tag:blogger.com,1999:blog-39348466327210340122024-03-13T13:38:38.516+08:00eeduyhaw...eeduy hawhttp://www.blogger.com/profile/10134103706243294400noreply@blogger.comBlogger34125tag:blogger.com,1999:blog-3934846632721034012.post-16303194991612261692016-01-17T14:19:00.003+08:002016-01-17T14:58:18.947+08:00Seumpama Saya…Maka Bukan #KamiTidakTakut… melainkan #KamiIkhlas<br />
<div style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEibFsB04nvrULfayGMAev11gRLeV1vYKt5y9V2I2DU_KmbP8M4EWdFjjUQGXVjahLvDdDgm5SvREK027yoK0LUMAokEtz2bPLDku50NUb-qRHoGKIcvvQFYpRj3_qYcIHSFuifibKj9c3A/s1600/11330004_900987866611364_5690442029726269825_n.jpg" imageanchor="1"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEibFsB04nvrULfayGMAev11gRLeV1vYKt5y9V2I2DU_KmbP8M4EWdFjjUQGXVjahLvDdDgm5SvREK027yoK0LUMAokEtz2bPLDku50NUb-qRHoGKIcvvQFYpRj3_qYcIHSFuifibKj9c3A/s320/11330004_900987866611364_5690442029726269825_n.jpg" /></a></div><br />
Yaaa… kami sangat takutlah! <i>One hundred percent itu</i>…!!!<br />
<br />
Bayangkan… di perempatan Sarinah, Jakarta, jalanan nomor satu paling sibuk di Indonesia, ada 3 orang n<i>dak ngerti</i> apa-apa, terpaksa tergeletak MATI, ditambah 4 orang pelaku yang tentu saja <i>ngerti </i>apa-apa, JUGA MATI dengan; ada yang terburai bom bunuh diri, ada yang ditimahpanaskan Polisi… <br />
Total 7. Di bawah terik siang pula.<br />
<br />
Bahkan jauh sebelum ini, kami ‘tidak kalah’ sangat takutnya, terpaksa tergeletak di tengah jalan raya, gara-gara metromini ugal-ugalan, begal motor ABG-ABG keroyokan, perang sipil di jalanan, tawuran SMU, pembunuhan ‘menggunakan racun’ berencana, ditembak pistol entah siapa, diperkosa di jembatan penyeberangan, perampokan, penodongan dan segala macam kekerasan.<br />
<br />
Kita sebaiknya takut, bahwa kenyataan di negara kita; sebagai bangsa yang konon mewarisi nilai-nilai kebudayaan adiluhung, dimana manifestasi sejarah panjangnya masih dijumpai hingga hari ini; sebagai bangsa yang konon dengan komposisi penduduk Islam terbesar di dunia, yang mampu hidup harmoni dalam perbedaan keyakinan di atas tanah yang sama; <i>kok</i>… seperti mengobral murah harga sebuah nyawa dan kehidupan.<br />
<span class="fullpost"><br />
<br />
ini Tragedi. Tragedi yang bukan dari alam, tapi kemanusiaan.<br />
<br />
Kita sebaiknya takut, meski telah sebagai manusia, kita seperti masih belum juga paham makna, bahwa kita adalah makhluk yang ditakdirkan untuk (di)mulia(kan). Bahwa sebagai manusia, siapapun tanpa kecuali, wajib menjunjung tinggi kehidupan atas dirinya dan kehidupan atas manusia lainnya.<br />
<br />
Oh… mungkin karena ketidakadilan politik internasional, perang ideologi, mungkin karena desakan ekonomi, mungkin karena efek samping gejolak penduduk, mungkin karena ketimpangan kota dan desa, mungkin karena sistem pendidikan, keagamaan bahkan negara yang lemah, mungkin sebaiknya kita tidak terjebak dengan kedangkalan mencari jawaban ‘mungkin karena ini atau itu’. <br />
<br />
#KitaTidakTakut… </span><br />
<span class="fullpost">Oke, lalu karena itu besok-besok acaman teror atau horor tak akan kembali lagi?<br />
Ibarat di ring tinju, seorang bocah usia belasan, sudah mimisan babak belur kena tonjok tangan orang dewasa, tetapi masih <i>sok</i> kuat bangkit berkata:</span><br />
<span class="fullpost">“Tidak sakit… Saya tidak takut!” </span><br />
<span class="fullpost">Dan teror serta-merta <i>bablas</i>.. kapok tak mau datang lagi. <br />
<br />
<i>Aah</i>.. Kalau begitu, biar kesannya arif bijaksana, bikin juga #KamiIkhlas, ataukah #KamiMenaikkanBenderaSetengahTiang, ataukah #KamiMengenangMereka3YangTergeletakMatiKarenaTakMengertiApa-ApaMaupun4YangKarenaDibutakanKeyakinanAneh.</span><br />
<span class="fullpost"><br />
Habis itu, kita sambung lagi #Kami juga bertanya pada negara, undang-undang, aparat-aparat penguasa, organisasi-organisasi masyarakat, profesi-profesi, setiap individu, dan tentu saja kami sendiri; Sudahkah kita paham, apa yang selanjutnya masing-masing harus kita lakukan agar tak ada lagi manusia yang tergeletak di tengah jalan raya, di bawah terik siang pula?</span><br />
<span class="fullpost">Kita wajib berdoa, bukan lantaran kejadiannya di negeri sendiri, tetapi setiap tempat di penjuru dunia, semoga kekerasan dengan alasan apapun itu, tidak terulang apalagi berulang-ulang. </span><br />
<span class="fullpost"><br />
</span> <span class="fullpost">Tak bosan-bosannya kah kita kembali melecehkan kemanusiaan kita sendiri. Apakah kita perlu cermin untuk dibawa setiap saat? Jangan-jangan derajat kita sebenarnya hanya tampak seperti kawanan makhluk bertaring yang menghalalkan pemangsaan dan darah yang tertumpah.<br />
<br />
Karena, sama-sekali tak ada alasan apapun yang bisa dibenarkan, bahwa manusia bisa menghilangkan nyawa manusia lainnya!” Titik.<br />
<br />
</span><br />
<div style="text-align: center;"><span class="fullpost"><b style="font-size: small;">Dedicated:</b></span></div><span class="fullpost"><span style="font-size: x-small;"></span></span><br />
<div style="text-align: center;"><span class="fullpost"><span style="font-size: x-small;">3 orang korban dan kelurga tercinta yang ditinggalkan, aparat kepolisian yang telah melakukan tindakan pencegahan, mereka-mereka yang melakukan pertolongan di tengah kejadian, </span></span></div><span class="fullpost"><span style="font-size: x-small;"> </span></span><br />
<div style="text-align: center;"><span class="fullpost"><span style="font-size: x-small;">dan 4 orang yang mati karena keyakinan aneh. </span></span></div><div style="text-align: center;"><span class="fullpost"><span style="font-size: x-small;"><br />
</span></span></div><div style="text-align: center;"><span class="fullpost"><span style="font-size: x-small;"><br />
</span></span></div><span class="fullpost"> </span><br />
<div style="text-align: center;"><span class="fullpost"><br />
</span></div>eeduy hawhttp://www.blogger.com/profile/10134103706243294400noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-3934846632721034012.post-5900119915725330892014-01-30T03:27:00.000+08:002014-01-30T03:58:29.432+08:00Direct Messages untuk akunnya bapak walikota terpilih Makassar.<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="http://3.bp.blogspot.com/-1YJ5GJKBZKw/UulTbGyjtMI/AAAAAAAAAO0/bdU3Im8GIyY/s1600/arsitektur+manusia+hari+ini.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="http://3.bp.blogspot.com/-1YJ5GJKBZKw/UulTbGyjtMI/AAAAAAAAAO0/bdU3Im8GIyY/s320/arsitektur+manusia+hari+ini.jpg" /></a></div><br />
<br />
<br />
<div style="text-align: right;"><i>Assalamualaikum, Pak Danny Pomanto & Dg Ical,</i></div><i> <br />
Bukan kebetulan sewaktu ini ditulis, durian, rambutan serta tentu saja hujan lagi deras-derasnya di kota kita. Memang sedang musimnya.<br />
<br />
Sama seperti Jakarta. Hujannya maksudnya.<br />
<br />
Malah di sana lebih parah. Itu yang kita lihat di pemberitaan. Bahkan pemimpin sekelas Jokowi-Ahok pun yang dipuja-puji ketika memimpin Solo dan Belitung Timur itu terpaksa mengakui bahwa parahnya kondisi Jakarta saat ini membuat keduanya merasa butuh proses tahunan untuk bisa betul-betul merampungkan program rehabilitasinya.<br />
<br />
"Kita butuh waktu, kita harus belajar agar tidak mengulang kesalahan yang pernah dilakukan kota-kota di negara maju pada masa silam," kira-kira begitu jawaban yang diberikan kepada wartawan. <br />
<br />
Soal banjir jakarta kita semua tentu turut prihatin. <br />
<br />
Tapi bukan berarti kita juga ikut-ikutan lengah, bahwa sendainya didiagnosa, kota ini tampaknya mengalami fase gejala awal serupa yang dulu pernah dirasakan Jakarta. <br />
<br />
Seumur-umur tinggal di kawasan Kecamatan Panakkukang, sekonyong-konyong rasanya baru beberapa tahun terakhir ini bisa menyaksikan Jalan A.P. Pettarani depan Ramayana-Pizza Hut ataupun belakang Kantor PU itu akhirnya rutin tergenang juga. Padahal hujan derasnya baru datang sehari. <br />
<br />
<span class="fullpost"><br />
Lalu, lampu merah Tugu Adipura depan PLTU menuju timur hingga depan M'tos, sepertinya sudah punya jadwal macet tetap. Jembatan Sungai Tello yang berada di tengahnya, juga sudah tampak kekecilan menampung volume kendaraan yang lewat. Lebih kelihatan seperti selang yang tersumbat. <br />
<br />
Daerah-daerah yang tadinya resapan, satu-persatu berganti menjadi rumah toko atau kalau tidak rumah-rumah seragam milik pengembang. Depan STIMIK kawasan Perintis Kemerdekaan yang tadinya hamparan padang rawa membentang hingga ke belakang hutan pohon nipah, begitu cepatnya tertutup deretan toko-toko dan rumah bernyanyi. <br />
<br />
Perilaku berkendaraan di kepadatan jalan juga makin laju, tapi ajaibnya makin masa bodoh juga dengan rambu-rambu apalagi etika. Saling salip adu gesit di tengah antrian entah di kejar apa. Meski tahu kalau sampai hari ini science belum mampu melahirkan ilmuwan penemu nyawa. Masa sih tuntutan roda ekonomi sampai nekat-nekatan seperti itu. <br />
<br />
Kultur-sosial kita juga demikian. Makin absurd. Contoh pemandangan saudara-saudara yang kerap hadir di lampu merah. Ini soal usang, tapi faktanya masih susah menemukan jalan keluar yang tepat. Malah kok tampilannya makin muda-muda, sepintas lalu badannya kayak sehat-sehat saja.<br />
<br />
Ini realitas di baliknya apa lagi? Apa ini kisah tentang pemulung Jakarta yang mampu punya uang simpanan puluhan juta di dalam gerobak ataukah memang benar karena tak ada pilihan? Tapi, masa sih sampai bilik ATM di pinggir jalan dipatok juga jadi lahan parkir dengan modal cuma sempritan, minus seragam apalagi karcis. Kalau kakek-kakek atau ibu-ibu masih mending, ini anak belasan yang dadanya tegap. <br />
<br />
Data statistik menyatakan tingkat pertumbuhan ekonomi peradaban kota kita tergolong tertinggi dalam klasemen nasional. Bolehlah kita berbangga. Bilamana persoalan sosialnya masih itu-itu lagi, ya tetap saja namanya ironi. <br />
<br />
Cerita klasik, ketika kota dengan kaki kanannya adalah geliat investasi bisnis yang agresif, tapi kaki kirinya masih susah mengasah kepekaan apalagi memberdayakan panti-panti sosial dengan layak. Cerita tentang ketimpangan. Klise. <br />
<br />
Senang sekali, punya area publik keren macam Anjungan Pantai Losari dan Taman Rotterdam. Tapi rumor yang berhembus akan ketidaknyamanan pengunjung terhadap pedagang dan pengamen yang lebih mirip mengekori ketimbang menawarkan produk. Ekspektasi psikis pengunjung yang datang tentu cari ketenangan, bukan mengharapkan ketemu teror.<br />
<br />
Tentu perlu lebih dipikirkan jalan tengahnya. Mungkin seperti strategi yang terdengar dilakukan di Surabaya. Tak perlu sampai hati menghilangkan, cukup penataan. Boleh jualan, tapi ngetem di satu sudut. Boleh ngamen tapi jangan datangi pengunjung. Pilih satu titik, nanti terserah orang yang datang atau melintas mau menyisihkan koin apa tidak. Itu terserah apresiasi masing-masing.<br />
<br />
Tapi kita tentu saja salut, dengan ide pemikiran pengembangan kota hijau. Penguraian faktor magnet kepadatan kota yang terpusat di kawasan Losari yang rencananya disebar ke beberapa penjuru kota. Lebih-lebih rencana rehabilitasi kanal-kanal kembali kondusif yang konsepnya bisa sebagai saluran transportasi alternatif dan wisata kota. Ide progresif dan kreatifitas yang adil bagi semua pihak memang adalah kebutuhan mutlak agar kota bisa tumbuh secara sehat. <br />
<br />
Kagum, ternyata bapak walikota kita punya akun twitter juga. Mungkin kalau ketemu wartawan TV dan Koran, akunnya disosialisasikan saja biar followernya bisa dari seluruh lapisan warga. Keep in touch dengan warga itu penting. Hitung-hitung bisa mengikis kendala sulitnya akses komunikasi warga dan pemimpin.<br />
<br />
Paling tidak fungsinya bisa sebagai salah satu cermin, "apa sih keinginan warga riil sebenarnya?" Bukan hanya dijejali bisik-bisik orang-orang sekeliling yang mudah-mudahan bukan kompor-kompor jilatan 'asal bapak senang'. Apalagi maksud kapitalis terselebung pengusaha-pengusaha yang tipikal cuma bisa mikir laba segunung buat perut sendiri. <br />
<br />
Sekali lagi, awalnya hanyalah agresifitas monopoli terhadap kue pembangunan disertai deru investasi bisnis tanpa perhitungan demi sebuah nama "kemajuan". Lalu datanglah lonjakan penduduk, dimana ada gula disitu ada semut. Mengorbankan lahan kosong, daerah resapan apalagi tanah pertanian. Sebab setiap manusia butuh tempat untuk bernaung dari yang mewah sampai kelas tripleks. Jalanan semakin terasa sesak. Setiap persimpangan berubah menjadi biang kemacetan. Bau tanah hilang berganti aspal atau pavin block. Air tak lagi bisa cepat meresap. Saluran got dan kanal makin kewalahan. <br />
<br />
Kepadatan melahirkan kompetisi yang terlampau sengit. Akan ada banyak ijazah-ijazah yang menjadi penghias lemari. Maka ketimpangan tanpa kepekaan sosial hanyalah melahirkan kriminalitas. Kita tentu tak pernah mengharapkan kota kita mengarah menyerupai Gotham City yang setiap saat diliputi perasaan mencekam. Tak lucu kiranya membayangkan Dg Kulle mengganti seragam dengan kostum hitam-hitam bersayap kelelawar, mencoba menjadi Batman yang membekuk tukang hipnotis atau mengejar geng motor yang statusnya masih kreditan bapak. <br />
<br />
Kita tentu memilih sosok yang terbaik ketika berada di balik bilik itu. Kiranya, tidak salah picca ji walikota ke depan adalah ahli desain tata kota. Anjungan dan reklamasi pantai masih soal fisik semata, kita medambakanu kemajuan pembangunan yang sepaket dengan peningkatan kultur-sosial-religi yang lebih humanis. <br />
<br />
Sebab kota yang ideal bukan soal seberapa banyak pencakar langitnya, tapi seberapa nyaman dan aman warganya. <br />
<br />
Terima kasih dan selamat bekerja bapak walikota serta wakil nantinya. </span></i><br />
<br />
<br />
<div style="text-align: center;">* * *<br />
<b>Kampung Pettarani, Makassar</b> <b>29 Januari 2014</b></div><div style="text-align: center;">Sore-sore hujan, ketika iseng ketemu akun twitternya bapak @DP_dannypomanto. </div><div style="text-align: center;"><br />
<b>sumber foto</b>: "arsitektur manusia hari ini" eeduyhaw <br />
<br />
</div></span>eeduy hawhttp://www.blogger.com/profile/10134103706243294400noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3934846632721034012.post-64959133032312933842013-08-08T05:53:00.001+08:002014-01-30T03:29:09.048+08:00Ketupat<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="http://2.bp.blogspot.com/-iHRj-OeoWJo/UgLFOLLHPEI/AAAAAAAAAKM/8wWlGfEEnz0/s1600/ktupat+x.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="http://2.bp.blogspot.com/-iHRj-OeoWJo/UgLFOLLHPEI/AAAAAAAAAKM/8wWlGfEEnz0/s320/ktupat+x.JPG" /></a></div><br />
Tetangga samping rumah non-muslim. Tapi ia ikut senang manakala bulan puasa tiba. Banyak jajanan klasik tiba-tiba <i>nongo</i>l di kiri-kanan jalan. Pisang ijo, sirup DHT, es-buah, <i>cinca</i>u, kelapa muda, <i>panad</i>a, putri ayu dan sebangsanya. <br />
<br />
Ibu-ibu <i>nyeletuk</i>, bila ramadhan, belanja rutin dapur pasti membengkak. <br />
<br />
Tahun ini, adik teman saya <i>minde</i>r ke lapangan untuk shalat ied.<br />
“Masa baju ini lagi, kayak tahun-tahun kemarin,” begitu katanya.<br />
<br />
Baru H <i>minus</i> 4.<br />
Jalan sekeliling Mall Panakkukang memadat dengan antrian kendaraan. Kerumunan orang adu jajal dengan diskon.<br />
<br />
Malam takbiran, bocah-bocah <i>rame </i>main petasan dan kembang api.<br />
<span class="fullpost"><br />
Lelaki-lelaki perkasa, yang memerankan sosok kepala rumah tangga nan bijak, sibuk mondar-mandir dari satu toko ke toko lain, menghitung pengeluaran yang pas dengan isi kantong.<br />
<br />
Sarung, peci dan koko <i>udeh</i>. Baju baru anak tercinta <i>udeh</i>. Nastar dan kue coklat istri tersayang <i>udeh</i>. Ayam kampung dan ketupat <i>udeh</i>. Kelop <i>udeh</i>!<br />
<br />
* * *<br />
<br />
Syahdan, kata sahibul hikayat, ketupat diperkenalkan Sunan Kalijaga sebagai salah satu sarana menyebarkan islam ke tanah Jawa. Beliau menanamkan budaya bakda lebaran dan bakda kupat.<br />
<br />
Bakda kupat dilakukan seminggu setelah hari lebaran. Saat itu, hampir setiap rumah terlihat mengayam daun kelapa muda. Selesai dimasak kupat dihantarkan kepada sanak yang lebih tua, saudara maupun tetangga sebagai lambang penghormatan serta kebersamaan. Seikat kecil juga biasa digantungkan di depan pintu rumah, simbol kesyukuran.<br />
<br />
Kupat sarat akan makna filosofis. Bentuknya yang bersudut empat, melambangkan utara, selatan, timur dan barat. Cara membuatnya melalui anyaman rumit yang berliku-liku, melambangkan perjalanan hidup manusia yang jauh dan tidaklah mudah. Meski demikian, kemanapun arah itu berkelana, ujung anyaman terakhir adalah sisa helaian yang menghadap ke atas. Semata-mata ini bermakna bahwa bagaimanapun rupa hidup itu hanyalah kembali dan untuk memuliakan-Nya.<br />
<br />
Memasak kupat membutuhkan waktu yang cukup lama. Ini pertanda untuk menjadi manusia yang matang perlu tempaan sedemikian rupa dan tidaklah mudah. Manakala kupat telah matang, belahlah, kita akan bertemu sesuatu yang putih, suci nan lezat. Maka semoga setelah ramadhan, setiap manusia bisa lahir dan tumbuh seperti itu.<br />
<br />
* * *<br />
<br />
Manusia adalah mahluk semiotik (tanda). Kita membangun relasi sosial hingga akhirnya membentuk sebuah budaya bermula dari praktik-praktik ataupun dialektika penandaan yang tentunya memiliki makna.<br />
<br />
Hanya, ketika simbol (tanda) yang berlangsung dalam relasi individu, relasi sosial serta relasi budaya tengah sedemikian kompleks hingga menjurus prestise, saat itulah sesungguhnya rentan terjerembab dalam ritus simbolik permukaan yang dangkal dan miskin makna<br />
<br />
Mudah-mudahan kita mampu mengambil hikmah. Hakikat pelajaran menahan lapar, haus dan hawa nafsu selama sebulan, bila setiap sahur apalagi bedug buka tiba, meja makan selalu disesaki pesta pisang ijo, sirup DHT, es-buah, <i>cincau</i>, kelapa muda,<i> panada</i>, putri ayu dan sebangsanya. Disusul menu utama. Hingga karena berlebihannya, kadang sisanya berakhir ke tong sampah di pencucian piring. Dan itu berlangsung selama sebulan.<br />
<br />
Mudah-mudahan kita bisa menghirup makna. Apa itu mengucap syukur atas rezeki yang telah diberikan. Sehingga kita mampu membangun empati sosial dan saling berbagi kepada sanak yang kurang beruntung, manakala biaya belanja rutin justru membengkak dari hari-hari biasanya. Dan itu berlangsung selama sebulan.<br />
<br />
Semoga dengan petasan, sarung, peci, koko, baju baru anak tercinta, nastar, kue coklat <i>crispy</i>, opor ayam kampung dan ketupat, kita bisa memahami apa itu sesungguhnya <i>shaum</i> (menahan diri)<br />
<br />
Kita mencoba belajar merasakan apa itu <i>dhuafa</i>, melalui parade ritus tahunan pesta-pesta berlimpah. <br />
<br />
Simbol tak memuat pretensi. Tanda tak pernah salah. Sebab sejatinya ia kosong. Kita hanya kadang terlalu dangkal memberi atau bahkan menghilangkan makna itu sendiri.<br />
<br />
Sungguh, Sunan Kalijaga ketika pertama kali memperkenalkan makna ketupat, juga mengajarkan semiotika dalam spiritualitas. <br />
Bahwa, ramadhan semata-mata hanyalah sebuah simbol. Bulan yang disucikan sebagai sarana melatih diri. Dimana idul fitri hanyalah penanda lonceng mulai dibunyikan. Sebab pertarungan sesungguhnya terletak di 11 bulan berikutnya.<br />
<br />
“1 syawal 1434 Hijriyah, selamat menunaikan ibadah puasa yang sebenar-benarnya!“<br />
<br />
</span><br />
<div style="text-align: center;"><span class="fullpost">* * *</span></div><span class="fullpost"><br />
</span><br />
<div style="text-align: center;"><span class="fullpost"><b>Kampung Pettarani</b>, Makassar 8 Agustus 2013.<br />
</span></div>eeduy hawhttp://www.blogger.com/profile/10134103706243294400noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3934846632721034012.post-8875867006416977202011-09-16T03:59:00.000+08:002011-09-19T23:55:31.448+08:00Tadinya, mau diberi judul ‘Keyakinan Romantik di Neraka'. Lalu diganti 'Kesetiaan Jin’. Lalu kombinasi dari 'Keyakinan Romantik, Kesetian Jin'. Berhubung sesuatu dan lain hal, yang persisnya gak tahu dan gak jelas apa, maka batal.<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="http://1.bp.blogspot.com/-Vaddxz4dsM4/TnJD2dO6j2I/AAAAAAAAAJg/9F7v-3wvCgo/s1600/My_Heart_on_Fire_by_anuranjanbhatia.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="200" src="http://1.bp.blogspot.com/-Vaddxz4dsM4/TnJD2dO6j2I/AAAAAAAAAJg/9F7v-3wvCgo/s320/My_Heart_on_Fire_by_anuranjanbhatia.jpg" width="320" /></a></div>
<br />
“Kesabaran akan selalu berbuah manis...” <br />
Demikian tertulis di dinding akun jejaringnya orang. Punya siapa? Seronok kalau identitasnya dibuka-buka. Di samping tentu saja kurang ajar, juga kurang kerjaan. Potensi efeknya, cuma menambah daftar panjang nama orang-orang yang dibuat jengkel. Lagipula, bukan orangnya yang penting. Kalimatnya. <br />
<br />
“Kesabaran akan selalu berbuah manis...”<br />
Dibaca kedua kali,<i> hmm</i>... ya... oke. Maksud yang bijak.<br />
<br />
“KESABARAN AKAN SELALU BERBUAH MANIS...” <br />
