Dear Diary



Jalan fikiranmu selalu tak akur dengan jalan fikiranku.
Padahal, sejak kecil, aku tinggal serumah denganmu.
Kita memang tak sepadan. Usiamu terlalu jauh melebihi aku.
Terlalu tua logikamu bagi isi kepalaku.

Soal membetulkan pagar depan rumah saja, kita berseberangan.
Metodemu usang dengan apa yang kumau. Hanya kamu satu-satunya yang bisa mengerti cara berfikirmu.
Lebih baik aku meningalkanmu sendiri. Sebab watakmu keras kepala.
Dan terus-terang, sikapmu itu bikin hatiku jengkel.

Lalu, apa gunanya aku sedari tadi mencoba berdiri di sampingmu?

Belakangan, kamu juga rewel.
Aku tahu ini tengah malam. Makanya volume TV selalu kukecilkan hingga tersisa satu digit.
Tapi masyaallah, masih saja setiap malam pintu kamarmu itu tiba-tiba terbuka sedikit, atau kamu melintas pura-pura ke toilet, lalu nyeletuk kalau suara TV itu terlalu berisik mengganggu tidurmu.

Hey… yang benar saja, ini sudah digit terakhir, seumpama kukecilkan lagi, apa iya saya harus nonton potongan gambar tanpa ada suara?

Bukan TV itu yang bikin kamu tak bisa tidur. Tapi tidurmu itu terlampau kebanyakan. Overstock!

Pikir sejenak. Tidur siangmu dimulai jam 10 pagi. Habis makan siang, kamu shalat dhuhur, lalu tidur lagi sampai sore.

Giliran lepas isya dari mesjid, saat jarum pendek jam dinding baru nunjuk angka 9, kamu sudah ada di ranjang kamarmu.

Tidur sih tidur… tapi ngantuk tak bisa dipaksa-paksa…

Pernah aku menyarankan, bagusnya kamu sering berolahraga lagi.
Seperti dulu dengan raketmu.
Atau apalah… jalan-jalan pagi misalnya. Paling tidak perbanyak aktifitas.

Apalagi usiamu makin tambah. Kesehatanmu makin drop.
Biar hidupmu tak monoton.
Biar bila malam, tidurmu makin lelap dan bekerja sempurna merecovery tubuhmu.

Setelah kupikir-pikir, itu lebih baik kutitipkan saja pada ibu.
Aku sudah tak tahan adu argumen denganmu.
Jalan fikiranmu selalu tak akur dengan jalan fikiranku.
Sebab watakmu keras kepala.
Tak mempan bantahan.

Tapi, aku hapal betul setiap inci gerak-gerikmu.
Dari malam hingga pagi. Pagi hingga malam.
Sebab sejak kecil, aku tinggal serumah denganmu.

Seperti malam ini.
Tak biasanya suara batuk dari kamarmu tak terdengar meski cuma sekali.
Tak biasanya pintu kamarmu itu tiba-tiba tak terbuka barang sedikitpun.
Tak biasanya kamu tak melintas pura-pura ke toilet, dan nyeletuk kalau suara TV itu terlalu berisik mengganggu tidurmu.
Biasanya, aku bahkan bisa mendengar desah nafasmu hanya dari depan TV ini saat kau terlelap.

Hmm... pasti ini karena hujan yang mengguyur daun-daun mangga di halaman rumah.

Subuh berkumandang.
Sejenak kuletakkan remote control.
Dalam sujudku yang tak lagi khusyuk aku berfikir lain, kamu sudah bangun apa belum?
Apa iya, tadi aku luput hingga tak sempat memperhatikanmu.

Biasanya kamu yang paling cepat terjaga. Lalu bergegas mengejar adzan menuju mesjid.

Kupastikan itu di pintu depan rumah.
Kuperiksa sandal yang biasa kau gunakan. Masih tergeletak di tempatnya.

Aku menuju kamarmu. Gagang pintu kuputar. Terkunci.
Kuketuk sambil memanggil-manggilmu pelan beberapa kali. Tak ada jawaban.

Aku keluar rumah. Mencoba menangkap sosokmu dari balik jendela kaca dan sela gorden.
Gelap.

Kuputuskan ke dapur. Kubuka peti perkakas lalu kembali ke tempat semula. Jendela kaca itu berhasil kubuka dengan obeng. Aku memanjat sambil menyibak helai gorden. Kamu masih meringkuk dalam sarung di atas ranjangmu.

Kuhampiri dirimu, lalu kupegang kakimu.
Terlalu dingin dan kaku.

Suara Ibu memanggil-manggilmu dari balik pintu kamar.
Aku nyalakan saklar lampu, kemudian kubuka pintu kamar yang masih terkunci,

“Bapak meninggal…” kataku coba tegar.
Ibu menghambur ke dalam. Memeluk dalam, dengan tangis.

Aku keluar mengambil handphone, mengabarkan berita ini ke tiga anak ibu, yang tentu saja anak-anakmu juga, tiga saudaraku yang tinggal terpencar.

Satu-satu tetangga berdatangan.
Mereka mendengarnya setelah peristiwa ini diumumkan lewat corong mesjid itu.

Aku sibuk mengangkat kursi, meminjam karpet, mendirikan tenda buat orang-orang yang akan datang melayat. Itu hingga siang hari.

Saat ashar, setelah memandikanmu, kami lalu membawamu ke mesjid. Dishalatkan, lalu dihantarkan ke pemakaman di luar kota.

Aku kini di dasar lubang yang sedikit becek digenangi hujan siang tadi.
Di atas, orang-orang yang menghantar memberi kami petunjuk tata cara kamu dibaringkan.
Kamu pun dibenamkan dengan gundukan tanah merah bekas gali liang itu.

Sekembali di rumah.
Aku masuk ke kamar mandi. Ingin membersihkan badan.

Tiba-tiba, lidahku kelu, bibirku bergetar, dan mataku berkaca-kaca.

Aku geram.
Aku geram sebab jalan fikiranku selalu tak akur dengan jalan fikiranmu.
Sebab usiamu terlalu jauh melebihi aku.
Sebab watakmu dan watakku memang keras kepala.
Sebab semua isi kepalaku selalu tak berhasil kusepahamkan denganmu.
Meski itu barang sediktpun.

Padahal begitu banyak resah yang sesungguhnya sangat ingin kubagi denganmu.
Tentang dunia dan segala isinya.

Seperti jua malam ini.
Tiba-tiba, lidahku kelu, bibirku bergetar, dan mataku berkaca-kaca.
I miss u

* * *


Dedicated to my father:



Bapak meninggal karena gagal jantung. Di suatu jum’at dini hari (tengah malam). Pulang dalam tidurnya yang sendiri. Di kamarnya yang sengaja ia kunci.

Sebab entah mengapa belakangan ia lebih suka tidur tanpa ditemani ibu.

Seumpama ditanya, kesan apa yang paling melekat pada dirinya? Saya akan menjawab ‘kejujuran’. Tanpa ada ragu sedikitpun.

Kampung Pettarani, Makassar 8 Oktober 2010.



sumber gambar: http://sosbud.kompasiana.com/2010/09/20/masihkah-kau-sapa-buku-diarymu/
Selengkapnya...

Catatan Kaki 3 Adegan Bullshit yang Kalau Diterjemahkan Jadinya: Tai Sapi


BAGIAN 2 : "teman saya uring-uringan" (hehehe... syukur, akhirnya ada juga bagian duanya)


Teman saya uring-uringan.
Gile aje…kampungannya itu orang!” Gerutu teman saya dengan logat gado-gado.
Gara-garanya 2 jam 53 menit yang lalu, depan toko rental DVD, dia tak sengaja ketemu bekas teman SMP-nya. Rekonstruksi kejadian versi teman saya kira-kira begini:

“Heeeii…!”
“Haaiii…!” balas teman saya sambil memperhatikan sosok bersih, putih, berpakaian necis, sepatu mengkilap, menampakkan seorang karyawan perusahaan besar di depannya ini. Tadinya teman saya tak mengenali. Syukurlah memory otaknya masih disisakan beberapa gygabyte untuk keperluan mengingat masa lalu.

Keduanya lalu salaman, saling cengengesan, adu senyum basa-basi.
“Dimanako sekarang?”
Mendengar pertanyaan itu, cengengesan teman saya tiba-tiba menciut. Dia tertegun beberapa detik, minta contekan ke memory lagi, buat cari jawaban.
Bukan sekali sebenarnya, dia kena todong pertanyaan konotatif penuh bias seperti ini. Dulu, ia jawab tukang lisktrik. Memang itulah keahlian sehari-harinya. Tahu-tahu, pertanyaan susulannya jadi banyak; Bagaimana itu maksudnya? Punya CV ya? Oh, Proyeknya untuk pengadaan listrik gedung-gedung dan perumahan-perumahan ya?
Terpaksalah dengan saksama, teman saya menjelaskan kalau jasanya sekedar melayani orderan dari rumah ke rumah. Hasilnya, ekspresi wajah lawan bicaranya jadi kuyu turun gairah seperti kurang darah.


Karena itu setelah menimbang, mengingat, memperhatikan serta memutuskan, maka ditetapkan untuk memberi jawaban normatif-diplomatif seperti yang sudah dilakukan sebelum-sebelumnya. Ini demi memenuhi azas ‘hasrat tak mau repot’.

“Biasalah bisnis kecil-kecilan, bukan orang kantoran jadi banyakan dirumahlah.”

Mantap. Walau sedikit kikuk, teman saya yakin jawaban ini biasanya cukup efektif meredam potensi dampak sistemik timbulnya ‘anak-anak pertanyaan’ ngaco yang melebar gak jelas ke mana-mana.

Tapi sekonyong-konyong, air muka teman SMP-nya jadi lain. Sepertinya, jurus “Biasalah bisnis kecil-kecilan…” bekerja tak sesuai naskah.

“Ya… begitulah… hidup memang bukanmi lagi main-main…”
Alis mata teman saya mulai bengkok mendengar kalimat ini. Perasaannya mulai gak enak. Apalagi tangan teman SMP-nya, kini sudah tak lagi menjabat tangannya. Justru sekarang merangkak ke atas menepuk-nepuk bahunya.

“…sampai kapan memang kita mau santai terus. Duluji mungkin kita bebas nakal-nakal. Sekarang masa depan harusmi dipikirkan. Bukan meki lagi anak muda. Kalau ingat umur, harus meki memang cepat-cepat kawin. Bukannya apa, nanti kalau terlambat, kita sudah jadi akik-akik pensiunan, eh anakta malah masih kuliah, belumpi bisa bantu kita orang-tuanya.
Eh.. ngomong-ngomong sudah meko menikah ini?” sergah teman SMP-nya.

Teman saya hanya bisa kaku. Bibirnya mencoba memunculkan senyum tipis, tapi terasa kecut karena memang dipaksakan. Lalu, baru saja ia mau menjawab “belum menik…,” teman SMP-nya keburu ngacir duluan dipanggil seorang perempuan dari dalam toko.

“Oke ya bos… saya ke dalam dulu. Mau carikan mamaknya anak-anak, filmnya The Last Airbender.”

Dan bersamaan dengan kalimat terakhir itu, tepukan di bahu teman SMP-nya itu akhirnya berhenti juga. Kata teman saya, kalau ditotal-total, tepukannya sekitar 6 kali. Bahkan mungkin lebih.

Karena kejadian inilah, 2 jam 53 menit berikutnya; teman saya uring-uringan.

Begini uring-uringannya teman saya versi lengkapnya:

Gile aje…kampungannya itu orang! Ketemu teman, pertanyaan pertama langsung tendensius; “Dimanako sekarang?”
Orang tuh ya, tanya kabar dulu. “Apa Kabar?” Kalau yang bersangkutan jawab “baik,” itu artinya hidupnya ya baik-baik saja. Bukannya tanya “Di mana…?”
Seolah-olah, kualitas hidup seseorang itu bergantung apa dan di mana orang kerja. Apa coba maksud air mukanya berubah, pas saya bilang, “Saya bisnis kecil-kecilan.” Tendensius kan yang dipiara di otaknya?

Kunyuk… dia pikir kalau pakaiannya necis, sepatunya mengkilap, kerja di perusahaan besar, gajinya jutaan, lantas dia punya hak bisa seenaknya tepuk-tepuk bahu orang yang kerjanya jadi tukang listrik. Apa ada yang salah kalau bisnisnya orang itu kecil-kecilan?
Itu lagi… telinga saya dia beraki dengan model ceramah Jum’atan berjudul “Hidup itu bukan lagi main-main maka manfaatkanlah masa muda.” Padahal hari ini hari Rabu loh. Sinting… salah mimbar kali tuh setan kesiangan!
Heran saya... tau apa dia dengan masa muda saya? Wong… dia tinggalnya di mana, saya di mana. Seumur-umur setelah SMP dulu, baru dua kali saya jumpa batang hidungnya. Lagian, masa muda saya biasa-biasa aja kok. Ndak terlalu baik, tapi ndak juga terlalu buruk. Ndak pernah tuh jadi maling, apalagi punya niatan ikut-ikutan kelompok Al-Qaedah.
Lha… bisa-bisanya dia bilang, “Ya itulah… sampai kapan kita santai-santai terus… nakal-nakal terus… soal masa depan-lah…soal cepat menikah-lah… akik-akik yang anaknya masih muda karena kelamaan punya anak-lah…!”
Loe kali tuh yang mudanya gak becus… yang punya cita-cita bikin anak cepat-cepat, biar bisa dijadiin sapi perah bapak. Biar kalau sudah akik-akik, hidupnya bergantung di tetek anak-anaknya.

