalami pemampatan. Langit pun bergemuruh, cahaya silau menyambar. Dan petir menggelegar.

Sains seumpama penghapus Thor dan palu godamnya. Sri, Chac, Baal, Bathara Indra, Ul Wed Lahalata ataukah dewa-dewa lain yang sering dikaitkan dengan hujan dan petir.

Lantaran itu, bukan berarti bahwa hari ini kita telah terbebaskan dari muthos. Seperti kata Mazhab Frankfurt, Barthes, dan pemikir posmoderenisme lainnya; ilmu pengetahuan (logosentrisme) dan teknologi hanya menghasilkan ilusi-ilusi dan mitos-mitos baru.

Dalam masa, ketika dimana-mana semakin banyak orang hobi menunduk asik memedulikan gadget ketimbang realitas di depan hidungnya. Masa, ketika keluh-kesah bahkan curhatan lebay sekalipun, berhamburan dipertontonkan ke seluruh dunia lewat jejaring.
Tetap saja, tegas Barthes sekali lagi, “Orang moderen pun dikerumuni oleh banyak mitos, orang moderen juga produsen dan konsumen mitos.”

Orang-orang moderen yang dimaksud Barthes, adalah mereka yang mempercayai muthos dalam gaya hidup sehari-hari. Mereka yang berkeyakinan akan adanya kekuatan-kekuatan bersemayam pada benda-benda yang dimiliki (have).

Mereka, orang-orang moderen, yakin bahwa dalam pesta malam ini, setelan Giorgio Armani yang dikenakan, memiliki kekuatan ‘eksklusif’ dibanding setelan made in Pasar Tanah Abang yang dikenakan Pak Imran di sudut sana.
Mereka yakin, bahwa liburan ke Singapura, Paris, ataukah New York, lebih keren dan mengasyikkan ketimbang mengunjungi nenek di kampung halaman.

“OMG, Manhattan padat bangethiuuff.”
“Pusiing… pilih sale gila-gilaan di Orchad Road atau santai-santai di Pattaya…”
“Eh Menara Eiffel tinggi lho ternyata...^_^”
(Dueeeeerrrr....) begitu mungkin cuit-cuit mereka di jejaring ataukah oleh-oleh cerita ketika pulang nanti.

Ini zaman lifestyle bung...! pola penggunaan waktu, ruang, uang, barang atau apa pun itu, tidak lagi sesederhana dulu.

Kadang rambut perlu dipotong ataukah sekalian ditutup. Entah alasan karena kesehatan (cuaca panas/dingin). Ataupun karena ketentuan agama (kerudung/jilbab penutup aurat).
Manakala pilihan warna, bahan, tekstur, model, dan hiasan lain menjadi persoalan ribet dalam melakukan pertimbangan, saat itulah gaya hidup (lifestyle) sudah hadir dengan tegas.
Suatu pola penggunaan apa saja, yang nantinya bisa menciptakan pembedaan (difference) identitas seseorang dengan orang lain.

Modernisme, menganggap segala sesuatu yang digunakan manusia dalam gaya hidup sehari-hari memiliki dua aspek nilai. Selain nilai fungsi (use value), ada nilai sosio-kultural (socio-cultural value).
Si A mengendarai mobil Kijang ke kantor. Sementara Si B BMW.
Dalam konteks use value, Si A dan Si B tidak memiliki perbedaan berarti. Dua-duanya sama-sama memfungsikan mobil sebagai alat transportasi ke kantor.
Tapi cerita menjadi lain dalam konteks nilai sosio-kultural. Tingkah satpam-satpam di tempat-tempat umum sering memperlihatkan itu. Mereka tiba-tiba memperlakukan ekstra hati-hati penuh hormat terhadap BMW dibandingkan Kijang.
Seperti ada citra (imago) berbeda yang bersemayam di kedua mobil itu.

Benda tertentu, menandakan (signifikasi) citra tertentu bagi pemakainya.
Citra itulah yang diharapkan menjelaskan identitas diri (siapa) dalam interaksi sosial. Citra itu juga, yang diharapkan bisa menempatkan dirinya dalam struktur sosial ‘istimewa’. Sehingga oleh orang lain, ia pun akan diperlakukan secara ‘istimewa’.

Citra itulah muthos, yakni keyakinan akan adanya kekuatan (imago) yang bersemayam di balik benda-benda yang digunakan.

Setiap harinya, di kantor, di kampus, di mall, di pasar, di angkot, bahkan di jejaring, semua orang saling menghambur sekaligus saling memperebutkan citra-citra.
Citra hanya ada pada benda-benda.
Maka seumpama parade, kita beradu dalam perlombaan konsumerisme benda-benda yang dipercaya memiliki daya magis. Membeli benda tertentu, akan membawa diri ke level tertentu.

Dulu Rene Descartes pernah berkata “Aku berpikir, maka aku ada.”
Kini “Aku membeli, maka aku ada,” kata Bre Redana.

Bilamana konsumerisme telah menjadi dasar eksisitensi individu. Maka, siapa yang paling berkuasa (mampu) dalam mengkonsumsi, dialah Sang Raja pemilik hak-hak ‘istimewa’ dan perlakuan-perlakuan ‘tertentu’ dalam panggung sosial bernama masyarakat.

Benar kata Barthes; manusia moderen juga produsen dan konsumen mitos. Manusia moderen juga diselimuti sederet keyakinan yang irasional, intuitif, ambiguous, atau dalam kalimat yang lebih pas ‘terlalu mengada-ada’.

