Lenteng, How Are You Today? (Part 2)


(Flash back sedikit. Biar agak nyambung bacanya. Buat yang baru baca klik disini part 1)

Di kelas, kecenderungan otak Lenteng berbanding lurus dengan sosok fisiknya yang serba bulat. Riwayat PR dan tugas-tugas kelasnya, kerap berakhir bulat alias nilai ‘telur’. Terima rapor, urutan rangkingnya bermain dikisaran angka dua digit berkepala 4 dari 48 siswa.

Oke. Sampai di sini, tambah dua hal lagi yang bikin Lenteng populis di otak konyol kanak-kanak kami: genit dan oon.
Sebenarnya masih banyak lagi. Cuma lima poin ini rasa-rasanya sudah cukup untuk menggambarkan sisi “antagonis’ (bacanya
kudu lengkap dengan tanda kutipnya lho!) si gadis cilik bernama tak lazim ini.

Lantas apa dampak 5 poin ini terhadap kehidupan sehari-hari Lenteng di masa kanak-kanak kami?...


Dampak 1: Lenteng tak punya teman, padahal ke manapun sehari-hari kami berlabuh, ia pasti nimbrung juga di sana.

Mengapa di sekolah Lenteng nimbrung?
Berhubung kampung kami biasa-biasa saja; lalu kantong orang tua kami juga biasa-biasa saja; sehingga bisanya cuma sekolahan yang murah, meriah, dan tak jauh dari rumah (biar irit transportasi); ditambah Lenteng diringankan dari kewajiban iuran SPP; maka sekolah kami adalah sekolah Lenteng juga.

Mengapa di tempat ngaji Lenteng nimbrung?.
Dikarenakan tempat ngajinya gratis; dan oleh ibunya, Lenteng juga disuruh ngaji; kemudian rumah Lenteng, rumah kami, serta rumah tempat ngaji itu saling bertetangga; maka tempat ngaji Lenteng adalah tempat ngaji kami juga.

Mengapa di mesjid Lenteng nimbrung?
Disebabkan Lenteng islam; dan kami juga islam; kemudian di kampung kami yang biasa-biasa saja itu mesjidnya sebiji doang; maka mesjidnya Lenteng adalah mesjid kami juga.

Meski demikian, dari sekian banyak tempat, sekian macam ragam anak-anak seumuran kami mondar-mandir di tempat-tempat yang disebutkan di atas, tuetep Lenteng tak berhasil punya teman, teman dekat, terlebih sahabat, apalagi cinta monyet.

Dampak 2: DI tempat ngaji, Lenteng duduk (di)sendiri(k)an. Pulang paling lambat, biarpun datang sebelum ayam berkokok.

Ya, misalnya sambil lesehan kami bergerombol cekakak-cekikik di sektor kiri teras rumah guru ngaji, maka Lenteng harus di sektor kanan. Sendirian.
Bila kebetulan Lenteng datang paling awal lalu memilih sektor kiri, maka secara naluriah tanpa perintah siapa-siapa kami akan memilih sektor kanan.
Kalaupun kami dipaksa duduk dalam satu kumpulan besar, maka radius Lenteng minimal +/- 1,5 meter di sebelah kiri, kanan, depan dan belakang kami.

Sebelum pulang, ada peraturan: setiap murid diharuskan mengulang dulu surah bacaan masing-masing. Minimal satu kali, disaksikan langsung oleh guru. Biasanya digilir berdasarkan siapa yang datangnya paling cepat.

Karena semua malas ngantri, tapi maunya pulang juara 1, maka ini artinya ajang rebutan.
Semua lalu paling bisa pasang muka 'manis' trus ngaku paling rajin. Terlebih bila kena giliran verifikasi dengan Lenteng. Contoh:

GURU : “Siapa yang datang duluan, kamu atau Lenteng?”
Yang terverifikasi dengan Lenteng : “Oh… saya dong Guru!”
Orang ketiga (anaknya guru misalnya) : “ bohong ma… Lenteng duluan!”