Nah, baru setelah yang ketiga, setelah menerawang lebih saksama demi memenuhi rasa penasaran stadium akut, hingga lebih cocok disebut 'kemasukan' daripada 'penasaran', setelah secara tampilan lebih 'ilmuwan' ketimbang ilmuwan itu sendiri, ibarat kata menerawang adalah <i>nongkrong</i> 7 hari 7 malam dalam laboratorium hanya karena tak ingin kecolongan sekedipan-mata aktifitas makhluk bintik-bintik super-kecil di balik teropong lensa kaca mikroskop, sampai-sampai saking seriusnya,<i> astagafirullah</i>... huruf-huruf pada kalimat itu sekonyong-konyong tiba-tiba saja 'bengkak' jadi kapital semua, yang sebabnya tak tahu apa, karena itu makin dilematislah keyakinan; apakah benda berstruktur lumayan<i> ribet</i> bernama mikroskop ini memang benar 'alat vital' ajaib untuk 'memperbesar sesuatu'; ataukah ini semata-mata fatamorgana otak akibat reduksi endapan sisa cairan alkohol semalam; ataukah ada makhluk halus yang melintas tanpa sengaja mengakibatkan keanehan pada huruf-huruf di kalimat itu; kiranya diperlukan pertolongan langkah berfikir lebih runut, dan tentu saja pertolongan pertamanya tak lain dan tak bukan mengakhiri sekerumunan barisan kata-kata yang lebih mirip kekacauan paragraf daripada satu kalimat utuh ini dengan tanda baca: titik. <br />
<br />
<span class="fullpost"><br />
Menggumam akhirnya dalam hati, “<i>Hmm</i>... kayak ada yang ganjil memang kalimat ini?” <br />
<br />
Pertanyaan ganjilnya begini, kalau setiap kesabaran selalu berbuah manis, bagaimana jika ada kesabaran yang tidak berbuah manis? <i>Trus</i>, semakin ia sabar tetap saja kesabaran itu <i>gak</i> manis-manis? Bahkan <i>gak</i> berbuah-buah sama sekali? <i>Trus</i>, bagaimana jika yang menentukan apakah kesabaran itu dibuahi atau tidak, memang sengaja memilih orang yang melakukan kesabaran itu agar<i> gak</i> dibuahi yang manis-manis demi membuktikan sejauh apa kesabarannya? Malahan yang pahit? Kalau perlu sekalian saja <i>gak</i> dibuah-buahi? Biar tambah bingung. Atau yang menentukan buah itu bilang begini, “<i>Situ</i> mau sabar apa <i>kagak</i>, <i>ora</i> urus, <i>gak</i> kenal!” Biar lebih bingung lagi.<br />
<br />
Nah, kalau sudah begitu, apa sebenarnya kesabaran itu? Maksudnya, adakah hubungan antara sabar dengan buah? <i>Wuaah</i>... mulai <i>ribet. </i>Maksudnya, <i>toh</i> sabar <i>gak</i> bakal berbuah-buah juga, tidak sabar <i>gak</i> berbuah-buah juga, jadi sabar yang mana? <br />Apakah sabar itu harus digagahi...<i>eh</i>... anu...dibuahi? Apakah sabar yang tak berbuah itu bukan sabar? Bukankah buah dari kesabaran yang wujudnya tak berbuah itu adalah "buah" juga? Hanya saja dibacanya buah pakai tanda kutip? Terakhir apa hubungannya sabar dengan pepatah 'buah jatuh tak jauh dari pohonnya'? </span><br />
<br />
<span class="fullpost">Yang jelas Kesabaran itu berjodoh dengan obsesi. Keduanya sukar dipisahkan. Bersisi-mata-uang-logam-lah kurang lebih istilahnya.<br />
Sementara, obsesi itu pada dasarnya keinginan yang belum terealisasi. Tentu, dibutuhkan usaha untuk mewujudkan.<br />
<br />
Usaha pertama dilakukan. Hasilnya gagal, sebab tolol. Ada usaha kedua.<br />
Usaha kedua nyaris. Nyaris bikin frustasi. Ada usaha ketiga.<br />
Nah, usaha ketiga <i>replay</i>. Siaran ulang dari usaha pertama dan kedua.<br />
<br />
Maka selain usaha, harapan juga perlu ikut <i>nimbrung</i> ambil bagian. Hanya saja harapan itu konsep absurd yang lumayan tidak konkrit. Bertandemlah harapan dengan kesabaran. Tandem yang serasi. Pasangan sejoli.<br />
<br />
"Sedikitpun, kesabaranku takkan pernah surut mengharapkanmu," kalimat yang romantis. Ini bukti kalau kedua kata ini memang jodoh. Cuma, siapa memerankan sebagai tulang rusuk kiri kurang tahu. Tapi sesungguhnya, sebaik-baik kesabaran adalah KESETIAAN." <br />
<br />
Sempurna spekulasi teori terburu-buru ini. Bisa jadi hanya karena terinspirasi dari fenomena alam “Badai pasti berlalu. Meski pelan, awan gelap pasti beranjak. Langit bakal cerah kembali. Esok matahari akan mengintip lagi. Dan pelangi akan membentang indah di langit biru.” <br />
Pas memang sebagai selimut hangat, pelipur lara disaat semangat nyaris membatu jadi fosil purbakala.<br />
<br />
Dan hanya gara-gara satu sempilan kata 'KESETIAAN' itulah, dari sekian banyak pilihan kata yang menghambur di atas, yang kemudian mengingatkan satu cerita, yang entah berhubungan dengan kalimat di dinding akunnya orang itu atau tidak, atau kalaupun tidak<i> nyambung</i> paling tidak cerita ini bukan diinterpretasikan secara <i>sok </i>tahu<i> </i>bahkan mengada-ada dari sumber sebelumnya, ataupun paling tidak cerita ini minimal menarik, pun itu <i>gak</i> ada yang berani menjamin, yang jelas intinya teringat saja. <br />
<br />
<div style="text-align: center;">
<span class="fullpost"></span><br />
<span class="fullpost"><span class="fullpost">* * *</span></span></div>
<span class="fullpost"><br />
<span class="fullpost"> Kala itu penciptaan manusia pertama,<br />
Ketika <i>ruh</i> baru saja ditiupkan ke dalam sanubari makhluk berasalkan tanah,<br />
Tuhan lalu menyuruh semua makhluk besimpuh sujud kehadapan Adam.<br />
<br />
Serta merta hati Jin diliputi resah mendalam. Tak pernah sekalipun sebelumnya, hatinya sesak seperti ini. Alkisah, dengan berat hati ia mengucap kalimat:<br />
<br />
“Sungguh, semata-mata hanya kepadaMulah aku menyembah, tak ada yang lain.” Jin mematung, tak melakukan gerak apapun.<br />
<br />
Sujud, gerak bukan sembarang gerak.<br />
Sembah boleh berupa apapun.<br />
Sekuntum wangi bunga, sesajenan, tetes darah hewan sembelihan, sekarung emas berlian atau istana megah sekalipun, ihklas sanggup kita berikan.<br />
<br />
Tetapi sujud, punya sesuatu yang lain. Sesuatu yang berikrar tentang ketundukan, kepatuhan, kecintaan mendalam, penyerahan keseluruhan, kesetiaan, bahkan meleburnya harga diri.<br />
<br />
Ketika kepala ini rebah ke tanah, ke landasan yang bahkan lebih rendah dari telapak kaki, itulah penegasan dari bahasa tubuh paling mulia, yang melukiskan bagaimana segenap diri ini mangakui bahwa dihadapannya adalah keagungan. <br />
<br />
Jin sangat paham akan itu.<br />
Maka demi cinta yang teramat dalam, demi kesetiaan yang teramat suci, ia diluar dugaan terpaksa menampik perintah.<br />
Baginya, hanya satu yang agung, hanya satu yang mulia. Cinta itu tak mendua, kesetiaan suci itu tak berbagi. Sujudku hanyalah milikMu. Tuhan.<br />
<br />
Perintah terlanggar.<br />
Meski hati kecilnya sedih, itu bukanlah maksud pembangkangan apalagi pemberontakan.<br />
<br />
Setiap pelanggaran melahirkan hukuman.<br />
Dilemparkan (diasingkan) dirinya ke tempat yang begitu mengerikan bagi siapa saja.<br />
Begitu kitab mengisahkan.<br />
<br />
Apalagi yang paling menyakitkan, bila kesetian seorang hamba dipisahkan dari sisi tuan yang dicintainya.<br />
Apalagi yang paling memerihkan, bila cinta tak lagi mampu bertemu kekasih hati.<br />
Bahkan untuk sekedar meresapi wajahnya ataukah mendengar bisik suaranya.<br />
<br />
Apalagi yang paling mengerikan, sebuah tempat bernama Neraka.<br />
Mengerikan.<br />
(Sebab otak kanan kita terlanjur diajari, inilah tempat dimana isinya tak lain lidah-lidah api yang menjulur.<br />
Lalu otak kiri kita juga diajari, bahwa Jin adalah makhluk yang diciptakan berbahan baku api).<br />
Sungguh-sungguh mengerikan memang. Ajaran model kayak <i>gini</i> maksudnya.<br />
<br />
Bayangkan bila seseorang yang mencinta teramat dalam,<br />
terhukum perpisahan dengan kekasihnya.<br />
Tak ada lagi perjumpaan. Wajah yang dipandang. Bisik suara. Aroma tubuh. Bahkan kabar tentangnya. <br />
Tak akan pernah ada lagi setitik apapun denganNya. <br />
<br />
Tapi sedikitpun, Jin tak pernah mengeluh.<br />
Hatinya tak tergoyahkan.<br />
Perpisahan bukan hal apa-apa.<br />
Hanya binasa (ketiadaan), satu-satunya yang pantas merubuhkan keyakinannya.<br />
Bahwa cinta itu tak mendua, kesetiaan suci itu tak berbagi.<br />
Karenanya, sujudku semata-mata hanya milikMu.<br />
<br />
Itu ia pegang sejak pertama diciptakan dan akan sampai kapanpun.<br />
<br />
“Aku hambaMu yang lebih setia daripada dia (manusia). Aku lebih mencintaiMu daripada dia (manusia). Aku hanya memohon satu, izinkan aku ikut ke dunia, bersamanya, demi untuk membuktikan itu.”<br />
<br />
Dan dia, asal muasal bangsa setan, yang ternyata memilih terlemparkan dalam kobaran api bersama cinta dipersemayaman abadinya, mungkin benar adanya. <br />
Benar bila tentang kesabaran dan kesetiaan tak ada yang sebaik dirinya. <br />
Sebab, kita kadang bahkan sanggup melakukan sujud yang munafik. <br />
<br />
Sama seperti kalimat "Kesabaran akan selalu berbuah manis..." <br />
Lama-lama makin terlihat materialistis. Udang di balik batu.<br />
Sepertinya tapi.<br />
<br />
<span style="font-size: small;"><b>NB</b>: misalnya tulisan ini <i>gak</i> jelas juntrungan, maka paling tidak poin yang ditawarkan 'Jin ternyata jatuh cinta pada Tuhan'. atau mungkin 'Betapa <i>gak</i> penting jadi matre, <i>gak</i> disuka jin, bisa-bisa tiap malam minggu di<i>apel</i>i'. </span><br />
<br />
<div style="text-align: center;">
</div>
<div style="text-align: center;">
<span class="fullpost"><span class="fullpost">* * *</span></span></div>
<div style="text-align: center;">
<br />
<span class="fullpost"><span class="fullpost"><b>Kampung Pettarani</b>, Makassar 16 september 2011.</span></span></div>
<span class="fullpost"><br />
<span class="fullpost"> <span style="font-size: x-small;"><b>sumber gambar</b></span>: <a href="http://anuranjanbhatia.deviantart.com/art/My-Heart-on-Fire-58522121?q=boost%3Apopular%20heart%20and%20fire&qo=16"><span style="font-size: x-small;">http://anuranjanbhatia.deviantart.com/art/My-Heart-on-Fire-58522121?q=boost%3Apopular%20heart%20and%20fire&qo=16</span></a></span><br />
</span></span></span></span>eeduy hawhttp://www.blogger.com/profile/10134103706243294400noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3934846632721034012.post-54317429197665713152011-06-03T09:23:00.006+08:002014-01-30T02:48:58.546+08:00Sang Pengembara<a href="http://4.bp.blogspot.com/-ET_zxJk6yHo/Teg-OAkxFII/AAAAAAAAAJY/rq-CZE3lvbA/s1600/flower__by_SynthetikFlesh.jpg" onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}"><img alt="" border="0" src="http://4.bp.blogspot.com/-ET_zxJk6yHo/Teg-OAkxFII/AAAAAAAAAJY/rq-CZE3lvbA/s320/flower__by_SynthetikFlesh.jpg" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5613805345910625410" style="cursor: pointer; float: right; height: 287px; margin: 0pt 0pt 10px 10px; width: 320px;" /></a><br />
<div style="text-align: right;"><div style="text-align: left;"><br />
</div><span style="font-size: 85%;"><br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
“Seorang yang bebas, harus bisa membayangkan hidup dalam situasi apapun<br />
tanpa perlu kehilangan esensi kemanusiaannya.”</span><span style="font-size: 85%; font-weight: bold;">Nurcholis Madjid</span><span style="font-size: 85%;"> (1939 – 2005)</span></div><br />
<br />
Ada suatu kepercayaan yang tidak mempercayai bahwa kegemilangan materi akan membawa ke kebahagiaan sejati.<br />
<br />
Dulu, itu merasuki jiwa orang-orang muda di balik kelimun, hingar, dan pesona lampu-lampu kota. Mereka menggelandang, tapi bukan gelandangan. Mereka ada di sudut-sudut malam jalanan, tapi bukan melakukan kriminal, apalagi meratap meminta-minta belas kasihan.<br />
<br />
Bohemian.<br />
Kebanyakan mereka adalah orang-orang muda golongan menengah perguruan tinggi, yang mencoba mengungkap ekspresi ‘religius’ tentang hakikat ilahiah lewat nyanyian kemiskinan.<br />
<br />
<span class="fullpost"><br />
Dalam keadaan bernama kemiskinanlah bersemayam kesucian. Bukan selalu harus dengan ritus kemewahan, industri, apalagi hitungan untung-rugi mesin produksi.<br />
<br />
Dibesarkan dengan kultur aksara, seni avant-garde, serta eksistensialisme. Maka baginya, jalanan adalah rumah. Hanya saja kebetulan atapnya dari langit.<br />
<br />
Mereka, bohemian, terlanjur jatuh hati akan pengembaraan kehidupan malam. Dan dalam kegelandangan itu mereka barulah merasa ‘manusia’. Manusia yang benar-benar ‘hidup’.<br />
<br />
Mereka inilah, yang ber<span style="font-style: italic;">commune</span>, yang berada dibalik teriakan masyhur “<span style="font-style: italic;">Make Love, Not War</span>” menentang Perang Vietnam. Di jalan mereka membagikan warna-warni bunga lambang cinta damai. Orang lalu menjulukinya <span style="font-style: italic;">flower power</span>,<span style="font-style: italic;"> flower children</span>, atau yang paling kesohor <span style="font-style: italic;">flower generation</span>.<br />
<br />
Soal Perang Vietnam, itu hanya satu dari sekian banyak kejengkelan terhadap rusaknya kenyataan sosial yang tengah berkembang. Materialisme budaya adalah yang paling dicemooh.<br />
<br />
Dan <span style="font-style: italic;">counter culture</span> dilakukan. Mari bercelana<span style="font-style: italic;"> jeans </span>sobek-sobek, berkaos oblong, berkalung manik-manik, berambut gondrong, berjenggot lebat, bersandal jepit, berjaket yang disulam sendiri. Atau mari ber<span style="font-style: italic;">kaftan</span>– jubah longgar tadisional Turki yang menjuntai hingga lutut– demi membedakan kita dengan mereka yang bersetelan rapi dengan dasi.<br />
<br />
Mari mengenakan yang berharga murah, sebab kita anti-kemapanan, anti-borjuisme, anti-militerisme, anti-senjata nuklir, anti-masyarakat fasis, bahkan anti-gereja bila memang memenjarakan fikir.<br />
<br />
Segala yang beraroma kemandegan, keajegan, dan kesempurnaan palsu harus disingkirkan jauh-jauh. Mari memperjuangkan gerakan hak-hak azasi manusia, kesetaraan hak kaum perempuan, pelestarian lingkungan hidup. Mari mengedepankan cinta-damai, keterbukaan serta toleransi.<br />
<br />
Ajaran ‘timur’, <span style="font-style: italic;">buddhisme</span>, vegetarian (menghindari makanan instan), mempraktekkan pengobatan alternatif, adalah hal baik yang bisa kita terima. <span style="font-style: italic;">Retornous a la nature, </span>kembali kepada alam kata Jean-Jacques Rousseau (</span>1712 - 1778) <span class="fullpost">di Zaman Romantik harus didengungkan kembali.<br />
<br />
Itu Bohemian.<br />
Legenda orang-orang muda gelandangan di sudut-sudut malam kota besar barat, yang gemar ber<span style="font-style: italic;">commune</span> dan mereka berbincang tentang seni<span style="font-style: italic;"> avant-garde</span> ataukah filsafat eksistensialisme.<br />
<br />
Bohemian, seperti juga dari Nietzsche dalam <span style="font-style: italic;">Thus Spake Zaratuhstra</span> :<br />
<br />
“Hidup bebas masih terbuka bagi jiwa-jiwa yang besar. Sesungguhnya, dia yang menguasai sedikit adalah yang sedikit pula terkuasai: terberkatilah kemiskinan yang tidak berlebihan!”<br />
</span><br />
<div style="text-align: center;"><span class="fullpost">* * *</span></div><span class="fullpost"><br />
Demikian halnya;<br />
<br />
320 tahun sebelum Masehi.<br />
Ada seseorang bernama Diogenes dari Sinope. Ia murid dari Antisthenes. Sementara Antisthenes adalah murid dari Socrates.<br />
<br />
Melalui Socrates, Antisthenes mengembangkan filsafatnya di Atena dan diberi nama <span style="font-style: italic;">Gymnasium Kynosarges</span>. Ajarannya yang utama, bahwa “Budi adalah satunya-satunya yang baik.” Di luar itu, tak ada lagi kesenangan hidup yang lain.<br />
<br />
Itu diperoleh Antisthenes, tatkala ia mendengar Socrates berucap di depan sebuah kedai yang menjual bermacam-macam barang.<br />
<br />
“Betapa banyak benda yang tak kuperlukan,” kata Socrates.<br />
<br />
Antisthenes kemudian memahami, bahwa budi adalah kebahagiaan sejati. Dan itu tidak terletak pada kelebihan lahiriah, kemewahan materi, atau kekuasaan politik.<br />
<br />
Sayang Antisthenes kontradiktif. Bertolak belakang ajarannya sendiri, Ia mengikuti Kaum Sofis, memungut bayaran dalam ‘sekolah’ filsafatnya. Dimana hal itu sangat pantang bagi Socrates.<br />
<br />
Lalu datanglah Diogenes. Murid Antisthenes. Dialah kiranya yang memegang teguh ajaran ini. Konon ia, yang hidup dalam sebuah tong, hanya memiliki sebuah mantel, tongkat, dan kantung roti.<br />
<br />
Suatu hari, ‘<span style="font-style: italic;">The Great</span>’ Alexander mengunjunginya dan berdiri dihadapannya. Sang maharaja kemudian menawarkan belas kasihan,<br />
<br />
“Adakah sesuatu yang dapat kulakukan sehingga itu membantumu?”<br />
“Ya,” jawab Diogenes.<br />
“Bergeserlah ke samping, Anda menghalangi keindahan cahaya matahari,” lanjutnya.<br />
<br />
Diogenes mengisyaratkan, bahwasanya tong, mantel, tongkat, dan kantung roti, tak kalah bahagianya dibanding istana dengan segala kemewahannya. <br />
<br />
<div style="text-align: center;">* * *</div><br />
Demikian halnya;<br />
<br />
Duhai suara itu, panggilan itu, menggoreskan cerita yang termasyhur. Tentang seorang pangeran klan Kerajaan Sakya, yang lahir di dekat kota kecil Kapilavastu, besar dalam dekapan takhta dan kekuasaan, namun mengucap sebuah ‘selamat tinggal’ yang menyesakkan dada.<br />
<br />
Sidharta ‘Buddha’ Gautama (565 – 485 SM), pangeran berhati lembut telah menyaksikan parade kefanaan. Bahwa manusia menjadi renta, dihancurkan oleh sakit, diusung sebagai jenazah, lalu dileburkan dalam debu dan tanah. Ia terkesima akan hakikat cerita, bahwa kematian melekat erat dengan dan dalam roda-roda kehidupan manusia.<br />
<br />
Maka lonceng pengembaraan dibunyikan. Ia pergi meninggalkan keluarga, gemerlap istana beserta segala isinya. Ia menjadi manusia pengembara, dimana langit kembali dijadikan atap rumah. Yang mengajarkan ‘darma’ kepada siapa saja pengikutnya.<br />
<br />
Ia, Sang Sakyamuni– guru bagi orang-orang Sakya– sesungguhnya meniggalkan catatan kecil dalam ajaran <span style="font-style: italic;">Buddhisme</span>. Bahwasanya kealpaan harta bukanlah dalih untuk membinasakan hidup dan diri sendiri. Dalam ajaran terakhir, sebelum ia menuntaskan kehidupan, ia berkata kepada para pengikutnya. * <br />
<br />
“Kehancuran itu melekat pada seluruh benda. Usahakan keselamatanmu (kebahagiaan) sendiri dengan penuh ketekunan.”<br />
<br />
<div style="text-align: center;">* * *</div><br />
Demikian halnya;<br />
<br />
Legenda seorang <span style="font-style: italic;">darwish</span>, Abu Ishaq Ibrahim Ibn Adham, seperti juga Buddha Gautama, pangeran keturunan Arab dari Kerajaan Balkh. Yang diceritakan orang-orang suci (wali), meski ‘dunia’ di bawah kekuasaannya, meski 40 pedang emas dan 40 tongkat emas selalu mengiringi depan dan belakangnya, namun semuanya urung menghalangi bisikan hatinya.<br />
<br />
Ibrahim Ibn Adham– yang dikisahkan wiracarita sufisme syahid di tahun 165 H/ 782 M dalam sebuah ekspedisi laut melawan pasukan Byzantium– pada suatu tengah malam tidur di pembaringan kerajaan. Di tengah tidurnya, ia merasakan ada orang yang seolah berjalan di atas atap kamarnya.<br />
<br />
“Siapa itu?” teriaknya.<br />
“Seorang teman. Aku kehilangan unta, dan kini tengah mencarinya di atas atap ini,” jawab si pemilik suara.<br />
“Dasar bodoh, engkau mencari unta di atas atap?” ujar Ibrahim.<br />
“Orang bodoh?” tukas suara itu.<br />
“Apakah engkau mencari Tuhan di dalam pakaian sutra dan di dalam tempat tidur emas?” sindir si pemilik suara.<br />
<br />
Kalimat terakhir itu menyentak Ibrahim. Sesuatu terasa mengganjal dalam hatinya. Sepanjang malam ia gelisah. Hingga ketika pagi tiba, ia kembali ke singgasananya mencoba mencari makna.<br />
<br />
Belumlah sempat ia mampu memecahkan gerangan apakah maksud perkataan semalam, seorang lelaki buruk rupa tiba-tiba memasuki ruang istananya. Karena buruknya, tak seorang pun pejabat dan pelayan yang sempat menegurnya.<br />
<br />
“Apa maumu?” tanya Ibrahim.<br />
“Aku singgah di penginapan ini,” kata si lelaki buruk rupa.<br />
“Ini bukan penginapan. Ini adalah istanaku, wahai kamu yang telah gila,” teriak Ibrahim setengah marah.<br />
“Siapa yang memiliki istana ini sebelumnya?” tanya si lelaki.<br />
“Ayahku.”<br />
“Sebelumnya?”<br />
“Kakekku.”<br />
“Dan sebelumnya?”<br />
“Buyutku.”<br />
“Sebelumnya lagi?”<br />
“Ayah dari buyutku.”<br />
“Kemana mereka semua pergi?” ujar si lelaki melanjutkan.<br />
“Mereka telah tiada. Mereka telah wafat,” jawab Ibrahim.<br />
“Lalu apa lagi namanya tempat ini kalau bukan penginapan, jika orang-orang hanya masuk dan kemudian pergi,” kata si lelaki buruk rupa.<br />
<br />
Setelah berkata demikian, lelaki asing itu pun menghilang tanpa jejak. Menurut riwayat, lelaki itu tak lain Nabi Khidhr as.<br />
<br />
Kejadian-kejadian misterius itulah, yang awalnya tak mampu dijelaskan akal Ibrahim, tapi akhirnya membuat dirinya bersimpuh meletakkan segala sesuatu yang membuatnya merasa tinggi hati.<br />
<br />
Ketika suara itu, panggilan itu, telah paripurna dalam segenap intuisinya, ia menghampiri seorang gembala domba. Diberikannya jubah bersulam emas beserta mahkota bertahta permata, kemudian berganti mengenakan pakaian dan penutup kepala sang gembala yang terbuat dari bulu hewan.<br />
<br />
Syahdan, saat itu semua malaikat seraya berdiri memandang Ibrahim.<br />
<br />
“Betapa agung kerajaan yang kini dimiliki Ibn Adham,” ujar para malaikat.<br />
“Ia telah membuang pakaian dekil duniawi, dan kini mengenakan jubah agung kemiskinan.”<br />
<br />
Ibrahim Ibn Adham, sorang legenda sufi, memilih menghilang dari Kerajaan Balkh, dan mengembara ke arah barat untuk menjalani kehidupan sebagai pertapa (asketisisme). Dengan dan dalam kealpaan harta.<br />
<br />
Demikian tentang manusia pengembara. <br />
<br />
<div style="text-align: center;"><br />
* * *</div><br />
<br />
<br />
<div style="text-align: center;"><span style="font-weight: bold;">Kampung Pettarani</span>, Makassar 1 Desember 2006.<br />
<br />
<div style="text-align: left;"><span style="font-size: 85%;">______________<br />
* Seperti dikisahkan Goenawan Mohamad, dalam kolom Catatan Pinggir, majalah TEMPO edisi 39/XXXV/20-26 November 2006 </span></div></div><br />