Bahwa: Profesi jenderal lebih baik daripada petani. Musik jazz lebih eksekutif daripada dangdut. Orang kaya lebih bahagia daripada orang miskin. Baju kemeja lebih sopan daripada kaos oblong. Rambut lurus lebih gaya daripada rambut ikal. Menjadi orang terkenal lebih trendi daripada orang tidak terkenal. Jeans merek ini lebih modis daripada merek itu. Makan di sini lebih populer daripada makan di situ. Tinggal di kompleks ini lebih nyaman daripada di kampung itu.

Bahkan, cara meludah seperti ini lebih keren daripada cara meludah seperti itu. “Cuiih!”


* * *


Kampung Pettarani, Makassar 7 oktober 2006.




catatan : Tulisan ini, dimodifikasi ulang dan diinspirasi dari skripsi yang berjudul Mitos Malam Minggu Remaja di Makassar (Studi Kasus Semiotika Gaya Hidup) oleh Wahyudi, mahasiswa Strata Satu Angkatan 99 Universitas Hasanuddin, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jurusan Ilmu Komunikasi, Program Studi Jurnalistik. Dalam uraiannya, terdapat deskripsi tentang bagaimana mitos bekerja berdasarkan pola Semiotika, Hegemoni, Konsumerisme, dan Hiper-realitas.

sumber gambar: http://browse.deviantart.com/photography/?q=butterfly&order=9&offset=24#/d2zdgrx


Selengkapnya...

19 sutradara versi eeduyhaw.blogspot.com yang musibah besar kalo nda nonton karyanya. (Last Part)




7. Gaspar Noe

Namanya boleh asing di telinga. Karyanya boleh tak satupun pernah tercatat meski sebatas nominasi di ajang Oscar. Tapi jangan tanyakan itu di perhelatan Cannes. Ia angker di sana.

Sama seperti nyentriknya Lars von Trier (director asal Denmark yang menghasilkan Manderlay dan Antichrist). Noe sengaja tak bernafsu untuk nyemplung di industri Hollywood untuk menghasilkan film-film Box Office sebagai syarat tak tertulis mengisi kategori-kategori Oscar.
Ia justru lebih sibuk mengeksplorasi sisi art film. Ia tipikal sutradara pendobrak struktur mapan dalam penciptaan film. Seumpama lukisan, karya Noe model aliran abstrak di awal kemunculannya yang mendombrak kecenderungan mainstream waktu itu. Tak mau ia terjebak dengan tatanan baku film.

Lebih parah lagi, tema pemikiran director asal Prancis ini suramnya naudzubillah. Ia selalu senang dengan sisi gelap manusia. Bibit-bibit itu bisa dilihat dari filmnya I Stand Alone. Film yang berkisah tentang sosok lelaki tukang jagal hewan yang bertemu dengan anak gadisnya setelah sekian lama. Mengambil paris sunyi nan muram sebagai setting lokasi cerita.


Ada satu scene di film ini yang cocok untuk menggambarkan bagaimana sebenarnya Noe itu; ketika si tukang jagal ini baru bertemu anak perempuannya. Bukannya malah digambarkan menjadi figur ‘ayah baik’ yang mencoba merajut kembali hubungan kedekatan dengan anaknya. Noe malah membeberkan dialog batin si Ayah, yang justru tergiur dengan tubuh anaknya yang beranjak dewasa. “Ketimbang direnggut pertama kali oleh pemuda-pemuda brengsek, masih lebih baik bila Ayah dulu yang melakukannya,” begitu kira-kira dialog dalam benak tokoh Ayah itu.

Tidak, justru pemikiran Noe belum tentu bisa dikatakan ‘sakit jiwa’ karena scene itu. Paris-lah yang tengah sakit jiwa menurutnya. Dan konon, ada penelitian yang menggambarkan bahwa 3 dari 10 figur Ayah di Prancis pernah menggagahi anak gadisnya sendiri.
Noe hanyalah sosok yang berani datang untuk jujur membeberkan keanehan tanah lahirnya itu.

Irreversible. Inilah film Gaspar Noe yang paling bikin tenggorokan tercekat. Standing applause untuk film ini. Kalau boleh sedikit hiperbolis, “Film ini sesungguhnya Tuhan langsung yang menciptakannya, hanya saja ia meminjam tubuh Noe sebagai medium biar tak merusak konstalasi kehidupan.” (Hahaha… ‘sedikit’ hiperbolis yang benar-benar parah).

Dari segala penjuru aspek teknis, film ini benar-benar brillian dan orisinil.
Alur mainstream dilabrak dengan memakai alur mundur. 20 menit pertama jidat mungkin mengkerut bingung, “Nih film maksudnya apa?” Tapi lewat beberapa menit, barulah kita sadar “Oh…alur mundur to! Openingnya di belakang, endingnya di depan to.” Walhasil, nontonnya direwind lagi dari awal.

Urusan sinematorgrafi, film ini lebih nyeleneh lagi. Noe cenderung mendekontruksi, apa itu komposisi beauty. Gerak kamera sebisa mungkin one-shot dan sengaja dibuat pusing berputar-putar menghantam atap, dinding atau apa saja hingga layar menjadi gelap dan tembus di tempat lain. Hasilnya, memang klop dengan mood serta tema cerita yang diangkat. Ditambah lagi, penggunaan backsound aneh. Lengkap sudah kurang ajarnya ini film.

Jalan ceritanya bagaimana? Percuma ia dijuluki Mr. Sakit Jiwa kalau ceritanya bersopan-santun ria. Seperti kegemarannya, tentang bengisnya makhluk (peradaban) bernama manusia. Settingnya kembali mengambil Paris. Garis besarnya, tentang seorang pemuda yang melabrak setiap sudut sebuah kawasan, untuk mencari siapa yang telah menyodomi pacarnya hingga sekarat.