Siasat ‘abu-nawas’ terbongkar. Anehnya, sedikitpun kami tak merasa malu. Malah merasa dongkol. Jelas-jelas itu percobaan penipuan. Dan kenyataannya memang Lenteng lebih dulu datang. Tapi kami tetap tak terima.
“Bisa-bisanya Lenteng pulang lebih dulu daripada saya. Hmm… Guru sudah mulai berlaku tak adil!” Begitu pikiran yang melintas di kepala kami.

Dampak 3: Lenteng adalah senjata andalan jika di antara kami ada yang berselisih paham.

Lenteng terbukti tokcer jika ada perselisihan. Bukan untuk meredakan ketegangan, apalagi mendamaikan cekcok.
Justru Lenteng digunakan untuk membuat lawan tak berkutik, tersudut di pojok ring. Ibarat kata, perselisihan itu adalah api dalam sekam. Nah, Lenteng adalah 1 liter bensin-nya.

Contoh 1 : Skala NORMAL

Si A : “Ciieee… temannya Lenteng. Kemarin beli asam di rumahnya!”
Si B : “Mana… kapan saya beli asam!” pasang muka sok tenang tapi degup jantungnya tiba-tiba kencang.

Kenyataannya, kemarin sore si B benar-benar disuruh ibunya beli asam. Pakai diomelin segala. Asamnya penuh debu gara-gara jatuh.

Contoh 2 : Skala HAMPIR NORMAL
Si J : “Hayo… siapa yang larinya paling lambat sampai di lapangan, berarti dialah cowoknya Lenteng!”
Semuanya : ambil langkah seribu biarpun belum ada aba-aba.

Contoh 3 : Skala SAMA SEKALI ABNORMAL
Si X : “Eh… Y coba kau panjat, ambil itu jambu!”
Si Y : “nda mau… capekka.”
Si X : “malasnya inie… sebentar itu kalau sudah adami, ikutji itu makan!
Dasar kutbal (singk: kuttu na balala alias ‘malas tapi rakus’)!
Si Y : “biarmi… daripada kau, cowoknya Lenteng”
Si X : “anak sun… (teet… sensor…! Makian kotor dalam bahasa Makassar) apa kau bilang,
ulangi coba!”
Si Y : “cowoknya Lenteng!”

Adegan selanjutnya adalah Si X nonjok Si Y. Si Y balik nonjok. Tak lama keduanya saling piting. Sampai guling-guling di tanah segala. Sesekali ada selingan adu jurus gigit. Kalau salah satu sudah terdesak, biasanya langsung celingak-celinguk cari batu. Andai kata tak ada yang misahin, mungkin keduanya saling bunuh-bunuhan.
Terbukti tokcerkan senjata andalan kami?

* * *



20 tahun kemudian…

Tadi malam, kami ngobrol lepas. Temanya bebas. Dari soal sol sepatu, nenek-nenek nyeberang, sampe soal pegang taruhan mana seumpama misil nuklir Korea Utara iseng 'tamasya' di Korea Selatan?
Eh… tiba-tiba pembicaraan nyerempet ke soal betapa kelunya lidah kami, bila melamar kerja pakai tes ngaji. Serta merta, otak kami flashback melanglang buana ke sekitar teras rumah guru ngaji kami.

“Iya ya… padahal dulu jagonya itu saya rasa diriku mengaji!”
Eh dengar-dengar… Lenteng sekarang itu PNS lho!” Potong yang lain tanpa ada angin atau hujan. Tak peduli nyambung apa nyasar.
“Masa sih… siapa yang bilang?” Seru yang lain lagi serasa tak percaya, tapi penasaran.
“Aduh… siapa lagi itu… ah kulupai. Pokoknya ada yang pernah bilang,” sambil tepuk jidat.
Wuiih… dimanaki sekarang lenteng itu tinggal?” Tanya yang sedari tadi cuma menyimak.
“Katanya di kampung,” jawab si penyebar kabar bahwa Lenteng sekarang PNS.