<span style="font-size: 85%;"><span style="font-weight: bold;">sumber gamba</span>r: http://synthetikflesh.deviantart.com/art/flower-14366553</span><br />
</span>eeduy hawhttp://www.blogger.com/profile/10134103706243294400noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-3934846632721034012.post-1740318920690489852011-05-27T23:48:00.004+08:002011-05-28T01:13:58.718+08:00kehendak<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://2.bp.blogspot.com/-tcrPCCUc-0Y/Td_biKFQxUI/AAAAAAAAAJQ/Ou4JCgYvcKE/s1600/hand.jpg"><img style="display: block; margin: 0px auto 10px; text-align: center; cursor: pointer; width: 294px; height: 320px;" src="http://2.bp.blogspot.com/-tcrPCCUc-0Y/Td_biKFQxUI/AAAAAAAAAJQ/Ou4JCgYvcKE/s320/hand.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5611445040595387714" border="0" /></a><br /><br />Setelah runtuhnya otoritas gereja di Abad Pertengahan, hampir tanpa kecuali, semua pemikiran yang kemudian berkembang menempatkan nalar (rasio) sebagai hakikat jiwa. Satu yang paling terkenal adalah ungkapan Rene Descartes ‘<span style="font-style: italic;">cogito ergo sum</span>’– eksistensi manusia adalah aku yang berpikir.<br /><br />Akal, atau intelek, atau rasio, atau kesadaran, atau dan seterusnya, dianggap sebagai titik tolak dalam menjelaskan relitas. “Hanya kerja akal-lah yang paling bisa dipercaya,” katanya.<br /><br />Arthur Schopenhauer (1788–1868) menepis semua anggapan itu. Menurutnya, hakikat jiwa manusia bukanlah rasio. Rasio hanya berada dipermukaannya saja. Dibawah rasio, sesungguhnya ada representasi dari kehendak (<span style="font-style: italic;">will</span>). Dialah yang mengontrol kesadaran.<br /><br />Kadang-kadang, rasio memang seolah mengendalikan kehendak. Tapi itu sifatnya hanya membantu keinginan ‘kehendak’ bisa tercapai. “<span style="font-style: italic;">Untuk sebuah benda yang tidak diinginkan, kita punya alasan rasional mengapa kita tidak menginginkan benda tersebut. Tetapi, kita bisa membuat dalih atau pembenaran yang seakan-akan rasional, demi sebuah benda yang sangat kita inginkan.</span>”<br /><br />Pendeknya, rasio adalah ‘alat’ bagi kehendak.<br /><br /><span class="fullpost"><br />Tujuan serta sikap manusia pun bukan terletak di dalam rasio. Melainkan di dalam kehendak. Bahasa sehari-hari menunjukkan dengan tepat, bahwa watak manusia ada pada hati bukan pada kepala.<br />‘Hati yang baik’ lebih mendalam dan lebih bisa dipercaya ketimbang ‘pikiran yang jernih’. Agama menjanjikan pahala bagi kesucian hati (moralitas), tapi belum tentu untuk keunggulan kepala (rasio/intelek).<br /><br />Manusia yang berebut makanan, hubungan seksual, atau tingkah laku anak-anak pada umumnya, bukan mengandalkan proses berfikir sebelumnya. Sumber perbuatan mereka adalah dorongan kehendak setengah sadar untuk hidup.<br /><br />Manusia kelihatannya saja ditarik dari depan. Yang sebenarnya, mereka didorong dari belakang. Manusia mengira dibimbing oleh apa yang terlihat oleh indera (tahap awal kerja rasio). Kenyataannya mereka didorong oleh instink-instink alamiah (kehendak/hasrat) yang dirasakannya. <br /><br />Kehendak bagi Schopenhauer adalah <span style="font-style: italic;">Id</span> bagi Sigmund Freud (1856–1890).<br />Dikatakan, bahwa manusia memiliki tiga sub sistem yang berinteraksi dalam kepribadiannya. <span style="font-style: italic;">Id</span>, <span style="font-style: italic;">Ego</span>, dan <span style="font-style: italic;">Superego</span>.<br /><span style="font-style: italic;">Id</span> adalah bagian jiwa yang menyimpan dorongan-dorongan biologis manusia. <span style="font-style: italic;">Id</span> adalah pusat instink (hawa nafsu), yang oleh Freud dipisahkan menjadi dua macam. Yakni (1) <span style="font-style: italic;">Libido</span>– instink reproduktif yang menjadi energi konstruktif dalam kelangsungan hidup manusia; (2) <span style="font-style: italic;">Thanatos</span>– instink destruktif dan agresif.<br /><br /><span style="font-style: italic;">Libido </span>merupakan instink kehidupan, seperti yang terlihat pada manusia yang berebut makan, hubungan seksual, ataukah tingkah anak kecil. <span style="font-style: italic;">Thanatos </span>merupakan instink kematian, seperti yang dilakukan Kurt Cobain (vokalis Nirvana) pada 8 April 1994, menembakkan sebutir peluru ke kepala sendiri.<br /><br />Meski <span style="font-style: italic;">Id</span> melahirkan kehendak, namun ia belum mampu untuk merealisasikan keinginannya secara mandiri. Untuk itu, <span style="font-style: italic;">Ego</span> dibutuhkan agar proyek kehendak <span style="font-style: italic;">Id </span>bisa terealisasi.<br /><br />Menurut Freud, <span style="font-style: italic;">Ego</span> adalah mediator segitiga antara tuntutan ‘instink’ kehendak, tuntutan ‘rasio’, serta tuntutan realitas di luar kehendak. <span style="font-style: italic;">Ego</span>-lah yang selalu rajin tawar-menawar dengan <span style="font-style: italic;">Id</span> (kehendak). Sehingga manusia kelihatan hidup sebagai ‘makhluk rasional’.<br /><br /><span style="font-style: italic;">Superego</span> adalah internalisasi dari norma-norma sosio-kutural masyarakat. Tak usah heran, ketegangan tentu akan sering terjadi antara <span style="font-style: italic;">Superego</span> (kehendak sosial) dengan <span style="font-style: italic;">Id</span> (kehendak individual).<br /><br /><span style="font-style: italic;">Ego</span>-lah yang kemudian tampil sebagai jembatan atas konflik keduanya.<br />Ada seorang prajurit TNI yang sedang dimaki-maki kasar oleh komandannya. Maka <span style="font-style: italic;">Id</span>– kehendak mempertahankan hidup si prajurit– refleks bereaksi, kiranya membalas hinaan tersebut.<br />Tetapi <span style="font-style: italic;">Ego</span> memperingatkan, bahwa yang ada di depan adalah bos sendiri. Kiranya perlu <span style="font-style: italic;">Id </span>ketahui, dalam sistem ke-TNI-an (<span style="font-style: italic;">Superego</span>), melawan bos sama saja ‘cari-mati’.<br /><br />Interaksi antara ketiga sub sistem inilah (<span style="font-style: italic;">Id,</span> <span style="font-style: italic;">Ego</span>, dan <span style="font-style: italic;">Superego</span>) yang menjadi dasar psikoanalisa perilaku manusia. Begitu anggapan Freud.<br /><br />Anggapan Schopenhauer lain lagi. Ia tetap kukuh, bahwa meski ‘kehendak naluriah’ (<span style="font-style: italic;">Id</span>) kadangkala tunduk pada rasionalitas luar individu (<span style="font-style: italic;">Ego</span> yang memihak <span style="font-style: italic;">Superego</span>), tetapi itu semata-mata dilakukannya hanya untuk ‘mempertahankan kelangsungan hidup dirinya’.<br /><br />Sikap patuh <span style="font-style: italic;">Id</span> kepada <span style="font-style: italic;">Superego</span>, tidak diartikan tunduknya ‘kehendak’ terhadap ‘rasio’. Kehendak hanya menuruti saran rasio (<span style="font-style: italic;">Ego</span>), bila saran tersebut akan menjamin kelangsungan hidupnya sendiri (<span style="font-style: italic;">Id</span>).<br />Manakala sebaliknya, saran rasio dianggap justru mengancam stabilitas hidup <span style="font-style: italic;">Id</span>, maka kehendak (<span style="font-style: italic;">Id</span>) akan menggugurkan petimbangan-pertimbangan rasional. Itu misalnya terlihat dalam tindakan bunuh diri atau bom bunuh diri.<br /><br />Dialektika antara rasio dan kehendak lebih pada pengabdian ‘Si Pembantu’ (rasio) kepada ‘Sang Majikan’ (kehendak). Schopenhauer sendiri mengumpamakan “<span style="font-style: italic;">Kehendak adalah orang kuat yang buta, yang mengendong orang lumpuh yang melek (rasio)</span>”.<br /><br />Minus ‘kekuatan kehendak’, rasio tak ada gunanya. Rasio tak punya dua kaki untuk menjalankan skenarionya.<br /><br />Jika demikian adanya, implikasi dari pemahaman ini, ketika esensi manusia bersumber pada kehendak, maka dengan senidirinya dunia manusia sebenarnya dunia penderitaan.<br /><br />Ya, itu karena kehendak identik dengan keinginan. Sementara apa yang diinginkan selalu lebih besar, lebih banyak, lebih rakus ketimbang apa yang diraih. Keinginan tak pernah berhingga. Naluri manusia selalu ingin menuntut yang lebih.<br /><br />Dunia manusia yang dipenuhi kehendak adalah dunia penderitaan. Sebab usaha untuk memenuhi keinginan setiap ‘kehendak’ justru kesia-siaan semata. Kehendak tak akan pernah bisa terpuaskan. Kehendak yang terpenuhi, selalu menciptakan kehendak baru yang lebih serakah. Kehendak tak mengenal kata ‘cukup’ dalam kosa katanya.<br /><br />Maka manusia yang hidup hanya untuk menuruti kehendak, niscaya semata-mata akan dijadikan ‘budak’ oleh kehendak.<br /><br />Dunia manusia adalah dunia penderitaan. Hidup kata F.W. Nietzsche adalah tragedi dari persaingan kehendak untuk berkuasa. Dalam tragedi, tiap detik, genderang perang ditabuhkan. Di setiap sudut kehidupan manusia, selalu ada kekerasan, pertentangan, kompetisi, atau konflik. Pemicunya tak lain semata-mata perseteruan kehendak.<br /><br />Setelah manusia memiliki apa yang sejak dulu diidamkan, rasa bosan selanjutnya datang. Segera timbul keinginan lain. Tapi diujung sana, kebosanan lain juga menunggu. Apa reaksi anak kecil ketika melihat mainan baru? Mainan lama di genggamannya serta-merta dicampakkan terabaikan.<br /><br />Darinya, kebijaksanaan hidup tentulah tidak terletak pada pemuasan kehendak.<br />Kebahagiaan hidup tidak tergantung pada seberapa banyak yang kita miliki (<span style="font-style: italic;">have</span>). Melainkan keber’ada’an (<span style="font-style: italic;">is</span>) kitalah yang menentukan kebahagiaan sejati.<br />Banyak yang bergelimang, namun tetap mengeluh mengaku tak jua bahagia. ‘Ada’ kitalah yang lebih penting ketimbang isi kantong.<br /><br />Kebijaksanaan tentulah kebahagiaan. Kebijaksanaan hidup berarti bagaimana mengatasi kehendak. Manusia keliru, jika mengira kebahagiaan akan datang bila telah berhasil menaklukkan dunia (eksternal). Justru, diri sendiri-lah (internal) yang harus dijinakkan guna menciptakan kebahagiaan.<br /><br />Orang bijaksana, memiliki pengetahuan yang tak banyak unsur kehendaknya. Pengetahuan yang jernih adalah ‘obyektifitas’ yang terbebaskan dari nafsu (kehendak). Bila pikiran menembus nafsu, ia akan mampu melihat objek sebagaimana adanya. Pikiran yang bijaksana, memiliki visi yang jelas tentang dunia dan kehidupan. Begitu gambaran Schopenhauer tentang manusia ‘jenius’.<br /><br />Spesies terendah (tumbuhan dan binatang) bertindak hanya berdasarkan naluri kehendak. Seekor monyet, secara naluriah tahu bila api unggun sumber kehangatan di malam hari. Tapi karena ketidakunggulan pengetahuan atas naluri, beratus-ratus abad berlalu, monyet tak bisa-bisa juga membuat api.<br /><br />Pun proses serupa terjadi pada manusia. Maksudnya, banyak manusia masih hidup dalam ‘fase monyet’. Fase terpenjaranya rasio atas kehendak. Akibatnya manusia fase ‘jenius’ ibarat pemandangan minor di tengah hiruk-pikuk mayoritas monyet.<br /><br />Melalui seleksi ketat, alam hanya menghasilkan sangat sedikit manusia ‘jenius’ di antara berjuta-juta ras manusia. Hukum alam memang begitu adanya.<br />Lihat ‘batu mulia’ yang mengkristal di perut bumi. Ia baru bisa berkilau, bila dengan sabar berhasil ditempa proses seleksi alam bertahun-tahun lamanya.<br />Batu mulia adalah minoritas di antara berjubel-jubelnya kerikil, karang, pasir, bahkan lumpur.<br /><br />Manusia ‘jenius’ berbeda dengan manusia kebanyakan. Karakternya <span style="font-style: italic;">maladaptif</span> (cenderung sulit menyesuaikan diri dengan aktifitas dunia yang penuh kehendak). Ia juga <span style="font-style: italic;">asosial</span> (asing dengan riuh keramaian).<br />‘Jenius’ selalu berpikir yang fundamental, abadi dan universal. Manusia kebanyakan, selalu berpikir dipermukaan, temporer, dan serba sesaat.<br />Apa boleh buat, konsekuensi dari manusia ‘jenius’ adalah pengisolasian diri dalam dunia ‘kesendirian’ bahkan ‘kegilaan’ sekalipun.<br /><br />Martin Heidegger (1889-1976) membenarkan tentang keterasingan kehidupan manusia ‘jenius’. Menurutnya, ‘kesendirian’-lah hakikat personal manusia yang tidak mungkin dihindarkan.<br /><br />Bedanya, manusia ‘jenius’ kata Heidegger adalah <span style="font-style: italic;">Dasein</span>, yakni ia yang terus-menerus hidup dengan mempertanyakan ‘Ada’-nya yang otentik. Sementara manusia ‘kebanyakan’ adalah <span style="font-style: italic;">das Man</span>, ia yang memilih hidup tidak-otentik dengan membiarkan orang lain memutuskan apa yang terbaik bagi dirinya.<br /><br />Eksistensi <span style="font-style: italic;">das Man</span> itu tidak ada (kosong). Sebab memutar roda hidupnya– cara berpakaian, cara bertutur, gaya hidup, berpikir, selera, sampai cara mengunyah sekalipun– dengan dituntun orang lain melalui norma atau konvensi sosial sesat.<br /><br />‘Publik Figur’, iklan, mode, media massa, <span style="font-style: italic;">populerisme</span> adalah ciri ‘manusia kebanyakan’ (<span style="font-style: italic;">das Man</span>). Dia yang terinveksi ‘penyakit populer’ akan bertindak berdasarkan keinginan orang lain. Popularitas hanya akan memaksa orang untuk menipu diri sendiri. Senyum sana-senyum sini, meski hati sebenarnya sedang sedih.<br /><br />Kemasyhuran dan popularitas adalah bodoh kata Schopenhauer. “<span style="font-style: italic;">Kepala-kepala orang lain merupakan tempat celaka untuk dijadikan rumah kebahagiaan sejati</span>.” Kebahagian tidak datang dari orang lain. Itu justru tersimpan di dalam diri. Dan manusia ‘jenius’ (<span style="font-style: italic;">Dasein</span>), setiap saat berusaha menggali di kedalaman nurani (moralitas).<br /><br />Kehendak tentu saja adalah kehendak untuk hidup dan memaksimumkan kehidupan. Dan titik akhirnya, ia berpusat pada sistem reproduksi. Motif manusia melakukan hubungan seksual adalah strategi dari ‘kehendak’ demi memaksimumkan kehidupannya.<br />Benar kata Freud, bahwa “segala sesuatu didasarkan oleh <span style="font-style: italic;">libido</span>”. Kehendak hidup (<span style="font-style: italic;">libido</span>)-lah dasar dari setiap tindakan manusia.<br /><br />Reproduksi alias melahirkan keturunan, semata-mata dorongan untuk menciptakan ‘reinkarnasi’ individual Sang Ayah dan/atau Sang Ibu. Di mata orang tua, anak adalah wujud diri yang baru. Orang tua sebenarnya memandang anak sebagai medium untuk menginjeksi dan mewariskan sifat-sifat (identitas) dirinya.<br /><br />Perhatikan kecenderungan seorang Ayah, selalu menginginkan anak laki-laki. Perhatikan kecenderungan seorang Ibu, selalu mendambakan anak perempuan. Anak tak lebih dari strategi ‘kehendak’ lewat sistem reproduksi untuk mencoba membuat diri abadi.<br /><br />Lagi kata Schopenhauer, menghancurkan hasrat bereporoduksi adalah kebajikan dan jalan untuk mengatasi kehendak. Orang-orang suci penganut tekun ajaran Budha (atau agama-agama ‘ortodoks’ lain), menolak untuk berhubungan dengan perempuan. Itu agar kemurniannya bisa terbebaskan dari nafsu kehendak. Bahkan di India, banyak yang menggembok alat kelamin demi menjaga hasrat seksualnya tidak bertingkah macam-macam. <br /><br />Sifat yang dibenci kehendak adalah ‘kekalahan’. Bagi kehendak, kekalahan adalah representasi dari kematian. Sementara kematian musuh utama dari kehendak. Kehendak tidak menyukai kekalahan, sebab kekalahan sama saja menghambat pertumbuhan (pencapaian) kehendak. Kekalahan adalah negasi dari ‘kehendak untuk hidup’.<br /><br />Seperti aturan dalam pertarungan ‘Gladiator’ (tawanan perang, politik, kriminal, budak-budak) di Colloseum Romawi. Kematian bagi ‘Sang Pecundang’, kehidupan bagi ‘Sang Pemenang’.<br /><br />Bagi kehendak, hanya ada dua yang mungkin di dunia ini; Menang atau Kalah (Hidup atau Mati). Oposisi biner seperti ini adalah ‘metafisika semu’ yang diciptakan ‘kehendak’ guna mempertahankan eksistensinya.<br /><br />Akhirnya, kematian-lah penaklukan paling akhir dan radikal atas ‘kehendak untuk hidup’. Impuls-impuls kehendak akan meredup bilamana kematian menjelang. Pada manusia, ketika sistem reproduksi tidak lagi berfungsi secara efektif (<span style="font-style: italic;">menopause</span>), itu pertanda kematian tinggal menunggu waktu.<br /><br />Kemenangan atas kehendak hanya bisa diperoleh melalui kematian. Tapi Schopenhauer sama sekali tidak menyarankan untuk bunuh diri, ”<span style="font-style: italic;">Destruksi yang disengaja pada eksistensi diri yang individual adalah tindakan sia-sia dan bodoh, karena kehidupan pada umumnya tidak dipengaruhi olehnya</span>.”<br /><br />Bunuh diri hanya mematikan kehendak individu. Tidak bagi kehendak manusia (dunia) secara umum. Dalam satu kematian yang disengaja, terdapat beribu-ribu kelahiran kehendak baru.<br /><br />Manusia ‘jenius’ sangat rindu pada ‘kematian’. Sebab kematianlah kunci pembuka penjara ‘kehendak’. Beda dengan manusia 'monyet', baru membicarakan kematian, bulu kuduknya berdiri entah apa maksudnya.<br /><br />Manusia ‘jenius’, menghadapi kematian dengan ketenangan sikap dan kemerdekaan. Bukan dengan tetesan ‘mubazir’ air mata.<br /><br /><br /><div style="text-align: center;">* * *<br /><span style="font-weight: bold;"><br />Kampung Pettarani</span>, Makassar di sekitar Oktober 2006.<br /></div><span style="font-size:85%;"><br /></span><span style="font-size:85%;"><span style="font-weight: bold;">sumber gambar</span>: http://browse.deviantart.com/?q=hand&order=9&offset=0#/dyaj1f</span><br /><br /><br /> </span>eeduy hawhttp://www.blogger.com/profile/10134103706243294400noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-3934846632721034012.post-77004407949208423982011-05-12T02:04:00.006+08:002011-05-12T02:46:38.118+08:00Lontong<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://1.bp.blogspot.com/-yr7kGWNp0Z8/TcrVV2iVgFI/AAAAAAAAAJI/E5DzXu_M1RQ/s1600/lontong"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 239px;" src="http://1.bp.blogspot.com/-yr7kGWNp0Z8/TcrVV2iVgFI/AAAAAAAAAJI/E5DzXu_M1RQ/s320/lontong" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5605527257609502802" border="0" /></a><br /><br />Benarkah, bahwa makhluk hidup yang isi kepalanya terdapat seoonggok organ lunak berukuran dua-kepalan telapak tangan disatukan, yang berfungsi untuk mengelola sistem informasi berkesinambungan, sehingga disebut makhluk berakal itu, sebenarnya adalah makhluk hidup yang paling tolol?<br /><br /><div style="text-align: center;">* * *<br /></div><br /><br />Syahdan, sebelum Perang Dunia II meletus. Ilmuwan Albert Einstein melayangkan surat kepada Franklin Delano Roosevelt, Presiden Amerika Serikat. Isinya, tentang kabar bahwa Adolf Hitler sedang mengembangkan sebuah senjata baru yang luar biasa dahsyatnya: bom atom.<br /><br />Di akhir surat, Einstein menyarankan agar Amerika Serikat sebaiknya mendahului pengembangan senjata itu. Sebelum Jerman berhasil melakukannya.<br /><br />Saran Einstein diterima. Dalam waktu singkat, Amerika meresponnya dengan menggelar suatu proyek rahasia dengan sandi “<span style="font-style:italic;">The Manhattan Project</span>”. Misinya sama, mengembangkan bom nuklir. Di tangan kendali J. Robert Oppenheimer, ahli fisika nuklir, proyek itu pun sukses*. <br /><br /><span class="fullpost"><br />Proyek itu sukses melahirkan sebuah benda yang bentuknya mirip lontong dari baja seberat 4 ton. Panjang 3 meter. Diameter 0,7 meter. Diberi nama <span style="font-style: italic;">Little Boy</span>.<br /><br />Lontong itu dimasukkkan ke dalam perut pesawat B-29 bernama <span style="font-style: italic;">Enola Gay</span> yang sedang parkir di Pulau Tinian, dekat Guam, Lautan Pasifik. Wilayah ini, dulunya direbut Amerika Serikat dari tangan Jepang pada 23 juli 1944.<br /><br />Dini hari 6 Agustus 1945. Tepatnya pukul 02:45 waktu Tinian atau 01:45 waktu Hiroshima. <span style="font-style: italic;">Enola Gay</span> lepas landas dari Tinian menuju Hiroshima.<br /><br />Menurut catatan William D. Parson, co-pilot <span style="font-style: italic;">Enola Gay</span>, pukul 09:09 waktu Tinian, lanskap kota Hiroshima sudah terlihat dari jendela depan pesawat. Begitu <span style="font-style: italic;">Enola Gay</span> melintasi Jembatan Aioi, lewat 30 detik dari pukul 09:15 waktu Tinian (08:15 waktu Hiroshima), lontong tersebut dijatuhkan.<br /><br />Sehabis melepas <span style="font-style: italic;">Little Boy</span>, <span style="font-style: italic;">Enola Gay</span> langsung menukik 155 derajat ke atas. Berbelok ke utara menghindari efek ledakan. <span style="font-style: italic;">Little Boy</span> sendiri terjun bebas sekaligus memulai aksinya*.<br /><br />Aksi dari benda yang mirip lontong itu kurang lebih demikian: bahan peledak di pantat <span style="font-style: italic;">Little Boy</span> yang telah terpicu, menimbulkan kejut. Gelombang kejut menekan bagian utama bom yang sejenis peluru tapi berbahan Uranium-235. Melewati selongsong dan berujung pada bola Uranium-235. Selanjutnya, 'reaksi fisi' (pembelahan) pun mulai bekerja.<br /><br />Teori 'reaksi fisi', pertama kali ditemukan oleh empat ilmuwan Jerman– Otto Hahn, Lise Meitner, Fritz Strassman, dan Otto Frisch– mengatakan inti atom-atom berat (radioaktif) seperti uranium bisa dibelah dengan menembakkan sebuah neutron. Partikel ideal untuk membelah inti atom.<br /><br />Inti atom yang menyerap neutron akan menjadi tak stabil, lalu memecah diri. Dalam sebuah bom, proses tersebut berjalan secara terus menerus. Satu neutron yang ditembakkan ke setiap fisi, akan menyebabkan pembelahan menjadi dua. Dari dua, menjadi empat, empat menjadi delapan, delapan menjadi enambelas. Begitu seterusnya. Kadang-kala ini disebut juga reaksi berantai.