Cuma, sedikit warning bagi yang berideologi ketat. Urusan gambar orang-orang telanjang hingga alat kelamin menjuntai kemana-mana, film-film Noe sangat dermawan. Meski rasa-rasanya konteks adegan-adegan itu bukan mengarah ke pornografi film biru, tetap perbedaaan budaya dan agama kita memang jadi kendalanya. So, kudu hati-hati wae-lah. Perbanyak pencet tombol forward tips-nya.

Cast tokoh utama film adalah Monica Bellucci dan suaminya sendiri Vincent Cassel. Nah, kalau masih ingat bagaimana totalitasnya Bellucci di salah satu scene film Malena (Giusseppe Tornatore), ketika aktingnya harus diseret dari dalam rumah keluar ke tepi jalan. Rambut dijambak. Baju disobak-sobek hingga compang-camping telanjang di depan umum. Digunduli pula. Diludahi. Lalu dituntut harus nangis sedih hingga air mata mengalir. Maka sodara-sodara, di filmnya Noe ini, adegan itu lewat.

Adegan manakah gerangan itu? Perhatikan baik-baik waktu adegan sodomi (aduh… jadi gak enak nyebutnya). Hitung, berapa menit durasi akting one-shot yang harus dilakukan Bellucci, sejak masih rapi keluar dari rumah, hingga ke tepi jalan raya, lalu memutuskan nyebrang lewat lorong bawah tanah, dan kemudian porak-poranda disodomi lelaki bengis penjahat kelamin. Plus harus telanjang compang-camping, mengerang tangis tak berdaya sambil mulutnya dibekap.

Bellucci, sekali lagi sukses membabptis dirinya, jika ia bukan aktris kacangan sekelas wajah imut-imut yang nongol dalam film-film Box Office Hollywood di bioskop Twenty One.


Film ketiga Noe (hanya segitu memang jumlah karya film panjangnya) adalah Enter The Void. Pada dasarnya, film ini adalah penyempurnaan teknik dan karakter khas Noe dalam Irreversible. Di sini, Ia seperti hanya ingin mengukuhkan, bahwa gaya bercerita dan teknik sinematografi seperti ini adalah temuannya. Miliknya.
Enter The Void ibarat finishing teknis yang belum sempat dilakukan di Irreversible. Tapi tema ceritanya cukup unik, sebab menuntut visualisai dunia pasca kematian. Selain itu, harapan kita belum terpuaskan untuk melihat hal-hal progresif dan lebih sakit lagi dari eksplorasi teknis seorang Noe.

Gaspar Noe, si pengeksplor jiwa-jiwa yang sakit, yang berani jujur mengingatkan bahwa dalam diri manusia ada potensi kengerian sifat iblis yang bersemayam. Dan ia sama-sekali tak butuh Oscar sebijipun untuk membuat namanya angker di jagat perfilman dunia.


6. Stanley Kubrick

Sayangnya dia adalah sutradara generasi awal abad 20 yang lahir di New York 1928 dan meninggal di Inggris 1999. Andai saja ia masih hidup, sungguh tak berani membayangkan sepeti apa bentuk imajinasi otaknya lewat karya film-filmnya.

Dimasanya, film-film Stanley Kubrick selalu kontroversi dan menjadi perdebatan. Konon, aktor dan aktris besar selalu bermimpi dipanggil Kubrick untuk medapat peran di film besutannya. Sebab, bermain disalah satu film Kubrick adalah tolak ukur pengukuhan diri sebagai bintang besar.

Kubrick memang kerap kontroversial. Kehebatannya ada di segala bidang maupun genre. Kalau bukan karena tema cerita yang diangkat, pasti imajinasi futuristiknya. Ataukah karena teknis pembuatan film-filmnya.

Clockwork Orange misalnya. Berkisah tentang perjalanan seorang pemuda bernama Alex (Malcolm Mc Dowell) bersama geng nyelenehnya dalam masa Inggris masa depan. Kelakuan sehari-hari mereka tak lebih dari kekerasan, perampokan, serta pemerkosaan yang sering disebutnya “ultraviolence”. Suatu waktu, Alex dihianati kawan-kawannya sendiri. Ia pun dijebloskan ke penjara dan harus melakukan theraphy untuk menghilangkan kecenderungan kriminalnya.

Film ini sangat unik. Gaya bercerita, kostum, penggunaan musik/ backsound aneh, manipulasi gambar, tata artistik, pengadeganan, eksplorasi mimik, serta semua-semuanyalah, benar-benar lain daripada yang lain. Ditambah jalan cerita yang nyentrik namun penuh kotroversial sebab sarat adegan kekerasan. Tapi Kubrick akhirnya menarik peredaran film ini, sebab ia dan keluarganya sempat mendapatkan ancaman mati.

Di masanya, Kubrick sangat kelihatan bila imajinasinya melampaui zamannya.

Lihat pula keanehan tematik Shut Wide Eyes yang merupakan film terakhirnya. Awal mula cerita tentang pertengkaran suami-istri (Tom Cruise dan Nicole Kidman) yang akhirnya membawa si suami menyusuri malam kota New York dan terkait dalam persekutuan sekte sex terselubung dimana para pejabat dan tokoh-tokoh penting juga ada didalamnya. Ritual pertemuannya serupa perkumpulan setan yang selalu hobi melakukan pesta seks massal sebagai ritual. Dan hasilnya, film ini tentu saja mengalami sensor kiri-kanan depan-belakang dan mungkin cibiran.