Sudah lama memang, gubuk itu tak ada lagi. Kini berganti rumah-toko. Kapan tepatnya Lenteng pindah, kalau tak salah ingat, tak lama setelah insiden kakak laki-lakinya itu kabur meninggalkan sepeda, tabung gas dan sepasang sendal jepit butek merek swallow.
Setelah itu kami tak lagi pernah melihatnya.

Lenteng itu polos.
Hatinya maksudnya. Bayangkan, menghadapi perlakuan kurang ajar kami di masa kanak-kanak seperti itu, sedikitpun dia tak bergeming.
Sekolah, dia tetap sekolah. Mengaji, dia tetap mengaji. Ke mesjid, dia tetap ke mesjid.
Track-record seberapa banyak dia nangis gara-gara kami dzolimi, pun setahu kami cuma hitungan jari. Itupun besoknya dia pasti kembali. Tanpa bawa dendam apalagi kesumat.

Kalau kami mau jujur, sampai hari ini, rasanya belum ada ‘kesabaran tingkat tinggi’ yang kami temui setelah dia.
Sebab tahu tidak, misalnya Lenteng ngambek lalu kami mengggodanya, maka tak lama di wajahnya akan muncul senyum yang memperlihatkan gigi kelincinya yang lebih tampak bulat ketimbang segi empat.

Duh Lenteng… How are you today?
Kami berhutang beribu-ribu maaf padamu. Yang belum jua terucapkan hingga hari ini.

Demikianlah… cerita tentang Lenteng dan biadab-nya kami di masa kanak-kanak. Di kampung kami yang biasa-biasa saja. Di sebuah kota yang belum seramai sekarang ini.

* * *


Kampung Pettarani, Makassar 8 Desember 2010



Dedicated to:
Orang-orang yang merasa dirinya (dijadikan) freak dalam pergaulan sosial.
Please, jangan buru-buru jadi inferior, apalagi putar haluan jadi psikopat. Sampai-sampai, biji mata para pengganggunya satu-persatu dicungkil dengan gergaji mesin, lalu dicelupkan ke akuarium buat sarapan pagi Ikan Louhan peliharaan, seperti yang ada di film-film horor.
Be patient like Lenteng. Sebab bahkan langit atau bumi berhutang maaf kepadamu, jika berani-berani mengusik tampilan fisikmu. Biarpun itu sekedar satu senyuman tipis, tapi bernada pelecehan.

Catatan: Tulisan ini dibuat, sama sekali bukan bermaksud mengekskploitasi apalagi menelanjangi kembali secara tak beretika tentang sosok Lenteng. Jadi, mohon maaf kiranya jika terdapat hal-hal yang terkesan terlampau hiperbolis. Itu semata-semata sudut pandang subyektif penulis dalam hal gaya serta pemilihan kata-kata. Harap dimaklumi dan terima kasih.

sumber gambar: http://browse.deviantart.com/cartoons/?q=fat%20girl&order=9&offset=24#/d2a9183

Selengkapnya...

Lenteng, How Are You Today?


Lenteng.
Bukan nama kawasan, apalagi nama benua.

Itu nama panggilan seseorang.
Bagaimana asal-muasal ia memperoleh nama aneh tersebut? Tak jelas.
Sebab, kalau tak salah ingat, nama aslinya Nurhayati. Bayangkan, selain ‘N’, rasa-rasanya tak ada lagi huruf yang kembar dari dua nama ini.
Kok bisa-bisanya jadi nickname? Benar-benar tak lazim. Sama tak lazimnya, maksud maupun bunyi yang terdengar bila nama ini diucapkan; Lenteng.