Yang paling kurang ajar… dia seolah-olah menyulap depan toko rental DVD itu jadi ‘pengadilan mini’. Siang-siang bolong begini, tak ada angin apalagi hujan, hidup saya dijadikan tersangka. Padahal nama saya pun dia tak ingat. Tahu tidak dia panggil saya apa?
“Oke ya bos… saya ke dalam dulu…”
Bos dari Hongkong pala loe peyang…!
Mana selera filmnya bikin perut serasa mau boker lagi. Udeh tuir begitu ngebet nonton The Last Airbender.”

Nah, selesai sudah uring-uringan teman saya.

Sebenarnya, waktu dia ucapkan sendiri, speednya tak kalah gila-gilaannya dengan Valentino Rossi kalo lagi balapan GP. Meliuk-liuk mirip lagu dangdut. Meledak-meleduk kayak tabung gas 3 kg. Cuma, biar dibacanya gak bikin mata nyasar ke sana ke mari, maka kutipan di atas dibubuhi titik koma dan tanda baca lainnya.

__________________________
Catatan Kaki Bau Tai Sapi:
Suatu waktu, Teman saya yang uring-uringan itu pernah bilang; Di masyarakat itu ada semacam lomba adu ‘panjat posisi sosial’. Modelnya persis kayak ‘panjat pinang’ pas tujuh-belasan. Yang dikejar ya ‘posisi sosial’ itu .
Aturannya cuma satu; tak ada aturan. Takting ‘kepiting’ yang saling mencapit juga sah dilakukan. Saling sikut boleh. Tebas kayu kaki lawan legal. Pura-pura jatuh di kotak penalti juga halal.

Kalau posisi sosial telah diraih, orang akan mendapatkan tempat dan perlakuan istimewa di dalam masyarakat. Dihormati, dikagumi, dan dimanggut-mangguti.

Posisi sosial itu dianggap identitas. Sampai-sampai mengukur seseorang tak lagi melalui integritas.

Saya adalah hakim agung. Saya adalah pengusaha properti. Saya adalah wartawan. Saya adalah bintang film. Saya adalah mahasiswa. Saya adalah presiden. Saya adalah polisi. Saya adalah foto model. Saya adalah aktifis LSM. Saya adalah jenderal. Saya adalah ulama. Saya adalah pilot. Saya adalah dosen. Saya adalah dokter. Saya adalah rockstar. Saya adalah penemu nuklir. Saya adalah putri kecantikan. Saya adalah orang kaya.
Begitu cara orang memperkenalkan identitas.

Besok-besok, kalau ketemu orang lalu bilang, “Saya adalah petani,” atau “Saya adalah cleaning service,” atau “Saya adalah tukang sate,” siap-siaplah bikin sorot wajah orang lain meredup, alis mengkerut, bibir menciut, pendengaran kabur dan mata berkunang-kunang.

Eh... seumpama anda berfikir, yang dimaksud teman saya dengan ‘masyarakat’ itu adalah masyarakat sekitar kita, mungkin anda ada benarnya.

To be continued … (tapi seperti biasa, tergantung kondisi lagi... hiks! : P )

* * *


sumbergambar: lupa...hihihihi...yg jelas kayakx di deviantart deh mungutx...

Kampung Pettarani, Makassar 22 Sepetember 2010.
Selengkapnya...

Legenda Hidup dari Kampung Tempat Tinggalku

fe
Sering ia ikut ke gedung olahraga, bilamana menengok rumahnya di kampung kami. Pemukiman kelas ‘menengah cenderung biasa-biasa saja’ di kota ini. Tempat dulu ia juga tumbuh besar.

Tapi tidak untuk mengayunkan raket. Bukan untuk bermain bulutangkis. Ia hanya duduk di salah satu sudut bangku, tersenyum geli bila ada kejadian lucu di tengah lapangan. Sesekali ia mengusap jenggot lebatnya, ataukah membetulkan kuncir rambut gondrongnya yang kuning keemasan oleh pewarna rambut.

Bukan berarti pula ia tak pandai bulutangkis. Ia mahir. Malah dulu, di masa usianya dua-puluhan, tiap perayaan tujuh-belasan kerap ia tampil sebagai juara. Si pemilik jumping smash keras, begitu ia kesohor di kampung kami. Tentulah jika malam ini ia bermain, paling tidak jejak-jejak kelihaiannya masih membekas.

Yang tak kalah hebatnya, saat itu ia sebenarnya adalah atlit voli pantai profesional. Sebagaimana atlit, masa mudanya mengalir dari satu kejuaraan ke kejuaraan lainnya. Kadang ia berada di Lombok, Ambon, Manado, ataukah Bali. Dari satu tepi pantai ke tepi pantai lainnya. Bertanding di ajang PON ataukah Kejurnas. Beberapa trophy masih terpajang di rumah orangtuanya, di kampung kami yang biasa-biasa saja.


Lama-lama usianya kian bertambah. Kondisi kebugarannya tak segesit dulu lagi. Karir atlitnya beralih menjadi karyawan di salah satu kantor cabang perusahaan penjualan mobil yang letaknya ratusan kilo dari kota ini.

Walau waktu itu terpaksa hidup jauh dari rumah, tetapi tali hubungan terikat erat di tiang nadi kehidupan keluarganya. Beberapa tahun sebelumnya, ayahnya berpulang. Sebagai anak lelaki tertua, ia harus menjadi motor penggerak bagi ibu dan ketujuh saudaranya yang lain. Ia tumpuan sekaligus nahkoda bagi perahu keluarga.

Segala kebutuhan sehari-hari maupun keperluan sekolah adik-adiknya ia penuhi. Peran yang ditinggalkan ayahnya berusaha dilakoni dengan baik dan sungguh-sungguh.

Syukur karirnya kian menanjak. Tumpuan itu semakin lama semakin kokoh. Ia lebih mapan. Kami masih ingat, murah-hatinya ia jika membelikan barang yang diidam-idamkan adik-adiknya. Tak tanggung-tanggung, ia hanya akan membungkus yang terbilang kualitas bagus. Made in luar negeri adalah kesukaannya. Sebab ia punya semboyan ‘lebih baik bayar mahal untuk mutu bagus ketimbang murah tapi sehari keok’. Pun tak jarang, kami para tetangganya kecipratan traktiran beramai-ramai bila ia kebetulan datang.

Perahu itu kini bisa berlayar dengan tenang. Tak lama, ia pun menikah dengan seorang gadis di kota tempatnya bekerja dan dikaruniai 2 anak. Semua berjalan dengan baik. Rumah dan mobil pribadi meski sederhana, dimiliki. Tak lupa, Ibunya ia berangkatkan ke hadapan Ka’bah untuk menunaikan rukun islam yang kelima. Peran yang ditinggalkan ayahnya dilakoninya dengan baik dan sungguh-sungguh. Sungguh-sungguh baik malah.

Hingga sekitar tujuh tahun yang lalu. Tak ada angin apalagi hujan, tiba-tiba saja ia memutuskan berhenti dari pekerjaannya. Kemudian meninggalkan rumah dan seluruh isinya. Hijrah ke sebuah dataran di perbatasan kota ini. Memilih hidup baru secara sederhana, bersama dengan sebuah komunitas islam bernama An-Nadzir*.

Di tempat baru itu, bersama dengan komunitasnya, ia harus memulai bertani, berkebun, dan memelihara tambak ikan untuk menghidupi kehidupan bersama. Setiap orang harus memotong pohon di hutan untuk dijadikan tiang-tiang rumah tempat berteduh.

Tak ada yang bisa mengira akan keputusannya ini. Tidak saudara-saudaranya, ataukah istrinya, bahkan ibunya sendiri. Semua tiba-tiba terjadi begitu saja.

Dan seperti biasa, perdebatan pun bermunculan. Yang di dalam rumah apalagi yang di luar rumah. Orang-orang sekampung kami, meski ributnya tak sampai macam petasan meletus, tapi mulut-mulut usilnya tak tahan ikut bisik-bisik. Bergunjing pagi dan sore hari, persis acara gosip di tivi-tivi.

“Besar kemungkinan komunitas ini aliran sesat, karena tak menyeimbangkan urusan duniawi dan akhirat,” begitu bunyi argumen yang bercokol di balik sebagian besar batok kepala orang-orang di kampung kami waktu itu.

Tetapi hatinya haqul-yaqin. Tak pernah sekalipun ia terlihat menyinggung soal keputusannya itu. Apalagi berusaha meyakinkan siapapun yang ia jumpai, bahwa apa yang ditempuhnya adalah beralasan. Ia seperti telah memperkirakan kondisi ini sebelumnya, tapi tak mau menggubrisnya.

Ia telah pasrah terhadap konsekuensi terberat apapun yang harus diterima. Itulah mengapa isteri dan anaknya ia titipkan kembali ke orangtua (mertuanya). Ia telah bersiap, “Jika dalam suatu keluarga, istri atau anak-anak tak lagi mempercayai pemimpinnya, maka pemimpin harus ikhlas memeberikan kebebasan jalan baginya untuk menentukan pilihan,” itu yang pernah ia ucapkan bertahun-tahun kemudian. Meski saat itu pertanyaan kami bukan dimaksudkan ihwal istrinya, melainkan soal pandangannya tentang sebuah keluarga. Namun bagi kami, kalimat ini sekaligus menjawab soalan istrinya waktu itu.

Kini tujuh tahun telah berlalu. Pelan-pelan, perahu-perahu itu mulai menemukan air tenang. Semakin lama semakin tenang. Peran yang ditingalkan ayahnya berpindah ke tangan lain. Malah peran itu terasa tak berasa, sebab hampir semua saudaranya melakoninya dengan baik. Tumpuan keluarga kini tak lagi diemban satu orang. Setidaknya enam orang saudaranya sekaligus telah menggantikannya sebagai nahkoda.

Sampannya sendiri, meski hanya terbuat dari kayu sederhana hasil tebangannya dan orang-orang sekomunitasnya, terus berlayar tegak menantang lautan. Beberapa tahun terakhir, anak dan isterinya telah berkumpul dengannya di dataran perbatasan kota itu. Namun, sama sekali bukan berarti ia dan istrinya merajut kembali hubungan, sebab mereka memang tak pernah berpisah.

Tentang pernikahannya waktu itu, sekali lagi, ia hanyalah menitipkan isteri dan anaknya ke orangtua (mertuanya). Sifatnya hanyalah sementara, tentulah sewaktu-waktu ia berhak memintanya jika semuanya memang bersedia.

Tadi siang kami lewat depan rumah orangtuanya, di kampung kami yang biasa-biasa saja. Ia berjongkok menyikat tembok pagar rumah itu dengan air. Tinggal hitungan hari lagi Idul Fitri datang. Seperti tahun-tahun kemarin, itu pertanda ia bermaksud mengecat tembok rumah itu, biar penampilannya semakin cerah.

Selepas maghrib kami bertemu adiknya. Kami menanyakan, kapan kiranya Kakak Tom datang, sedari dulu kami memanggil abangnya dengan nama itu.

“Kemarin sore. Eh, dia bawa ikan dari tambaknya banyak, besar-besarnya lagi. Coba malamnya kau ke rumah, pasti kau dapatki acara bakar-bakar ikan di pekarangan,” seru adiknya yang sehari-harinya memang sepergaulan dengan kami.



Sekonyong-konyong, tawa terpingkal-pingkal menyeruak sampai ke langit-langit gedung. Pasalnya, salah satu dari kami terbaring menjatuhkan diri di tengah lapangan karena tergopoh-gopoh berusaha mengambil dropshot lawan yang melesat tipis di bibir net. Semua yang melihatnya pasti tertawa. Adegan itu memang sungguh lucu.

Tak terkecuali dirinya, yang berada di salah satu sudut bangku, sembari berkomentar mengenai kejadian itu, dengan salah satu dari kami yang kebetulan duduk di sebelahnya. Sesekali ia mengusap jenggot lebatnya, ataukah membetulkan kuncir rambut gondrongnya yang kuning keemasan oleh pewarna rambut.