Tapi yang paling bikin orang tercengang adalah ketika ia memproduksi 2001: A Space Odyssey. Inilah film yang menempatkan dirinya sebagai bapak genre science-fiction jauh sebelum orang-orang mengenal Gerorge Lucas, Steven Spielberg atau James Cameron.
Bayangkan, ia memproduksi film itu di tahun 1968, masa ketika teknis pengolahan editing (post-production) belum secanggih sekarang

2001: A Space Odyssey, bercerita tentang perjalanan luar angkasa masa depan. Dimana Kubrick betul-betul berhasil dengan detil-detil penciptaan suasana di dalam pesawat luar angkasa. Astronaut-astronaut dibuat terbalik-balik. Benda-benda dibuat melayang. Desain interior pesawat yang tampak nyata melawan gaya gravitasi sana-sini. Lalu penggunaan propert-properti yang lazimnya model futuristik.
Puyeng
, ya puyeng dah itu bagaimana mikirnya.

Tahun 1968 sodara-sodara dibikinnya. Masyaallah deh imajinasi sutradara ini. Musibah besar kalau gak sempat nonton film yang memang tak salah bila akhirnya meraih kategori best special effects di ajang Oscar.

Stanley Kubrick adalah sutradara kontroversial yang pemikiran teknis film serta imajinasinya melampaui zaman dimana ia hidup.


5. Quentin Tarantino

Rock N Roll, sedikit brutal, tapi juga konyol. Tarantino, sutradara asal Amerika yang funky habis kemasan filmnya.

Bisa jadi, usia yang terbilang muda dibanding sutradara besar lainnya membawa pengaruh dalam karakternya. Energi filmnya powerfull. Dahsyat serasa hentakan musik rock. Gokil dah!

Sayang, di film terkhirnya Inglorious Bastard atraksi Tarantino tak sesuai harapan orang-orang. Meskipun masih masuk nominasi Cannes, namun secara keseluruhan, dibanding ketiga film sebelumnya, film ini jauh dari kemampuan asli directornya. Selain dialog berbobot panjang, kita tak melihat dengan gamblang teknik-teknik khas Tarantino seperti biasanya.

Tapi lupakan itu, sebab memang tak satupun sutradara di dunia ini yang sanggup membuat setiap filmnya masterpiece. Tak ada cerita itu.

Kasus Inglorious Bastard jadi kecil dan tak penting manakala kita telah menyimak Kill Bill Vol.1 dan Kill Bill Vol.2. Parah, kalau sampai belum sempat nonton juga. Soalnya, pecandu-pecandu film seluruh dunia saja sudah teriak-teriak tak sabar “We want Kill Bill Vol.3!”

Meski garis besar film ini, hanyalah laga berbumbu sedikit pengadeganan adu jurus silat indah ala tionghoa, dimana pusat cerita adalah perjalanan perempuan bernama Beatrix Kido (Uma Thurman) membabat satu-persatu musuh-musuhnya, namun cara Tarantino mengemasnya itu lho, benar-benar luar biasa.

Luar biasanya tak tanggung-tanggung: dalam segala hal. Perfecto. Alur dibuat maju-mundur, jadinya tak monoton. Sinematografi rapi. Dari urusan komposisi yang tak lazim; blocking pemain; pecah shot; coloring; apalagi teknik kameranya, wow jangan ditanya.

Kalau band tanah air Naif me-repro musik jadul, Tarantino pun punya ide sama untuk me-repro teknik kamera film silat cina tempoe doloe (misalnya “zoom in tiba-tiba close up” saat scene Beatrix Kido menimba ilmu pada suhu tionghoa-nya). Padahal, teknik shot ini mulai ditinggalkan kebanyakan DOP (Director of Fotography). Tapi ditangannya, itu dibuat kembali funky.

Teknik bercerita film ini juga cepat. Kaya akan montase antara suatu babak dengan babak setelahnya. Scene-scenenya sengaja dibuat padat. Sehingga jauh dari penyakit bertele-tele. Main langsung labrak. Tarantino seolah tak rela kalau mata penontonnya berkedip sekalipun.

Bahkan dalam urusan dialog, pun sutradara ini tak mau tampil-biasa-biasa. Dialog agak panjang namun cerdas adalah karakter Rock N Roll lain darinya. Di Kill Bill, gaya khas dialog tarantino sebenarnya sudah terasa. Cuma contoh paling cocok mungkin ada di Pulp Fiction. Film yang mengantarnya menyabet Palme d’Or (Golden Palm) di Cannes 1994.

Perhatikan dialog saat scene dimana John Travolta dan Samuel L. Jackson berkendara di atas mobil menuju suatu apartemen. Isi dialog mereka berdua hanyalah chat-chit- chut tentang orang Prancis yang memasukkan kentang gorengnya ke mayonaise- lah, tentang Amsterdam yang begitu longgar dimana kita bisa membeli segelas bir kedalam bioskop-lah, atau tentang apa yang seharusnya terjadi bila seseorang memijat kaki istri orang lain. Semuanya dibiarkan sama sekali tak berhubungan dengan tujuan gila bila keduanya telah masuk ke salah satu kamar di apartemen itu.

Dari dialog di adegan ini saja, kesan yang ditimbulkan jadi campur aduk. Pertama, bahwa awalnya kita tertipu tentang tujuan mereka berdua pergi. Bagaimana mungkin orang yang bermaksud membantai nyawa geng lain hanya ngobrol hal remeh-temeh di atas mobil. Kedua, yang tampak adalah dua eksekutor ini tentulah profesional tulen. Ketiga, dua orang ini konyol tentu saja. Keempat, bahwa tingkat kesadisan mereka jangan diragukan. Kelima, scene pembantaian ini jadinya sekaligus peragaan humor cerdas yang kocak.
Sungguh betapa cerdas efek dari strategi pengisian dialog Tarantino di scene ini.