<br /><br />Proses pembelahan neutron terjadi dalam tempo sangat singkat. Hitungannya satuan piko detik (1 x 10 pangkat -12 detik). Reaksi berantai yang tak terkendali itu, menghasilkan radiasi sinar gamma dan sejumlah besar energi.<br /><br />Pada Uranium seberat satu kilogram, ia mampu menghasilkan energi 23,7 juta kwh. Bila energi ini digunakan untuk menghidupkan bola lampu 100 watt, maka selama 30.000 tahun ia akan terus nyala tanpa henti.<br /><br />Sekarang, bayangkanlah <span style="font-style: italic;">Little Boy</span>, lontong yang beratnya empat ton.<br /><br />Hanya 43 detik waktu yang dibutuhkan Little Boy untuk meledak sejak dimuntahkan <span style="font-style: italic;">Enola Gay</span>. Tepat pada ketinggian 580 meter di udara. Di atas Rumah Sakit Shima.<br /><br />1/10.000 detik setelah ledakan, dalam radius 17 meter dari pusat ledakan (<span style="font-style: italic;">hypocenter</span>), panas mencapai 300.000 derajat <span style="font-style: italic;">celcius</span>. Sementara yang sampai ke Rumah Sakit Shima sendiri sekitar 6.000 derajat <span style="font-style: italic;">celcius</span>.<br /><br />5 menit setelah ledakan, asap atom menguar laksana cendawan putih raksasa. Warga Hiroshima yang berada dalam radius 5 kilometer dari pusat ledak, sekonyong konyong binasa oleh zat radioaktif. Dari yang masih <span style="font-style: italic;">ngemot</span> puting payudara ibu ataupun yang sudah <span style="font-style: italic;">aki-aki</span>. Langsung maupun dalam hitungan hari. Kalaupun nafasnya sanggup <span style="font-style: italic;">megap-megap</span>, menderita cacar kulit bahkan mutasi genetik. Bila sedikit beruntung, korban terkena cikal-bakal kanker atau leukimia. <br /><br /><div style="text-align: center;">* * *<br /></div><br /><br />Hingga saat ini, menurut desas-desus, jumlah koleksi lontong yang ada di permukaan planet ini, telah sukses mencapai angka ribuan lebih. Tersimpan rapi di Amerika Serikat, Rusia, India, Pakistan, Cina, Iran, Israel, Korea Utara, dan seterusnya.<br /><br />Nah, andaikata, lontong-lontong itu disebar ke penjuru bumi, lalu dalam hitungan mundur ‘tiga-dua-satu’ masing-masing pantatnya dipicu sehingga 'reaksi fisi' bekerja, maka mungkin sekali, bumi yang diameternya 12.756 kilometer dan luas permukaannya 510 juta kilometer persegi ini, tempat dimana kaki setiap makhluk hidup memijak, hancur bercerai-berai tak ubahnya kotoran sapi.<br /><br />Tidakkah ini bukti, jika makhluk hidup yang isi kepalanya terdapat seoonggok organ lunak berukuran dua-kepalan telapak tangan disatukan, yang berfungsi untuk mengelola sistem informasi berkesinambungan, sehingga disebut makhluk berakal itu, sebenarnya adalah makhluk hidup yang benar-benar tolol?<br /><br /><br /></span><div style="text-align: center;"><span class="fullpost">* * *</span><br /><span class="fullpost"><span style="font-weight: bold;">Kampung Pettarani</span>, Makassar 14 Desember 2006</span><br /></div><span class="fullpost"><br />___________<br />* <span style="font-size:85%;">Seperti dikisahkan Wicaksono, pewarta TEMPO, dalam artikelnya berjudul </span><span style="font-style:italic;font-size:85%;" >Di balik Sebuah Bom Nuklir</span><span style="font-size:85%;">, pada majalah tersebut edisi 29 Desember 2002.</span><br /><br />* <span style="font-size:85%;">Tulisan Bimo Nugroho, anggota perkumpulan Institut Studi Arus Informasi (ISAI), berjudul </span><span style="font-style:italic;font-size:85%;" >Menyusuri Jejak John “Hiroshima” Hersey</span><span style="font-size:85%;"> dalam majalah PANTAU edisi Oktober 2002. Dalam tulisan tersebut, Nugroho menceritakan tentang sebuah karya jurnalistik dari John Hersey berjudul </span><span style="font-style:italic;font-size:85%;" >Hiroshima</span><span style="font-size:85%;">, yang dipublikasikan pertama kali di </span><span style="font-style:italic;font-size:85%;" >The New Yorker</span><span style="font-size:85%;"> 31 Agustus 1946.<br />Salah satu paragrafnya berbunyi demikian: “Albert Einstein, sang penemu rumus atom, memutuskan untuk membeli 1.000 eksemplar edisi </span><span style="font-style:italic;font-size:85%;" >Hiroshima </span><span style="font-size:85%;">itu, tapi ia tak berhasil mendapatkan satu pun dilapak-lapak penjual majalah.”</span><br /><br /><br /><span style="font-weight:bold;font-size:85%;" >sumber gambar</span><span style="font-size:85%;">: http://www.flickr.com/photos/indonesiaeats/5069819396/</span><br /><br /></span>eeduy hawhttp://www.blogger.com/profile/10134103706243294400noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3934846632721034012.post-70431075042345144842011-05-05T03:42:00.005+08:002011-05-05T04:23:28.193+08:00muthos<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://3.bp.blogspot.com/-g7PZTQeX-Fc/TcGytQPyy9I/AAAAAAAAAJA/Sp-uwgVBGQE/s1600/7019c3d9677fbb64833a7b303a2f4b0e-d2zdgrx.jpg"><img style="margin: 0px auto 10px; display: block; text-align: center; cursor: pointer; width: 213px; height: 320px;" src="http://3.bp.blogspot.com/-g7PZTQeX-Fc/TcGytQPyy9I/AAAAAAAAAJA/Sp-uwgVBGQE/s320/7019c3d9677fbb64833a7b303a2f4b0e-d2zdgrx.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5602955901950675922" border="0" /></a><br /><br />Seekor kupu-kupu, hitam dan bercorak kembang kuning di kedua sayapnya, terbang kesana-kemari di dalam rumah. Manusia lantas berkeyakinan, hari ini, ia akan kedatangan tamu.<br /><br /><div style="text-align: center;">* * *<br /></div><br />Frankfurt, Jerman di tahun 1923. Sebuah ‘sekolah’ lahir. Tapi, lebih pada bukan ‘sekolah’ secara fisik. Melainkan suatu paradigma serta riset sosial-budaya. <span style="font-style: italic;">Frankfurt Schule</span> namanya. Belakangan lebih terkenal dengan sebutan Mazhab Frankfurt.<br /><br />Pendirinya, kebanyakan kaum intelektual Yahudi Jerman sayap kiri kelas menengah-atas. Mazhab Frankfurt lahir dari kekhawatiran akan fenomena sosial-budaya yang tengah berkembang saat itu. Ada yang salah dengan konsep pencerahan yang dijanjikan gerak bernama modernisme. Ada yang mesti diperiksa ulang dengan perluasan kebebasan manusia serta kecenderungan ilmu pengetahuan berazas rasionalitas buta. Kemajuan (modernisasi) justru seperti hanyut ke dalam mimpi buruk.<br /><br />31 tahun kemudian, di tahun 1954, keresahan itu hijrah ke Prancis. Mengusik imajinasi seorang pemikir poststrukturalis, Roland Barthes. Hingga menorehkannya dalam rangkaian tulisan di majalah <span style="font-style: italic;">Les Letters Nouvelles</span>. Ia merefleksikan beberapa kecenderungan modernisasi kehidupan sehari-hari orang Prancis. Budaya menonton gulat, anggur dan susu, hingga <span style="font-style: italic;">striptease</span> pun sakasama ia amati.<br />Sampai akhirnya Barthes berkesimpulan; “<span style="font-style: italic;">orang moderen pun dikerumuni oleh banyak mitos, orang moderen juga produsen dan konsumen mitos</span>.”<br /><br /><span class="fullpost"><br /><span style="font-style: italic;">Muthos</span> kata orang Yunani dulu, semacam bentuk ‘kefrustasian’ akal manusia dalam usahanya menjelaskan dengan gamblang fenomena-fenomena alam. Entah itu hujan, badai, kekeringan, ataukah berupa malapetaka.<br /><br />Bangsa Skandinavia pun berhalusinasi, sesosok Thor pemilik godam sakti, yang sanggup menggetarkan langit menghasilkan petir. Hingga titik-titik hujan lalu jatuh ke bumi. <br /><br />Kita juga dulu bermimpi tentang Dewi Sri. Yang memberi berkat pada kesuburan padi Pak Tani. Sama seperti orang Yunani sendiri yang mengenal Zeus dan Apollo. Dionysos dan Hera. Ataukah Pandora dengan kotak malapetaka-nya, yang ditugaskan turun ke bumi untuk balas dendam kepada Prometheus.<br /><br /><span style="font-style: italic;">Muthos</span> atau mitos punya tiga ciri.<br /><span style="font-style: italic;">Irasional</span>. Dalam arti, mitos tidak berada dalam kontrol kesadaran manusia. Karenanya, ia sering dilawankan dengan kata<span style="font-style: italic;"> logos</span> (akal/rasio).<br /><span style="font-style: italic;">Intuitif</span>. Ia tidak melalui rangkai uraian filosofis yang tersistem.<br /><span style="font-style: italic;">Ambiguous</span>. Sesuatu yang tidak memiliki kejelasan benar-tidaknya.<br /><br />Kupu-kupu, hitam dan bercorak kembang kuning di kedua sayapnya, yang terbang kesana-kemari di dalam rumah, apakah hari ini kita akan kedatangan tamu?<br /><br />Tak ada uraian sistematis, logis, dan rasional yang mampu menjabarkan secara gamblang, apa dan bagaiamana hubungan antara ‘kupu-kupu’ dan ‘datangnya tamu’.<br /><br />Lalu datanglah ke bumi, ilmu pengetahuan dan kecerdasan teknologi. Lamat-lamat mitos tergeser dalam kesadaran masyarakat. Keberadaannya mulai terkucilkan. Dengan mikroskop dan matematika, manusia kemudian mampu mejelaskan lebih akurat bahwa; hujan adalah penguapan air yang ada di permukan bumi (sungai, danau, lautan, dan samudera) akibat panas matahari. Lalu, uap naik terbawa angin membentuk gumpalan awan. Berkondensasi menjadi embun (air). Hingga muatan positif dan muatan negatif pada gumpalan awan saling bertemu mengalami pemampatan. Langit pun bergemuruh, cahaya silau menyambar. Dan petir menggelegar.<br /><br />Sains seumpama penghapus Thor dan palu godamnya. Sri, Chac, Baal, Bathara Indra, Ul Wed Lahalata ataukah dewa-dewa lain yang sering dikaitkan dengan hujan dan petir.<br /><br />Lantaran itu, bukan berarti bahwa hari ini kita telah terbebaskan dari <span style="font-style: italic;">muthos</span>. Seperti kata Mazhab Frankfurt, Barthes, dan pemikir posmoderenisme lainnya; ilmu pengetahuan (logosentrisme) dan teknologi hanya menghasilkan ilusi-ilusi dan mitos-mitos baru.<br /><br />Dalam masa, ketika dimana-mana semakin banyak orang hobi menunduk asik memedulikan <span style="font-style: italic;">gadge</span>t ketimbang realitas di depan hidungnya. Masa, ketika keluh-kesah bahkan curhatan <span style="font-style: italic;">lebay</span> sekalipun, berhamburan dipertontonkan ke seluruh dunia lewat jejaring.<br />Tetap saja, tegas Barthes sekali lagi, “<span style="font-style: italic;">Orang moderen pun dikerumuni oleh banyak mitos, orang moderen juga produsen dan konsumen mitos</span>.”<br /><br />Orang-orang moderen yang dimaksud Barthes, adalah mereka yang mempercayai <span style="font-style: italic;">muthos</span> dalam gaya hidup sehari-hari. Mereka yang berkeyakinan akan adanya kekuatan-kekuatan bersemayam pada benda-benda yang dimiliki (<span style="font-style: italic;">have</span>).<br /><br />Mereka, orang-orang moderen, yakin bahwa dalam pesta malam ini, setelan Giorgio Armani yang dikenakan, memiliki kekuatan ‘eksklusif’ dibanding setelan <span style="font-style: italic;">made in</span> Pasar Tanah Abang yang dikenakan Pak Imran di sudut sana.<br />Mereka yakin, bahwa liburan ke Singapura, Paris, ataukah New York, lebih <span style="font-style: italic;">keren</span> dan mengasyikkan ketimbang mengunjungi nenek di kampung halaman.<br /><br />“OMG, Manhattan padat <span style="font-style: italic;">banget</span>… <span style="font-style: italic;">hiuuff</span>.”<br />“Pusiing… pilih<span style="font-style: italic;"> sale</span> gila-gilaan di Orchad Road atau santai-santai di Pattaya…”<br />“Eh Menara Eiffel tinggi<span style="font-style: italic;"> lho </span>ternyata...^_^”<br />(Dueeeeerrrr....) begitu mungkin <span style="font-style: italic;">cuit-cuit</span> mereka di jejaring ataukah oleh-oleh cerita ketika pulang nanti.<br /><br />Ini zaman<span style="font-style: italic;"> lifestyle</span> bung...! pola penggunaan waktu, ruang, uang, barang atau apa pun itu, tidak lagi sesederhana dulu.<br /><br />Kadang rambut perlu dipotong ataukah sekalian ditutup. Entah alasan karena kesehatan (cuaca panas/dingin). Ataupun karena ketentuan agama (kerudung/jilbab penutup aurat).<br />Manakala pilihan warna, bahan, tekstur, model, dan hiasan lain menjadi persoalan ribet dalam melakukan pertimbangan, saat itulah gaya hidup (<span style="font-style: italic;">lifestyle</span>) sudah hadir dengan tegas.<br />Suatu pola penggunaan apa saja, yang nantinya bisa menciptakan pembedaan (<span style="font-style: italic;">difference</span>) identitas seseorang dengan orang lain.<br /><br />Modernisme, menganggap segala sesuatu yang digunakan manusia dalam gaya hidup sehari-hari memiliki dua aspek nilai. Selain nilai fungsi (<span style="font-style: italic;">use value</span>), ada nilai sosio-kultural (<span style="font-style: italic;">socio-cultural value</span>).<br />Si A mengendarai mobil Kijang ke kantor. Sementara Si B BMW.<br />Dalam konteks <span style="font-style: italic;">use value</span>, Si A dan Si B tidak memiliki perbedaan berarti. Dua-duanya sama-sama memfungsikan mobil sebagai alat transportasi ke kantor.<br />Tapi cerita menjadi lain dalam konteks nilai<span style="font-style: italic;"> sosio-kultural</span>. Tingkah satpam-satpam di tempat-tempat umum sering memperlihatkan itu. Mereka tiba-tiba memperlakukan ekstra hati-hati penuh hormat terhadap BMW dibandingkan Kijang.<br />Seperti ada citra (<span style="font-style: italic;">imago</span>) berbeda yang bersemayam di kedua mobil itu. <br /><br />Benda tertentu, menandakan (signifikasi) citra tertentu bagi pemakainya.<br />Citra itulah yang diharapkan menjelaskan identitas diri (siapa) dalam interaksi sosial. Citra itu juga, yang diharapkan bisa menempatkan dirinya dalam struktur sosial ‘istimewa’. Sehingga oleh orang lain, ia pun akan diperlakukan secara ‘istimewa’.<br /><br />Citra itulah <span style="font-style: italic;">muthos</span>, yakni keyakinan akan adanya kekuatan (<span style="font-style: italic;">imago</span>) yang bersemayam di balik benda-benda yang digunakan.<br /><br />Setiap harinya, di kantor, di kampus, di <span style="font-style: italic;">mall</span>, di pasar, di angkot, bahkan di jejaring, semua orang saling menghambur sekaligus saling memperebutkan citra-citra.<br />Citra hanya ada pada benda-benda.<br />Maka seumpama parade, kita beradu dalam perlombaan konsumerisme benda-benda yang dipercaya memiliki daya magis. Membeli benda tertentu, akan membawa diri ke level tertentu.<br /><br />Dulu Rene Descartes pernah berkata “Aku berpikir, maka aku ada.”<br />Kini “Aku membeli, maka aku ada,” kata Bre Redana.<br /><br />Bilamana konsumerisme telah menjadi dasar eksisitensi individu. Maka, siapa yang paling berkuasa (mampu) dalam mengkonsumsi, dialah Sang Raja pemilik hak-hak ‘istimewa’ dan perlakuan-perlakuan ‘tertentu’ dalam panggung sosial bernama masyarakat.<br /><br />Benar kata Barthes;<span style="font-style: italic;"> manusia moderen juga produsen dan konsumen mitos</span>. Manusia moderen juga diselimuti sederet keyakinan yang<span style="font-style: italic;"> irasional</span>, <span style="font-style: italic;">intuitif</span>, <span style="font-style: italic;">ambiguous</span>, atau dalam kalimat yang lebih pas ‘<span style="font-style: italic;">terlalu mengada-ada</span>’.<br /><br />Bahwa: Profesi jenderal lebih baik daripada petani. Musik jazz lebih eksekutif daripada dangdut. Orang kaya lebih bahagia daripada orang miskin. Baju kemeja lebih sopan daripada kaos oblong. Rambut lurus lebih gaya daripada rambut ikal. Menjadi orang terkenal lebih <span style="font-style: italic;">trendi</span> daripada orang tidak terkenal. <span style="font-style: italic;">Jeans</span> merek ini lebih modis daripada merek itu. Makan di sini lebih populer daripada makan di situ. Tinggal di kompleks ini lebih nyaman daripada di kampung itu.<br /><br />Bahkan, cara meludah seperti ini lebih <span style="font-style: italic;">keren</span> daripada cara meludah seperti itu. “<span style="font-style: italic;">Cuiih</span>!” <br /><br /><div style="text-align: center;"><br />* * *<br /></div><br /><br /><div style="text-align: center;"><span style="font-weight: bold;">Kampung Pettarani</span>, Makassar 7 oktober 2006.<br /></div><br /><br /><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-weight: bold;font-size:100%;" >catatan</span><span style="font-size:100%;"> : Tulisan ini, dimodifikasi ulang dan diinspirasi dari skripsi yang berjudul Mitos Malam Minggu Remaja di Makassar (Studi Kasus Semiotika Gaya Hidup) oleh Wahyudi, mahasiswa Strata Satu Angkatan 99 Universitas Hasanuddin, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jurusan Ilmu Komunikasi, Program Studi Jurnalistik. Dalam uraiannya, terdapat deskripsi tentang bagaimana mitos bekerja berdasarkan pola Semiotika, Hegemoni, Konsumerisme, dan Hiper-realitas.<br /><br /></span><span style="font-weight: bold;font-size:85%;" >sumber gambar</span><span style="font-size:100%;"><span style="font-size:85%;">: http://browse.deviantart.com/photography/?q=butterfly&order=9&offset=24#/d2zdgrx <br /></span><br /></span><br /></span></span>eeduy hawhttp://www.blogger.com/profile/10134103706243294400noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-3934846632721034012.post-69193616143106991612011-05-03T02:20:00.013+08:002011-05-05T23:37:43.426+08:0019 sutradara versi eeduyhaw.blogspot.com yang musibah besar kalo nda nonton karyanya. (Last Part)<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://3.bp.blogspot.com/-e9M4rjwTHS0/Tb8ROikHtyI/AAAAAAAAAI4/m4Z8pTzgnxc/s1600/asli%2Bdaun.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 167px;" src="http://3.bp.blogspot.com/-e9M4rjwTHS0/Tb8ROikHtyI/AAAAAAAAAI4/m4Z8pTzgnxc/s320/asli%2Bdaun.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5602215402966333218" border="0" /></a><br /><br /><br /><span style="font-weight: bold;font-size:130%;" >7. Gaspar Noe</span><br /><br />Namanya boleh asing di telinga. Karyanya boleh tak satupun pernah tercatat meski sebatas nominasi di ajang Oscar. Tapi jangan tanyakan itu di perhelatan Cannes. Ia angker di sana.<br /><br />Sama seperti nyentriknya Lars von Trier (<span style="font-style: italic;">director </span>asal Denmark yang menghasilkan <span style="font-style: italic;">Manderlay </span>dan <span style="font-style: italic;">Antichrist</span>). Noe sengaja tak bernafsu untuk <span style="font-style: italic;">nyemplung</span> di industri Hollywood untuk menghasilkan film-film <span style="font-style: italic;">Box Office</span> sebagai syarat tak tertulis mengisi kategori-kategori Oscar.<br />Ia justru lebih sibuk mengeksplorasi sisi art film. Ia tipikal sutradara pendobrak struktur mapan dalam penciptaan film. Seumpama lukisan, karya Noe model aliran abstrak di awal kemunculannya yang mendombrak kecenderungan <span style="font-style: italic;">mainstream</span> waktu itu. Tak mau ia terjebak dengan tatanan baku film.<br /><br />Lebih parah lagi, tema pemikiran <span style="font-style: italic;">director</span> asal Prancis ini suramnya <span style="font-style: italic;">naudzubillah</span>. Ia selalu senang dengan sisi gelap manusia. Bibit-bibit itu bisa dilihat dari filmnya <span style="font-style: italic;">I Stand Alone</span>. Film yang berkisah tentang sosok lelaki tukang jagal hewan yang bertemu dengan anak gadisnya setelah sekian lama. Mengambil paris sunyi nan muram sebagai <span style="font-style: italic;">setting</span> lokasi cerita.<br /><br /><span class="fullpost"><br />Ada satu <span style="font-style: italic;">scene</span> di film ini yang cocok untuk menggambarkan bagaimana sebenarnya Noe itu; ketika si tukang jagal ini baru bertemu anak perempuannya. Bukannya malah digambarkan menjadi figur ‘ayah baik’ yang mencoba merajut kembali hubungan kedekatan dengan anaknya. Noe malah membeberkan dialog batin si Ayah, yang justru tergiur dengan tubuh anaknya yang beranjak dewasa. “Ketimbang direnggut pertama kali oleh pemuda-pemuda brengsek, masih lebih baik bila Ayah dulu yang melakukannya,” begitu kira-kira dialog dalam benak tokoh Ayah itu.<br /><br />Tidak, justru pemikiran Noe belum tentu bisa dikatakan ‘sakit jiwa’ karena<span style="font-style: italic;"> scene</span> itu. Paris-lah yang tengah sakit jiwa menurutnya. Dan konon, ada penelitian yang menggambarkan bahwa 3 dari 10 figur Ayah di Prancis pernah menggagahi anak gadisnya sendiri.<br />Noe hanyalah sosok yang berani datang untuk jujur membeberkan keanehan tanah lahirnya itu.<br /><br /><span style="font-style: italic;">Irreversible</span>. Inilah film Gaspar Noe yang paling bikin tenggorokan tercekat. <span style="font-style: italic;">Standing applause</span> untuk film ini. Kalau boleh sedikit hiperbolis, “Film ini sesungguhnya Tuhan langsung yang menciptakannya, hanya saja ia meminjam tubuh Noe sebagai medium biar tak merusak konstalasi kehidupan.” (Hahaha… ‘sedikit’ hiperbolis yang benar-benar parah).<br /><br />Dari segala penjuru aspek teknis, film ini benar-benar brillian dan orisinil.<br />Alur <span style="font-style: italic;">mainstream </span>dilabrak dengan memakai alur mundur. 20 menit pertama jidat mungkin mengkerut bingung, “<span style="font-style: italic;">Nih</span> film maksudnya apa?” Tapi lewat beberapa menit, barulah kita sadar “Oh…alur mundur <span style="font-style: italic;">to</span>! <span style="font-style: italic;">Opening</span>nya di belakang, <span style="font-style: italic;">ending</span>nya di depan <span style="font-style: italic;">to</span>.” Walhasil, nontonnya di<span style="font-style: italic;">rewind</span> lagi dari awal.<br /><br />Urusan sinematorgrafi, film ini lebih <span style="font-style: italic;">nyeleneh</span> lagi. Noe cenderung mendekontruksi, apa itu komposisi <span style="font-style: italic;">beauty.