Pakaian yang dikenakannya sangat sederhana. Teramat sederhana. Celana gombrangnya berbahan kain. Panjangnya tak melebihi mata kaki. Di ujung lipatan bawahnya, tampak ada bagian benang yang dijahit tangan. Kali ini ia memadukannya dengan topi rimba di kepala, yang warnanya telah memudar.

Tak ada yang bisa mengira akan keputusannya waktu itu. Tidak itu saudara-saudaranya, istrinya, bahkan ibunya sekalipun. Apalagi kami yang cuma adik-adik tetangganya. Bahkan bertahun-tahun hingga sekarang, bila mendengar kisah ini, masih saja ada yang pikirnya tak bisa habis.

Dulu, lain waktu di gedung olahraga ini, dia pernah berkata, “Segala sesuatu (kejadian) itu hanyalah keinginan Allah, sebab tak ada sesuatu pun yang memang bukan miliknya.”
Seperti halnya malam ini, bila melihatnya tertawa geli di sudut bangku itu, selalu mengingatkan tentang Ibrahim Ibn Adham* dan Sidharta ‘Buddha’ Gautama.

Demikian tentang legenda hidup dari tempat tinggalku.


***
Kampung Pettarani, 2 Sepetember 2010

sumber gambar: blepot.com - tittle "Pakistan Darvish Tamin"

___________________
*Komunitas An-Nadzir adalah sebuah kelompok muslim yang mungkin jumlahnya sekarang mencapai 300an orang. Mereka hidup commune di kawasan Mawang, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, dekat dengan perbatasan Kota Makassar.
Komunitas ini memiliki ciri khas dari sisi penampilan, kaum lelaki berambut gondrong berwarna pirang. Sementara, kaum perempuan memakai cadar. Pakaiannya selalu berwarna hitam-hitam.
Pada dasarnya, mereka menghidupi diri dengan mengelola sawah, kebun dan tambak ikan. Namun kabarnya juga membuka bengkel dan dan usaha penyulingan air galon.

*Ibrahim ibn Adham atau lebih lengkapnya Abu Ishaq Ibrahim Ibn Adham adalah seorang legenda darwish dalam wiracarita sufisme. Seperti juga ‘Buddha’ Gautama yang tadinya seorang pangeran kerajaan, ia adalah pewaris tahta keturunan Arab Kerajaan Balkh.
Yang diceritakan orang-orang suci (wali), meski dunia di bawah kekuasaannya, meski 40 pedang emas dan 40 tongkat emas selalu mengiringi depan serta belakangnya, tetapi semuanya urung menghalangi bisikan hatinya.
Suatu waktu, setelah pertemuan misteriusnya dengan seseorang di atap rumahnya pada tengah malam buta, serta dialognya dengan lelaki asing di dalam istananya, hati Ibrahim Ibn Adham menjadi gelisah. Konon, lelaki di atap rumah dan di dalam istananya itu tak lain adalah Nabi Khidhr as.
Hingga akhirnya, ketika bisikan hatinya telah paripurna, ia lalu menghampiri seorang gembala domba. Diberikannya jubah bersulam emas serta mahkota bertahta permata yang biasa ia kenakan, kemudian ia berganti dan mengenakan pakaian dan penutup kepala sang gembala yang terbuat dari bulu hewan.
Syahdan, saat itu semua malaikat seraya berdiri memandang Ibrahim Ibn Adham.
“Betapa agung kerajaan yang kini dimiliki Ibn Adham,” ujar para malaikat.
“Ia telah membuang pakaian dekil duniawi, dan kini mengenakan jubah agung kemiskinan.”
Ibrahim Ibn Adham, seorang legenda sufi, lalu memilih menghilang dari Kerajaan Balkh, dan mengembara ke arah barat untuk menjalani kehidupan sebagai pertapa (asketisme). Dengan dan dalam kealpaan harta.
Dalam riwayat sufisme, ia akhirnya syahid di tahun 165 H/ 782 M dalam sebuah ekspedisi laut melawan pasukan Byzantium.
Selengkapnya...

“Siapa Yang Bilang Kita Telah Merdeka!”


Syamsul sebenarnya pin-pin-bo, alias ‘pintar-pintar bodoh’. Dibilang pintar ya iya juga, dibilang bodoh ya iya juga.

Pintarnya, meskipun masih duduk di kelas 2 SMP, syamsul wawasannya luas. Dia hobi baca. Kalau lagi semangat-semangatnya, bekas koran yang dipakai Kang Udin buat bungkus kacang goreng dipelototi juga sambil manggut-manggut. Walhasil, dibanding teman-temannya di kelas, omongan Syamsul kadang suka aneh sendiri. Ciri-ciri anak kritis.

Nah, bodohnya, Syamsul suka kurang perhitungan. Padahal, di rapor matematikanya bagus lho. Mulut nyinyirnya ini, kadang asal tubruk saking kelewat jujur dengan isi kepalanya. Suka asbun-sektu, alias ‘asal bunyi sembarang waktu’. Kalau dalam bahasa jawanya; timing Syamsul sering kurang pas. Apa yang dipikirkan selalu dibuat kompak dengan bibirnya.

Kejujuran Syamsul itu mungkin bawaan kandungan. Soalnya, waktu sedang dihamilkan, emaknya ngidam kue ‘cucur’ (lha… apa hubungannya?).

Tapi kalau bukan, pasti hasil didikan almarhum bapaknya. Maklum, tiap mau tidur dan bangun pagi, si bapak tak pernah alpa mengingatkan, “Hanya satu yang membuat orang selamat Sul, jujur dan iman. (whooaaalaaaah… itu sih bukan satu pak…!!!).

Dan wasiat itu memang bekerja efektif. Terhadap jualan pisang goreng Bu Warsih kantin, Syamsul menjadi satu-satunya murid laki-laki yang tak pernah sekalipun menerapkan jurus katga-kutu, alias ‘sikat tiga ngaku satu’. Ia tumbuh sebagai anak yang jujur. Kelewat jujur malah.

Tak pernah terlintas di kepala Syamsul untuk berbohong. “Faedahnya sama sekali gak ada…” pikirnya. Saking antinya dengan yang namanya bohong, dalam hati Syamsul berjanji, tak akan pernah bibirnya menghianati isi kepalanya. Maka, bersama ikrar kesetiaannya ini, omongan Syamsul suka bebuah bumerang.

Seperti di kelas kemarin, penyakit Syamsul kumat lagi. Ceritanya, guru sejarah Syamsul menjelaskan soal Proklamasi. Biasalah kalau bulan Agustus, bukan cuma umbul-umbul yang muncul musiman di gang-gang. D kelas juga dijangkiti euforia merah-putih.

Iseng-iseng atau entah apa namanya, tiba-tiba gurunya lempar pertanyaan ke Syamsul, “Coba Syamsul, tanggal berapa proklamasi kemerdekaan dibacakan Bung Karno?” begitu bunyi pertanyaannya.

Syamsul tiba-tiba tersentak, diam lumayan lama. Diamnya Syamsul, bukan lantaran dia sulit menemukan jawaban. Pikirannya bercabang dua.

Cabang yang pertama : “Nih, guru goblok apa salah tingkah ya? Padahal udeh tahunan ngajar di sekolah ini. Masa sih masih kena syndrome kikuk, macam guru baru di hari pertama nginjak kelas. Pertanyaannya kok begitu ya? Whooiii… Pak Guru kalau pertanyaannya begini sih, bocah kelas 1 SD juga bisa jawab kalee…” seperti itu pikiran Syamsul keheranan.

Cabang yang kedua : Nah, ini lain lagi. Isinya agak lebih panjang. Hanya saja, bibir Syamsul terlanjur bulat lebih memilih cabang ini untuk diucapkan sebagai jawaban pertanyaan Pak Guru.

“Siapa bilang kita telah merdeka?”
Sontak siswa sekelas ngakak-ngakak mendengar jawaban Syamsul yang ternyata berupa pertanyaan. Mata Pak Guru sendiri ikut-ikutan membelalak kaget. Tak menyangka jawaban Syamsul seperti itu.

“Alasa…”
Baru saja Pak Guru mengucapkan awalan tersebut, bermaksud menayakan alasan Syamsul berkata demikian, yang bersangkutan sudah langsung nyerocos duluan melanjutkan kalimat pertamanya tanpa ada lagi yang bisa membuatnya jeda.

“Bagi saya, sampai hari ini kita belum merdeka. Merdeka itu artinya bebas dari penjajahan. Sementara penjajahan itu adalah pemaksaan perilaku tidak adil dari pihak yang menjajah ke pihak lain.

Contohnya Belanda. Dia datang bawa bedil. Memaksa mengatur hasil bumi kita. Memaksa orang-orang kita melakukan kerja rodi. Itu jelas ketidakadilan. Nah, sekarang Belanda sudah pergi. Tapi itu bukan berarti penjajahan ikut-ikutan pergi. Ketidakadilan ikut-ikutan pergi.

Penjajahan masih tetap tinggal di negeri kita. Cuma, kali ini pelakunya tidak berkulit putih seperti Raymond Pierre Paul Westerling. Pelakunya sama seperti kita juga, berkulit sawo matang. Makannya sama seperti kita juga, nasi dan tempe, bukan roti dan keju. Tapi kelakukannya sebelas-duabelas dengan pembantaian Westerling di Makassar 1946 lalu.

Kalau dulu gara-gara penjajah, nasib rakyat jadi kelaparan. Sekarang ya hampir sama saja. Buktinya, masih banyak yang sekarang makan tiwul dan nasi aking. Lauknya kalau bukan krupuk ya air mata.

Orang miskin banyak. Lihat grafik angka pengangguran tiap tahun, kejar-kejaran dengan jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT). Cari kerja susah, kena PHK yang gampang. Tiap bulan pasti ketemu.

Buntutnya kriminalitas marak terjadi. Tak kenal tempat apalagi waktu. Modusnya macam-macam. Itu tandanya, perut memang makin banyak yang keroncongan.

Ekonomi susah. Petani susah berkembang. Dulu meneer Belanda memonopoli dan memaksakan harga. Sekarang bentuk akal-akalannya lain, tapi intinya sama doang. Bila musim tanam, harga pupuk naik. Pas musim panen, harga jual langsung menurun. Apa namanya ini kalau bukan pengaturan harga.

Mau dagang susah. Daya beli masyarakat megap-megap, senin-kamis lagi. Perusahaan perkreditan menjamur, padahal sekarang musim kemarau. Jangankan mobil atau motor, hari genee kipas angin bisa dikredit.

Harga-harga naik. Tarif listrik naik. Bensin naik. Minyak tanah apa lagi. Air PAM juga tak mau ketinggalan. Bahkan hebatnya sodara-sodara, cabe naik pula.

Jaman Belanda dulu, banyak granat meledak dan senapan meletus. Sekarang sami mawon. Lihat acara kriminal di tivi-tivi. Sedikit-sedikit berita residivis tersungkur didor aparat. Gedung-gedung ringsek diledakkan bom teroris.

Paling dahsyat temuan bom mutakhir model terbaru: tabung elpiji 3 kg. Tak tanggung-tanggung puluhan nyawa sudah merasakan kedahsyatannya. Nah, ajaibnya sebentar lagi harga bom tabung elpiji ini bakal dinaikkan juga. Astagfirullah.

Bukannya sekarang ada wakil-wakil rakyat yang akan membela?
Orang-orang di senayan politiknya ya politik Belanda juga. Kalau dulu politiknya ‘adu domba’, sekarang dimodifikasi sedikit ’serigala berbulu domba’. Tukang hisap rakyat. Sedikit-sedikit tunjangan ini-itu dinaikkan. Mau bikin rumah aspirasi, minta anggaran tinggi-tinggi. Giliran sidang, mending kalau tidur seperti di lagunya Bang Iwan Fals, ini batang hidungnya yang gak nongol-nongol, alias mbolos macam anak sekolahan.

Politiknya, politik hisap rakyat. Partai pendapatnya tergantung ke mana angin berhembus. Kalau merugikan Partai di tentang habis-habisan. Kalau menguntungkan, dibela mati-matian. Buntut-buntutnya transaksi politik.

Contoh waktu Century Gate, saat rapat paripurna menentukan sikap, salah satu partai pilih opsi ‘kasus ini diusut’. Giliran 2 bulan berikutnya, suaranya sudah putar haluan 180 derajat. “Kasus ini masukkan peti saja dulu,” begitu kilahnya. Politik ’serigala berbulu domba’, pikirnya untuk diri sendiri. Rakyat sih “selamat tinggal”.

Anehnya, tak satupun penjajah-penjajah masa kini ini yang masuk bui. Itu karena polisi kegemarannya cuma satu, makan uang suap. Macam polisi yang ada di film-film India. Hobi Jaksanya juga sama. Hakimnya ikut-ikutan. Pengacaranya mafia kasus. Di rekaman Anggodo, pengakuan Gayus Tambunan, Jaksa Urip, atau nyanyian Susno jelas mendendangkan lagu, banyak praktek suap di tata peradilan. Malah bisa bikin kamar hotel, tempat spa atau karaoke room di ruang tahanan LP.