Dan pastas dikatakan, bila Tarantino pulalah sutradara yang mampu mengangkat posisi dialog di dalam struktur kemasan film, tampil dominan melebihi backsound bahkan visual sekalipun.

Quentin Tarantino, caranya bikin film Rock N Roll abis. Kalau gak ngerti maksud kalimat ini? Coba, nonton sendiri. Kalee aje, dipenafsiran Anda dia justru lebih terlihat dangduters sejati.


4. James Cameron

“Sutradara gila yang bermaksud membuat Hollywood bangkrut.”

Konon, begitu cibiran yang ia terima dari mulut eksekutif produser distributor-distributor raksasa Hollywood, saat pertama kali menawarkan proposal filmnya berjudul Titanic. Bukan kepalang memang angka yang diajukan Cameron, US$200 juta. Itu setara dengan 7 film budget ecek-ecek.
Beruntung ada Paramount Pictures dan 20th Century Fox yang punya nyali mengakomodir ongkos produksinya. Meski dalam hati ketar-ketir membayangkan resikonya.

Tapi sekarang, coba saja jawab pertanyaan ini:
Sepanjang abad 20 kemarin, film apa yang memegang rekor sebagai film berpenghasilan terbesar?
Jawabannya: Titanic. Film ini mampu menghasilkan sebanyak US$1,843 miliar

Film apa, yang panjang antriannya dari depan loket hingga ke parkiran depan bioskop 21 Ratulangi Makassar, itupun buat jam pertunjukan setelahnya atau sebentar malam, sebab pertunjukan sekarang ludes diambil orang. Dan pemandangan itu berlangsung berminggu-minggu pula?
Jawabannya: Titanic.

Film apa yang memenangi 11 kategori Oscar dari 14 kategori yang dinominasikannya?
Jawabannya: Titanic.

Maka kalau ada pertanyaan: “Eh... be-te-we ceritanya Titanic itu seperti apa sih?” Dueeeerrrr... lidah beku, spechless, tau mo ngomong apa lagi.
Sekurang-kurangnya pernahlah mendengar kehebohan film inil. Kalau sampai gak juga; rasa-rasanya pantas dicurigai kalau pertanyaan ini datang dari sosok alien dari Planet Mars yang lagi nyamar untuk menjajah bumi.

Pertanyaan oke tuh misalnya kayak gini: “Berhubung Titanic berjaya di abad 20, apa ada di era millenium setelahnya, film yang mampu mematahkan rekor-rekor fantastisnya itu?
Nah, pertanyaan oke tuh harusnya model kayak gitu...

Iye dodol... pertanyaan oke sih pertanyaan oke... cuma jawabannya ada gak? Seru si alien dari Mars makin dongkol.
Jawabannya: ada. Judulnya Avatar.
Nah lho... berarti sutradaranya Avatar lebih hebat dari James Cameron dong. Wah... ketahuan... asal nih yang nulis blog ini!” ledek si alien makin sengit.
Gak... tuetep... lebih hebat Cameron!”
“kok bisa dodol... hal-ihwal asal-muasalnya kumaha?”
“Iya... karena sutradaranya Avatar, ya sutrdaranya Titanic juga. Wueeekkk...!”

Itulah gilanya James Cameron. 17 tahun setelah memproduksi Titanic, ia baru mau keluar kandang lagi. Di rentang waktu itu, tak sekalipun ia memproduksi film. Ia memilih bertapa.

Hasilnya? otak gilanya makin menjadi-jadi.
Angka proposal yang dibawanya malah melebihi Titanic, US$500 juta. Tapi tentu saja, tak ada lagi eksekutif distributor yang hatinya ketar-ketir apalagi mulutnya berani-berani lancang mencibir. Semua justru berebutan siap menalangi. Maklum, siapa yang tak tergiur dari pengalaman pundi-pundi keuntungan yang diraup dari Titanic. `
Dan benar saja, sekali lagi, Avatar James Cameron memecahkan rekor film berpenghasilan terbesar sepanjang sejarah (sejarah sampai hari ini tentu saja). Rekor yang dulu ditorehkannya sendiri.
(Ulasan lebih detil tentang Avatar pernah diposting di blog ini. Bagi yang mau tahu lebih jauh silahkan klik di sini).

Sebenarnya, terutama soal kedalaman isi cerita, James cameron jauh dari spesial. Kisah filmnya biasa saja. Di Titanic ia hanya menawarkan formula kesukaan kecenderungan penonton kebanyakan, romantisme kisah cinta dua sejoli. Di Terminator lebih biasa lagi, teror alien yang mengemban misi menguasai bumi.
Yang sedikit menarik barulah di Avatar, sisi kritis Cameron mulai terlihat di film ini.

Lantas, apa hebatnya film-filmnya dia?

Basic karir film Cameron berangkat dari seorang editor. Maka tak perlu heran bila genre science-fiction adalah pilihan kesukaannya. Sebab di sektor inilah ia bisa begitu leluasa beratraksi dengan jurus-jurusnya. Seperti yang semua sudah tahu, sci-fi sangat menonjol dalam eksplorasi sisi teknik penciptaan gambar (manipulasi gambar, teknis pengambilan, penggunaan perangkat canggih teknologi film, special effect, animasi, dan segala macamlah).

