Sebab Hidup Tak Seperti Sastra Picisan Apalagi Seperti Reality Show dan Sinetron-Sinetron Murahan di Layar TV

Sebuah senyum hadir di balik malam yang meringkuk kuyu mencari kehangatan.

Bibir hitam yang melebar perlahan. Kedua sudutnya menyerong sekian derajat ke atas. Diikuti gerak helai-helai kumis cepak yang tak rapi belum dicukur. Samar dalam gelap, barisan gigi atas yang kecoklatan karena uap tembakau itu akhirnya tampak.

* * *

Panggil saja dia Bang Ali. Bukan lantaran untuk menyamarkan identitasnya, tapi memang itu nama panggilannya. Ayahnya memberikan nama itu karena sangat mengagumi Khalifah ar-Rasyidin. Makanya, tiga nama anak laki-lakinya yang lain diembeli dengan Umar, Abu Bakar dan Usman.

Sayang, harapan si bapak jauh panggang dari api. Sifat-sifat tauladan Ali bin Abi Thalib sama sekali tak menular ke diri anak ketiganya ini. Hari-hari Bang Ali gak kenal istilah shalat. Jangankan Ju’matan, sampai umur kisaran 38-an saja, rekor partisipasinya di Idul Fitri tak lebih dari jumlah jari tangan kiri.


Perawakannya lumayan seram. Kalau ngomong suranya serak dengan pilihan oktaf di nada-nada tinggi. Kulitnya hitam. Sekujur tangannya penuh dengan tato. Model rambutnya cuma satu: botak. Soalnya, kalau rambutnya mulai nongol sekitar 2 cm, yang tampak kebanyakan berwarna putih.

Bang Ali tak suka mandi. Sukanya, ngumpul dengan anak-anak muda tetangganya. Kalau anak-anak muda itu ditanya; Berapa kali Bang Ali mandi dan gosok gigi dalam seminggu?

“Tidak pernah…!!!” jawab anak-anak muda kompak.

Namun justu disitulah letak rahasia sukses Bang Ali mengelola bisnisnya, kata anak-anak muda itu berseloroh. Tiap hari Bang Ali berprofesi sebagai mandor parkir dengan 3 orang anak buah. Jatah wilayah garapannya, yakni sekitar 6 ruko di bilangan jalan protokol kawasan elite kota Makassar.

Meski hanya sebagai tukang parkir, tapi siapa bilang penghasilannya pas-pasan. Bang Ali pernah buka kartu, pendapatannya tiap hari sekitar 150-200 ribu. Itu sudah bersih. Bersih dari setoran ke Pemda, ongkos gaji plus jatah makan anak buahnya. Dikalikan 30 hari, gaji Bang Ali mungkin masih lebih tinggi ketimbang teller Bank.

Jam kantornya dari 10 pagi hingga 10 malam. Kalau pulang dia tak langsung ke rumah. Tapi mampir dulu ke tongkrongan anak-anak muda di pertigaan gang dekat tempat tinggalnya. Menenggak anggur hitam hingga larut malam, tiap malam. Tapi tak sampai mabok. Soalnya, minum berapa banyak pun, tak pernah sekalipun mereka terlibat ribut apalagi sampai malak orang lewat atau nimpuk rumah sekitar segala.

Yang ada tiap malam malah suara ngakak-ngakak. Lalu kalau duit habis dan botol tak ada lagi yang berisi, ya semuanya pada langsung bubar pulang ke rumah masing-masing. Mungkin saking khatamnya mereka dengan cairan beralkohol, sampai-sampai nganggap-nya kayak air putih.

Oh iya, Bang Ali tinggal di kamar kontrakan dengan istri dan 4 orang anaknya yang masih kecil-kecil. Anak paling besar baru kelas enam SD. Yang paling kecil baru bisa ngomong aa…ii…uu…tapi sudah bisa jalan sendiri. Luas kamarnya cuma 4×4 meter. Isinya 1 ranjang pendek ukuran sedang dan 1 lemari pakaian.

Dulu, kamar ini juga sering dijadikan tempat minum-minum anak-anak muda. Kadang-kadang sambil main kartu. Maklum, istri Bang Ali selain doyan ngerokok juga hobi main judi. Doi juga suka gaul dengan anak-anak muda dan penganut paham “freestyle asal gak reseh”. Singkatnya, tipikal ibu-ibu funky-lah.

Walhasil, di ruangan sekecil itu suka macet. Disesaki lingkaran anak-anak muda yang main judi. Botol-botol dan kartu bertebaran di lantai. Yang gak main, ngobrol di tempat tidur sekalian gangguin Ling-ling, anak Bang Ali paling bontot yang sedang tidur. Sementara 3 sodara Ling-ling yang lain, kalau belum tidur di kasur yang digelar di lantai samping tempat tidur, juga sering ikutan menonton.

Belum lagi asap rokok yang mengepul di langit-langit kamar. Padahal jarum pendek jam di dinding tripleks itu sudah nunjuk angka 2. Anehnya, ‘the show still go on till adzan subuh berkumandang’. Malah, kalau nanggung, ya sampai matahari celingak-celinguk di ufuk timur.

Tapi belakangan tidak lagi. Soalnya Ibu kontrakan uring-uringan. Gara-garanya, suka ada anak cewek yang ikut-ikutan nimbrung. Pikirnya, mungkin anak-anak muda melakukan pesta seks massal seperti di situs-situs porno. Padahal anak cewek itu cuma datang untuk ikut merokok dan minum-minum. Soalnya, kalau di jalan dia takut ketahuan orang rumahnya. Selebihnya tak ada yang macam-macam.