Yang bermental korupsi-nepotisme, persis seperti anjing-anjing Belanda di jaman dulu, lebih banyak lagi sekarang. Dari urusan KTP di kantor lurah, pembangunan infrastruktur, hingga penggelapan pajak. Semunya punya budaya satu; tak punya malu. Mau kaya- raya agar terpandang. Jadinya halalkan segala cara.

Mau bersuara lantang menantang Belanda? Siap-siap di bungkam. Syukur-syukur kalau cuma dilemahkan seperti KPK, atau kena tonjok orang tak dikenal macam Tama Satya Langkun (aktifis ICW).

Kalau nasibnya kayak Munir, yang diracun di udara, lalu misteri kasusnya tak terkuak karena disembunyikan, ya terpaksa dibawa ke masjid. Seperti biasa, mengadu kepada Tuhan YME saja. Kemudian lagu ‘Gugur Bunga’ dilantunkan. Daftar Pahlawan Kemerdekaan yang mati (di)sia-sia(kan), tambah satu lagi.

Yang namanya pahlawan, jaman sekarang hanya bisa mengurut dada, terima nasib. Tak usah jauh-jauh, yang senior veteran angkatan pejuang 45 saja, tiap malam tidurnya tak bisa nyenyak. Bukan lantaran Agresi Militer Belanda jilid III yang membonceng NICA mau datang lagi. Melainkan was-was sama Pol PP yang siap-siap menggusur rumah dengan pentungan.

Ini belum soal prestasi olahraga kita yang suka bikin malu. Soal TKI yang selalu dicueki. Atau soal seringnya insiden pelecehan oleh pihak Malaysia di perbatasan.

Kalau sudah begini, siapa yang bilang kita telah merdeka!

Alhamdulillah, khutbah Ju’matan Syamsul selesai juga. Teman-teman Syamsul yang sebelumnya ngakak-ngakak, kini terpaku kaku sambil menatap tak percaya ke arahnya. Sebagian di antara mereka, bahkan tak sadar kalau air liurnya menetes. Sama sekali bukan karena paham apalagi takjub dengan isi kalimat Syamsul.

“ini anak kesurupan jin apa…??? Ba..bi..bu..ngomong tak jelas mirip orang rapal mantra. Main krasak-krusuk aja tak kenal titik-koma,” itu yang serempak ada di kepala teman-teman Syamsul.

Pak Guru sendiri malah mematung. Mulutnya masih mangap. Nanti lima menit, baru bisa sadar diri, ketika seekor lalat terbang di dekat pipinya.

Dan lima menit kemudian pula, Syamsul sudah harus berdiri di depan kelas hingga lonceng pulang berbunyi. Syukur, kali ini tak pakai angkat satu kaki, sambil kedua tangan disilangkan ke telinga.

* * *

Dedicated to:
Generasi hari esok, mereka yang pernah menduduki senayan di tahun Reformasi 98. Yang nantinya akan mengambil bagian dalam usaha mengusir penjajah model baru. Generasi baru wajib lebih adil.


Kampung Pettarani, Makassar
19 Agustus 2010
Selengkapnya...

1 Syawal 1431 H, Mengucapkan “Selamat Menunaikan Ibadah Puasa”


Kamis, 30 Ramadhan 1413 H.
Di atas tembok depan Benteng Rotterdam. Dua menit sebelum toa Mesjid di sana itu memperdengarkan bunyi-bunyian bedug digebuk.


Sore kali ini, cerah. Padahal, siangnya hujan. Berturut-turut tiga hari lalu juga. Langit di ufuk, biru membaur kuning serta merah menyala. Kumpulan riak awan jadi hiasan pemanis. Sedikit lagi, horizon menelan utuh benda bulat berwarna emas itu. Pantai Losari mengalun tenang. Camar terbang bersahut-sahutan.

Kalau saja momen ini perempuan, lutut ini pasti langsung sujud bilang “I luv U… hidup matiku kuserahterimakan padamu!” Ora urus, kalau hati perempuan ini ternyata BBT (alias beda-beda tipis) dengan Medusa. Gampang, belakangan diatur.

Ini mungkin– sekali lagi mungkin– pertanda kuasa Tuhan. Di buka puasa terakhir, alam kembali ceria. Seolah siap menyambut sesuatu dengan hati gembira. (Tuuueeeennngg… model tanda-tanda kekuasaan yang berkesan maksa. Tepatnya dipaksa-paksain! Sunset Losari mah lanskapnya dari dulu juga emang begitu kalee…!)
Hihihihibodo’ amat kalee!!! Kan… di atas udeh ngomong duluan: m+u+n+g+k+i+n… alias bersin! Bwuuueeeekk…^_^

Sebentar lagi, di segenap penjuru takbir berkumandang. Iring-iringan mobil hias, berparade keliling kota. Di atasnya, bedug dipukul bertalu-talu. Anak-anak kecil berlarian membunyikan petasan. Orang-orang berdesakan di toko pakaian, berburu diskon tengah malam. Lalu laksana bunga, kembang api beradu bintang menghias angkasa malam. Besok lebaran (versi pemerintah).

Sedari pagi tadi, ibu-ibu telah sibuk di dapur. Buku primbon warisan nenek-moyang, keluar sarang menerapkan jurus-jurus resep terbaik. Toples berisi nastar dan putri salju, malahan sudah sejak kemarin berjejer rapi di dalam lemari. Bersama dengan botol-botol sirup atau minuman ringan bersoda.

Ketupat dimasak di panci besar. Sekalian dengan buras ikut serta. Paling bagus dimasaknya dengan kayu bakar. Aromanya lebih alami. Pasangannya kari ayam atau soto.

Ada juga yang masih setia membuat lappa-lappa dan lopis. Penganan khas Bugis-Makassar, semacam lontong tapi dibuat dari beras ketan hitam atau putih. Lappa-lappa dibungkus daun kelapa, sementara lopis daun pisang. Dimakan dengan bajabu (abon ikan). Biasa juga dengan kelapa yang disangrai dengan sedikit ikan sunu yang dihaluskan sebagai perasa.

Tapi paling enak, kalau disantapnya dengan ayam likku. Ayam yang dimasak dengan santan dan lengkuas hingga kering. Trus… ayamnya ayam kampung. Mmh… te-o-pe sudah!
Sehari sebelum lebaran, ayam ramai nongkrong di kiri-kanan jalan besar. Tinggal pilih, mana yang ‘beruntung’ dibawa pulang. Kaki dan kepala dibasuh air, pisau dapur diasah sampai tajam, lalu ucap basmalah. Sreeeett… darah muncrat dari leher ayam.

Hahaha… kasian si ayam. Dipikir-pikir, inilah hari dimana peristiwa ‘bengis’ penggorokan tenggorokan bangsa ayam oleh tangan manusia, paling massal terjadi. Setiap tahun pula. Paling brutal tentu negara kita. Wong… penduduk muslimnya terbesar di dunia.

Mari berhiperbola; kalau saja setiap rumah tangga muslim Indonesia, acara sembelih ayamnya disatukan di Pantai Losari. Mungkin hamparan air tenang ini, bakal mengental berwarna merah. Selat Makassar mandi darah. (Wuuiidiiihh… sadis juga nih lebaran!).

Besok Lebaran! Pagi buta, orang-orang mandi dan bergegas. Dari balita sampai aki-aki. Semuanya pakai sarung dan peci. Menuju surau atau mesjid. Memenuhi lapangan atau jalanan. Sujud 2 rakaat, lalu kembali ke rumah masing-masing sambil bersalaman. Ribuan lembar koran pengalas adalah sisa-sisa jejaknya.
Eiitt… hampir lupa. Tumpukan piring berlemak bekas opor dan kari ayam, plus potongan-potongan daun pandan anyaman ketupat adalah jejak-jejak yang lain lagi. Cuma mereka adanya sejam kemudian di meja makan.


* * *


Kumandang takbir, parade mobil hias, petasan, kembang api, diskon toko pakaian, sirup, minuman ringan, nastar dan putri salju di toples, sarung, peci, baju koko, baju baru, THR, bagi-bagi angpao, saling bersalaman, ketupat, opor ayam, kari ayam, ayam goreng, semuanya adalah simbol-simbol lebaran.

Tentulah simbol bukan esensi. Melainkan makna di balik simbol itu. Tak perlu semiotika (ilmu tentang tanda), untuk memahami bahwa lebaran bukan semata berarti makan ketupat dan opor ayam dengan memakai baju baru.

Simbol hanyalah sekedar penanda untuk hadir sebagai wakil dari sesuatu yang lain. Sesuatu bernama makna, tentang fitrah yang baru (idul fitri). Setelah mensucikan diri melalui kontemplasi asketis (puasa) satu bulan lamanya. Menahan lapar, dahaga, nafsu hingga amarah.

Maka ketupat hanyalah tanda yang mewakili suatu kemenangan, keberhasilan menjalani semua itu.
(Anyway, kok kedengarannya tiba-tiba jadi serius mirip ceramah dosen di ruang kuliah gini ya…? Ah… e-ge-pe!)

Nah, hanya saja, dan sesungguhnya (tuh kan… makin ribet berbelit-belit dah ngomongnya!), ramadhan itu pun semata-mata sebuah simbol belaka. Ramadhan hanyalah satu di antara sekian bulan yang sengaja dipilih (dihadirkan) untuk mewakili 11 bulan lainnya. Sama seperti opor ayam mewakili Idul Fitri. Atau pepatah ‘ada udang di balik batu’. Yang penting bukan ‘udang’nya, melainkan ‘di balik batu’nya. (nah lho… bingung kan? Yang nulis aja ora ngerti maksud dan juntrungane opo rek…!)

Oke kita ganti contoh: (Kode DW mode on) misalnya simbol ‘lampu merah’. Yang terpenting dari konteks ini, tentu saja bukan lampu yang mengeluarkan cahaya warna merah itu, tapi apa konsep (makna) di baliknya. Konsep yang tidak lain ingin mengatakan, ‘jangan jalan/nyebrang dulu’ alias stop. Soalnya, kalau ngotot juga, tanggung sendiri akibatnya bila ban metromini disusul roda raksasa tronton, nggilas batok gundul sampean hingga terburai, macam buah semangka yang dijatuhkan dari lantai 14 gedung Hotel Indonesia.
(Bagaimana? Sepertinya contoh ini cukup jelas. Jelas-jelas berbau horror menjurus sadisme maksudnya. Hiks! ^_^… Kan udeh diwarning kode DW. Maksudnya ‘hati-hati bukan untuk konsumsi anak-anak’)

Jadi, jika kita tarik garis lurus dari koordinat x menuju y… (ups! Maaf ngaco. Sabar… ta’ liat dulu di halaman berapa contekan saya. ckliikckliik… bunyi kertas dibolak-balik) Oke nemu sudah!). Jadi, singkatnya, bukan ramadhan-nya yang penting, atau dalam kalimat lain: ramadhan ‘tidak penting’. Yang terpenting adalah apa yang diwakili ramadhan, yakni 11 bulan berikutnya.

Puasa– kontemplasi asketis melalui menahan lapar, dahaga, nafsu dan amarah– yang sejati bukan di bulan ramadhan. Melainkan di 11 bulan berikutnya. Atau dalam kalimat lain lagi: Bulan ramadhan sebagai simbol, ada 1. Sementara bulan ramadhan sejati sebagai makna, ada 11. Kalau ditambah = puasa satu tahun penuh alias 12 bulan.

Bila demikian, sepantasnyalah kita mengucap ‘syukur’ seperti ini, “Wah… terima kasih ya Allah, engkau ternyata memberikan kepada kami puasa (ramadhan) sejati yang jumlahnya bukan cuma satu, tapi gak tanggung-tanggung lho… 11 bulan bo’!”

Nah… sekarang bayangkan, andaikata puasa 11 bulan yang sejati itu, juga harus menahan lapar dan haus (selain yang utama amarah dan hawa nafsu). Duh… Gusti Allah tak kebayang apa yang terjadi. (Masalahnya, wong diberi kelonggaran bisa makan dan minum saja seperti biasa, orang-orang di negeri ini gendengnya sudah naudzubillah min dzalik)

Macam omongannya Armand Maulana vokalisnya GIGI:

Ramadhan tahan nafsu
Abis itu lupa lagi
Ramadhan tahan amarah
11 bulan berikutnya amnesia


Jadi, minta maap nih ye sebelumnye, 1 Syawal 1431 H itu sama dengan “Selamat menunaikan Ibadah puasa.”

Sama sekali bukan perayaan kemenangan parade mobil hias, petasan, kembang api, diskon toko pakaian, sirup, minuman ringan, nastar dan putri salju, sarung, peci, baju koko, baju baru, THR, bagi-bagi angpao, ketupat, opor ayam, kari ayam, ayam goreng, dan seterusnya… dan seterusnya…

Menang opo? Perayaan opo? Wong… takbir berkumandang di akhir ramadhan itu pertanda lonceng pertarungan sejati had just begun. Ibarat kate nonton layar tancap, “Ramadhan ntu trailer-nye doang!” kata bapaknya SI Doel seumpama masih idup.

