Maraton


Entah kapan terakhir kali lari maraton dilombakan di kota ini.

Yang jelas, tahun-tahun kemarin kabarnya tak lagi pernah mampir di kuping. Sedikit lagi mungkin punah tak digubris.

Maraton salah satu sub dari olahraga atletik lari. Semarga dengan jalan cepat, lari halang rintang, estafet, 100m, 200m, 400m, 800m, dan bla bla bla …00m lainnya. Seperti lari pada umumnya, aturan main maraton mungkin malah yang paling sederhana. Tak perlu ada serah terima tongkat estafet pun meloncati palang rintang. Cukup berlari hingga garis akhir. Titik.

Start awal tak perlu diukur adil dengan garis sejajar. Apalagi repot-repot pakai acara jongkok atau melayang. Pelari cukup berdiri saja sembari berkerumun. Jumlah peserta kadang mencapai ribuan. Seumpama dilihat dari atas helikopter, kerumunan itu mirip massa yang sedang unjuk rasa akbar.


Hanya ada satu yang tidak sederhana dari maraton: jarak tempuhnya bikin tenggorokan telan ludah. 42,195 km tidak kurang malah doyan molor. Dari itu, dibutuhkan ramuan stamina yang tokcer plus kesiapan otot yang cespleng untuk menempuhnya.

Speed ala Usain Bolt– pelari 100m asal Jamaika pemegang rekor manusia terkencang di jagad ini– bukan jaminan mutu untuk mampu memutus pita finish apalagi naik podium. Salah-salah, kalau dipaksakan juga, bisa pingsan duluan cuma di 2 kilometer meter pertama.

Usut punya usut, ini menurut bisik-bisik resep mantan atlet amatiran, strategi memanage nafas dan pengaturan kecepatan kadang menjadi kunci untuk bisa masuk ke garis akhir. Lain dari itu, mental tak kenal kata menyerah– seperti suasana kebatinan serdadu yang sedang perang– kudu terpatri di dalam dada.
Satu lagi resep pamungkasnya “jangan lupa makan gula merah barang sekepalan tangan bayi sebelum bertanding,” begitu ia berpesan dengan bisik yang makin dipelankan lalu bibir makin rapat ke telinga. Itu mungkin tanda serius.

Untuk poin yang terakhir, rasa-rasanya perlu dicross-check ke dokter ahli gizi dulu sebelum ditelan bulat-bulat. Ceritanya bagaimana, hubungannya apa. Atau, siapa tahu maksudnya gula merah bisa menjadi sugesti bagi kekuatan. Siapa tahu.

Perjalanan hidup mirip maraton. Yang tidak miripnya: perjalanan hidup tak pakai garis finish. Tapi paling tidak hidup butuh persiapan sebagaimana lari maraton. Hidup harus mencontek semangat yang bersembunyi di dalam dada atlet-atlet maraton. Tak peduli kelas amatiran atau jagoan.

Desingan pistol memecah udara. Bendera start dinaikkan. Kompetisi telah dimulai. Larilah meninggalkan kerumun, sebab yang terdepan tentulah pemenang. Tapi jangan lupakan kesabaran, sebab hanya konsistensi yang bisa menaklukkan lintasan nun jauh kilometer di depan.

Lari maraton adalah perjalan hidup. Butuh otot-otot terlatih biar tak gampang lelah. Butuh stamina prima biar punya daya tahan uji di jalan menanjak sekalipun. Harus pandai-pandai mengatur strategi. Kapan menambah kecepatan dan kapan harus menyimpan tenaga. Nafas diatur sedemikian rupa, biar tenggorokan tak cepat sengal kehabisan oksigen.

Perjalanan memang jauh, sesekali mungkin terjatuh. Mungkin karena ketidakseimbangan. Namun hidup, harus selalu bangkit dan kembali berlari. Walau melakukan kadang tak semudah mengucapkan.

Dalam usaha mendahalui lawan, ada yang menarik lengan baju, menyikut dagu, mendorong, menjegal, bahkan menerjang. Kita mungkin terjungkal mencium aspal. Lutut, siku, dan jidat boleh berdarah. Namun hidup, juga harus diajar bertanding secara fair. Sebab ada sesuatu yang lebih mulia dari sekedar menang – kalah.