Makanya gambar-gambar yang dihasilkan sering bikin otak semaput... ini bikinnya gimana? Nah, Cameron itu adalah sutradara yang suka bikin sutradara lain di genre ini sadar, kalau jangan macam-macam dengan karyanya. Filmnya suka bikin film sci-fi lain malu-malu kucing, ketahuan tak ada apa-apanya.

Lihat bagaimana puyengnya sutradara lain, ketika di Terminator Cameron membuat si alien meleleh menjadi timah dan balik lagi menjadi manusia.
Lihat ketika di Titanic, bagaimana ia membuat kapal laut megah itu berjalan hidup, lalu terbelah dua, padahal behind the scene proses pembuatannya menunjukkan kalau selama shooting tak sekalipun kapal itu dijalankan.
Lihat ketika Avatar, bagaimana imajinasinya menciptakan sebuah planet yang dihuni oleh makhluk biru dan aneka flora dan fauna yang berpendar-pendar dan benar-benar terlihat real.

Konon, menurut analisa kritikus, setelah melihat Avatar, sutradara sci-fi lain yang gemar bikin robot-robot maupun makhluk-makhluk raksasa, ataukah gedung pencakar langit di sebuah kota metropolitan musnah ditelan banjir besar, jadi nangis tersedu-sedu dan sadar kalau garapannya hanya sebatas ujung kuku kelingking di hadapan film Cameron. (hihihi...konon tapi lho ini)

James Cameron, jawara di dunia sci-fi yang canggih, yang meramu filmnya dengan kisah yang sengaja dibuat ringan agar mudah dicerna, si pemilik ide-ide besar dengan konsekuensi budget besar, yang karena itu membawanya jauh melesat sebagai si pemilik rekor abadi Box Office fantastis sepanjang sejarah.


3. David Fincher

Biarlah orang bilang, kalau sutradara satu ini tak punya kekhasan dalam sisi teknis pengemasan film. Biar pula orang bilang, kalau prestasi filmnya di ajang festival tak spektakuler-spektakuler amat.

Fincher tak ribet dengan persoalan itu. Visinya soal film terletak pada satu hal penting: kedalaman cerita.
Maka sebuah film bagi Fincher adalah ketika sehabis menyaksikannya, orang akan duduk diam lalu merenung sejenak... Ah bagaimanan jika memang terjadi seperti itu? Dan pertanyaan itu, terus melekat mengusik kehidupan sehari-hari.

Ya, David Fincher meminjam medium film untuk mengungkapkan kecerdasan filosofisnya.

Lantaran itu, bukan berarti ia buruk soal sinematografi, teknik penyampaian cerita (alur atau plot), pengadeganan dan sebagainya. Ia hanya tak ingin bertumpu pada aspek teknis tersebut. Sebab baginya, kisah dalam film lebih menuntut perhatian lebih untuk menjaga agar sesuai target yang ingin dicapainya.

Bila tak percaya juga, baiklah simak Panic Room. Justru di sini kedalaman Fincher yang belum ditampakkan. Setting cerita film ini adalah tentang seorang ibu (Jodie Foster) dan anaknya yang berumur 11 tahun terjebak ketika suatu malam ia tersadar bahwa sekelompok perampok telah berkeliaran di dalam rumah barunya sendiri. Satu-satunya tempat aman bagi keduanya adalah satu ruang khusus yang oleh desainernya di beri nama Panic Room.

Sisi teknis apa yang menarik dari film ini? Perhatikan lokasi cerita selama film ini berlangsung. Shooting film 99% hanya dilakukan di rumah itu, dimana di dalamnya terdapat ruang untuk mengatasi situasi panik. Atau dalam kalimat yang lebih pas, Fincher sengaja memblock sebuah film agar kisahnya sama-sekali tak boleh keluar dari sebuah rumah.
Hanya melihat sebuah rumah, dan Fincher lalu mampu berimajinasi dan mengalirkan berpuluh-puluh menit suatu kisah hingga selesai.
Ini pertanda, bila ia memiliki kecerdasan dan kreatifitas teknis. Hanya saja ia tak mau bertumpu disitu.

Kedalaman Fincher barulah kelihatan ketika ia mendirect Fight Club. Hanya bagi yang tak akrab dengan tema-tema filsafat eksistensialisme, film ini mungkin jadi tak punya greget berarti. Tapi sebaliknya, bagi yang suka ribet meyelami dunia pemikiran, film ini mungkin pelepas dahaga. Ada banyak celah diskusi seru mengenai kisah film ini selepas menontonnya.
Hal inilah yang menjadi keunikan Fincher, filmnya bukan tipe yang habis nonton, kita merasa terhibur dan keluar bioskop. Lalu 10 menit setelahnya kita telah lupa dan sibuk dengan hal sehari-hari di depan mata.
Film Fincher selalu menawarkan perenungan setelah menontonnya, “Ah... bagaiamana jika sekiranya itu memang terjadi.”

Hal serupa terjadi di film The Curious Case Of Benjamin Button. Sama seperti Fight Club, lagi-lagi Brad Pitt didaulat menjadi tokoh utama di film ini. Kisahnya unik, tentang seorang lelaki yang mengalami fase terbalik dalam perjalanan hidupnya. Sejak bayi fisiknya mengalami penuaan dini. Namun, seiring tumbuhnya, berangsur-angsur fisiknya berbalik semakin muda, sementara kondisi otak dan mentalnya berjalan normal semakin dewasa.
Naskahnya di adaptasi dari cerita pendek dari F. Scott Fitzgerald, tetapi Fincher banyak mempermak isi ceritanya sendiri.

film ini berhasil masuk nominasi best picture dan best director di ajang Golden Globe. Hanya saja kalah saing dengan Slumdog Millionaire besutan Danny Boyle. Konyolnya, sabotase itu berlanjut hingga ke Oscar, oleh film yang sama pula. Padahal seumpama disuruh memilih, one-hundred percent blog ini bakal memenangkan The Curious Case Of Benjamin Button.