* * *

Kampung Pettarani
, Makassar 9 September 2010


sumber gambar: reproduksi
http://rivafauziah.files.wordpress.com/2007/09/lebaran_cianjur.JPG
Selengkapnya...

Sebab Hidup Tak Seperti Sastra Picisan Apalagi Seperti Reality Show dan Sinetron-Sinetron Murahan di Layar TV

Sebuah senyum hadir di balik malam yang meringkuk kuyu mencari kehangatan.

Bibir hitam yang melebar perlahan. Kedua sudutnya menyerong sekian derajat ke atas. Diikuti gerak helai-helai kumis cepak yang tak rapi belum dicukur. Samar dalam gelap, barisan gigi atas yang kecoklatan karena uap tembakau itu akhirnya tampak.

* * *

Panggil saja dia Bang Ali. Bukan lantaran untuk menyamarkan identitasnya, tapi memang itu nama panggilannya. Ayahnya memberikan nama itu karena sangat mengagumi Khalifah ar-Rasyidin. Makanya, tiga nama anak laki-lakinya yang lain diembeli dengan Umar, Abu Bakar dan Usman.

Sayang, harapan si bapak jauh panggang dari api. Sifat-sifat tauladan Ali bin Abi Thalib sama sekali tak menular ke diri anak ketiganya ini. Hari-hari Bang Ali gak kenal istilah shalat. Jangankan Ju’matan, sampai umur kisaran 38-an saja, rekor partisipasinya di Idul Fitri tak lebih dari jumlah jari tangan kiri.


Perawakannya lumayan seram. Kalau ngomong suranya serak dengan pilihan oktaf di nada-nada tinggi. Kulitnya hitam. Sekujur tangannya penuh dengan tato. Model rambutnya cuma satu: botak. Soalnya, kalau rambutnya mulai nongol sekitar 2 cm, yang tampak kebanyakan berwarna putih.

Bang Ali tak suka mandi. Sukanya, ngumpul dengan anak-anak muda tetangganya. Kalau anak-anak muda itu ditanya; Berapa kali Bang Ali mandi dan gosok gigi dalam seminggu?

“Tidak pernah…!!!” jawab anak-anak muda kompak.

Namun justu disitulah letak rahasia sukses Bang Ali mengelola bisnisnya, kata anak-anak muda itu berseloroh. Tiap hari Bang Ali berprofesi sebagai mandor parkir dengan 3 orang anak buah. Jatah wilayah garapannya, yakni sekitar 6 ruko di bilangan jalan protokol kawasan elite kota Makassar.

Meski hanya sebagai tukang parkir, tapi siapa bilang penghasilannya pas-pasan. Bang Ali pernah buka kartu, pendapatannya tiap hari sekitar 150-200 ribu. Itu sudah bersih. Bersih dari setoran ke Pemda, ongkos gaji plus jatah makan anak buahnya. Dikalikan 30 hari, gaji Bang Ali mungkin masih lebih tinggi ketimbang teller Bank.

Jam kantornya dari 10 pagi hingga 10 malam. Kalau pulang dia tak langsung ke rumah. Tapi mampir dulu ke tongkrongan anak-anak muda di pertigaan gang dekat tempat tinggalnya. Menenggak anggur hitam hingga larut malam, tiap malam. Tapi tak sampai mabok. Soalnya, minum berapa banyak pun, tak pernah sekalipun mereka terlibat ribut apalagi sampai malak orang lewat atau nimpuk rumah sekitar segala.

Yang ada tiap malam malah suara ngakak-ngakak. Lalu kalau duit habis dan botol tak ada lagi yang berisi, ya semuanya pada langsung bubar pulang ke rumah masing-masing. Mungkin saking khatamnya mereka dengan cairan beralkohol, sampai-sampai nganggap-nya kayak air putih.

Oh iya, Bang Ali tinggal di kamar kontrakan dengan istri dan 4 orang anaknya yang masih kecil-kecil. Anak paling besar baru kelas enam SD. Yang paling kecil baru bisa ngomong aa…ii…uu…tapi sudah bisa jalan sendiri. Luas kamarnya cuma 4×4 meter. Isinya 1 ranjang pendek ukuran sedang dan 1 lemari pakaian.

Dulu, kamar ini juga sering dijadikan tempat minum-minum anak-anak muda. Kadang-kadang sambil main kartu. Maklum, istri Bang Ali selain doyan ngerokok juga hobi main judi. Doi juga suka gaul dengan anak-anak muda dan penganut paham “freestyle asal gak reseh”. Singkatnya, tipikal ibu-ibu funky-lah.

Walhasil, di ruangan sekecil itu suka macet. Disesaki lingkaran anak-anak muda yang main judi. Botol-botol dan kartu bertebaran di lantai. Yang gak main, ngobrol di tempat tidur sekalian gangguin Ling-ling, anak Bang Ali paling bontot yang sedang tidur. Sementara 3 sodara Ling-ling yang lain, kalau belum tidur di kasur yang digelar di lantai samping tempat tidur, juga sering ikutan menonton.

Belum lagi asap rokok yang mengepul di langit-langit kamar. Padahal jarum pendek jam di dinding tripleks itu sudah nunjuk angka 2. Anehnya, ‘the show still go on till adzan subuh berkumandang’. Malah, kalau nanggung, ya sampai matahari celingak-celinguk di ufuk timur.

Tapi belakangan tidak lagi. Soalnya Ibu kontrakan uring-uringan. Gara-garanya, suka ada anak cewek yang ikut-ikutan nimbrung. Pikirnya, mungkin anak-anak muda melakukan pesta seks massal seperti di situs-situs porno. Padahal anak cewek itu cuma datang untuk ikut merokok dan minum-minum. Soalnya, kalau di jalan dia takut ketahuan orang rumahnya. Selebihnya tak ada yang macam-macam.

Istri Bang Ali, biarpun sekarang gak hobi-hobi amat minum-minum, tapi dia masih suka ikut-ikutan nongkrong di pertigaan gang. Hanya sesekali kalau lagi pengen, dia angkat gelas juga beberapa kali. Mungkin dia lagi kangen, soalnya sebelum kawin dengan Bang Ali dia tergolong ‘ratu minum’. Ling-ling juga suka diajak nongkrong.

Pernah, istri Bang Ali minggat dari kontrakan dan pulang ke rumah orang tuanya. Pasalnya Bang Ali ketahuan selingkuh. Tapi beberapa bulan lalu sudah baikan lagi. Dan sekarang perut istri Bang Ali gendut lagi. Alamat Ling-ling, yang sedari tadi berlari-lari kecil senyam-senyum sendirian, bakal dapat adik baru lagi bila nanti melahirkannya direstui Yang Maha Esa.

Istri Bang Ali pikirannya simple. Biarpun di bungkus rokok ada tulisan “MEROKOK DAPAT MENYEBABKAN KANKER, SERANGAN JANTUNG, IMPOTENSI, DAN GANGGUAN KEHAMILAN DAN JANIN” sementara perutnya sedang bucit begitu, toh asap rokok tetap menegepul dari bibirnya.

“Itu Ling-ling dan tiga sodara-sodaranya sudah besar begitu gak ada tuh gangguan-gangguannya sama sekali,” begitu jawabnya enteng membeberkan fakta. Dalam hati ia juga sih, padahal ibu funky ini merokoknya sejak masih gadis.

Lain lagi, waktu anak-anak muda ngobrol soal mahalnya ongkos masuk sekolah. Dia cuma bilang, kalau seumpama nantinya uang gak cukup, ya terpaksa di antara anak-anaknya harus ada yang dirumahkan alias menganggur. Dan otak yang paling jeblok-lah yang bakal kena batunya menunggu sampai uang cukup lagi. Kalau di suruh ngutang ke tetangga ia ogah.

“Saya gak punya bakat dan bekal muka tebal untuk ngutang,” akunya.

Sayup-sayup suara motor Bang Ali terdengar mendekat. Dia baru saja pulang ngantor. Setelah duduk, ia lalu mengeluarkan selembar uang 50-ribuan buat tambahan pasokan botol minuman malam ini. Ling-ling dengan sigap mendekat ke pangkuan Ayahnya. Setelah dua shot sloki anggur hitam mengalir di tenggorokan, dia kemudian menyuruh salah satu dari anak-anak muda mengambil kantongan plastik hitam yang digantung di motor kreditannya.

Bang Ali memang sering membawa pulang oleh-oleh jatah dari deretan ruko parkirannya. Biasanya seporsi besar mie goreng rumah makan chinesse. Atau apel dan jeruk import yang cacat sedikit karenanya sudah tak memenuhi standar jual. Atau kalau tidak, pasti batagor. Dan benar, kali ini batagor lengkap dengan sambal-sambalnya.

Diam-diam malam makin lembut menyentuh tulang. Tak ada lagi orang yang lalu-lalang. Hanya ada satu-dua kendaraan yang melintas malas di ujung gang. Gembok pagar rumah-rumah sekitar sudah melekat sebagaimana mestinya.

Yang tersisa hanya gelak tawa sekumpulan anak-anak muda, Bang Ali, istrinya, serta Ling-ling yang baru saja tertidur dipangkuan ibunya. Gelak tawa itu membuyarkan sepi, ketika salah-satu dari anak-anak muda itu, bercerita tentang lelucon; bagaimana seorang lelaki kelimpungan mengutak-atik saluran peranakan seorang pelacur jalanan karena cincin pernikahannya seberat 5 gram tertinggal di dalamnya, lalu lelaki itu ditegur oleh seorang tukang becak yang kebetulan lewat, bahwa usahanya sia-sia semata sebab dulu dia sendiri gagal menemukan becaknya yang lama.

Dan bibir hitam itu pun mulai melebar perlahan. Kedua sudutnya menyerong ke atas sekian derajat. Diikuti gerak helai-helai kumis cepak yang tak rapi belum dicukur. Samar dalam gelap, barisan gigi atas yang kecoklatan karena asap tembakau itu kemudian tampak. Kali ini, disertai tepukan tangan bersisik penuh tato ke kepala botak yang ditumbuhi sebagian besar rambut yang memutih.

Itu senyum milik Bang Ali.

Sebab hidup di kepala Bang Ali, sesungguhnya tak seperti di novel-novel sastra picisan yang selalu berakhir; kalau bukan tragis pasti happy ending.Apalagi seperti intrik meliuk-liuk serba rumit dalam reality show dan sinetron-sinetron murahan yang selalu mubazir menghambur air mata pura-pura di layar TV.

* * *

Catatan: tulisan ini dibuat sekedar theraphy diri sendiri untuk mengatasi rasa mual di kerongkongan yang nyaris membuat perut muntah akibat dari model-model sastra yang terlampau gak realistis apalagi reality show dan sinetron-sinetron yang penuh dengan kebohongan-kebohongan paling tolol yang pernah terpikirkan oleh otak manusia.

Sumber Gambar: no tv by gnato
http://browse.deviantart.com/photography/?qh=&section=&q=tv#/di8d7a

Kampung Pettrarani, Makassar 9 Juli 2010.

Selengkapnya...

Mari, Sama-Sama Hantamkan Botol ke Kepala Masing-masing Hingga Pecah


catatan awal: tadinya tulisan ini maunya diedit pendek. tapi setelah dicoba gak dapat-dapat juga. so jangan keder duluan ya kalo tulisannya kepanjangan. sebab seperti kata pepatah “orang sabar panjang….. kumisnya.” he..he..he..^_^ salaaam….selamat membaca…

Di setiap punggung orang-orang muda, generasi ahli waris hari esok, melekat hutang yang harus dibayar kontan.

Hutang itu bukan hutang uang, hutang harta, apalagi ‘hutang’ belantara (lalu hutang opo mas…??? Gak usah sok lucu apalagi bermaksud bikin TTS deh, takutnya kuno bin ‘garing’ nugroho!!!)

Perubahan. Yup…hutang itu berupa perubahan dan hal-hal baru. ‘Perubahan’ terhadap segala hal yang telah terbukti menjadi penyakit kronis, parasit perusak kehidupan hari ini. Perubahan dalam wujud ‘hal-hal baru’ yang belum diciptakan bahkan belum terpikirkan. Biar tatanan kehidupan di masa depan bisa lebih bermartabat.


Kehidupan mutlak harus selalu berekfleksi dan berevaluasi. Sebab zaman bukan bus antar-propinsi yang berangkat dari terminal A finish di terminal Z. Tak ada satu titik final di dunia ini (final hanya ada di lapangan sepakbola). Zaman selalu bergerak seperti air mengalir. Sungai yang kita lihat hari ini, tak pernah sama seperti yang kita lihat kemarin dan hari esok.