Lenteng adalah sosok alien pakai tanda kutip. Tepatnya teralienasi, dari masa kanak-kanak kami yang serba sok-sokan dan tentu saja konyol.
Begini deskripsi konyol kami mengenai Lenteng, saat umur kami sekitar 9 tahunan dan Lenteng lebih muda satu atau dua tahun:

Alkisah, persis di sudut pertigaan jalan kampung kami yang biasa-biasa saja, di sebuah kota yang dulunya belum seramai sekarang, tersebutlah tempat tinggal yang belum layak disebut 'rumah'.
Gubuk. Kecil pula.
(yeee… bukaan paragraf 'tempoe doloe' banget! Mungkin ini yang dimaksud kartunis kompas 'terjebak masa lalu' hihihi…)

Dinding anyaman bambu atau papan bekas. Atap pelepah daun kelapa. Tiang dari bongkahan-bongkahan balok. Dimana, tak satupun dari semuanya itu, yang ‘tidak’ bertampang lusuh bin terseok-seok.
Ukurannya super-imut, 3x3 meter. Sekaligus kamar, ruang keluarga, ruang tamu dan dapur. Multy-function.
Di atas tanah milik ‘entah siapa’. Yang jelas bukan miliknya. Sukur-sukur kalau waktu dibangun seizin empunya tanah.

Nah, di dalamnyalah, sehari-hari Lenteng dan ibunya berlindung dari terjangan panas, hujan, petir, guntur, banjir, gempa, tsunami, wabah diare, TBC, malaria, demam, susah buang air, kepala pening, diabetes, asam urat, kolesterol...
(ups… kejauhan ya? Oke… penggal saja sendiri sesuai selera masing-masing. Asal jangan lupa bubuhkan tanda titik)

Kakaknya ada yang laki-laki. Namanya khas Suku Makassar, Pudding. Cuma kalau diperhatikan secara saksama pakai perspektif lain, namanya jadi kebarat-baratan dan memancing selera.
Doi kebanyakan nginap diluar. Biasanya kerja sebagai tukang becak. Juga dengar-dengar gosip, di musim-musim tertentu suka alih ke profesi sampingan. Maling.

Gosip bukan sembarang gosip. Suatu malam, ketika remaja, kami memergoki Pudding mendorong sepeda sambil menenteng tabung gas. Salah satu dari kami melirik jam tangan. Tampak deretan angka 03:15 dini hari Waktu Indonesia Tengah Malam Banget Menjelang Pagi Buta.

Diteriaki “woiii… apaan tuh?!!”
Doi refleks bereaksi. Reaksinya berupa kabur meninggalkan sepeda, tabung gas serta tak ketinggalan sepasang sendal jepit butek merek swallow. Warnanya lupa.

Ayahnya, tak jelas rimba. Maksudnya, kami jarang sekali melihatnya pulang. Jadinya, seumpama waktu itu ia ternyata sesekali datang, paling-paling kami berkesimpulan ‘om-nya Lenteng sedang bertamu’.

Ibunya sudah lumayan tua. Berjualan di gubuk itu. Yang dijual sebagian diletakkan di meja. Ada mangga muda, jambu batu, cabe dan tomat. Sebagian lain lagi digantung. Berderet asam, vetsin, kemiri dan merica yang dibungkus manual kemasan sachet.

Berdasarkan fakta-fakta itu, otak konyol kanak-kanak kami menganggap Lenteng kelewat miskin. Sehingga bukan target populis untuk digauli. Maksudnya dijadikan teman gaul. Populis Lenteng cuma dalam satu hal: bahwa dia kelewat miskin.

Tapi tangan Lenteng tak suka ‘kreatif’ macam tangan kakak laki-lakinya itu. Malahan, sebenarnya polos. Maksudnya hatinya Lenteng yang polos, bukan tangannya. Tangan Lenteng justru ramai dengan hiruk-pikuk sisik bisul sebesar biji keringat yang mengering. Entah ‘kudis kering’ atau apalah namanya.

Celakanya, hiruk-pikuk itu tak cuma di tangan. Menjalar hingga ke kaki, bahkan offside sampai ke wajah. Sekujur tubuh pokoknya.