Film terakhir garapan Fincher adalah The Social Network. Film yang bercerita tentang apa dan bagaimana sisi belakang layar, fase munculnya situs jejaring fenomenal Facebook. Khususnya masalah kepemilikan saham Mark Zuckerberg dan kolega-koleganya.

Dari tema jejaring Facebook, orang-orang berharap banyak agar Fincher fokus mengeksplorasi wacana sosial-budaya diramu tinjauan filosofis dari Facebook itu sendiri. Hanya saja perkiraan itu meleset. Film ini justru mengimplisitkan hal tersebut dalam ambiguitas dan ironi dari sosok Mark, si pencipta Fecebook itu sendiri.

Tapi bagaimanapun, film ini masih menarik untuk disimak. Rasa Fincher-nya masih ada. Cukup pula kalau film ini akhirnya mampu menang sebagai best director dan best motion picture-drama di Golden Globe, serta sempat nominasi sebagai best picture dan best director di ajang Oscar 2010.

David Fincher, punya kekhasan dalam menjaga mutu dan bobot dari isi kisah filmnya. Sangat sulit untuk menjelaskan seperti apa gambaran kekhasan filosofisnya itu. Satu-satunya jalan untuk membuktikan, filmnya harus ditonton sendiri.


2. Akira Kurosawa

Setiap warga Amerika, setidaknya pasti tahu ketika ditanya tentang legenda penyanyi Frank Sinatra. Kita sendiri punya sosok Benyamin S.
Nah, kalau jepang punya legenda bernama Akira Kurosawa.

Tapi ia sineas bukan musisi.
Akira punya kecerdasan teknis film yang sungguh luar biasa. Jauh melebihi director lain di zamannya. Cara ia menciptakan pergerakan kamera, pecah shot, eksplorasi alur, pemanfaatan simbol-simbol kecil, serta penggunaan feel suasana atau masa melalui unsur angin, air, api dan lain-lain betul-betul visioner. Kisah filmnya pun selalu unik dan dibangun dengan kecerdasan tinggi.

Tak kurang Steven Spielberg, George Lucas, Francis Ford Coppola, Robert Altman, mengakui bahwa apa yang dilakukan teknis film sekarang sebenarnya hanyalah pengembangan dari apa yang dilakukan Akira Kurosawa sebelumnya.

Ia lahir di Tokyo 1910 dan wafat di kota yang sama di tahun 1998. Menonton film-film Akira, sama sekali tak ada bedanya dengan film-film yang ada sekarang. Kecuali tentu saja film-film sekarang berwarna-warni sementara hampir semua film Akira masih berformat hitam-putih.
Tak terbayangkan, bila sosok legenda ini hidup di zaman sekarang.

Cobalah tonton strategi pergerakan kamera kurosawa dalam Seven Samurai. Atau bagaimana ia mengutak-atik alur di Rashomon. ataukah kisah unik seorang ronin cerdas dalam Yojimbo. Semua dasar-dasar teknik pembuatan film masa kini ada di situ. Film-film yang dibikinnya ketika era film masih berformat hitam-putih.

Hebatnya lagi, Akira Kurosawa tidak hanya jenius dalam hal teknis. Ia juga punya kecerdasan kritis. Intelektualitasnya bisa ditengok di Dreams. Film dengan kemasan ceita yang tak biasa, dialirkan menggunakan metode chapter to chapter. Film ini merupakan kritik Akira terhadap bahaya yang mungkin timbul dari eksplorasi teknologi yang tanpa disertai kearifan pertimbangan sosial-budaya. Menonton film ini, tiba-tiba saja Akira seperti seorang filosof.

Memang hanya BAFTA yang pernah menganugrahinya sebagai best direction melalui film Kagemusha. Serta Lifetime Achievement untuk Oscar di tahun 1989. Tapi tengok apa kata-kata yang keluar dari mulut sutrdara besar dunia semacam Ingmar Bergman, Roman Polanski, Bernardo Bertolucci, Robert Altman, Francis Ford Coppola, Steven Spielberg, Martin Scorsese, serta George Lucas. Semuanya mengakui kalau apa yang mereka lakukan sangat dipengaruhi oleh metode-metode Akira Kurosawa.

Akira Kurosawa itu adalah bapak (pencetus) strategi pengemasan film moderen. Seumpama dalam musik, ia adalah seseorang yang telah menciptakan do-re-mi- fa-sol-la-si-do(i) tangga nada. Dan karena rumusannya itu, orang lantas bisa membuat alunan musik dengan indah.

* * *


Fiuuh... sampai juga di tahap penulisan sosok director pamungkas versi blog ini. Sekedar mengingatkan kembali, kedalaman cerita (unsur filosofis) dalam relasinya dengan kehidupan sehari-hari adalah faktor nomor satu dalam memilih sutradara mana yang paling pantas menempati posisi terhormat ini.
Ya... kedalaman cerita. Setelah itu barulah aspek teknis film, seperti strategi penyampaian cerita (alur, pecah shot, montase), strategi sinematografi, pengadeganan, kecanggihan teknik editing, coloring, dan seterusnya.

Bagi blog ini, bagaimanapun, sebuah karya seni dituntut tidak hanya sekedar mampu menghibur (entertain) semata. Ataukah hanya sampai pada tahap mampu menginformasikan atau mendidik ke penonton sesuatu yang belum diketehui sebelumnya (inform/ educate).