Setiap zaman, selalu berjalan membawa seabrek kisah dan masalah masing-masing.

Dan masa depan bukan sesuatu yang jatuh dari langit. Serupa jamur yang ‘bukan sulap bukan sihir’ tiba-tiba batang hidungnya nongol di musim hujan. Masa depan adalah hasil ‘konstruksi’ setiap anak-anak zaman (emang bangunan…pake acara ‘konstruksi’ segala).

Dan sekali lagi, orang-orang muda adalah pion-pion handal paling progresif yang harus rela berani mati memberi garansi bahwa masa depan itu akan dibangun secara lebih baik ketimbang hari ini. Tanpa itu, masa depan dari dulu keburu almarhum terkubur di pemakaman umum.

Apa jadinya jika Thomas Alva Edison tak bikin ribuan mata lampu meleduk hingga menemukan satu yang tetap menyala dalam percobaannya– dunia dikabuti gulita. Apa jadinya jika Montesqueiu, Rousseau, Voltaire tak mencak-mencak kesurupan meneriakkan liberte, egalite, fraternite di akhir masa Raja Louis XVI– kekuasaan tak bakal ingat, “eh ada kosa kata lho bernama demokrasi,” kekuasaan hanya berputar-putar di tangan segelintir para aristokrat yang kalau tangannya teriris konon keluar cairan berwarna biru.

Apa jadinya hari ini– jika dulu Socrates, Gutenberg, Al-jabar, Phytagoras, Archimedes, Wright bersaudara, Gandhi, atau Einstein duduk berpangku tangan dan tidur bermalasan-malasan?

Otak mesti diperas lebih kencang, biar tetesan inspirasi revolusioner muncrat keluar. Jangan dibuat adem ayem, mubazir. Sampai jaman kuda gigit pizza sekalipun, gak bakalan ada cerita, ‘otak awet’ harga jual-belinya melambung tinggi.

Tangan dan kaki mesti dipaksa lebih terampil, biar bisa membuah-tangan-kakikan secuil apapun itu, asalkan berguna bagi siapa saja dan terutama bukan cuma buat diri sendiri.

“Tidur jangan keseringan. Makan mesti dikurangi (puasa senin-kamis kalo perlu ditambah sabtu. Ini kalo perlu). Kebanyakan makan-tidur justru sama ‘udang’ usaha bunuh diri secara perlahan-lahan karena obesitas.

Kita butuh mencambuk diri lebih keras, biar sesuatu bernama energi ‘kreatif’ (baca ‘kreatif’ secara harfiah: sifat untuk mencipta. Gak usah diartikan bersifat nyeni-lah, unik-lah, atau keren-lah. Terlalu muluk-muluk!) itu bisa tumbuh-terawat di balik tulang rusuk.

Berkelitlah dari musibah terbesar yang kerap merasuki orang-orang muda, apalagi mereka yang sudah uzur. Apa itu? Menjadi manusia mediocre (mas…mas…istilah apalagi nih? Mang rambutnya situ blonde ya…pake nyaplok Bahasa Jerman seenak udel!)

Oke. Gak perlu malu, kita pinjam (he..he..he.. ketahuan kan…suka minjem barang orang!! Malu, malu! Tapi jangan bawa-bawa nama kita dong, situ aja kaleee…!) kalimatnya M. Arief Budiman, Vice President Petakumpet AIM, Yogyakarta, di Blank! Magazine. Dia bilang begini:

“Hal yang seharusnya dibenci seseorang adalah menjadi manusia normal, manusia yang biasa-biasa saja. Mediocre.

Manusia kelas rata-rata ini menduduki posisi mayoritas, memenuhi hampir setiap sudut kehidupan. Mereka ada di upacara bendera setiap senin. Berbaris kaku di instansi pemerintah. Mengantuk dan membuat ngantuk di setiap rapat. Kutu buku dengan perspektif kaca mata kuda. Rektor yang mewisuda mahasiswanya dengan kata-kata sambutan yang sama setiap tahun, selama bertahun-tahun.

Menjadi normal adalah kutukan terberat yang ditanggung mayoritas bangsa ini, sehingga jutaan fresh graduate balapan jadi pegawai negeri. Hanya karena rindu akan keamanan dan tunjangan sosial plus pensiun. Memprihatinkan!

Mereka yang ingin mandiri, ditakut-takuti oleh orang-orang tua kolot yang miskin mimpi dan faqir keberanian. Mereka yang berani lancang dengan suara berbeda, dibungkam. Dibuat jera dan kapok. Dianggap seperti anak kecil yang belum mampu mengurus dirinya sendiri.

Banyak hal menarik yang akan terjadi jika kungkungan nilai-nilai lama itu dibuka atau kalau perlu dihancurkan. Seperti design kalimat pada t-shirt After Hour: good boy going to heaven, bad boy going everywhere. Dan mereka akan menembaki kita dengan tuduhan tidak hormat pada senior, kurang ajar pada leluhur, ‘Malin Kundang’ pada tatanan. Gumamkan: F**K OFF (tak perlu teriak, boros energi)”

Umpama kutipan di atas gak sampe bikin orang lain tersinggung, alhamdulillah. Soalnya bukan rahasia, salah satu ciri-ciri manusia mediocre: baru kena kritik sedikit, kuping dan mukanya lekas memerah.

Mari menjauh dari gaya hidup normal lanjut Arief. Mari tidur sepanjang siang dan berfikir keras sepanjang malam. Mari kabur ketika dosen goblok yang– entah bagaimana ceritanya kok bisa-bisanya lolos seleksi ngajar di kampus– nge-rap di depan kelas.

Rambut boleh gondrong, celana boleh robek di lutut. Boleh kencing di bawah pohon kalau kepepet. Boleh jarang mandi bila sedang takut kena air, tapi jangan takut menolong orang buta menyeberang jalan.

Orang-orang tua harus diajari cara berfikir future minded, supaya tak terlalu dan selalu menuhankan masa lalu. Cium tangan bapak-ibu adalah keluhuran, tapi mem’beo’ dengan pilihan mereka untuk menentukan sekolah kita, cita-cita kita, dengan siapa pasangan hidup kita, sampai bagaimana jalan hidup kita: absolut 100% kebodohan.

Bilang sama orang-orang tua yang pikirannya udik: kalau mau punya turunan generasi dengan prototype kayak gituan, saat malam nda’ usah repot-repot masukin cairan sperma ke saluran peranakan. Sampai-sampai repot teriak-teriak menyabung nyawa saat melahirkan. Cukup sebelum jam 9 malam iseng-iseng ke mall, beli robot yang ada tulisan made in Japan. Dijamin, tak ada yang bisa menandingi kepatuhan mahkluk ini. Disuruh minum air kencing pun mau. Dengan catatan, ini bagi yang sudah siap disuruh angkat kopor dari rumah.

Orang-orang muda yang berfikir progresif, mari sama-sama beli sebotol coca-cola. Yang mau minum, minum. Yang anti produk sono, monggo tuangkan ke tanah. Isinya tak penting. Segera setelah kosong, mari sama-sama hantamkan botolnya ke kepala masing-masing hingga pecah. Siapa tahu struktur syaraf bisa korslet di beberapa bagian, sehingga energi ‘kreatif’ bisa mulai mengalir seperti mata air yang baru ditemukan. Kalaupun ternyata tidak, minimal kita bisa abnormal. Lumayanlah ketimbang normal (mediocre).

Menjadi orang-orang muda generasi ‘kreatif’ jelas penuh rintangan. (sekali lagi, selalu baca ‘kreatif’ secara harfiah saja: sifat untuk mencipta. Bukan nyeni, unik, keren, atau de-el-el. Katro, ndeso kata Tukul). Akan ada banyak tanjakan, kelokan, dan kerikil tajam.

Memang, face to face dengan warisan nilai-nilai usang yang sebenarnya tak lagi relefan, sudah cukup bikin tenggorokan telan ludah. Apalagi melawan dan menghancurkan.

Tapi ini namanya tantangan bung! Mainan hanya buat mereka yang ‘laki-laki’. Mainan yang bikin kaum hybrid keder duluan. Mainan yang bikin kaum perem…(woii…woiii…stop…rasis…rasis…woii! Ingat rambu-rambu mas. Diuber-uber aktivis sekte garis keras feminisme dan hybridisme, baru nyaho sampeyan!).

Mental fight dan tahan banting adalah senjata utama. Di samping hitung-hitungan yang cerdas tentu saja. Kalau sudah haqul-yaqin, pegang dengan segenap jiwa-raga. Jangan pernah takut apalagi mau ditakut-takuti.

Socrates tetap kuekeh memilih minum racun, padahal diberi keringanan ‘bebas’ asalkan mengingkari kata-katanya. Galileo rela masuk bui, gara-gara tak sudi meralat pendapat bahwa bumi itu bulat. Joan of Arc dibakar hidup-hidup karena keyakinan spiritualitasnya, meski 500 tahun kemudian barulah diberi gelar santa (wanita kudus) oleh otoritas gereja. Sejak dulu, teror memang senjata andalan tuan-tuan penguasa.

Pengecut hanyalah wajah lain dari kebodohan. Di tahun 97 H (sekitar 710 Masehi), panglima perang Thariq Bin Ziyad membakar semua kapal yang ditumpangi pasukannya ketika memasuki Andalusia (Spanyol) yang dijaga oleh 25.000 pasukan pimpinan Raja Roderick. Ia lalu berkata:

Wahai saudara-saudaraku, lautan ada di belakang kalian, musuh ada di depan kalian, ke manakah kalian akan lari?, Demi Allah, yang kalian miliki hanyalah kejujuran dan kesabaran. Ketahuilah bahwa di pulau ini kalian lebih terlantar dari pada anak yatim yang ada di lingkungan orang-orang hina. Musuh kalian telah menyambut dengan pasukan dan senjata mereka. Kekuatan mereka sangat besar, sementara kalian tanpa perlindungan selain pedang-pedang kalian, tanpa kekuatan selain dari barang-barang yang kalian rampas dari tangan musuh kalian. Seandainya pada hari-hari ini kalian masih tetap sengsara seperti ini, tanpa adanya perubahan yang berarti, niscaya nama baik kalian akan hilang, rasa gentar yang ada pada hati musuh akan berganti menjadi berani kepada kalian. Oleh karena itu, pertahankanlah jiwa kalian.

Sekali pilihan telah dijatuhkan, maka balik badan putar haluan adalah kekonyolan. Hidup kata Nietzsche memang seperti perang yang setiap saat berjalan dalam keadaan bahaya. Seperti berada di atas seutas tali dimana jurang tak berdasar telah menanti. Maju maka tali bergetar. Mundur juga tali bergetar. Diam pun tali tetap bergetar. Maka pilihan terbaik adalah maju ke medan perang, menyongsong perubahan dan hal-hal baru yang bisa jadi lebih baik.

Sesekali konfrontasi memang diperlukan. Dorong-dorongan sedikit dengan aparat boleh-lah. Tapi kalau sudah pungut apa saja di tanah, lalu menimpuki batu barikade polisi (kecuali yang tidur terlentang di tengah jalan), mobil-mobil mewah yang melintas, restoran franchise hanya karena bermerek asing, itu namanya ‘Jaka Sembung nenteng golok’.

Kadang kompromi bukan barang haram, dengan catatan selama tidak menghianati substansi. Api tak harus selalu dilawan dengan api. Nabi Muhammad SAW pernah diludahi seorang Quraisyi, tapi beliau malah menjenguknya ketika orang itu sakit.

Di tengah jalan kita mungkin kalah. Rasa pahit terpaksa ditelan. Tapi yang berjiwa ‘petarung’ akan selalu bangkit dan berdiri tegak untuk mau belajar ulang setiap inchi kesalahan. Strategi harus dirancang ulang. Sesungguhnya kesalahan merupakan pelajaran paling berharga yang tak bakalan bohong.

Jangan cepat putus asa dan jangan menyerah. Syukuri apa yang ada, hidup adalah anugerah. Tetap jalani hidup ini, melaku… (se’…se’…se’...mas…mas…nyadar…mas…lha itu syair lagunya D’Masiv).

Generasi ‘kreatif’ adalah orang-orang muda yang setiap saat haus akan segala dimensi-dimensi baru. Penjelajah yang menyambangi setiap sudut-sudut antah-berantah penjuru dunia. Pemberani yang tetap membuka mata bahkan dalam gelap sekalipun.

Si tolol tak akan pernah tahu seperti apa nikmatnya berenang, kalau hanya mematung kaku di pinggir kolam. Badan telah setengah telanjang, kaca mata renang terlanjur nangkring di wajah, jangan justru terlihat makin konyol lalu berdalih, “ah…sorry, rasanya lebih enjoy jadi penonton.”

Lihat penonton di lapangan sepakbola. Tak ada yang lebih brengsek darinya. Mulutnya tak henti-henti menegejek, mencela, memaki dan mengumpat. Giliran disuruh melakukan, bisanya cuma melongo, garuk-garuk kepala yang tak gatal, cengengesan lagi!