Istri Bang Ali, biarpun sekarang gak hobi-hobi amat minum-minum, tapi dia masih suka ikut-ikutan nongkrong di pertigaan gang. Hanya sesekali kalau lagi pengen, dia angkat gelas juga beberapa kali. Mungkin dia lagi kangen, soalnya sebelum kawin dengan Bang Ali dia tergolong ‘ratu minum’. Ling-ling juga suka diajak nongkrong.

Pernah, istri Bang Ali minggat dari kontrakan dan pulang ke rumah orang tuanya. Pasalnya Bang Ali ketahuan selingkuh. Tapi beberapa bulan lalu sudah baikan lagi. Dan sekarang perut istri Bang Ali gendut lagi. Alamat Ling-ling, yang sedari tadi berlari-lari kecil senyam-senyum sendirian, bakal dapat adik baru lagi bila nanti melahirkannya direstui Yang Maha Esa.

Istri Bang Ali pikirannya simple. Biarpun di bungkus rokok ada tulisan “MEROKOK DAPAT MENYEBABKAN KANKER, SERANGAN JANTUNG, IMPOTENSI, DAN GANGGUAN KEHAMILAN DAN JANIN” sementara perutnya sedang bucit begitu, toh asap rokok tetap menegepul dari bibirnya.

“Itu Ling-ling dan tiga sodara-sodaranya sudah besar begitu gak ada tuh gangguan-gangguannya sama sekali,” begitu jawabnya enteng membeberkan fakta. Dalam hati ia juga sih, padahal ibu funky ini merokoknya sejak masih gadis.

Lain lagi, waktu anak-anak muda ngobrol soal mahalnya ongkos masuk sekolah. Dia cuma bilang, kalau seumpama nantinya uang gak cukup, ya terpaksa di antara anak-anaknya harus ada yang dirumahkan alias menganggur. Dan otak yang paling jeblok-lah yang bakal kena batunya menunggu sampai uang cukup lagi. Kalau di suruh ngutang ke tetangga ia ogah.

“Saya gak punya bakat dan bekal muka tebal untuk ngutang,” akunya.

Sayup-sayup suara motor Bang Ali terdengar mendekat. Dia baru saja pulang ngantor. Setelah duduk, ia lalu mengeluarkan selembar uang 50-ribuan buat tambahan pasokan botol minuman malam ini. Ling-ling dengan sigap mendekat ke pangkuan Ayahnya. Setelah dua shot sloki anggur hitam mengalir di tenggorokan, dia kemudian menyuruh salah satu dari anak-anak muda mengambil kantongan plastik hitam yang digantung di motor kreditannya.

Bang Ali memang sering membawa pulang oleh-oleh jatah dari deretan ruko parkirannya. Biasanya seporsi besar mie goreng rumah makan chinesse. Atau apel dan jeruk import yang cacat sedikit karenanya sudah tak memenuhi standar jual. Atau kalau tidak, pasti batagor. Dan benar, kali ini batagor lengkap dengan sambal-sambalnya.

Diam-diam malam makin lembut menyentuh tulang. Tak ada lagi orang yang lalu-lalang. Hanya ada satu-dua kendaraan yang melintas malas di ujung gang. Gembok pagar rumah-rumah sekitar sudah melekat sebagaimana mestinya.

Yang tersisa hanya gelak tawa sekumpulan anak-anak muda, Bang Ali, istrinya, serta Ling-ling yang baru saja tertidur dipangkuan ibunya. Gelak tawa itu membuyarkan sepi, ketika salah-satu dari anak-anak muda itu, bercerita tentang lelucon; bagaimana seorang lelaki kelimpungan mengutak-atik saluran peranakan seorang pelacur jalanan karena cincin pernikahannya seberat 5 gram tertinggal di dalamnya, lalu lelaki itu ditegur oleh seorang tukang becak yang kebetulan lewat, bahwa usahanya sia-sia semata sebab dulu dia sendiri gagal menemukan becaknya yang lama.

Dan bibir hitam itu pun mulai melebar perlahan. Kedua sudutnya menyerong ke atas sekian derajat. Diikuti gerak helai-helai kumis cepak yang tak rapi belum dicukur. Samar dalam gelap, barisan gigi atas yang kecoklatan karena asap tembakau itu kemudian tampak. Kali ini, disertai tepukan tangan bersisik penuh tato ke kepala botak yang ditumbuhi sebagian besar rambut yang memutih.

Itu senyum milik Bang Ali.

Sebab hidup di kepala Bang Ali, sesungguhnya tak seperti di novel-novel sastra picisan yang selalu berakhir; kalau bukan tragis pasti happy ending.Apalagi seperti intrik meliuk-liuk serba rumit dalam reality show dan sinetron-sinetron murahan yang selalu mubazir menghambur air mata pura-pura di layar TV.

* * *

Catatan: tulisan ini dibuat sekedar theraphy diri sendiri untuk mengatasi rasa mual di kerongkongan yang nyaris membuat perut muntah akibat dari model-model sastra yang terlampau gak realistis apalagi reality show dan sinetron-sinetron yang penuh dengan kebohongan-kebohongan paling tolol yang pernah terpikirkan oleh otak manusia.

Sumber Gambar: no tv by gnato
http://browse.deviantart.com/photography/?qh=&section=&q=tv#/di8d7a

Kampung Pettrarani, Makassar 9 Juli 2010.

Selengkapnya...