</span> Gerak kamera sebisa mungkin <span style="font-style: italic;">one-shot</span> dan sengaja dibuat pusing berputar-putar menghantam atap, dinding atau apa saja hingga layar menjadi gelap dan tembus di tempat lain. Hasilnya, memang klop dengan <span style="font-style: italic;">mood</span> serta tema cerita yang diangkat. Ditambah lagi, penggunaan <span style="font-style: italic;">backsound </span>aneh. Lengkap sudah kurang ajarnya ini film.<br /><br />Jalan ceritanya bagaimana? Percuma ia dijuluki Mr. Sakit Jiwa kalau ceritanya bersopan-santun ria. Seperti kegemarannya, tentang bengisnya makhluk (peradaban) bernama manusia. <span style="font-style: italic;">Setting</span>nya kembali mengambil Paris. Garis besarnya, tentang seorang pemuda yang melabrak setiap sudut sebuah kawasan, untuk mencari siapa yang telah menyodomi pacarnya hingga sekarat.<br /><br />Cuma, sedikit <span style="font-style: italic;">warning </span>bagi yang berideologi ketat. Urusan gambar orang-orang telanjang hingga alat kelamin menjuntai kemana-mana, film-film Noe sangat dermawan. Meski rasa-rasanya konteks adegan-adegan itu bukan mengarah ke pornografi film biru, tetap perbedaaan budaya dan agama kita memang jadi kendalanya. <span style="font-style: italic;">So</span>, <span style="font-style: italic;">kudu</span> hati-hati <span style="font-style: italic;">wae</span>-lah. Perbanyak pencet tombol <span style="font-style: italic;">forward</span> tips-nya.<br /><br /><span style="font-style: italic;">Cast</span> tokoh utama film adalah Monica Bellucci dan suaminya sendiri Vincent Cassel. Nah, kalau masih ingat bagaimana totalitasnya Bellucci di salah satu <span style="font-style: italic;">scene</span> film <span style="font-style: italic;">Malena</span> (Giusseppe Tornatore), ketika aktingnya harus diseret dari dalam rumah keluar ke tepi jalan. Rambut dijambak. Baju disobak-sobek hingga compang-camping telanjang di depan umum. Digunduli pula. Diludahi. Lalu dituntut harus nangis sedih hingga air mata mengalir. Maka <span style="font-style: italic;">sodara-sodara</span>, di filmnya Noe ini, adegan itu lewat.<br /><br />Adegan manakah gerangan itu? Perhatikan baik-baik waktu adegan sodomi (aduh… jadi <span style="font-style: italic;">gak </span>enak <span style="font-style: italic;">nyebut</span>nya). Hitung, berapa menit durasi akting <span style="font-style: italic;">one-shot </span>yang harus dilakukan Bellucci, sejak masih rapi keluar dari rumah, hingga ke tepi jalan raya, lalu memutuskan <span style="font-style: italic;">nyebrang</span> lewat lorong bawah tanah, dan kemudian porak-poranda disodomi lelaki bengis penjahat kelamin. <span style="font-style: italic;">Plus</span> harus telanjang compang-camping, mengerang tangis tak berdaya sambil mulutnya dibekap.<br /><br />Bellucci, sekali lagi sukses membabptis dirinya, jika ia bukan aktris kacangan sekelas wajah imut-imut yang <span style="font-style: italic;">nongol</span> dalam film-film <span style="font-style: italic;">Box Office</span> Hollywood di bioskop <span style="font-style: italic;">Twenty One</span>.<br /><br /><br />Film ketiga Noe (hanya segitu memang jumlah karya film panjangnya) adalah <span style="font-style: italic;">Enter The Void</span>. Pada dasarnya, film ini adalah penyempurnaan teknik dan karakter khas Noe dalam <span style="font-style: italic;">Irreversible</span>. Di sini, Ia seperti hanya ingin mengukuhkan, bahwa gaya bercerita dan teknik sinematografi seperti ini adalah temuannya. Miliknya.<br /><span style="font-style: italic;">Enter The Void</span> ibarat<span style="font-style: italic;"> finishing</span> teknis yang belum sempat dilakukan di <span style="font-style: italic;">Irreversible</span>. Tapi tema ceritanya cukup unik, sebab menuntut visualisai dunia pasca kematian. Selain itu, harapan kita belum terpuaskan untuk melihat hal-hal progresif dan lebih sakit lagi dari eksplorasi teknis seorang Noe.<br /><br />Gaspar Noe, si pengeksplor jiwa-jiwa yang sakit, yang berani jujur mengingatkan bahwa dalam diri manusia ada potensi kengerian sifat iblis yang bersemayam. Dan ia sama-sekali tak butuh Oscar sebijipun untuk membuat namanya angker di jagat perfilman dunia.<br /><br /><br /><span style="font-weight: bold;font-size:130%;" >6. Stanley Kubrick</span><br /><br />Sayangnya dia adalah sutradara generasi awal abad 20 yang lahir di New York 1928 dan meninggal di Inggris 1999. Andai saja ia masih hidup, sungguh tak berani membayangkan sepeti apa bentuk imajinasi otaknya lewat karya film-filmnya.<br /><br />Dimasanya, film-film Stanley Kubrick selalu kontroversi dan menjadi perdebatan. Konon, aktor dan aktris besar selalu bermimpi dipanggil Kubrick untuk medapat peran di film besutannya. Sebab, bermain disalah satu film Kubrick adalah tolak ukur pengukuhan diri sebagai bintang besar.<br /><br />Kubrick memang kerap kontroversial. Kehebatannya ada di segala bidang maupun genre. Kalau bukan karena tema cerita yang diangkat, pasti imajinasi futuristiknya. Ataukah karena teknis pembuatan film-filmnya.<br /><br /><span style="font-style: italic;">Clockwork Orange </span>misalnya. Berkisah tentang perjalanan seorang pemuda bernama Alex (Malcolm Mc Dowell) bersama geng <span style="font-style: italic;">nyeleneh</span>nya dalam masa Inggris masa depan. Kelakuan sehari-hari mereka tak lebih dari kekerasan, perampokan, serta pemerkosaan yang sering disebutnya “<span style="font-style: italic;">ultraviolence</span>”. Suatu waktu, Alex dihianati kawan-kawannya sendiri. Ia pun dijebloskan ke penjara dan harus melakukan <span style="font-style: italic;">theraphy</span> untuk menghilangkan kecenderungan kriminalnya.<br /><br />Film ini sangat unik. Gaya bercerita, kostum, penggunaan musik/ <span style="font-style: italic;">backsound </span>aneh, manipulasi gambar, tata artistik, pengadeganan, eksplorasi mimik, serta semua-semuanyalah, benar-benar lain daripada yang lain. Ditambah jalan cerita yang nyentrik namun penuh kotroversial sebab sarat adegan kekerasan. Tapi Kubrick akhirnya menarik peredaran film ini, sebab ia dan keluarganya sempat mendapatkan ancaman mati.<br /><br />Di masanya, Kubrick sangat kelihatan bila imajinasinya melampaui zamannya.<br /><br />Lihat pula keanehan tematik <span style="font-style: italic;">Shut Wide Eyes</span> yang merupakan film terakhirnya. Awal mula cerita tentang pertengkaran suami-istri (Tom Cruise dan Nicole Kidman) yang akhirnya membawa si suami menyusuri malam kota New York dan terkait dalam persekutuan sekte sex terselubung dimana para pejabat dan tokoh-tokoh penting juga ada didalamnya. Ritual pertemuannya serupa perkumpulan setan yang selalu hobi melakukan pesta seks massal sebagai ritual. Dan hasilnya, film ini tentu saja mengalami sensor kiri-kanan depan-belakang dan mungkin cibiran.<br /><br />Tapi yang paling bikin orang tercengang adalah ketika ia memproduksi <span style="font-style: italic;">2001: A Space Odyssey</span>. Inilah film yang menempatkan dirinya sebagai bapak genre <span style="font-style: italic;">science-fiction</span> jauh sebelum orang-orang mengenal Gerorge Lucas, Steven Spielberg atau James Cameron.<br />Bayangkan, ia memproduksi film itu di tahun 1968, masa ketika teknis pengolahan <span style="font-style: italic;">editing </span>(<span style="font-style: italic;">post-production</span>) belum secanggih sekarang<br /><br /><span style="font-style: italic;">2001: A Space Odyssey</span>, bercerita tentang perjalanan luar angkasa masa depan. Dimana Kubrick betul-betul berhasil dengan detil-detil penciptaan suasana di dalam pesawat luar angkasa. Astronaut-astronaut dibuat terbalik-balik. Benda-benda dibuat melayang. Desain interior pesawat yang tampak nyata melawan gaya gravitasi sana-sini. Lalu penggunaan propert-properti yang lazimnya model futuristik.<span style="font-style: italic;"><br />Puyeng</span>, ya <span style="font-style: italic;">puyeng dah </span>itu bagaimana mikirnya.<br /><br />Tahun 1968 <span style="font-style: italic;">sodara-sodara</span> dibikinnya. <span style="font-style: italic;">Masyaallah</span> deh imajinasi sutradara ini. Musibah besar kalau <span style="font-style: italic;">gak</span> sempat nonton film yang memang tak salah bila akhirnya meraih kategori <span style="font-style: italic;">best special effects</span> di ajang Oscar.<br /><br />Stanley Kubrick adalah sutradara kontroversial yang pemikiran teknis film serta imajinasinya melampaui zaman dimana ia hidup.<br /><br /><br /><span style="font-weight: bold;font-size:130%;" >5. Quentin Tarantino</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">Rock N Roll</span>, sedikit brutal, tapi juga konyol. Tarantino, sutradara asal Amerika yang <span style="font-style: italic;">funky</span> habis kemasan filmnya.<br /><br />Bisa jadi, usia yang terbilang muda dibanding sutradara besar lainnya membawa pengaruh dalam karakternya. Energi filmnya <span style="font-style: italic;">powerfull</span>. Dahsyat serasa hentakan musik rock. <span style="font-style: italic;">Gokil dah</span>!<br /><br />Sayang, di film terkhirnya <span style="font-style: italic;">Inglorious Bastard </span>atraksi Tarantino tak sesuai harapan orang-orang. Meskipun masih masuk nominasi <span style="font-style: italic;">Cannes</span>, namun secara keseluruhan, dibanding ketiga film sebelumnya, film ini jauh dari kemampuan asli <span style="font-style: italic;">director</span>nya. Selain dialog berbobot panjang, kita tak melihat dengan gamblang teknik-teknik khas Tarantino seperti biasanya.<br /><br />Tapi lupakan itu, sebab memang tak satupun sutradara di dunia ini yang sanggup membuat setiap filmnya <span style="font-style: italic;">masterpiece</span>. Tak ada cerita itu.<br /><br />Kasus <span style="font-style: italic;">Inglorious Bastard </span>jadi kecil dan tak penting manakala kita telah menyimak <span style="font-style: italic;">Kill Bill Vol.1 </span>dan <span style="font-style: italic;">Kill Bill Vol.2</span>. Parah, kalau sampai belum sempat nonton juga. Soalnya, pecandu-pecandu film seluruh dunia saja sudah teriak-teriak tak sabar “<span style="font-style: italic;">We want Kill Bill Vol.3</span>!”<br /><br />Meski garis besar film ini, hanyalah laga berbumbu sedikit pengadeganan adu jurus silat indah ala tionghoa, dimana pusat cerita adalah perjalanan perempuan bernama Beatrix Kido (Uma Thurman) membabat satu-persatu musuh-musuhnya, namun cara Tarantino mengemasnya itu <span style="font-style: italic;">lho</span>, benar-benar luar biasa.<br /><br />Luar biasanya tak tanggung-tanggung: dalam segala hal. <span style="font-style: italic;">Perfecto</span>. Alur dibuat maju-mundur, jadinya tak monoton. Sinematografi rapi. Dari urusan komposisi yang tak lazim; <span style="font-style: italic;">blocking </span>pemain; pecah <span style="font-style: italic;">shot</span>;<span style="font-style: italic;"> coloring</span>; apalagi teknik kameranya, <span style="font-style: italic;">wow </span>jangan ditanya.<br /><br />Kalau band tanah air <span style="font-style: italic;">Naif </span>me-repro musik jadul, Tarantino pun punya ide sama untuk me-repro teknik kamera film silat cina <span style="font-style: italic;">tempoe doloe </span>(misalnya “<span style="font-style: italic;">zoom in</span> tiba-tiba <span style="font-style: italic;">close up</span>” saat <span style="font-style: italic;">scene </span>Beatrix Kido menimba ilmu pada suhu tionghoa-nya). Padahal, teknik shot ini mulai ditinggalkan kebanyakan DOP (<span style="font-style: italic;">Director of Fotography</span>). Tapi ditangannya, itu dibuat kembali <span style="font-style: italic;">funky</span>.<br /><br />Teknik bercerita film ini juga cepat. Kaya akan montase antara suatu babak dengan babak setelahnya.<span style="font-style: italic;"> Scene-scene</span>nya sengaja dibuat padat. Sehingga jauh dari penyakit bertele-tele. Main langsung labrak. Tarantino seolah tak rela kalau mata penontonnya berkedip sekalipun.<br /><br />Bahkan dalam urusan dialog, pun sutradara ini tak mau tampil-biasa-biasa. Dialog agak panjang namun cerdas adalah karakter<span style="font-style: italic;"> Rock N Roll</span> lain darinya. Di <span style="font-style: italic;">Kill Bill</span>, gaya khas dialog tarantino sebenarnya sudah terasa. Cuma contoh paling cocok mungkin ada di <span style="font-style: italic;">Pulp Fiction</span>. Film yang mengantarnya menyabet <span style="font-style: italic;">Palme d’Or</span> (Golden Palm) di Cannes 1994.<br /><br />Perhatikan dialog saat <span style="font-style: italic;">scene</span> dimana John Travolta dan Samuel L. Jackson berkendara di atas mobil menuju suatu apartemen. Isi dialog mereka berdua hanyalah<span style="font-style: italic;"> chat-chit- chut</span> tentang orang Prancis yang memasukkan kentang gorengnya ke mayonaise- lah, tentang Amsterdam yang begitu longgar dimana kita bisa membeli segelas bir kedalam bioskop-lah, atau tentang apa yang seharusnya terjadi bila seseorang memijat kaki istri orang lain. Semuanya dibiarkan sama sekali tak berhubungan dengan tujuan gila bila keduanya telah masuk ke salah satu kamar di apartemen itu.<br /><br />Dari dialog di adegan ini saja, kesan yang ditimbulkan jadi campur aduk. Pertama, bahwa awalnya kita tertipu tentang tujuan mereka berdua pergi. Bagaimana mungkin orang yang bermaksud membantai nyawa <span style="font-style: italic;">geng</span> lain hanya <span style="font-style: italic;">ngobrol </span>hal remeh-temeh di atas mobil. Kedua, yang tampak adalah dua eksekutor ini tentulah profesional tulen. Ketiga, dua orang ini konyol tentu saja. Keempat, bahwa tingkat kesadisan mereka jangan diragukan. Kelima, <span style="font-style: italic;">scene </span>pembantaian ini jadinya sekaligus peragaan humor cerdas yang kocak.<br />Sungguh betapa cerdas efek dari strategi pengisian dialog Tarantino di<span style="font-style: italic;"> scene</span> ini.<br /><br />Dan pastas dikatakan, bila Tarantino pulalah sutradara yang mampu mengangkat posisi dialog di dalam struktur kemasan film, tampil dominan melebihi <span style="font-style: italic;">backsound</span> bahkan visual sekalipun.<br /><br />Quentin Tarantino, caranya bikin film <span style="font-style: italic;">Rock N Roll </span>abis. Kalau <span style="font-style: italic;">gak</span> <span style="font-style: italic;">ngerti </span>maksud kalimat ini? Coba, nonton sendiri. <span style="font-style: italic;">Kalee aje</span>, dipenafsiran Anda dia justru lebih terlihat <span style="font-style: italic;">dangduters</span> sejati. <br /><br /><br /><span style="font-size:130%;"><span style="font-weight: bold;">4. James Cameron</span></span><br /><br />“Sutradara gila yang bermaksud membuat Hollywood bangkrut.”<br /><br />Konon, begitu cibiran yang ia terima dari mulut eksekutif produser distributor-distributor raksasa Hollywood, saat pertama kali menawarkan proposal filmnya berjudul <span style="font-style: italic;">Titanic</span>. Bukan kepalang memang angka yang diajukan Cameron, US$200 juta. Itu setara dengan 7 film budget ecek-ecek.<br />Beruntung ada <span style="font-style: italic;">Paramount Pictures </span>dan <span style="font-style: italic;">20th Century Fox </span>yang punya nyali mengakomodir ongkos produksinya. Meski dalam hati ketar-ketir membayangkan resikonya.<br /><br />Tapi sekarang, coba saja jawab pertanyaan ini:<br />Sepanjang abad 20 kemarin, film apa yang memegang rekor sebagai film berpenghasilan terbesar?<br />Jawabannya: <span style="font-style: italic;">Titanic</span>. Film ini mampu menghasilkan sebanyak US$1,843 miliar<br /><br />Film apa, yang panjang antriannya dari depan loket hingga ke parkiran depan bioskop 21 Ratulangi Makassar, itupun buat jam pertunjukan setelahnya atau sebentar malam, sebab pertunjukan sekarang ludes diambil orang. Dan pemandangan itu berlangsung berminggu-minggu pula?<br />Jawabannya: <span style="font-style: italic;">Titanic</span>.<br /><br />Film apa yang memenangi 11 kategori Oscar dari 14 kategori yang dinominasikannya?<br />Jawabannya: Titanic.<br /><br />Maka kalau ada pertanyaan: “Eh... be-te-we ceritanya <span style="font-style: italic;">Titanic</span> itu seperti apa sih?” Dueeeerrrr... lidah beku<span style="font-style: italic;">, spechless</span>, tau mo ngomong apa lagi.<br />Sekurang-kurangnya pernahlah mendengar kehebohan film inil. Kalau sampai<span style="font-style: italic;"> gak</span> juga; rasa-rasanya pantas dicurigai kalau pertanyaan ini datang dari sosok alien dari Planet<span style="font-style: italic;"> </span>Mars<span style="font-style: italic;"> </span>yang lagi nyamar untuk menjajah bumi.<br /><br />Pertanyaan oke <span style="font-style: italic;">tuh </span>misalnya kayak <span style="font-style: italic;">gini</span>: “Berhubung <span style="font-style: italic;">Titanic</span> berjaya di abad 20, apa ada di era millenium setelahnya, film yang mampu mematahkan rekor-rekor fantastisnya itu?<br />Nah, pertanyaan oke <span style="font-style: italic;">tuh</span> harusnya model kayak<span style="font-style: italic;"> gitu</span>...<br /><br />“<span style="font-style: italic;">Iye </span>dodol... pertanyaan oke sih pertanyaan oke... cuma jawabannya ada <span style="font-style: italic;">gak</span>? Seru si alien dari Mars makin dongkol.<br />Jawabannya: ada. Judulnya <span style="font-style: italic;">Avatar</span>.<br />“<span style="font-style: italic;">Nah lho</span>... berarti sutradaranya Avatar lebih hebat dari James Cameron <span style="font-style: italic;">dong</span>. Wah... ketahuan... asal <span style="font-style: italic;">nih</span> yang <span style="font-style: italic;">nulis </span>blog ini!” ledek si alien makin sengit.<br />“<span style="font-style: italic;">Gak</span>... <span style="font-style: italic;">tuetep</span>... lebih hebat Cameron!”<br />“kok bisa dodol... hal-ihwal asal-muasalnya<span style="font-style: italic;"> kumaha</span>?”<br />“Iya... karena sutradaranya <span style="font-style: italic;">Avatar</span>, ya sutrdaranya <span style="font-style: italic;">Titanic</span> juga. Wueeekkk...!”<br /><br />Itulah gilanya James Cameron. 17 tahun setelah memproduksi<span style="font-style: italic;"> Titanic</span>, ia baru mau keluar kandang lagi. Di rentang waktu itu, tak sekalipun ia memproduksi film. Ia memilih bertapa.<br /><br />Hasilnya? otak gilanya makin menjadi-jadi.<br />Angka proposal yang dibawanya malah melebihi <span style="font-style: italic;">Titanic</span>, US$500 juta. Tapi tentu saja, tak ada lagi eksekutif distributor yang hatinya ketar-ketir apalagi mulutnya berani-berani lancang mencibir. Semua justru berebutan siap menalangi. Maklum, siapa yang tak tergiur dari pengalaman pundi-pundi keuntungan yang diraup dari <span style="font-style: italic;">Titanic</span>. `<br />Dan benar saja, sekali lagi, Avatar James Cameron memecahkan rekor film berpenghasilan terbesar sepanjang sejarah (sejarah sampai hari ini tentu saja). Rekor yang dulu ditorehkannya sendiri.<br />(Ulasan lebih detil tentang Avatar pernah di<span style="font-style: italic;">posting</span> di blog ini. Bagi yang mau tahu lebih jauh silahkan klik <a href="http://eeduyhaw.blogspot.com/2010/01/fiksi-avatar-cameron-sama-sekali-tak.html">di sini</a>).<br /><br />Sebenarnya, terutama soal kedalaman isi cerita, James cameron jauh dari spesial. Kisah filmnya biasa saja. Di <span style="font-style: italic;">Titanic</span> ia hanya menawarkan formula kesukaan kecenderungan penonton kebanyakan, romantisme kisah cinta dua sejoli. Di <span style="font-style: italic;">Terminator </span>lebih biasa lagi, teror alien yang mengemban misi menguasai bumi.<br />Yang sedikit menarik barulah di <span style="font-style: italic;">Avatar</span>, sisi kritis Cameron mulai terlihat di film ini.<br /><br />Lantas, apa hebatnya film-filmnya dia?<br /><br /><span style="font-style: italic;">Basic </span>karir film Cameron berangkat dari seorang editor. Maka tak perlu heran bila genre <span style="font-style: italic;">science-fiction</span> adalah pilihan kesukaannya. Sebab di sektor inilah ia bisa begitu leluasa beratraksi dengan jurus-jurusnya. Seperti yang semua sudah tahu, <span style="font-style: italic;">sci-fi </span>sangat menonjol dalam eksplorasi sisi teknik penciptaan gambar (manipulasi gambar, teknis pengambilan, penggunaan perangkat canggih teknologi film, <span style="font-style: italic;">special effect</span>, animasi, dan segala macamlah).<br /><br />Makanya gambar-gambar yang dihasilkan sering bikin otak semaput... ini bikinnya <span style="font-style: italic;">gimana</span>? Nah, Cameron itu adalah sutradara yang suka bikin sutradara lain di genre ini sadar, kalau jangan macam-macam dengan karyanya. Filmnya suka bikin film <span style="font-style: italic;">sci-fi </span>lain malu-malu kucing, ketahuan tak ada apa-apanya.<br /><br />Lihat bagaimana puyengnya sutradara lain, ketika di <span style="font-style: italic;">Terminator</span> Cameron membuat si alien meleleh menjadi timah dan balik lagi menjadi manusia.<br />Lihat ketika di <span style="font-style: italic;">Titanic</span>, bagaimana ia membuat kapal laut megah itu berjalan hidup, lalu terbelah dua, padahal <span style="font-style: italic;">behind the scene</span> proses pembuatannya menunjukkan kalau selama <span style="font-style: italic;">shooting</span> tak sekalipun kapal itu dijalankan.