Lain lagi tingkah penonton yang mulutnya sempat kenal sekolahan. Julukannya sok ilmiah: ‘pengamat’. Paling senang kalau ketemu debat. Senjatanya menganalisis segala sesuatu dari faktor ini, faktor itu dan faktor ini-itu. Semua jenis teori berhamburan keluar dari bibirnya. Berton-ton filsafat ia paparkan semudah merangkai bunga. Segala sesuatu di bahas, dari urusan sol sepatu, harga cabe, Inul naik haji, korporasi kapitalis, hingga global warming. Giliran makan permen, bungkusnya dibuang ke tanah, padahal kotak sampah 5 meter di depan otaknya.

Berenang tak butuh diskusi lama-lama sampai pantat pegal. Lompat! Ceburkan diri! Selesai. Tak perlu takut tenggelam, sebab orang yang mawas selalu menyiapkan pelampung dan isi kepala. Mengalami jauh lebih akurat daripada menganalisis.

Radikalisme adalah kemewahan yang hanya dimiliki anak-anak muda progresif. Sampah-sampah busuk sifat pecundang, rasa takut, putus asa, cari titik aman, tak tahan banting harus disingkirkan jauh-jauh. Jangan melulu seperti kodok dalam panci. Tak punya nyali keluar dari tempurung sesat nilai-nilai kuno.

Kita bukan anak kecil yang selalu cengeng bila tak dibelikan mainan. Kita bukan tukang suap apalagi polisi yang hobinya cuma satu: makan uang suap. Kita bukan orang yang suka lempar batu sembunyi tangan, trus nunjuk orang lain segala. Kita bukan mahasiswa yang belajar korup memark-up kwitansi belanja kegiatan kampus. Kita bukan Fransisco Totti yang suka pura-pura jatuh di kotak penalti. Kita bukan orang yang petantang-petenteng bangga mengendarai mobil kreditan bapak. Kita bukan orang yang mau menikam orang dari belakang. Kita bukan pengamat yang mulut berbusa-busa dengan hal-hal ‘tong kosong cempreng bunyinya’. Kita bukan bawahan kantoran yang gemar celetuk ‘cari muka’ dihadapan bos: “wah…bapak brillian!”; “apa sih yang tidak buat bos.”; atau “alis mata kiri bapak bagus deh!”

Kelakuan yang beginian pantasnya diacungi jari tengah tinggi-tinggi! Dua-duanya sekaligus.

Kita adalah generasi provokator perubahan, kreator hal-hal baru, anak-anak muda yang rela berkorban terbakar hidup-hidup demi sebuah nilai-nilai kehidupan yang lebih baik di masa depan.

Tapi awas jangan terkecoh dengan kemenangan yang biasanya berbuah manis ‘popularitas’ dan ‘materi berlebih’. Garis-bawahi, boldkan, tulis miring, dan beri ukuran font 18pt untuk kedua hal ini.

Kapan buaian istana mulai membuat perasaan nyaman, itu tanda bahaya telah mengancam. Materialisme dan popularisme tak lain selimut dan bantal guling palsu di tengah badai salju. Menina-bobokan diri hingga enggan beranjak. Dewa Arak yang paling memabukkan. Stagnasi tingkat tinggi. Tipu muslihat status-quo paling licik. Nilai-nilai kuno yang paling kepala batu. Tirani otoritarian yang anti-kritik. Inilah raksasa paling bajingan, berhala paling akhir yang sulit terkalahkan dalam legenda: KEMAPANAN!

Menjinakkannya butuh jurus rahasia tersendiri seperti dimiliki Ibrahim Ibn Adham dan Sidharta ‘Buddha’ Gautama yang meninggalkan kemilau Istana selama-lamanya demi panggilan jiwa tentang perubahan dan hal-hal baru.

Kalau ternyata kedua orang ini tak juga mampu mengubah pola pikir. Yo wees…mau apa lagi, bubur gak sudi jadi nasi. Nah, jangan tanggung-tanggung, ambil jurus ini: kenakan kemeja rapi, pasang celana kain, semir sepatu kulit, badan semprotkan parfum, rambut minyaki dengan Brisk. Satu lagi jangan sampe lupa, beli Firdaus Oil. Budidayakan kumis sampai lebat, biar kalo ketemu suaminya Inul, doi minder duluan.

Masih belum cukup…??? Ambil tali jemuran, susul Kurt Cobain. Biar tampak lebih heroik.

Di setiap punggung orang-orang muda, generasi ahli waris hari esok, melekat hutang yang harus dibayar kontan.

Hutang hukumnya wajib dilunasi. Menunggak, sama artinya membiarkan malaikat Malik dibahu kiri mencatat satu lagi tambahan koleksi dosa. Setiap dosa ditimbang pada hari kemudian. Kalau terlalu kembung makan dosa, itu artinya di akhirat bakal masuk……………???

“Masuk…angiiin!” sambar si mahkluk ghoib yang sedari tadi banyak bacut di dalam kurung.

* * *

Kampung Pettarani, Makassar 26 Februari 2010.

catatan akhir: Tulisan ini sangat dipengaruhi oleh beberapa artikel di Blank! Magazine, Yogyakarta. Malah ada kalimat yang mungkin sama. sama-sekali ndak bermaksud plagiat, hanya sekedar meneruskan spirit artikel majalah tersebut. Matur Nuhun!

picture by Kinky-chichi on deviantart.com

Selengkapnya...

Catatan Kaki 3 Adegan Bullshit yang Kalau Diterjemahkan Jadinya: Tai Sapi

BAGIAN 1:“Kursi Si Hebat”


Empat orang berteman saling mengobrol. Tiap orang duduk di atas kursi masing-masing.

Selang berapa lama seorang temannya datang lagi. Yang datang ‘si hebat’. Hebat sebab di antara mereka beliaulah yang kantongnya paling tebal. Tebalnya gak bakal berkurang signifikan, meski setiap tiga jam nraktir keempat mahkluk yang pantatnya nyender di atas kursi-kursi tersebut.

Ganteng, muda, wangi, necis. Ke salon 3 kali seminggu. Kemana-mana dipayungi sedan. Punya kerjaan tetap, warisan ayah tapi. Ayahnya pejabat, itu tandanya dia anak pejabat (ya iyalah…dodol…masa ya iya dol……… spidol!).

Pokoknya, indikator-indikator ini kiranya sepakatlah untuk menganugerahi beliau sebagai ‘si hebat’. Biarpun dalam tanda kutip, tapi tak banyak kan orang yang dikaruniai seperti beliau.



Eiiiitt… hampir lupa… satu lagi, kalau ngobrol kaki kanannya suka diletakkan di atas paha kirinya. Apa maksudnya, mungkin hanya tuhan yang tahu. Yang pasti (ho…oh… yang pasti-pasti aja deh!) itu sudah jadi ciri khas dari sono-nya.

Balik ke adegan awal: ‘si hebat’ datang. Semua kursi yang ada di sekeliling meja sudah penuh. Tadinya, setiap yang baru datang, nantinya bakal mengambil sendiri kursi yang numpuk tak jauh dari meja itu. Sekarang, yang bersangkutan pun berhadapan dengan situasi yang sama: “gimana ya caranya duduk?”

Seper-sekian-detik kemudian, ‘si hebat’ celingak-celinguk. Bukan nunggu mukjizat, tapi impuls-impuls kelenjar elektromagnetik di otaknya mulai mikir. Eh…sekonyong-monyong delivery solusi langsung nyambar main datang aja. “Datangnya tak dijemput, pergi tak diant…………???”
(lengkapilah kalimat di atas. Lalu ucapkan tiga kali. Trus, ntar malam tidurnya ngadap kanan. Lalu coba sewaktu-waktu tengok tiba-tiba, wajah siapa yang rambutnya panjang, pakaiannya putih-putih, nongol di belakang punggung anda?
Anda benar… sekiranya menebak Dian Sastrowardoyo habis shampoo-an! Garing kan? Hi..hi..hi… ^_^)

Lanjut. Sekonyong-monyong, delivery solusi langsung nyambar main datang aja. Satu di antara empat temannya itu, yang hebatnya pula hanya dalam hitungan seper-sekian-detik, menyerahkan kursi yang diambilnya sendiri dengan ‘ikhlas’. Wuiih…. ada senyum manis pula nungging di bibirnya.

Mungkin mau pamer gigi yang barisannya gak rapi-rapi amat. Atau mungkin tanda silahkan duduk. Gak ada yang tahu persisnya (saya aja yang nulis gak tahu). Persisnya kayak apa, hanya dia sendiri yang tahu.
Iya… hanya dia sendiri, soalnya tuhan masih sibuk nyari tahu: “Apa maksud ‘si hebat’ kalau ngobrol kaki kanannya suka diletakkan di atas paha kirinya?”

Terakhir. Lalu dia– maksudnya (dia) bukan ‘si hebat’. Tapi temannya. Temannya yang senyumnya nungging– melangkah mengambil kursi untuk kedua kalinya. Kursi yang numpuk tak jauh dari meja itu.

(penting gak seeh endingnya? Ha..ha..ha… hanya tuhan yang tahu. Soalnya, tuhan udeh kelar nyari tahu: “Apa maksud ‘si hebat’ kalau ngobrol kaki kanannya suka diletakkan di atas paha kirinya.”)
Hi…hi…hi… udeh ah… TITIK!

__________________
Catatan kaki bau TAI SAPI: Ada yang mencium aroma nendang di hidung?

Yang jelas jangan nuduh ‘si hebat’. Sumbernya bukan dari beliau. Gak ada urusan kalau dia wangi kek. Duitnya segunung kek. Mobil sedannya tingkat empat kek. Jahitan kantong celananya sobek gara-gara nampung duit terlampau berat kek. Anak tuhan kek. Mau dia kakek-kakek kek. Ora urus!

Gak ada satu aturan kok– walau sampai ubanan ngutak-ngatik lembar-lembar kitab suci manapun– yang pernah bilang: “Kaya raya itu gak baik.” Kalau ada yang coba-coba ngotot berdalih, sirik kali tuh.

Yang patut dicurigai bau malah ‘si tuan ikhlas’– itu yang barisan giginya gak rapi-rapi amat. Apa maksudnya coba, serah-terima kursi yang sudah menjadi haknya. Padahal tadinya setiap orang telah menerapkan aturan yang disepakati secara tidak tertulis bahwa: setiap yang datang nantinya mengambil kursi masing-masing!

Coba misalnya yang datang bukan ‘si hebat’. Tapi ‘si kunyuk’. Kunyuk gara-gara mandinya seminggu 3 kali. Mukanya jelek. Kulitnya hitam belang-belang. Giginya rapi-rapi, cuma panjang-panjang. Bau badannya mirip bau ular kalau sedang ganti kulit. Kalau ngomong cakapnya nyinyir, sok profesor merasa pintar sendiri.
Kesana-kemari gelantungan di atas metromini. Suka ngupil di depan umum. Lalu upilnya dilengketin di kaca metromini. Kantongnya tipis. Sampai-sampai pas ditagih kenek metromini, bilangnya “udeh bang!” dengan nada gertak pelintir kumis, gak nyadar kumisnya udah dicukur tadi pagi biar kelihatan agak mudaan.

Nah, coba yang datang makhluk langka seperti ini. Rasa-rasanya belum tentu ‘si tuan ikhlas’ mau bela-belain setor kursi. Kalau nyetor juga, paling tidak batang hidung senyum nunggingnya itu deh yang gak bakal nongol-nongol di bibirnya.

Paling-paling dia hanya nengok sekilas. Lalu dalam hitungan tiga-per-sekian-detik, otaknya sudah berhasil mengidentifikasi siapa yang datang. Lengkap dengan sugesti reaksi apa yang harus ia keluarkan: “oh… si kunyuk, cuekin aja ah… toh sekunyuk-kunyuknya dia, kan masih punya tangan dan kaki!”

Layanan overacting delivery-nya ‘si tuan ikhlas’ itu pantasnya dicurigai sebagai usaha penerapan jurus ‘serigala tanpa bulu’. Kalau ‘serigala berbulu domba’ sih masih mending, masih ada malu-malunya. Ini mah telanjang. Naked sebulat-bulanya. Tanpa bulu-sehelai pun bo! Sebelas-duabelas dengan pelacur konvensional. Bedanya, yang pertama dibayar karena ‘jual diri’, yang kedua karena ‘jual harga diri’.

Membeda-bedakan sikap terhadap orang lain sih sama sekali gak ada masalah. Manusiawi malah. Semua orang juga pasti begitu. Selama pertimbangannya adalah apakah orang yang dihadapi ini baik atau buruk kualitasnya.
Tapi kalo hanya berdasar seberapa sering dia nraktir, seberapa elok parasnya, seberapa tinggi pangkatnya, seberapa berat kantongnya, seberapa populis popularitasnya, atau seberapa panjang resliting celananya, itu sih gak manusiawi. Belum cukup manusiawi. Levelnya setingkat di bawah manusia(wi).