Menuju 10 km akhir, kerumunan telah lenyap. Satu-persatu berguguran dilahap lelah. Yang bertahan sisa puluhan. Langkah terangkat kian berat. Desah nafas makin sesak. Keringat mengucur deras dari rongga pori-pori. Kulit memerah dipanggang matahari. Gesekan sepatu dan lecet di telapak kaki terasa bagai disayat silet. Di titik itulah mentalitas ‘serdadu yang sedang perang’ sedang diuji.

Bila terompet perang terlanjur dibunyikan, menyerah hanya senandung bagi yang bermental kerupuk. Hanya yang bertarung hingga garis finishlah yang pantas dikalungi medali kehormatan.

Seperti maraton, lari, larilah sejauh mungkin. Meski harapan terpaksa tumbang disisa kilometer akhir.
__________________

Sumber gambar: Rob 523, Deviantart


* * *
Kampung Pettarani, Makassar 4 desember 2009
Selengkapnya...

Ibuku ternyata Dian Sastro


Gambar kecil itu ternyata masih terselip di dalam orgy.

Kalau saja hari itu, lembaran-lembaran halaman orgy hitam bermerek de Lacto tak dibuka pemiliknya, mungkin kehadirannya selama ini telah dilupakan.

Ihwal kejadiannya tak sengaja. Sore itu langit agak pekat. Dia tak punya urusan lain. Iseng-iseng dia mengecek tumpukan buku yang dibongkar setelah melakukan pembenahan kamar dua bulan lalu. Hatinya hanya sedikit was-was, kalau-kalau ada buku yang luput terdeteksi ingatan karena dipinjam kawan. Selang berapa lama, orgy itu seperti muncul meminta perhatian. Padahal letaknya menyelip di sela tumpukan buku.

Orgy hitam itu pemberian kakak perempuannya yang menetap di Jakarta beberapa tahun lalu. Bahannya dari kulit sintetis. Dia mendapatkannya semasa di semester awal perkuliahan. Tampilannya masih bagus hingga saat ini.

“Hmm…awet juga orgy buatan pabrik ini!” pikirnya.

Dia memutuskan membuka diawali dari halaman belakang. Sticker kecil berwarna putih kusam melekat satu-satunya pada kulit bagian dalam. Di situ tertera tulisan Rp 47.500 serta logo swalayan HERO, tempat dimana orgy itu dulu dibeli kakaknya.


Di awal-awal halaman berisi catatan-catatan kadaluarsa. Misalnya, daftar prioritas rencana barang-barang yang dulu ingin dibeli namun beberapa diantaranya kini sudah dimiliki. Atau beberapa catatan nomor handphone lengkap dengan nama pemilik tapi yang bersangkutan bukan termasuk kategori teman akrab. Paling-paling waktu itu ketemunya cuma untuk urusan koordinasi kegiatan kampus. Sosoknya pun lupa-lupa ingat. Jadi pikirnya, tak perlulah disafe di phonebook ponselnya.

Halaman berikut berisi sebagian catatan kuliah dan sebagian lain catatan-catatan kejadian silam yang dianggapnya penting untuk dituliskan. Hal semacam itu, kini tak sempat lagi ia lakukan.

Ada juga sebuah kartu pos bergambar poster film Ruang karya Teddy Soeriaatmadja. Serta-merta ingatannya menyosor bagaimana dulu mencaplok kartu itu dari dinding kamar kawannya karena sama-sama menyukai sinematografi film ini.

Gambar kecil itu akhirnya tiba pada gilirannya. Ukurannya memang mungil: 8 x 9.5 cm. Namun itu cukup membuatnya tertegun menatap lama.

Sebenarnya, gambar kecil itu hanyalah berisi sketsa sederhana berwarna hitam-putih seorang nenek tua dengan keriput di wajahnya. Di gores menggunakan mata pensil. Itupun bukan orisnil keberhasilan imajinasi perangkat sistem otaknya.

Sumber aslinya berupa cetak foto. Si nenek tua berkeriput itu mengenakan baju sari yang membungkus hingga kepala. Latarnya berupa retakan sebuah dinding tembok sehabis gempa di India. Corak retakan tembok serupa dengan keriput di wajah nenek tua itu. Foto itu hasil jepretan kamera milik jurnalis Tom Stoddart (Inggris) yang menang di World Press Photo 2002. Kemudian dimuat di salah satu majalah fotografi bernama Fotomedia. Oleh Mr. Stoddart, objek foto ini diberi judul ‘After the Earthquake of Gujarat, India’.