<br />Lihat ketika <span style="font-style: italic;">Avatar</span>, bagaimana imajinasinya menciptakan sebuah planet yang dihuni oleh makhluk biru dan aneka flora dan fauna yang berpendar-pendar dan benar-benar terlihat <span style="font-style: italic;">real</span>.<br /><br />Konon, menurut analisa kritikus, setelah melihat Avatar, sutradara <span style="font-style: italic;">sci-fi </span>lain yang gemar bikin robot-robot maupun makhluk-makhluk raksasa, ataukah gedung pencakar langit di sebuah kota metropolitan musnah ditelan banjir besar, jadi <span style="font-style: italic;">nangis</span> tersedu-sedu dan sadar kalau garapannya hanya sebatas ujung kuku kelingking di hadapan film Cameron. (hihihi...konon tapi <span style="font-style: italic;">lho</span> ini)<br /><br />James Cameron, jawara di dunia<span style="font-style: italic;"> sci-fi</span> yang canggih, yang meramu filmnya dengan kisah yang sengaja dibuat ringan agar mudah dicerna, si pemilik ide-ide besar dengan konsekuensi <span style="font-style: italic;">budget</span> besar, yang karena itu membawanya jauh melesat sebagai si pemilik rekor abadi <span style="font-style: italic;">Box Office </span>fantastis sepanjang sejarah.<br /><br /><br /><span style="font-size:130%;"><span style="font-weight: bold;">3. David Fincher</span></span><br /><br />Biarlah orang bilang, kalau sutradara satu ini tak punya kekhasan dalam sisi teknis pengemasan film. Biar pula orang bilang, kalau prestasi filmnya di ajang festival tak spektakuler-spektakuler amat.<br /><br />Fincher tak ribet dengan persoalan itu. Visinya soal film terletak pada satu hal penting: kedalaman cerita.<br />Maka sebuah film bagi Fincher adalah ketika sehabis menyaksikannya, orang akan duduk diam lalu merenung sejenak... Ah bagaimanan jika memang terjadi seperti itu? Dan pertanyaan itu, terus melekat mengusik kehidupan sehari-hari.<br /><br />Ya, David Fincher meminjam medium film untuk mengungkapkan kecerdasan filosofisnya.<br /><br />Lantaran itu, bukan berarti ia buruk soal sinematografi, teknik penyampaian cerita (alur atau plot), pengadeganan dan sebagainya. Ia hanya tak ingin bertumpu pada aspek teknis tersebut. Sebab baginya, kisah dalam film lebih menuntut perhatian lebih untuk menjaga agar sesuai target yang ingin dicapainya.<br /><br />Bila tak percaya juga, baiklah simak <span style="font-style: italic;">Panic Room</span>. Justru di sini kedalaman Fincher yang belum ditampakkan. <span style="font-style: italic;">Setting </span>cerita film ini adalah tentang seorang ibu (Jodie Foster) dan anaknya yang berumur 11 tahun terjebak ketika suatu malam ia tersadar bahwa sekelompok perampok telah berkeliaran di dalam rumah barunya sendiri. Satu-satunya tempat aman bagi keduanya adalah satu ruang khusus yang oleh desainernya di beri nama <span style="font-style: italic;">Panic Room</span>.<br /><br />Sisi teknis apa yang menarik dari film ini? Perhatikan lokasi cerita selama film ini berlangsung. S<span style="font-style: italic;">hooting</span> film 99% hanya dilakukan di rumah itu, dimana di dalamnya terdapat ruang untuk mengatasi situasi panik. Atau dalam kalimat yang lebih pas, Fincher sengaja mem<span style="font-style: italic;">block</span> sebuah film agar kisahnya sama-sekali tak boleh keluar dari sebuah rumah.<br />Hanya melihat sebuah rumah, dan Fincher lalu mampu berimajinasi dan mengalirkan berpuluh-puluh menit suatu kisah hingga selesai.<br />Ini pertanda, bila ia memiliki kecerdasan dan kreatifitas teknis. Hanya saja ia tak mau bertumpu disitu.<br /><br />Kedalaman Fincher barulah kelihatan ketika ia men<span style="font-style: italic;">direct Fight Club</span>. Hanya bagi yang tak akrab dengan tema-tema filsafat eksistensialisme, film ini mungkin jadi tak punya greget berarti. Tapi sebaliknya, bagi yang suka ribet meyelami dunia pemikiran, film ini mungkin pelepas dahaga. Ada banyak celah diskusi seru mengenai kisah film ini selepas menontonnya.<br />Hal inilah yang menjadi keunikan Fincher, filmnya bukan tipe yang habis nonton, kita merasa terhibur dan keluar bioskop. Lalu 10 menit setelahnya kita telah lupa dan sibuk dengan hal sehari-hari di depan mata.<br />Film Fincher selalu menawarkan perenungan setelah menontonnya, “Ah... bagaiamana jika sekiranya itu memang terjadi.”<br /><br />Hal serupa terjadi di film <span style="font-style: italic;">The Curious Case Of Benjamin Button</span>. Sama seperti <span style="font-style: italic;">Fight Club</span>, lagi-lagi Brad Pitt didaulat menjadi tokoh utama di film ini. Kisahnya unik, tentang seorang lelaki yang mengalami fase terbalik dalam perjalanan hidupnya. Sejak bayi fisiknya mengalami penuaan dini. Namun, seiring tumbuhnya, berangsur-angsur fisiknya berbalik semakin muda, sementara kondisi otak dan mentalnya berjalan normal semakin dewasa.<br />Naskahnya di adaptasi dari cerita pendek dari F. Scott Fitzgerald, tetapi Fincher banyak mempermak isi ceritanya sendiri.<br /><br />film ini berhasil masuk nominasi <span style="font-style: italic;">best picture</span> dan <span style="font-style: italic;">best director</span> di ajang Golden Globe. Hanya saja kalah saing dengan <span style="font-style: italic;">Slumdog Millionaire</span> besutan Danny Boyle. Konyolnya, sabotase itu berlanjut hingga ke Oscar, oleh film yang sama pula. Padahal seumpama disuruh memilih, <span style="font-style: italic;">one-hundred percent</span> blog ini bakal memenangkan <span style="font-style: italic;">The Curious Case Of Benjamin Button</span>.<br /><br />Film terakhir garapan Fincher adalah <span style="font-style: italic;">The Social Network</span>. Film yang bercerita tentang apa dan bagaimana sisi belakang layar, fase munculnya situs jejaring fenomenal Facebook. Khususnya masalah kepemilikan saham Mark Zuckerberg dan kolega-koleganya.<br /><br />Dari tema jejaring Facebook, orang-orang berharap banyak agar Fincher fokus mengeksplorasi wacana sosial-budaya diramu tinjauan filosofis dari Facebook itu sendiri. Hanya saja perkiraan itu meleset. Film ini justru mengimplisitkan hal tersebut dalam ambiguitas dan ironi dari sosok Mark, si pencipta Fecebook itu sendiri.<br /><br />Tapi bagaimanapun, film ini masih menarik untuk disimak. Rasa Fincher-nya masih ada. Cukup pula kalau film ini akhirnya mampu menang sebagai <span style="font-style: italic;">best director</span> dan <span style="font-style: italic;">best motion picture-drama</span> di Golden Globe, serta sempat nominasi sebagai <span style="font-style: italic;">best picture</span> dan <span style="font-style: italic;">best director</span> di ajang Oscar 2010.<br /><br />David Fincher, punya kekhasan dalam menjaga mutu dan bobot dari isi kisah filmnya. Sangat sulit untuk menjelaskan seperti apa gambaran kekhasan filosofisnya itu. Satu-satunya jalan untuk membuktikan, filmnya harus ditonton sendiri. <br /><br /><br /><span style="font-size:130%;"><span style="font-weight: bold;">2. Akira Kurosawa</span></span><br /><br />Setiap warga Amerika, setidaknya pasti tahu ketika ditanya tentang legenda penyanyi Frank Sinatra. Kita sendiri punya sosok Benyamin S.<br />Nah, kalau jepang punya legenda bernama Akira Kurosawa.<br /><br />Tapi ia sineas bukan musisi.<br />Akira punya kecerdasan teknis film yang sungguh luar biasa. Jauh melebihi <span style="font-style: italic;">director</span> lain di zamannya. Cara ia menciptakan pergerakan kamera, pecah shot, eksplorasi alur, pemanfaatan simbol-simbol kecil, serta penggunaan feel suasana atau masa melalui unsur angin, air, api dan lain-lain betul-betul visioner. Kisah filmnya pun selalu unik dan dibangun dengan kecerdasan tinggi.<br /><br />Tak kurang Steven Spielberg, George Lucas, Francis Ford Coppola, Robert Altman, mengakui bahwa apa yang dilakukan teknis film sekarang sebenarnya hanyalah pengembangan dari apa yang dilakukan Akira Kurosawa sebelumnya.<br /><br />Ia lahir di Tokyo 1910 dan wafat di kota yang sama di tahun 1998. Menonton film-film Akira, sama sekali tak ada bedanya dengan film-film yang ada sekarang. Kecuali tentu saja film-film sekarang berwarna-warni sementara hampir semua film Akira masih berformat hitam-putih.<br />Tak terbayangkan, bila sosok legenda ini hidup di zaman sekarang.<br /><br />Cobalah tonton strategi pergerakan kamera kurosawa dalam <span style="font-style: italic;">Seven Samurai</span>. Atau bagaimana ia mengutak-atik alur di <span style="font-style: italic;">Rashomon</span>. ataukah kisah unik seorang ronin cerdas dalam <span style="font-style: italic;">Yojimbo</span>. Semua dasar-dasar teknik pembuatan film masa kini ada di situ. Film-film yang dibikinnya ketika era film masih berformat hitam-putih.<br /><br />Hebatnya lagi, Akira Kurosawa tidak hanya jenius dalam hal teknis. Ia juga punya kecerdasan kritis. Intelektualitasnya bisa ditengok di <span style="font-style: italic;">Dreams</span>. Film dengan kemasan ceita yang tak biasa, dialirkan menggunakan metode <span style="font-style: italic;">chapter to chapter</span>. Film ini merupakan kritik Akira terhadap bahaya yang mungkin timbul dari eksplorasi teknologi yang tanpa disertai kearifan pertimbangan sosial-budaya. Menonton film ini, tiba-tiba saja Akira seperti seorang filosof.<br /><br />Memang hanya BAFTA yang pernah menganugrahinya sebagai <span style="font-style: italic;">best direction</span> melalui film <span style="font-style: italic;">Kagemusha. </span>Serta <span style="font-style: italic;">Lifetime Achievement</span> untuk Oscar di tahun 1989. Tapi tengok apa kata-kata yang keluar dari mulut sutrdara besar dunia semacam Ingmar Bergman, Roman Polanski, Bernardo Bertolucci, <span id="result_box" class="" lang="id"><span style="" title="">Robert Altman, Francis Ford Coppola, Steven Spielberg, Martin Scorsese, serta George Lucas. Semuanya mengakui kalau apa yang mereka lakukan sangat dipengaruhi oleh metode-metode Akira Kurosawa. </span></span><br /><br />Akira Kurosawa itu adalah bapak (pencetus) strategi pengemasan film moderen. Seumpama dalam musik, ia adalah seseorang yang telah menciptakan do-re-mi- fa-sol-la-si-do(i) tangga nada. Dan karena rumusannya itu, orang lantas bisa membuat alunan musik dengan indah.<br /><br /><div style="text-align: center;">* * *<br /></div><br /><br />Fiuuh... sampai juga di tahap penulisan sosok <span style="font-style: italic;">director</span> pamungkas versi blog ini. Sekedar mengingatkan kembali, kedalaman cerita (unsur filosofis) dalam relasinya dengan kehidupan sehari-hari adalah faktor nomor satu dalam memilih sutradara mana yang paling pantas menempati posisi terhormat ini.<br />Ya... kedalaman cerita. Setelah itu barulah aspek teknis film, seperti strategi penyampaian cerita (alur, pecah <span style="font-style: italic;">shot</span>, montase), strategi sinematografi, pengadeganan, kecanggihan teknik <span style="font-style: italic;">editing</span>, <span style="font-style: italic;">coloring, </span>dan seterusnya.<span style="font-style: italic;"> </span><br /><br />Bagi blog ini, bagaimanapun, sebuah karya seni dituntut tidak hanya sekedar mampu menghibur (<span style="font-style: italic;">entertain</span>) semata. Ataukah hanya sampai pada tahap mampu menginformasikan atau mendidik ke penonton sesuatu yang belum diketehui sebelumnya (<span style="font-style: italic;">inform/ educate</span>).<br /><br />Pada titik puncaknya, sebuah karya seni sejatinya sanggup mempengaruhi ataukah mengubah isi kepala, sikap bahkan perilaku penontonnya terhadap suatu fenomena yang tersajikan di dalam film itu. Pada tahap itulah, sisi filosofis suatu kisah film dipertaruhkan sampai sejauh mana kedalamannya.<br /><br />Dan berdasarkan aspek tersebut, maka blog ini mengucap <span style="font-style: italic;">salute to</span>: <br /><br /><br /><span style="font-size:130%;"><span style="font-weight: bold;">1. Majid Majidi</span></span><br /><br />Sederhana dan bijaksana.<br />Dua kata itu mewakili bagaimana sutradara Iran ini menyampaikan filmnya ke penonton.<br />Seluruh aspek film; dari tematik cerita, sinematografi, teknik <span style="font-style: italic;">editing</span>, disampaikannya hanya dengan kesederhanaan. Namun penuh bunga-bunga makna yang bijak. Sering mata kita dibuat berkaca-kaca karenannya.<br />Ia benar-benar sutradara yang sangat bersahaja.<br /><br />Kita mungkin masih ingat <span style="font-style: italic;">Children of Heaven</span>. Kisah tentang seorang kakak laki-laki yang terpaksa harus merelakan sepatunya untuk dipakai bergantian dengan adik perempuannya. Sebab adik yang sangat ia sayangi tengah kehilangan sepatu. Dan suatu waktu ia berjuang memenangkan perlombaan lari agar memenangkan hadiah yang menjadi targetnya: sepasang sepatu buat adiknya.<br />Sangat sederhana, disampaikan dengan gambar sederhana, namun sarat dengan makna bijaksana.<br /><br />Lalu ada <span style="font-style: italic;">Baran</span>. Seorang anak perempuan imigran <span style="font-style: italic;">Afghanistan</span> yang terpaksa menyamar menjadi laki-laki buruh bangunan. Mengantikan ayahnya yang mengalami kecelakaan berat, demi melanjutkan nafkah keluarga. Itu dilakukan di tengah sistem negara islam Iran, dimana perempuan tentu saja tak seenaknya bisa menembus akses kesetaraan kesempatan (gender).<br /><br />Sekali lagi, tema kisah yang sangat sederhana, disampaikan dengan gambar sederhana, namun sarat dengan makna bijaksana.<br /><br />Belum cukup dengan itu, tontonlah <span style="font-style: italic;">The Song of Sparrows</span>. Kisah menyentuh sosok seorang ayah bernama Karim (Reza Naji) yang dipecat karena dituduh lalai hingga seekor burung unta lepas dari peternakan. Ia akhirnya mencoba mengadu nasib di kota sebagai tukang ojek agar bisa terus mengongkosi pengobatan masalah pendengaran yang mendera putrinya. Karim seorang yang murah hati kepada siapa pun. Tak peduli apakah itu mendapatkan balasan atau tidak. Kadang keluarga kecilnya sampai urung-uringan dengan sifatnya mulianya itu.<br /><br />Dan itulah dari seorang Majid majidi, tentang kisah yang sangat sederhana, disampaikan dengan gambar sederhana, namun sarat dengan makna bijaksana.<br /><br />Dari cara ia mengemas film-filmnya, Majid Majidi memang adalah seorang yang sangat setia dengan filosofi itu. Semua gambar-gambarnya ditampilkan sederhana. Tema cerita sangat sehari-hari. Tetapi kuat pada simbolisasi humanisme. Terutama model pengadeganan yang begitu <span style="font-style: italic;">real</span> dan terlihat manusiawi sekali.<br />Kemampuan <span style="font-style: italic;">director</span> untuk mengeksplorasi akting aktor-aktornya, adalah tumpuan agar sampai pada puncak lakon yang benar-benar dramatik.<br /><br />Tapi dramatik, bukan berarti penuh adegan hambur-hambur tangis atau urat-urat leher yang meninggi seperti sering diperlihatkan sinetron televisi kita. Dramatik yang dimaksud adalah ketika sebuah adegan dilakonkan senatural mungkin. Semakin ia natural, ibaratnya semakin tak sadarlah penonton bahwa kejadian yang sementara disaksikannya adalah potongan gambar-gambar film semata.<br />Disitu kekuatan Madid Majidi, sebab tak sadar, mata tiba-tiba berkaca-kaca menyaksikan kisah dalam potongan-potongan adegan di filmnya.<br /><br />Lebih memukaunya lagi, jangan sekali-kali pernah berfikir bahwa Majid Majidi tipikal “si penjual kesedihan”. Ia bukan pengeksploitasi “derita” sebagai bahan jualan di filmnya. Terlalu murahan itu.<br />Kesemua film-filmnya yang pernah ditonton, tak satupun yang bernada pesisimisme. Sebaliknya, ia selalu berusaha menunjukkan secara implisit kekuatan dari sebuah optimisme sederhana. Tak sekalipun tokoh-tokoh utamanya dikarakterkan sebagai tukang keluh dan pasrah dengan keadaan. Majid Majidi sangat mencintai kekuatan sebuah usaha. Meski itu terjadi dalam dimensi dunia sehari-hari orang-orang "kecil". Yang sering terlihat sebagai keremeh-temehan bagi sebagian orang lain.<br /><br />Selembar uang seribuan bagi kita, mungkin itu hanya seharga <span style="font-style: italic;">tissue</span> penyeka keringat wajah agar tetap terlihat segar.<br />Tapi di dimensi kehidupan film-film Madjid Majidi, selembar uang seribuan menyimpan sepenggal drama akan kekuatan suatu usaha dari orang-orang sederhana, di dunia yang sederhana, untuk meraih dan mencintai hidup dengan sebenar-benarnya. <br /><br />Bagi yang punya keasikan menyelami kedalaman hidup, menonton film-film Majid Majidi serasa bukan menonton film. Lebih pada menyaksikan kepingan realitas sehari-hari terhampar di depan mata.<br /><br />Majid Majidi, filmnya hidup seumpama punya nyawa. Blog ini, angkat topi karenanya.<br /><br /><br /><br /><div style="text-align: center;">* * *<br /></div><br /><div style="text-align: center;"><span style="font-weight: bold;">Kampung Pettarani</span>, Makassar 3 Mei 2011<br /></div><br /></span>eeduy hawhttp://www.blogger.com/profile/10134103706243294400noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-3934846632721034012.post-46067763985060269372011-04-13T18:47:00.007+08:002011-04-13T19:27:52.068+08:00Fenomenologi Briptu Norman Kamaru<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://4.bp.blogspot.com/-U5qjXnmI_fo/TaWGV_od1JI/AAAAAAAAAIw/ZtDYvSAPpKo/s1600/briptu-norman%2B%25287%2529.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 213px;" src="http://4.bp.blogspot.com/-U5qjXnmI_fo/TaWGV_od1JI/AAAAAAAAAIw/ZtDYvSAPpKo/s320/briptu-norman%2B%25287%2529.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5595025824494245010" border="0" /></a><br /><br />"Saya <span style="font-style: italic;">nggak</span> tahu siapa yang <span style="font-style: italic;">upload</span>, saya malah dikasih tahu sama ibu saya. Sempat takut juga, takut kalau kenapa-kenapa." Briptu. Norman Kamaru, <span style="font-weight: bold;">detik.com</span>, Rabu (6/4/2011).<br /><br />Tak perlu pula menjelaskan ulang siapa Briptu Norman? Selama di ruang tengah masih ada TV, dan TVnya masih sering dinyalakan, semua pasti sudah tahu.<br /><br />Yang menarik justru pertanyaan:<br />1. Lho kok bisa, video<span style="font-style: italic;"> lip sync </span>kualitas butek kamera HP milik Norman diklik hingga lebih sejuta orang?<br />2. Lho kok bisa, seminggu terakhir ini, Norman hilir-mudik kayak piala bergilir, jadi rebutan segmen acara stasiun-stasiun TV?<br /><br /><span style="font-weight: bold;font-size:130%;" ><br />Norman dan Jejaring Internet</span><br /><br />Kasus Norman, sekali lagi bukti betapa spektakulernya<span style="font-style: italic;"> new </span>media!<br />Siapapun tak pernah tahu, bakal berefek sejauh mana materi-materi yang ia unggah di situs-situs jejaring. Lihat kutipan di atas, Norman sendiri <span style="font-style: italic;">aja</span> garuk-garuk kepala <span style="font-style: italic;">gak</span> habis pikir!”<br /><br /><span class="fullpost"><br />“POLISI GORONTALO MENGGILA”. Dari judul sudah menarik, memancing rasa ingin tahu. Seorang teman malah <span style="font-style: italic;">nyeletuk</span> waktu temannya mengirim tautan ini ke dindingnya, “Bikin ulah apa lagi ini polisi Indonesia!” <span style="font-style: italic;">Everybody know so well</span>-lah kalau bicara soal aparat kita.<br /><br />Eh… tahu-tahu, setelah pencet tombol <span style="font-style: italic;">play</span> lalu <span style="font-style: italic;">pause</span> (biasa, mempersilahkan <span style="font-style: italic;">loading</span> sampe <span style="font-style: italic;">finish</span> dulu) yang ada malah gambar laki-laki berseragam, <span style="font-style: italic;">lip sync</span> sambil joget india tipis-tipis.<br />Awalnya kecewa, ekspektasi teman saya itu meleset. Cuma kalau diperhatikan lebih jauh, video ini lucu dan <span style="font-style: italic;">norak-norak gimana gitu</span>. Gemes<span style="font-style: italic;">in</span>. Tautan ini lalu diteruskan ke teman-temannya yang lain.<br /><br />Dimulailah pola epidemik. Sebangsa dengan virus H5N1 penyebar flu burung (burung beneran). Dalam kajian ilmu sosial-budaya, pola ini disebut penyebaran dikursus (<span style="font-style: italic;">discourse</span>) oleh Michel Foucault (1926 – 1984). Yang <span style="font-style: italic;">nyebar</span>, namanya agen-agen diskursus. Agen itu misalnya; yang <span style="font-style: italic;">ngirim</span> ke dinding teman saya, teman saya sendiri, dan temannya teman saya, yang jumlahnya <span style="font-style: italic;">gak</span> tahu (<span style="font-style: italic;">boro-boro ngitung</span>).<br /><br />Apalagi kalau agen-agen si penyebar ini masuk kategori “top-markotop agent”. Maksudnya, tipe figur <span style="font-style: italic;">ngetop</span>-lah. Ada tingkatan-tingkatan memang dalam dunia agen.<br />Tipe ini, ibarat kalau SMU dulu suka tergabung dalam suatu <span style="font-style: italic;">geng </span>pertemanan, si <span style="font-style: italic;">opinion leader</span>-nya. Yakni mereka yang kalau sekali <span style="font-style: italic;">ngomong</span>, yang lain pasti banyak ikut angguk-angguk.<br />Alasan angguk-angguknya macam-macam. Ada yang karena hormat, memang percaya kalau dia cerdas, takut, karena dia cakep, keseringan ditraktir, suka diantar pulang, suka diberi contekan pas ujian, atau sekedar ikut-ikutan <span style="font-style: italic;">doang</span>. <span style="font-style: italic;">Pokoe</span> peduli setan, yang penting setuju <span style="font-style: italic;">wae</span>-lah.