Yang satu tingkat di bawah manusia, ya apalagi namanya kalau bukan binatang. Mana pernah macan kalau lapar pilih-pilih mangsa “ah…jangan rusa yang ini ah…dia suka ngeluarin zakat kalo lagi dapat rejeki!” lalu macannya nongkrong lagi gak jadi nerkam.

Cocoknya, orang suka nyodorin kursi ‘maut’, disuruh merintis bisnis baru nyaingin TUKANG PIJAT. Tinggal ambil papan nama, tempel di depan rumah: TUKANG JILAT. Lumayan untuk meminimkan kelangkaan lapangan pekerjaan, di antara segunung kelangkaan-kelanggkaan di negeri ini.

Syarat bagi yang mau melamar gampang, cuma satu: lidahnya harus panjang minimal seperti daun mangga. Kalau ada yang bergerigi seperti daun pepaya lebih bagus lagi. Efek jilatannya tentu bisa lebih dahsyat sampai nembus ke hati.

Mental-mental kayak gini nih yang namanya bibit materialisme. Sangat ‘bagus’ kalau dipiara tiap hari. Awalnya memang baru kuncup dan tunas. Tapi kalau udah disiram air, diberi pupuk, dipagari… klop udeh. Besok-besok pasti sukses jadi koruptor raksasa. Dijamin 127 % keniscayaannya. Niscaya bakal ngobrak-ngabrik negara. Bukan negara orang lain tapi.

Mental-mental kayak gini nih pakarnya ilmu pura-pura. Petantang-petenteng mondar-mandir kesana-kemari. Gak nyadar kalau kakinya sedang nginjak-nginjak kepala orang lain. Pas ditegur, senyam-senyum “ups sorry… saya gak liat kepala Anda!”

Sama kayak penyakit suka pura-pura gak liat-nya KITA dengan orang sekitar. Orang sekitar yang terpaksa makan nasi bekas yang dijemur-keringkan dulu, lalu direbus ulang. Disantapnya dengan garam atau krupuk. Kalau gak ada juga, ya lauknya dengan air mata berlinang.

Satu bulan kemudian, kejadian ada bayi yang mati gara-gara busung lapar. Kalau di negara gurun sih masih agak-agak masuk akal, meski kasus beginian tetap gak bisa dibenarkan. Tapi kalau kejadiannya di negara tropis, yang tiap tahun hujannya sampai tumpah-tumpah bikin banjir? Gak tahu deh mau ngomong apa lagi…

Hebat kan penyakit ‘suka pura-pura gak liat’-nya KITA dengan orang sekitar?
Eh…habis itu kita biasanya nepuk jidat sendiri lagi, ngomong sendiri “aduh sorry… saya gak liat kepala bayi Anda yang kena busung lapar itu, besarnya udah gak proporsional dengan lekuk-lekuk tulang rusuknya yang nonjol keluar. Padahal, beras di rumah saya suka dibuang pembantu saya gara-gara kutuan kelamaan gak di makan. Sayur-mayur juga, suka layu sendiri gara-gara kelamaan jadi pajangan hiasan kulkas.”

“Ini karena pemerintah sih kurang peka sama rakyatnya…” ngeles KITA nyari kambing ‘negro’.

Tololnya, cerita di atas sebenarnya belum benar-benar titik. Sewaktu ‘si tuan ikhlas’ menyodorkan kursi, sebenarnya tiga teman lainnya berperilaku sama. Cuma gara-gara posisi ‘si tuan ikhlas’ paling dekat aja, sampai-sampai ‘si hebat’ memilih kursinya dengan alasan pertimbangan kepraktisan.

Di negeri ini, sodor-sodoran kursi model begini memang banyak. Malah mungkin pernah, sedang atau bakal anda jumpai di rumah kerabat, di acara kondangan, di arisan, di instansi pemerintah, di ruang-ruang kuliah, di lingkungan kerja, di bandara, di balik gedung-gedung pencakar langit, di rumah sakit, di terminal-terminal, di tempat nongkrong, di pasar, di seminar-seminar, di hajatan maulid, di isi otak KITA yang lagi mikir kursi siapa yang duduk di samping sopir saat sedang pergi rame-rame dengan sejawat.

Kalau ketemu, untuk membuktikan apakah mental beginian semacam kategori TAI SAPI apa kagak, gampang. Caranya: ambil mistar 30 cm, minta permisi dulu sebelumnya “mas/mba mohon maaf, bisa minta tolong julurkan lidahnya sebentaaar… aja?” Ukur, kalau panjangnya seperti daun mangga, tak salah lagi. Apalagi pas waktu lidahnya terjulur ternyata bentuknya mirip daun pepaya, mistarnya gak perlu difungsikan deh. Cukup bersuara dalam hati “manusia matreialisme!”

Nah… abis itu langsung sarankan “mas/mba anda cocoknya hidup di air, kenapa gak ke laut aja? maen jilat-jilatan ama capit kepiting…!”

To be continued … (tapi tergantung kondisi sih…)



* * *

Kampung Pettarani, Makassar 13 Maret 2010

Selengkapnya...

manifesto maskulinisme!


Salut, hebat betul, angkat topi, angkat jempol sampai empat malah (sekalian sama kaos kaki dan sandal-sandalnya deh biar gak nanggung) buat perempuan-perempuan yang telah gigih menuntut persamaan hak-hak dengan laki-laki.

Tak percuma dulu mba Kartini memberi wejangan Habis Gelap Terbitlah Terang. Cut Nyak Dien lebih ekstrim lagi. Jauh-jauh hari sudah membuktikan bahwa bos di medan perang itu bukan cuma tergaris di telapak tangan laki-laki, anak cucu Hawa pun bisa jadi Rambo tatkala memimpin pasukan.

Olympe de Gouges, Mary Wollstonecraft, Betty Friedan serta segepok nama-nama produk luar negeri’ lainnya, wow jangan ditanya lagi kegaharannya. Warisan-warisan mereka inilah hingga feminisme bisa memperoleh akses pendidikan, hak politik, manager kantoran, menteri, hingga presiden sekalipun seperti sekarang ini.


Pokoknya te-o-pe be-ge-te es-ka-el dst deh, apa yang telah dicapai perempuan-perempuan masa kini.
Nah, laki-laki harus bahkan ‘wajib’ belajar 9 tahun dari prestasi ini. Jangan malu, apalagi sok gengsi karena dikuliahi perempuan. Seperti kata pepatah tempoe doloe “ keberhasilan orang lain adalah jejak awal untuk keberhasilan berikutnya.” (Emang ada ya..pepatah jaman dulu kayak gini? Aah..bodo amat. Gak usah protas-protes, sebab seperti kata pepatah lama lagi “orang protes nyaring bunyinya.” Hiks…^_^)

Balik ke soal wajib belajar. Ehem…eheem…eheeeemm…!! (sorry keselek nyamuk). Mencontek itu penting. Selama sedang kepepet dan tempat nyonteknya memang mumpuni. Meniru-niru apa yang telah diperbuat kaum perempuan bukan hal memalukan.

Apa yang harus ditiru? Sederhana saja kok, gak perlu pake mikir yang ribet-ribet: kalau perempuan sukses besar memperoleh kesetaraan hak lewat feminisme, laki-laki pun seharusnya bisa sukses menuntut kesetaraan hak lewat– sebut saja maskulinisme.

Kalau perempuan berhasil mendapatkan segala hak-hak yang selama ini menjadi ‘kuasa’ kaum laki-laki, sebaliknya laki-laki pun harus berhasil menuntut hak-hak yang selama ini masih dikuasai kaum perempuan.

Siapa bilang perempuan tidak ‘menyembunyikan’ kuasa hak-hak spesial dari balik penampilannya yang gemah gemulai? Kita sebenarnya sudah cukup lama dibuai tidur panjang oleh tutur kata perempuan yang lemah lembut.

Ambil contoh bunga-bunga di taman atau warna pink. Peraturan mana di dunia ini yang bilang kita (laki-laki) tidak berhak bercengkrama atas ‘kemewahan-kemewahan’ itu. Mana ada literatur yang menceritakan bahwa sejak pertama turun ke dunia, Hawa sudah mematok lebih dulu kedua hal tersebut ketimbang Adam.

Kaum laki-laki berhak berakrab-akrab ria dengan pewarna kuku, perona bibir, pelentik bulu mata, tato alis, bahkan mencukur abis seluruh bulu manapun di sekujur tubuhnya. Kalau ‘sensitif’ sedikit, laki-laki sangat ‘sah’ meneteskan air mata. Jangan mau percaya istilah “boys don’t cry” atau tipu daya embel-embel kita ini mahkluk macho.



Dalam hirearki sistem keluarga, kebijakan tak tertulis bahwa laki-laki ‘harus menjadi pemimpin’ sehingga wajib menafkahi keluarga, harus dihapuskan. Itu tidak sesuai dengan peri-kesetaran dan peri-kemanusiaan.

‘Harus menjadi pemimpin’ tak ubahnya menjadikan kita seperti ‘mesin produksi’. Seolah-olah, tatkala kita mendapati di balik celana dalam ada seonggok daging yang menjuntai, maka serta-merta sebuah sistem bekerja secara otomatis bahwa kitalah yang kemudian bertanggung jawab penuh atas kelangsungan hidup anggotra keluarga lainnya. Jika tidak, siap-siap di hari kemudian sejumlah dosa besar bakal mencekik leher kita. Paham model beginian sama saja paham ‘aliran sesat’.

Laki-laki juga punya hak sama untuk menyandang gelar ART alias Ayah Rumah Tangga (ini untuk menandingi istilah IRT: Ibu Rumah Tangga). Seperti halnya perempuan, kita berhak sepanjang hari nongkrong di rumah tok. Menyiapkan sarapan, nyuci piring, masak sayur, menyetrika, bersih-bersih, atau tidur-tiduran di sofa sambil ngemil dan termehek-mehek nonton telenovela. Jangan pernah percaya tudingan ‘laki-laki tak bisa becus ngurusin rumah’. Buktinya cleaning service dan chef hotel-hotel berbintang dominan kaum kita.

Andaikata, payudara laki-laki dikaruniai kemampuan untuk mengalirkan ASA alias Air Susu Ayah, sungguh kita pun punya hak untuk menyusui bayi sambil berucap “cup…cup…cup… sabar ya sayang… jangan nangis… ibumu sedang cari uang di bawah terik matahari, di tengah buasnya orang-orang di jalanan.”

Demi asas persamaan hak, dalam soal olahraga, pengkategorian putra dan putri sudah harus disingsirkan jauh-jauh lalu dikubur dalam-dalam. Roger Federer dan Maria Sharapova harus diadu demi penghindaran cerminan inferioritas perempuan di hadapan laki-laki.

Klub-klub sepakbola seperti Manchester United atau F.C Barcelona tak selalu harus mentranfer pemain berjenis kelamin batangan. Seru juga kalee… kalau di antara sebelas pemain ada wajah ayu yang menempel ketat kemanapun Didier Drogba, striker Chelsea yang berbadan raksasa itu mencari ruang kosong.

Bahkan, dalam soal yang tergolong remeh-temeh seperti menyeberang jalan, tak seharusnya tangan laki-laki yang terlihat harus selalu menggandeng tangan perempuan. Pemandangan konyol seperti itu hanya akan membuktikan bahwa perempuan sebenarnya nyaman dalam topeng ‘mahkluk lemah lembut’ dan laki-laki adalah makhluk bodoh yang tersesat dalam kepercayaan norak sebagai si macho pemberi rasa aman pada perempuan.

Bila perempuan dengan feminisme menuntut persamaan hak, menolak diskriminasi dan kondisi ketergantungan kepada laki-laki– demikian halnya laki-laki dengan maskulinisme, bukan dilahirkan unutk menjadi ‘tuan’ apalagi ‘pelayan’ perempuan. Seperti kata Jean Paul Sartre (1905-1980) “Manusia tidak mempunyai sifat dasar untuk saling bergantung. Kita menciptakan diri kita sendiri.

Jadi, besok-besok, kalau ketemu perempuan yang menjengkelkannya naudzubillah, tonjok aja hidungnya sampai mimisan. Atau kalau gak tahan lihat darah, tendang aja selangkangannya. Sekali lagi Jangan mau percaya pepatah lama “perempuan wajib dilindungi, gak boleh dikasari.”

Tapi ini hanya umpama kalau perempuan dan laki-laki mau konsisten full dengan konsep feminisme dan maskulinisme lho. (Anyway adakan pepatah lama yang bunyinya kayak gitu…???)
_________________________
Kampung Pettarani, Makassar 9 Februari 2010.

sumber gambar: sori lupa nyongkel di mana, pokoknya kalo gak gogle.com pasti deviantart.com hihihi...

Selengkapnya...