Dia lalu mereproduksinya ke dalam sketsa pensil. Retakan tembok dicroping. Sehingga kini yang tersisa adalah close-up keriput di wajah nenek tua dan kain sari yang menutup kepala. Setelah digambar, kain sari itu terlihat lebih mirip kerudung. Nenek tua itu terlihat muslimah.

Kerudung itulah yang mengingatkan dirinya mengapa dulu dia memberikan judul ‘A woman from Ramallah’ untuk hasil jiplakannya ini. Tapi dia lupa kapan sketsa itu di buat. Bagian belakang gambar diperiksa. Terlihat judul dan tanggal pembutannya: 15 februari 2003.

Sekali lagi, dilihatnya gambar hasil goresan tangannya. Semakin dalam ia menatap, semakin ada yang mengusik pada garis-garis wajah nenek tua itu. Makna keriput itu, kini seperti berbicara lain di kepalanya. Bisa jadi, waktu memang malah memberinya tafsir lain setelah sekian lama tak bersua dengan gambar itu.

Dia seperti melihat refleksi dirinya dibalik tatapan kuyu nenek tua itu.
“Aku akan memiliki wajah serupa jika seumur dengan nenek ini!”
“Bukan cuma aku, semua orang pasti akan memiliki retakan diwajahnya saat usia 60 atau 70 tahunan ke atas,” gumam isi kepalanya semakin jauh.

Sayup-sayup TV di depannya pamer suara mengiterupsi lamunan. Acara live rapat Pansus DPR kasus Bank Century dijeda iklan. Sesosok wajah mulus perempuan muncul menceritakan bagaimana rahasia sabun Lux menyulap kecantikan. Tapi dia justru sibuk mencari tahu bagaimana ceritanya kok sekonyong-konyong kini ia tengah duduk di sofa depan TV, padahal tadinya ada di kamar bersama tumpukan buku.

Hatinya agak kecewa belum pula ketemu penjelasan. “Ah sudahlah…yang jelas, tiga atau empat puluh tahun ke depan, di wajah mulus Dian Sastrowardoyo nantinya ikut-ikutan muncul ‘retakan tembok dinding Gujarat sehabis gempa’ meyerupai nenek tua itu. Dengan catatan, garis-garis retakan itu tak ditutupinya dengan suntik Botox,” begitu pikirnya entah apa maksud tujuannya.

Dia ingat penggalan salah satu chorus lagu berjudul ‘Ugly’ di album solo Destination Anywhere-nya Jon Bon Jovi:

Ugly,Ugly
All of us just feel like that someday
Ain’t no rainbow in the sky
When you feel U.G.L.Y.
And that’s ugly yeah, yeah, yeah

“Ya…aku, Dian, orang-orang di pansus DPR, dan Jon tentu saja nantinya akan berwajah sama. Bukankah semua kakek atau nenek diusia maghrib mukanya serupa, seumpama setiap bayi akan terlihat kembar saat baru dilahirkan?” isi otaknya terdengar malah ngotot.

“Plak…plak…plak…” detak langkah kaki terburu-buru terdengar mendekat.
“Matimi, hampirmi saya bakar rumah, saya lupa kalau saya panasi sayur. Nda ciumko bau hangus kah? ” seru seorang wanita melintas di depan TV.
“Kalau ada bau-bau seperti ini, cepat-cepatko cek ke dapur nak. Saya sukami lupa-lupa!” lanjut wanita yang tengah baya itu sebelum berlalu.

Orgy ditutup seketika. Dia menoleh ke arah datangnya suara.

Itu ibunya. Sebagian rambutnya telah memutih. Gigi atasnya mungkin tinggal empat, yang bawah paling banter lima. Di wajahnya ada ‘retakan tembok dinding Gujarat sehabis gempa’.

“Aah…ibu…! Ibu terlihat seperti Dian Sastro yang sedang ngomel,” katanya dalam hati.

Dia bangkit bermaksud menyusul Dian Sastro versi 70 tahunan. Tapi dia masih juga lupa, bagaimana ceritanya kok sekonyong-konyong kini ia tengah duduk di sofa depan TV, padahal tadinya ada di kamar bersama tumpukan buku.

__________________
orgy : sebutan untuk binder dari bahan kulit.

* * *
Kampung Pettarani, Makassar 6 Desember 2009.
Selengkapnya...