<br /><br />Agen tipe inilah salah satu faktor kunci menyebar luasnya suatu diskursus. Tipe inilah kalau di Facebook, sekali <span style="font-style: italic;">update</span> status, yang <span style="font-style: italic;">nanggepin bejibun</span>. Tipe inilah, karena dia cakep, sekali <span style="font-style: italic;">upload</span> foto-foto narsis, hidung-hidung belang pada keluar dari sarangnya. Cerewet <span style="font-style: italic;">muja-muji </span>busuk minta nomor HP segala. Kalau <span style="font-style: italic;">gak</span> dapat, malah nyetor nomor HP sendiri. Dahsyat kan tipe 'top-markotop agent'?<br /><br />Kasus Norman boleh jadi seperti ini. Awalnya ada yang iseng <span style="font-style: italic;">doang ngupload</span> ke YouTube. Lalu <span style="font-style: italic;">link</span>-nya disebarkan ke beberapa orang. Yang <span style="font-style: italic;">nengok</span>, mungkin motifnya kenal Norman. Atau paling tidak karena penasaran, ingin tahu seperti teman saya. Berhubung videonya memang menggelitik, lalu diteruskan. Diteruskan lagi. Diteruskan lagi. Efek domino. Eh… tahu-tahu yang klik<span style="font-style: italic;"> udeh</span> <span style="font-style: italic;">nembus</span> sejuta umat.<br /><br />Dulu kasus Sandy Sondoro juga begitu. Cuma doi menarik bukan karena lucu dan gemesin. Suara Sandy memang jempolan. Prestasi dan Talenta nyanyinya tokcer di level Eropa. Biar begitu, pola penyebarannya <span style="font-style: italic;">sami mawon</span> kayak Norman. Redaksinya saja yang beda. Kalau Norman sisipan kata-katanya “Eh… ada video polisi India lucu, nonton deh!” Nah kalau Sandy, “Eh… ada penyanyi dari Indonesia yang suaranya <span style="font-style: italic;">keren</span> lho, nonton deh!”<br /><br />Tentu karakter orang-orang yang suka terhadap kedua video ini juga berbeda. Coba deh bikin statistik, berani taruhan, kalau yang suka lihat <span style="font-style: italic;">link</span> videonya Sandy Sondoro rata-rata tipe penuntut kualitas, selektif dan paling tidak wawasan musikalitasnya bukan katak dalam tempurung.<br /><br />Justin Bieber pun begitu. Awal ngetopnya lewat YouTube juga. Suaranya bolehlah. Masih brondong, imut-imut, cute pula. Hasilnya, link video diklik berjuta juta orang.<br />Nah, kalau ada yang bikin statistik lagi, berani taruhan, ini dia selera cewek-cewek yang suka pecicilan teriak-teriak histeris di depan panggung konser entah sebabnya apa.<br /><br />Paling seru video keong racun. Kasusnya sama. Cuma kalu dipikir-pikir masih mending Briptu Norman. Olah vokalnya masih bisa ada harapan. Meski butuh polesan <span style="font-style: italic;">dikit</span> biar lebih stabil. Nah ini, hahahahaha…??? (Isi sendiri kelanjutannya).<br />Berani taruhan, biarpun <span style="font-style: italic;">gak</span> ada yang bikin statistik sebelumnya, Yang suka lihat <span style="font-style: italic;">link</span> video ini kebanyakan laki-laki yang nafasnya suka tiba-tiba <span style="font-style: italic;">gak</span> teratur pas ketemu cewek centil. (eh… saya<span style="font-style: italic;"> gak nulis</span> kalimat Shinta dan Jojo itu cewek macam-macam lho <span style="font-style: italic;">yee</span>… silahkan baca ulang…hahahahha).<br /><br />Biar begitu, Shinta dan Jojo juga adalah bukti otentik kalau new media berbasis WWW itu memang <span style="font-style: italic;">spectacular and unpredictable</span>. New media yang hukumnya cuma satu: HUKUM MENARIK.<br />Mampu tidak, materi-materi yang kita unggah itu “menarik” berjuta-juta pengunjung yang berserakan itu untuk datang melihat?<br /><br /><span style="font-weight: bold;font-size:130%;" ><br />Norman dan Industri Televisi</span><br /><br />Lho kok bisa, seminggu terakhir ini, Norman hilir-mudik kayak piala bergilir, jadi rebutan segmen acara stasiun-stasiun TV?<br /><br />Era peradaban kita sekarang, ibaratnya masih dalam masa transisi dari penggunaan media satu arah (televisi, majalah, koran, dll) ke media yang mampu interaktif (Internet). Khususnya untuk materi-materi ber<span style="font-style: italic;">kilobyte </span>besar macam <span style="font-style: italic;">file </span>audio-visual.<br /><br />Kalau sekedar untuk kebutuhan <span style="font-style: italic;">magazine</span> dan <span style="font-style: italic;">newspaper</span> <span style="font-style: italic;">on-line</span>, peradaban kita bolehlah. Hanya saja, dalam urusan meng-<span style="font-style: italic;">online</span>-kan televisi misalnya, kita masih butuh terobosan pengembangan teknologi penyimpanan dan pengolahan (<span style="font-style: italic;">memory</span>) data yang besar lagi super-cepat (<span style="font-style: italic;">real time</span>). Di samping itu, akses perangkat teknologi internet ini belum ramah kantong kecil.<br /><br />Andai kata telah sempurna, yakin deh… ruang tengah rumah kita tak butuh TV lagi. Semua ganti Internet. <span style="font-style: italic;">Someday</span> kita bahkan mampu bikin TV sendiri. Tinggal bikin akun dan kelola, selesai. Begitu itu salah satu keuntungan sistem interaktif.<br /><br />Berhubung belum, TV masih jadi <span style="font-style: italic;">mainstream</span>. TV, sekali “<span style="font-style: italic;">update</span> status” (menampilkan segmen acara), yang “klik” (nonton) acaranya = seberapa banyak orang yang punya TV dan mampu menjangkau frekuensinya. Ratus-ratus juta kalau ada yang nekad menghitung.<br /><br />Ibarat waktu SMU dulu, TV adalah sebuah <span style="font-style: italic;">geng</span> raksasa. Pengikutnya banyak. Nah, stasiun-stasiun TV itulah <span style="font-style: italic;">figure</span> atau <span style="font-style: italic;">opinion leader</span>nya. Yang kalau sekali <span style="font-style: italic;">ngomong</span>, yang nonton pada angguk-angguk semua.<br /><br />Maka TV adalah “super top-markotop agent”. Ini dia <span style="font-style: italic;">nih</span> faktor paling berpengaruh yang bikin Norman makin kesohor. Di jejaring, ada semacam acara yang menampilkan celotehan-celotehan konyol bertajuk <span style="font-style: italic;">Tonyblank Show</span>. Lumayan <span style="font-style: italic;">ngetop</span>lah lewat Facebook. Cuma karena <span style="font-style: italic;">gak</span> pernah dieksplorasi stasiun TV, jadinya <span style="font-style: italic;">gak</span> seheboh Norman.<br /><br />Salah seorang sahabat (senior KOSMIK UH) yang kebetulan bekerja di Trans TV pernah cerita, kalau acara ini susah masuk TV. Terlalu riskan untuk mengontrol rambu-rambu aturan. Misalnya menghindari hal-hal berbau SARA. Itu memang benar, soalnya bintang utama acara ini penderita <span style="font-style: italic;">schizophrenia </span>alias “orang gila” beneran (baca “orang gila”nya pakai tanda kutip). Celotehannya susah dikontrol.<br /><br />TV-lah yang mampu menggiring ke mana opini masyarakat berkembang. TVlah yang paling mampu menetukan isu apa yang harus dikonsumsi (masyarakat) penontonnya.<br /><br />Karena TV dan internet sama-sama media, Hukumnya sama-sama satu: HUKUM MENARIK. Mampu tidak acara itu menarik pantat pemirsa sebanyak-banyaknya untuk duduk betah menonton.<br /><br />TV itu juga industri. Apalagi dalam sisitem negara liberalis seperti kita. Hidup-matinya TV bergantung dari dari seberapa besar iklan yang tayang. Bagan analogi industrialisasinya begini: ibarat <span style="font-style: italic;">billboard</span> di jalan protokol, pengiklan hanya mau pasang reklame di tempat-tempat strategis yang bisa dilihat orang sebanyak mungkin. TV seumpama jalan protokol, buntut-buntutnya pengiklan hanya mau beriklan di acara yang penontonya banyak. Duit dari pengiklan itulah yang dipakai bayar buat ongkos produksi acara, sekaligus bayar gaji manusia-manusia yang bekerja di dalamnya.<br /><br />Dan berlomba-lombalah produser-prodoser satsiun TV. Pontang-panting mikir bagaimana membuat kemasan suatu acara yang hukumnya mampu menarik penonton sebanyak mungkin. Ketemulah Kata Kuincinya “PENONTON HARUS SEBANYAK MUNGKIN”. Kalau bisa sampai tak berhingga, itu lebih bagus lagi.<br /><br />Maka dalam kaca mata Industri , TV sesungguhnya tak peduli; mau suaranya Sandy Sondoro dari emas <span style="font-style: italic;">kek</span>, Justin Bieber itu <span style="font-style: italic;">lebay kek</span>, Shinta-Jojo itu <span style="font-style: italic;">gak</span> bisa apa-apa selain joget mirip orang <span style="font-style: italic;">tripping</span> <span style="font-style: italic;">doang kek</span>, atau Norman itu Brimob ‘lucu bin <span style="font-style: italic;">norak-norak gimana gitu kek</span>, <span style="font-style: italic;">gak</span> penting.<br />Yang penting dan produser TV pasti peduli adalah di belakang Sandy itu ada penonton berjuta-juta <span style="font-style: italic;">gak</span>? Di belakang Justin itu ada penonton berjuta-juta <span style="font-style: italic;">gak</span>? Di belakang Shinta-Jojo itu ada penonton berjuta-juta <span style="font-style: italic;">gak</span>? Di belakang Norman itu ada penonton berjuta-juta <span style="font-style: italic;">gak</span>? Kalau iya... buktinya apa?<br /><br />“<span style="font-style: italic;">Tuh</span>… di YouTube!” jawab setan belang yang kebetulan lewat.<br />“<span style="font-style: italic;">Lah udeh</span>… mikir apa lagi dodol! Bawa cepat, itu orang-orang ke sini buat tampil di acara kita. Dia itu lumbung duit setan!” Seru produser-produser TV kasak-kusuk. <br /><br />Melihat TV, sama dengan melihat <span style="font-style: italic;">snapshot</span> gambaran kebudayaan suatu masyarakat. Apa dan bagaimana TV, begitu pula cerminan masyarakat kita. Kalau hari ini TV kita berisi; <span style="font-style: italic;">relity show</span> murahan yang hambur-hambur air mata dibuat-buat; hantu-hantu gentayangan; kuis-kuis tengah malam yang <span style="font-style: italic;">doyan</span> pamer belahan dada; atau rekayasa <span style="font-style: italic;">infotainment</span> untuk mendongkrak popularitas artis; justru jangan salahkan TVnya. Apalagi produser-produser acara itu.<br />Masih mending kambing hitamkan masyarakatnya. Kok mau-maunya, seleranya kompak ramai-ramai kayak <span style="font-style: italic;">gituan</span>.<br /><br />Sekali lagi, TV itu industri. Kasarnya orang jualan. Dimana-mana, pedagang <span style="font-style: italic;">nyari</span>nya tempat ramai untuk jualan. Bodoh kalau dagang di tepi jalan sepi. Salah-salah yang beli malah setan belang penghuni kuburan.<br /><br />Kalau hari ini, gara-gara video <span style="font-style: italic;">butek</span> kualitas HP, Norman keluar-masuk stasiun TV, jangan <span style="font-style: italic;">keburu</span> uring-uringan bikin kampanye “Matikan TV” apalagi <span style="font-style: italic;">nge</span>cap TV haram segala. Nanti, kesan yang ada malah mirip videonya Norman; lucu dan <span style="font-style: italic;">norak-norak gimana gitu</span>.<br /><br />TV seumpama pisau. Masa sih, gara-gara ada bocah mati ditusuk pisau oleh jambret, lantas kita bikin solusi musnahkan pisau di dunia ini. Lha… lantas ibu-ibu kalau lagi masak di dapur <span style="font-style: italic;">piye</span>, potong-potong sayurnya <span style="font-style: italic;">pake ape</span>? Jurus karate?<br /><br /></span><div style="text-align: center;"><span class="fullpost">* * *</span><br /></div><span class="fullpost"><br />Di era jejaring, saling menarik perhatian adalah hukum mutlak. Semua saling berebut, sejauh mana materi-materi yang kita unggah itu mampu ‘menarik’ perhatian orang lain sebanyak-banyaknya.<br /><br />Seperti kata Mark Zuckerberg, dalam dunia bernama internet, kita ingin memperhatikan sekaligus lebih senang bila diperhatikan. Bahkan untuk sekedar mengisi ”Apakah yang kita pikirkan” sekalipun. Tak ada yang sudi memajang foto terjeleknya sebagai <span style="font-style: italic;">picture profile</span>. Citra adalah titik tumpu penanda identitas kita.<br /><br />Ibarat anak kecil yang merengek, kita bahkan mungkin tega membanting vas bunga di ruang tamu, untuk sekedar mendaptkan perhatian Ibu. Sebab ini saatnya perang <span style="font-style: italic;">discourse</span>, perang citra-citra.<br /><br />Inilah masa, ketika hal-hal lucu, aroma pornografi, tingkah konyol, wajah-wajah cantik, talenta-talenta berkualitas, paham ideologi, data-data rahasia, berita, karya ilmiah, puisi-puisi, curhatan <span style="font-style: italic;">diary</span>, esai-esai kebudayaan, bahkan orang jualan sayur pun, bercampur-aduk saling beradu mencoba mencuri perhatian.<br /><br /><span style="font-style: italic;">Welcome to the new world! <span style="font-weight: bold;">World Wide Web</span>.<br /><br /><br /><div style="text-align: center;">* * *<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Kampung Pettarani</span>, Makassar 13 April 2011<br /></div><span style="font-weight: bold;font-size:85%;" ><br /></span></span><div style="text-align: left;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-weight: bold;">sumber gambar</span>: http://barunews.com/cinta-farhat-video-briptu-norman-terbaru/</span><br /></div><br /></span>eeduy hawhttp://www.blogger.com/profile/10134103706243294400noreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-3934846632721034012.post-68777077171733228812011-04-10T15:31:00.008+08:002011-05-03T04:26:12.186+08:0019 sutradara versi eeduyhaw.blogspot.com yang musibah besar kalo nda nonton karyanya. Part II<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://1.bp.blogspot.com/-gNE7thcP1pc/TaFlCz7ek2I/AAAAAAAAAIg/OBjTa9VHt0w/s1600/asli%2Bdaun.jpg"><img style="display: block; margin: 0px auto 10px; text-align: center; cursor: pointer; width: 320px; height: 167px;" src="http://1.bp.blogspot.com/-gNE7thcP1pc/TaFlCz7ek2I/AAAAAAAAAIg/OBjTa9VHt0w/s320/asli%2Bdaun.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5593863311144686434" border="0" /></a><br /><br />Sebelumnya, sekali lagi <span style="font-style: italic;">award</span> ini jelas sifatnya subyektif belaka.<br />Tentulah deskripsi mengenai sutradara-sutradara yang dimaksud, sama sekali jauh dari mewakili gambaran sebenarnya. Apalagi, itu hanya didasarkan pada beberapa film-filmya yang kebetulan sempat ditonton. Padahal kalau<span style="font-style: italic;"> filmography</span>nya dicek, daftar karyanya berderet-deret.<br /><br /><span style="font-style: italic;">So</span>, kalau ada yang tak setuju dengan penggambaran atas sutradara-sutradara yang namanya disebutkan, itu wajar dan sah adanya.<br />Karena itu, dengan subyektifitas blog ini, si jenius-jenius yang pantas disebutkan namanya itu adalah:<br />(bagi yang belum menyimak urutan sebelumnya, <a href="http://eeduyhaw.blogspot.com/2011/03/19-sutradara-versi-eeduyhawblogspotcom.html">klik disini</a>)<br /><span class="fullpost"><br /><span style="font-weight: bold;font-size:130%;" >13. Wong Kar-wai</span><br /><br />Tak ada kalimat lain lagi yang lebih pas untuk menggambarkan gaya <span style="font-style: italic;">directing</span> sutradara yang lahir di Shanghai dan hijrah ke Hongkong ini: jagoan ruang sempit.<br /><br />Hanya dengan dua atau tiga rumah sempit sebagai lokasi <span style="font-style: italic;">shooting</span>, dia sudah mampu mengemas sebuah cerita apik melalui film pendek <span style="font-style: italic;">The Hand</span> yang merupakan salah satu dari 3 kumpulan film pendek berjudul <span style="font-style: italic;">Eros</span> bersama Steven Soderbergh <span style="text-decoration: underline;"></span>(<i>Equilibrium) </i>dan Michelangelo Antonioni (<i>The Dangerous Thread of Things</i> )<span style="font-style: italic;"></span>. Ceritanya pun tak lazim, tentang obsesi seorang lelaki tukang jahit terhadap perempuan pelacur langganan jahitannya.<br /><br />Tematik film Wong Kar-wai sejauh ini memang berkutat tentang cinta. Namun ia bukan penganut romantisme cinta yang <span style="font-style: italic;">happy ending</span>. Ia malah lebih suka mengeksplorasi dimensi hubungan cinta yang rumit, suram dan terbelenggu suatu keadaan kompleks. Itu kemudian divisualkan di dalam ruang sempit seumpama kontrakan kecil.<br /><br />Wong Kar-wai bahkan sanggup menghabiskan puluhan menit durasi filmnya untuk mengalirkan kisah yang terjadi dalam masa berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun di dua kamar sempit itu. Lihatlah <span style="font-style: italic;">In the Mood for Love </span>yang masuk nominasi <span style="font-style: italic;">Palme d’Or</span> Cannes 2000. Film yang berkisah tentang seorang jurnalis(Tony Leung) dan sekertaris (maggie Cheung) yang tinggal bersebelahan kamar di sebuah apartemen kecil. Hampir 50% lokasi pengambilan gambarnya hanya seputar apartemen itu.<br /><br />Dengan kecenderungannya itu, tak ayal gambar-gambar Wong Kar-wai lebih berkutat pada ekspresi kuat (<span style="font-style: italic;">close up</span>) wajah tokoh, detil makna <span style="font-style: italic;">gesture</span>, dan eksplorasi simbolis properti-properti kecil semisal foto, gantungan kunci, dasi, atau sapu tangan yang menyiratkan makna tertentu atau penanda mengalirnya masa.<br /><br />Wong Kar-wai tergolong debutan di level sutradara dunia. Bisa dikatakan <span style="font-style: italic;">My Blueberry Night</span> adalah Film yang menandai kedatangannya sekaligus karya perdananya di level internasional. Film yang berkisah mengenai pejalanan cinta seorang penjaga Cafe kecil (Jude Law) dan seorang gadis (Norah Jones) yang baru patah hati dan akhirnya juga hidup di seputar Cafe. Seperti biasa, ruang sempit Cafe dan sepi-senyapnya esensi kehidupan hiruk-pikuk kota besar menjadi titik eksplorasinya. Alienasi diri masyarakat perkotaan, juga adalah karakter lain dalam film-film Wong Kar Wai.<br /><br />Dan itu, disampaikan hanya melalui <span style="font-style: italic;">shot-shot</span> sempit, di dalam ruang-ruang yang sempit.<br /><br /><br /><span style="font-weight: bold;font-size:130%;" >12. Joel Coen & Ethan Coen (Coen Brothers)</span><br /><br />Sungguh, gaya <span style="font-style: italic;">directing</span> duo bersaudara ini begitu mencuri perhatian. Sodoran visualisasinya <span style="font-style: italic;">fresh</span>.<br /><br />Sayang, karya terakhirnya <span style="font-style: italic;">True Grit</span> berbicara lain. Walaupun masuk nominasi Oscar tahun ini, tapi rasa-rasanya film ini meleset dari ekspektasi besar orang-orang terhadap kekhasan karakternya. Entah, disebabkan <span style="font-style: italic;">setting</span> cerita <span style="font-style: italic;">wild west</span> jaman koboi yang memang dunia baru dalam penggarapan mereka. Ataukah ingin mencoba hal lain. Ataukah faktor <span style="font-style: italic;">over</span>-produktifnya mereka beberapa tahun terakhir dalam menghasilkan karya. Entah.<br /><br />Tapi lupakan itu. Mari menyaksikan <span style="font-style: italic;">No Country For Old Men</span>. Di film inilah gaya Coen Brothers dipertontonkan habis-habisan. Dan pantas jika apresiasi yang diterimanya dari Oscar adalah <span style="font-style: italic;">Best Picture</span> sekaligus <span style="font-style: italic;">Best Director</span>.<br /><br />Kalau membaca sinopsisnya, jalan cerita film bergenre <span style="font-style: italic;">thriller</span> ini mungkin terlihat datar saja. Tentang Llewelyn Moss (Josh Brolin) yang dikejar-kejar pembunuh bayaran berdarah dingin yang diperankan apik oleh aktor kawakan Spanyol Javier Bardem. Namun, manakala memperhatikan strategi visualisasinya, kesan datar itu lenyap seketika.<br /><br /><span style="font-style: italic;">Thriller</span> kebanyakan, suasana tegangnya dibangun lewat penggambaran terang-terangan proses kekerasan. Misalnya metode membunuhnya dengan cara mata dicungkil. Atau dampak kekerasannya bikin sebuah rumah banjir darah, porak-poranda, dan ada tangan terpenggal di mana-mana.<br />Di film ini, itu seolah sengaja dihindari. Yang ditonjolkan justru ekspresi tokoh lewat mimik, pilihan adegan yang tak biasa, cara berfikir (motivasi tindakan), isi dialog yang menohok dan simbolisasi brutalisme lewat properti-properti sederhana. Brillian, bayangkan hanya dengan medium sederhana itu, film ini justru terlihat lebih<span style="font-style: italic;"> thriller</span> daripada film <span style="font-style: italic;">thriller</span> sendiri. Rasa <span style="font-style: italic;">cold-bloody</span> lebih menyegat di lidah. Jenius dan “orisinil”.<br />Nonton deh. Ini film wajib nonton.<br /><br />Gaya khas duo ini diampilkan lagi di <span style="font-style: italic;">Burn After Reading</span>. Uniknya, di sini keduanya seperti mempermainkan <span style="font-style: italic;">thriller</span> dengan cara mencampurkan unsur komedi-<span style="font-style: italic;">satire</span> di dalamnya. Garis besar ceritanya berlatar-belakang dipecatnya seorang agen CIA di masa “mati segan hidup tak mau-nya” dunia mata-mata pasca perang dingin. Dunia yang identik dengan kode-kode rahasia dan pembunuhan-pembunuhan terselubung diolok-olok dengan motivasi kejadian yang sebenarnya hanya disebabkan satu hal: kekonyolan. Dan itu makin memikat sebab khas eksplorasi medium sederhana Coen Brother yang hanya mengandalkan mimik <span style="font-style: italic;">satire</span> serta karakter tokoh yang unik secara emosional.<br /><br />Begitu juga di <span style="font-style: italic;">A Serious Man</span>. Kali ini <span style="font-style: italic;">thriller</span>nya ditinggalkan, dan yang tersisa drama-komedi-<span style="font-style: italic;">satire</span>. Sutrdaranya diserahkan sendirian di tangan Ethan. Tapi <span style="font-style: italic;">screenplay</span> tetap berduet dengan Joel.