Pada titik puncaknya, sebuah karya seni sejatinya sanggup mempengaruhi ataukah mengubah isi kepala, sikap bahkan perilaku penontonnya terhadap suatu fenomena yang tersajikan di dalam film itu. Pada tahap itulah, sisi filosofis suatu kisah film dipertaruhkan sampai sejauh mana kedalamannya.

Dan berdasarkan aspek tersebut, maka blog ini mengucap salute to:


1. Majid Majidi

Sederhana dan bijaksana.
Dua kata itu mewakili bagaimana sutradara Iran ini menyampaikan filmnya ke penonton.
Seluruh aspek film; dari tematik cerita, sinematografi, teknik editing, disampaikannya hanya dengan kesederhanaan. Namun penuh bunga-bunga makna yang bijak. Sering mata kita dibuat berkaca-kaca karenannya.
Ia benar-benar sutradara yang sangat bersahaja.

Kita mungkin masih ingat Children of Heaven. Kisah tentang seorang kakak laki-laki yang terpaksa harus merelakan sepatunya untuk dipakai bergantian dengan adik perempuannya. Sebab adik yang sangat ia sayangi tengah kehilangan sepatu. Dan suatu waktu ia berjuang memenangkan perlombaan lari agar memenangkan hadiah yang menjadi targetnya: sepasang sepatu buat adiknya.
Sangat sederhana, disampaikan dengan gambar sederhana, namun sarat dengan makna bijaksana.

Lalu ada Baran. Seorang anak perempuan imigran Afghanistan yang terpaksa menyamar menjadi laki-laki buruh bangunan. Mengantikan ayahnya yang mengalami kecelakaan berat, demi melanjutkan nafkah keluarga. Itu dilakukan di tengah sistem negara islam Iran, dimana perempuan tentu saja tak seenaknya bisa menembus akses kesetaraan kesempatan (gender).

Sekali lagi, tema kisah yang sangat sederhana, disampaikan dengan gambar sederhana, namun sarat dengan makna bijaksana.

Belum cukup dengan itu, tontonlah The Song of Sparrows. Kisah menyentuh sosok seorang ayah bernama Karim (Reza Naji) yang dipecat karena dituduh lalai hingga seekor burung unta lepas dari peternakan. Ia akhirnya mencoba mengadu nasib di kota sebagai tukang ojek agar bisa terus mengongkosi pengobatan masalah pendengaran yang mendera putrinya. Karim seorang yang murah hati kepada siapa pun. Tak peduli apakah itu mendapatkan balasan atau tidak. Kadang keluarga kecilnya sampai urung-uringan dengan sifatnya mulianya itu.

Dan itulah dari seorang Majid majidi, tentang kisah yang sangat sederhana, disampaikan dengan gambar sederhana, namun sarat dengan makna bijaksana.

Dari cara ia mengemas film-filmnya, Majid Majidi memang adalah seorang yang sangat setia dengan filosofi itu. Semua gambar-gambarnya ditampilkan sederhana. Tema cerita sangat sehari-hari. Tetapi kuat pada simbolisasi humanisme. Terutama model pengadeganan yang begitu real dan terlihat manusiawi sekali.
Kemampuan director untuk mengeksplorasi akting aktor-aktornya, adalah tumpuan agar sampai pada puncak lakon yang benar-benar dramatik.

Tapi dramatik, bukan berarti penuh adegan hambur-hambur tangis atau urat-urat leher yang meninggi seperti sering diperlihatkan sinetron televisi kita. Dramatik yang dimaksud adalah ketika sebuah adegan dilakonkan senatural mungkin. Semakin ia natural, ibaratnya semakin tak sadarlah penonton bahwa kejadian yang sementara disaksikannya adalah potongan gambar-gambar film semata.
Disitu kekuatan Madid Majidi, sebab tak sadar, mata tiba-tiba berkaca-kaca menyaksikan kisah dalam potongan-potongan adegan di filmnya.

Lebih memukaunya lagi, jangan sekali-kali pernah berfikir bahwa Majid Majidi tipikal “si penjual kesedihan”. Ia bukan pengeksploitasi “derita” sebagai bahan jualan di filmnya. Terlalu murahan itu.
Kesemua film-filmnya yang pernah ditonton, tak satupun yang bernada pesisimisme. Sebaliknya, ia selalu berusaha menunjukkan secara implisit kekuatan dari sebuah optimisme sederhana. Tak sekalipun tokoh-tokoh utamanya dikarakterkan sebagai tukang keluh dan pasrah dengan keadaan. Majid Majidi sangat mencintai kekuatan sebuah usaha. Meski itu terjadi dalam dimensi dunia sehari-hari orang-orang "kecil". Yang sering terlihat sebagai keremeh-temehan bagi sebagian orang lain.

Selembar uang seribuan bagi kita, mungkin itu hanya seharga tissue penyeka keringat wajah agar tetap terlihat segar.
Tapi di dimensi kehidupan film-film Madjid Majidi, selembar uang seribuan menyimpan sepenggal drama akan kekuatan suatu usaha dari orang-orang sederhana, di dunia yang sederhana, untuk meraih dan mencintai hidup dengan sebenar-benarnya.

Bagi yang punya keasikan menyelami kedalaman hidup, menonton film-film Majid Majidi serasa bukan menonton film. Lebih pada menyaksikan kepingan realitas sehari-hari terhampar di depan mata.

Majid Majidi, filmnya hidup seumpama punya nyawa. Blog ini, angkat topi karenanya.



* * *

Kampung Pettarani, Makassar 3 Mei 2011

Selengkapnya...