Dan kian diperparah lagi, sosoknya yang dari bawah hingga ke atas serba ‘bulat’.
Perawakan = pendek bulat. Telapak kaki = lebar bulat. Betis = besar bulat. Badan = gempal bulat. Jari-jari tangan = gemuk, pendek, bulat. Wajah = bulat tok. Bibir = agak tebal cenderung membulat. Mata = belok, agak besar, bulat. Bahkan subhanallah, ‘gigi kelinci’nya = lebih tampak bulat ketimbang segi empat.
Jadi penasaran, pasti ada satu rahasia di balik chemistry yang begitu kuat antara Lenteng dan bulatan.

Dan gara-gara bulatan itu jualah, sampai-sampai, saat kami sedang menggores-gores tanah suka bersenandung:

Lingkaran kecil, lingkaran kecil
Lingkaran besar... (2x)
Enam… enam… tiga puluh enam…(dst)

Jika salah satu bertanya apa gerangan yang kami gambar, spontan tanpa pikir panjang-panjang, dengan cueknya kami nyeletuk “Itu Lenteng!” Lalu kami terkekeh-kekeh secara berjamaah.

Dengan demikian bertambah dua hal lagi yang membuat lenteng populis: Kudis kering dan serba bulat.
(Sekedar mengingatkan, sekarang total kepopulisannya Lenteng sudah ada tiga: kelewat miskin, kudis kering dan serba bulat)

Walau kelewat miskin, bukan berarti Lenteng tak mampu ke sekolah. Dia mampu kok. Cuma, di sekolah dialah satu-satunya murid yang rutin setiap bulan nunggak SPP. Saking rutinnya, pihak sekolah akhirnya 'menyerah'. Apa boleh buat, diambil kebijakan yang tumben tak terduga.
Lenteng diringankan (bahkan mungkin dibebaskan) dari kewajiban iuran SPP.

Maka, tiap pagi buta, berangkatlah Lenteng dengan seragam ‘merah-putih kekuning-kuningan’. Kuning gara-gara kusam dimakan waktu. Ditambah belum ada budget buat beli baru.
Tak lupa dandan ‘sedikit’. Sedikit lagi muka Lenteng overlapping maksudnya. Pipi belepotan bedak bayi. Rambut becek gara-gara minyak rambut cap ‘kemiri’. Pernah malah, bibir bulatnya itu disapu gincu.

Di kelas, kecenderungan otak Lenteng berbanding lurus dengan sosok fisiknya yang serba bulat. Riwayat PR dan tugas-tugas kelasnya, kerap berakhir bulat alias nilai ‘telur’. Terima rapor, urutan rangkingnya bermain dikisaran angka dua digit berkepala 4 dari 48 siswa.

Oke. Sampai di sini, tambah dua hal lagi yang bikin Lenteng populis di otak konyol kanak-kanak kami: genit dan oon.

Sebenarnya masih banyak lagi. Cuma lima poin ini rasa-rasanya sudah cukup untuk menggambarkan sisi “antagonis’ (bacanya kudu lengkap dengan tanda kutipnya lho!) si gadis cilik bernama tak lazim ini.

Lantas apa dampak 5 poin ini terhadap kehidupan sehari-hari Lenteng di masa kanak-kanak kami?

Break dulu ah... bersambung
Sambungannya besok, paling lambat lusa deh…


* * *



Sekedar trailer:


Next… baca kelanjutannya tentang dampak 5 poin tersebut terhadap Lenteng… Apa yg terjadi pada lenteng sekarang? Akankah ia sebenarnya adalah ‘putri kodok’ yang lagi njalani kutukan seperti di dongeng-dongeng? coming soon… only on Lenteng, How Are You Today Part 2.



sumber gambar: http://browse.deviantart.com/manga/?qh=&section=&q=fat+girl#/dak4bo
Selengkapnya...