<br />Eksplorasi adegan, utamanya ekspresi tokoh-tokoh yang bermain, tetap menjadi titik fokus <span style="font-style: italic;">directing</span>. Dan humor yang dihasilkan benar-benar terasa lain. Lucunya, tak biasa. Tapi, kalau nontonnya <span style="font-style: italic;">ngarep</span> sampai dibuat <span style="font-style: italic;">ngakak-ngakak </span>pegang perut, wah... salah besar. Ini bukan komedi murni, ini <span style="font-style: italic;">satire</span>. Sarat dengan olok-olok kecerdasan, bukan penonjolan tingkah bodoh yang menjurus absurd. Ini konyolnya eleganlah <span style="font-style: italic;">gitu</span>.<br /><br />Joel &Ethan Coen hebat di pengolahan secara tak biasa ekspresi tokoh-tokohnya. Gambar-gambarnya cenderung tenang (<span style="font-style: italic;">still</span>). Sebab lebih ingin berbicara melalui penonjolan mimik, <span style="font-style: italic;">gesture</span> dan pengadeganan secara umum. Di situ kekuatan khas duo bersaudara ini.<br /><br /><br /><span style="font-weight: bold;font-size:130%;" >11. Bernardo Bertolucci</span><br /><br />Mungkin film-filmnya tak terlalu populis dan jarang bergema di telinga. Kecuali tentu saja <span style="font-style: italic;">The Last Emperor </span>yang memborong 9 kategori dari 9 nominasi Oscar yang diikutinya. Termasuk kategori bergengsi <span style="font-style: italic;">Best picture</span> dan <span style="font-style: italic;">Best Director</span> di tahun 1987.<br /><br />Hanya saja, dari dua filmnya yang lain, corak berfikir sutradara asal Italia sungguh misterius. Ia seperti punya kedalaman ketika memilih tema cerita yang akan diangkat.<br /><br />Di <span style="font-style: italic;">The Dreamers</span> ia seolah menyalurkan hasrat pemberontakannya. Film yang ber<span style="font-style: italic;">setting</span> tentang pergolakan kelompok anak muda khususnya di kalangan mahasiswa Prancis 1968 yang berdampak pada peregeseran nilai-nilai konsevatif ke liberalisme di negara tersebut. Idealisme pemikirannya seolah diwakilkan ketika memutuskan untuk memilih naskah ini.<br /><br />Urusan sinematografi Bertolucci sendiri, sama baiknya dengan sutradara yang lain. Tak perlu diragukan. Hanya kekuatan dirinya, mungkin memang tidak dititik-beratkan ke hal teknis tersebut. Ia lebih fokus pada apa yang ingin disampaikan sebuah film. Maka di kedalaman ceritalah tujuan eksplorasinya.<br /><br />Itu juga yang kemudian membuat dirinya menyutradarai <span style="font-style: italic;">Little Buddha</span>. Kisah yang mengangkat kembali hikayat hidup Sidharta Gautama yang mahasuci di masa mudanya. Diperankan Keanu Reeves, film yang ia tulis sendiri ini, sangat tepat mengangkat <span style="font-style: italic;">angle</span> cerita Sidharta Gautama dalam masa transisi sebagai putra mahkota kerajaan yang kemudian memilih pergi dari istana dan menjadi pertapa suci untuk menemukan kesejatian.<br /><br />Dua tema film ini sungguh menarik dicermati, sebab isi kepala atau ideologi <span style="font-style: italic;">director</span> biasanya tercermin dari film yang diangkatnya. Dan Bertolucci menjadi sosok sutradara misterius, sebab seperti ada sesuatu yang kerap gelisah dalam dirinya. Sesuatu yang bisa jadi sangat religius dan sifatnya pribadi.<br /><br />Bernardo Bertolucci, sosok misterius yang menyertakan kegelisahan diri dalam film garapannya.<br /><br /><br /><span style="font-weight: bold;font-size:130%;" >10. Franciss Ford Coppola</span><br /><br />Kapan menyangkut sutradara senior, maka penyakitnya cuma satu: tak banyak yang bisa diceritakan. Sama seperti Scorsese, pengalaman Coppola tak terhitung. Belakangan ia lebih banyak bertindak sebagai produser.<br /><br />Trilogi <span style="font-style: italic;">Godfather</span> adalah <span style="font-style: italic;">masterpiece</span>-nya. Sampai sekarang, setiap nonton film dengan <span style="font-style: italic;">setting</span> dunia mafioso, film inilah patokan pembandingnya. Ciamik memang jalan ceritanya.<br />Inilah satu-satunya trilogi yang menggondol 2 kali oscar kategori <span style="font-style: italic;">Best Picture</span> dan hanya gagal di sekuel terakhir (nominasi). Rekor fantastis ini belum terpecahkan.<br /><br />Coppola menarik justru ketika ia men<span style="font-style: italic;">direct</span> <span style="font-style: italic;">Dracul</span>a. Tak ada hujan apalagi badai, ia bagai ingin tamasya sejenak setelah habis-habisan serius menguras jidat di <span style="font-style: italic;">Godfather</span>. Dari judulnya, jelas film ini adalah horor-mistis dunia makhluk penghisap darah pemburu keabadian. Tapi dasar Coppola, ia <span style="font-style: italic;">nyeleneh</span> sedikit memasukkan unsur humor. Tanpa merusak nuansa mistisnya. Ramuannya pas.<br /><br />Manipulasi gambar, dan teknik sinematografi film ini juga patut diacungi jempol. Ambil contoh bagaiamana ia menciptakan gerak bayangan si Dracula yang selalu tak sesuai dengan wujud aslinya. Kocak, namun dibuat tentu dengan manipulasi teknik tinggi.<br /><br />Harusnya, film terakhir Coppola mesti di bahas. Khususnya <span style="font-style: italic;">Youth Without Youth</span>, dari <span style="font-style: italic;">theatrical release poster</span>-nya kayaknya wajib jajal. Sayang belum sempat nonton. Namun biar bagaimanapun, hasilnya tak akan berpengaruh banyak. Kesimpulannya tetap, Coppola adalah master serba bisa yang tak terkungkung dalam satu genre spesialis. Ia multitalenta, hebat dalam apapun.<br /><br />Tak banyak yang bisa diungkit lagi manakala menyebut Franciss Ford Coppola. Begini saja ringkasnya: Bayangkan bila disebuah ruangan dipenuhi pecandu film. Tiba-tiba ada yang menyebut namanya. Nah, siapapun diruangan itu yang sempat mendengar, lidahnya langsung kelu gemetaran. Siapapun!<br /><br /><br /><span style="font-weight: bold;font-size:130%;" >9. Danny Boyle</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">Director</span> asal Inggris yang awalnya melejit lewat film <span style="font-style: italic;">Trainspotting</span>. Tipikal penganut <span style="font-style: italic;">pop-culture </span>yang sama sekali tak meningalkan unsur-unsur kritis dalam cerita.<br /><br />Kalau menyimak <span style="font-style: italic;">The Beach</span> dengan saksama, maka cerita film ini sebenarnya tak hanya menyodorkan sepak terjang dunia pelancong di tengah lanskap indah pulau Phi-phi, Thailand itu. Di balik itu, ada kritik Boyle tentang betapa utopisnya harapan-harapan yang selalu menyelimuti setiap lubuk hati <span style="font-style: italic;">backpacker</span>; suatu tempat yang indah dan damai bernama tanah surgawi. Harapan yang juga menjadi dambaan setiap orang.<br /><br />Dan itu disampaikannya secara tak langsung agar tak berkesan menggurui. Itu justru implisit di balik eksplorasi <span style="font-style: italic;">pop-culture</span> gambar indahnya akan laut nan biru, pasir putih, hutan kecil tropis, dan kerlap-kerlip malam di pulau itu.<br /><br />Di film <span style="font-style: italic;">Millions</span> sikap kritisnya lebih kelihatan. Kisah anak kecil yang menemukan tas beirisi penuh tumpukan uang. Gaya berceritanya pop abis, enak dicerna. Sinematografinya juga memukau. Kadang malah dia melabrak kecendeurngan <span style="font-style: italic;">mainstream</span> dengan membagi <span style="font-style: italic;">frame </span>menjadi dua atau tiga bagian di tengah-tengah cerita berlangsung. Atau memasukkan unsur grafis dalam gambarnya. Tapi ya itu tadi, ia sama sekali tak pernah lupa kecenderungan kritisnya akan ironi <span style="font-style: italic;">gap</span> mencolok negara-negara maju dan negara dunia ke-tiga yang berkembang dengan cara merangkak.<br /><br />Lewat gayanya ini, Boyle kemudian memperoleh puncak apresiasi dengan menyabet Oscar sebagai <span style="font-style: italic;">Best Picture</span> dan Best <span style="font-style: italic;">Director</span> lewat film <span style="font-style: italic;">Slumdog Millionaire</span>. Film yang mengambil <span style="font-style: italic;">setting</span> cerita kisah hidup pemuda dari perkampungan kumuh Mumbai di tengah semrawutnya kehidupan kota di negara berkembang sekelas India. Cerdasnya, perjalanan hidupnya itu teruraikan melalui keikutsertaannya lewat acara TV “Who Wants To Be A Millionaire”.<br /><br />Gaya <span style="font-style: italic;">pop-culture</span> Boyle juga masih terasa lewat film <span style="font-style: italic;">127 Hours</span>. Diangkat dari kejadian nyata terjepitnya tangan seorang pemanjat tebing Aron Ralston (James Franco) di tengah gurun batu gersang Canyon, Utah. Film ini masuk nominasi lagi dalam kategori <span style="font-style: italic;">Best Picture</span> dan <span style="font-style: italic;">Best Director</span> di ajang Oscar tahun ini.Tak terlalu kental memang, tapi paling tidak, karakter Boyle masih terasalah di awal-awal pembukaan film. Utamanya labra-labrak <span style="font-style: italic;">frame</span>nya, atau penambahan garis asap pesawat yang melukis langit biru. Itu khas sinematografi lanskap Boyle.<br /><br />Strategi <span style="font-style: italic;">pop-culuture</span> film Boyle itu ibarat ‘kompromistis yang pas-lah’. Kisah filmnya selalu enak ditonton dan disajikan dengan sinematografi indah. Tapi ia tak pernah melupakan sisipan argumen kritis. Apalagi kenakalannya dengan labrak-labrak <span style="font-style: italic;">frame</span> serta penambahan unsur grafis.<br />Danny Boyle itu bukan tipikal sutradara yang ‘lebih disatu sisi tapi kurang di sisi lain’. Warna-warni ramuannya selalu pas.<br /><br /><br /><span style="font-weight: bold;font-size:130%;" >8. Giuseppe Tornatore</span><br /><br />Ini dia si pendongeng hebat dari negeri Pizza. Giuseppe Tornatore.<br />Hebatnya, dongeng Tornatore malah berkisah tentang karakter tokoh yang tak biasa. Malas dia dengan karakter macam putri salju, pangeran tampan, legenda tokoh-tokoh heroik atau pemimpin-pemimpin besar sekalipun. Baginya setiap orang, siapapun dia, kisah hidupnya adalah drama yang sama hebatnya. Ia tipikal pendongeng realis.<br /><br />Maka di <span style="font-style: italic;">Cinema Paradiso</span>, Sutradara asal Italia ini mulai berdongeng tentang hikayat bioskop dan si pemutar pita film. Latar belakang tokohnya saja sudah terasa unik. Dari latar inilah, ia lalu mengembangkan cerita dengan memasukkan bagaimana situasi sosial dan sikap budaya masyarakat tempat bioskop itu berdiri. Bagaimana berlalunya waktu, bergantinya rezim politik tercermin dari perubahan-perubahan yang mengiringi bioskop itu. Lewat bioskop dan si pemutar pita film itulah romantisme sejarah sosial-budaya terekam.<br /><br />Lalu di film <span style="font-style: italic;">Malena</span>, tentang istri cantik tentara berpangkat rendahan yang ditinggal pergi suaminya berperang. Di perankan apik oleh aktris spektakuler Monica Bellucci.<br />Kisah ini berpusat pada sosok Malena dan seorang anak kecil akil baligh yang jatuh cinta kepadanya. Anak kecil inilah yang menjadi saksi hidup bagaimana perjuangan Malena mencoba melanjutkan hidupnya di tengah kota dimana semua lelaki ingin menidurinya, dan sebaliknya di lain sisi semua perempuan tentu ingin merajamnya.<br />Sinematografinya <span style="font-style: italic;">beauty</span>. Pengadeganannya kuat. Simbolisasinya keren. Urusan teknis, Tornatore memang rapi di semua sisi. Kehebatannya lengkap.<br /><br />Lalu tengok lagi <span style="font-style: italic;">The Legend of 1900</span>. Kisah tentang sebuah kapal laut dan seorang bayi yang ditinggal penumpangnya. Bayi itu kemudian tumbuh dewasa bersama buruh kapal dan menjadi pianis otodidak hebat. Uniknya, seumur hidup pianis ini tak sekalipun pernah menyentuh daratan. Film ini sekaligus nostalgia Tornatore dengan kapal uap berbahan bakar batu bara dan dunia buruh di geladak mesin. <span style="font-style: italic;">Shooting</span>nya hampir 100% sengaja diisolir tak keluar dari atas kapal.<br /><br />Memang begitu ciri khas Tornatore, di sekitar perjalan hidup tokoh utamanya selalu disisipkan dinamika perubahan sosial, budaya, politik atau teknologi. Dan tokoh-tokoh yang diangkat itu, ibarat orang-orang “tak terpikirkan” yang ada di keseharian kita. Tapi di tangan Tornatore, kisah hidup mereka ternyata menyimpan drama-romantik.<br /><br />Giuseppe Tornatore, si pendongeng unik,jagoan dramaturgi. Tapi jangan salah sangka, bukan berarti ia lemah sinematografi, sebab gambar-gambar yang ia bangun sedramatis karakter pilihan tokoh-tokohnya dan lika-liku kisah yang ia ciptakan.<br /><br /><div style="text-align: center;"><br />* * *<br /><div style="text-align: left;">Oke <span style="font-style: italic;">segitu</span> dulu. Seperti sebelumnya bersambung lagi... harap maklum... ^_^<br /></div><div style="text-align: left;"><br /><br /></div><span style="font-weight: bold;">Kampung Pettarani</span>, Makassar 10 April 2010<br /><br /></div></span>eeduy hawhttp://www.blogger.com/profile/10134103706243294400noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3934846632721034012.post-8719813782281008382011-03-31T02:55:00.014+08:002011-04-01T23:12:57.975+08:0019 sutradara versi eeduyhaw.blogspot.com yang musibah besar kalo nda nonton karyanya.<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://1.bp.blogspot.com/-cNDFrcjMcMA/TZN9yBM31-I/AAAAAAAAAIY/9JlvPl5EEJI/s1600/asli%2Bdaun.jpg"><img style="margin: 0px auto 10px; display: block; text-align: center; cursor: pointer; width: 320px; height: 167px;" src="http://1.bp.blogspot.com/-cNDFrcjMcMA/TZN9yBM31-I/AAAAAAAAAIY/9JlvPl5EEJI/s320/asli%2Bdaun.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5589949860766275554" border="0" /></a><br />Pada akhirnya, prinsip memilih tontonan film sama ketika pilah-pilih musik mana yang <span style="font-style: italic;">catchy</span> di kuping.<br /><br />Dulu, sewaktu ke sekolah masih pamer lutut, alias celana bolehnya cuma yang buntung, asal dengar lagu enak, kuping pasti tampung. Cara tampungnya macam-macam. Kadang bela-bela<span style="font-style: italic;">in</span> beli kaset, CD, kaos, nonton konsernya, lengkap pajang poster di dinding kamar segala. Dalam hati, <span style="font-style: italic;">kereeen</span> sudah!<br /><br />Nah, kalau bagusnya <span style="font-style: italic;">gak</span> bikin <span style="font-style: italic;">ngebet-ngebet</span> amat, ya... paling tidak, di sore hari beberapa penggal syairnya mendayu-dayu di kamar mandi. Teriak-teriak kesurupan serasa vokalis band, nyaingi suara adzan maghrib mesjid dekat rumah.<br /><br /><span class="fullpost"><br />Cuma masalahnya, di dunia ini, tiap bulan apalagi tiap tahun, lagu atau penyanyi baru yang bagus <span style="font-style: italic;">tuh mbrojol</span> begitu<span style="font-style: italic;"> aja ogah</span> ikut program KB. Walhasil daya tampung mulai kewalahan. Dipaksakan posternya dibeli semua, plafon kamar mandi ikut-ikutan tak cukup buat <span style="font-style: italic;">nempel</span>.<br /><br />Banyak bukan berarti variatif. Kadang malah suka muncul kayak <span style="font-style: italic;">gini</span>; <span style="font-style: italic;">Loh </span>kok lagu ini mirip sama lagu itu ya? Band ini bagus kok, cuman masalahnya dia seolah<span style="font-style: italic;"> niru</span> band yang itu lho! <span style="font-style: italic;">Loh</span> kok penyanyi ini lagunya <span style="font-style: italic;">gitu-gitu aja</span> ya...<br /><br />Dimulailah seleksi alam. <span style="font-style: italic;">Survival of the fittest</span>. Hanya yang benar-benar okelah yang bisa bertahan. Sosok penyanyi/ band selanjutnya menjadi garansi bagus-tidaknya suatu karya musik. Kita mulai nyinyir siapa yang berhak tarik suara di gendang telinga. Fanatisme!<br /><br />Film pun sama dengan musik. Sama-sama <span style="font-style: italic;">gak doyan</span> KB. Buntut-buntutnya, prinsip seleksi alam juga berlaku dalam soal ini. Paling umum berdasarkan genre maupun aktor siapa yang berperan.<br /><br />Hanya saja, kalau patokannya cuma dua indikator tersebut, rasa-rasanya kurang <span style="font-style: italic;">gimana gitu</span> menentukan bagus-tidaknya sebuah film. Di belakang itu masih ada <span style="font-style: italic;">director</span> (sutradara). Si pemilik sah hak-hak istimewa menetapkan apapun itu ketika sebuah film dalam proses pembuatan.<br /><br />Sutradaralah yang menjatuhkan pilihan skenario (cerita) apa yang bakal dia garap. Sutradaralah yang mengajukan ke rumah produksi naskah ditangannya, <span style="font-style: italic;">ngobrol</span> semalaman dengan produser-produser tentang rencana produksi. Atau sebaliknya, produserlah yang mendatangi sutradara, mengajak untuk menggarap naskah di tangan produser. Sutradaralah yang acak-acak<span style="font-style: italic;"> script</span> (<span style="font-style: italic;">breakdown</span>), buat bahan visual pengadeganan cerita dibangun. Sutradaralah yang memimpin <span style="font-style: italic;">casting</span> dan memilih aktris dan aktor mana yang cocok memerankan tokoh-tokohnya.<br /><br /><span style="font-style: italic;">Pokoe</span> kalau disimpulkan, menonton film itu sama dengan menonton isi otak si sutradara.<br /><br />Oleh sebab dan maka dari itu, nama sutradara cukup penting tatkala film mulai jadi candu bagi mata dan isi kepala. Nama sutradaralah yang dijadikan taruhan dalam sebuah film. Tak usah heran jika di setiap <span style="font-style: italic;">opening title</span>, sampul kemasan DVD atau poster yang terpajang di dinding bioskop, pasti ditulis <span style="font-style: italic;">a film by </span>(nama sutradara). Bukan yang lain.<br /><br />Nah, berlandaskan alasan bertele-tele inilah, hingga <span style="font-weight: bold;">eeduyhaw.blogspot.com</span> memilih beberapa nama sutradara sebagai jaminan mutu, saat <span style="font-style: italic;">ngobrak-ngabrik</span> lapak DVD bajakannya orang, bingung di depan loket bioskop mau nonton film apa, atau sesaat sebelum pencet tombol <span style="font-style: italic;">download</span> secara ilegal saat <span style="font-style: italic;">searching file</span> film di internet.<br /><br />Tentulah pilihan nama-nama di bawah ini sifatnya super-subyektif belaka. Sebab, bahkan setiap festival film kelas internasional pun punya standar sepihak sendiri-sendiri. Cannes, Berlinale, Venice, BAFTA, atau Academy Award (Oscar) punya gaya masing-masing dalam menyeleksi karya film yang terdaftar.<br />Lagipula, <span style="font-style: italic;">wong</span> namanya juga memilih, siapa atau apapun itu mustahil obyektif. Paling banter subyektifitasnya yang obyektif, alias <span style="font-style: italic;">neng kene neng kono buntut-buntute</span> subyektif juga.<br /><br />Tapi bukan berarti pilihan ini seenak <span style="font-style: italic;">udel</span> tanpa pertimbangan. Standar <span style="font-weight: bold;">eeduyhaw.blogspot.com</span> sederhana saja. Apakah film-film si sutradara biasa atau tak biasa. Titik.<br /><br />Maksudnya biasa dan tak biasa itu begini:<br />- Apakah bobot muatan cerita (naskah) punya kedalaman (filosofis) biasa atau tak biasa?<br />- Apakah tekhnik penyampaian (struktur) cerita, alur, sudut pandang cerita biasa atau tak biasa?<br />- Apakah teknik (sinematografi) framing, strategi pecah <span style="font-style: italic;">scene</span> menjadi<span style="font-style: italic;"> shot</span>, <span style="font-style: italic;">coloring</span>, tekstur gambar, gerak dan <span style="font-style: italic;">blocking</span> kameranya biasa atau tak biasa?<br />- Apakah eksplorasi (pengadeganan) tokoh (aktor/aktris) seperti mimik, <span style="font-style: italic;">gesture</span>, isi dialog biasa atau tak biasa?<br />- Apakah eksplorasi unsur film lainnya biasa atau tak biasa?<br />-Apakah <span style="font-style: italic;">track record</span> film-film si sutradara di ajang festival film internasional apresiasinya biasa atau tak biasa?<br /><br />Poin-poin ini kemudian digunakan untuk mengukur minimal 3 film karya sutradara-sutradara yang dimaksud.<br /><br />Tanpa harus berbusa-busa lagi, apalagi membuat dada anda dongkol menggerutu, si jenius-jenius yang pantas disebutkan namanya adalah:<br /><br />(Ups... <span style="font-style: italic;">sorry </span>kelupaan... urut-urutan namanya disusun berdasarkan rangking terbawah... <span style="font-style: italic;">pe-a-ce</span> ^_^)<br />(oke lanjut... <span style="font-style: italic;">rewind </span>sedikit) si jenius-jenius yang pantas disebutkan namanya itu adalah:<br /><br /><br /><span style="font-weight: bold;font-size:130%;" >19. Robert Rodriguez</span><br /><br />Buat ajang pemanasan, nama ini cocok disebut sebagai pembuka.<br />Hanya saja, bagi yang tak hobi adegan duel tembak-tembakan apalagi suka mau pingsan lihat ceceran darah, tangan terpotong, kepala terpenggal, atau usus terburai sebaiknya urungkan niat nonton film-film garapan sutradara asal Meksiko ini. Paling tidak film-filmnya sejauh ini.<br /><br />Trilogi Film <span style="font-style: italic;">El Mariachi, Desperado, dan Once Upon A Time In Mexico </span>menjadikan namanya diperhitungkan di level internasional. Film yang berkisah tentang legenda El Mariachi, pengamen gondrong yang kerap <span style="font-style: italic;">nenteng</span> <span style="font-style: italic;">hardbox</span> gitar menyusuri kacaunya kota Meksiko, yang di dalamnya tersembunyi senjata mematikan.<br /><br />Dari awal sampai akhir, film ini penuh hambur-hambur peluru. Uniknya, kemasan adegannya <span style="font-style: italic;">macho</span>, teknik berceritanya cepat, langsung ke sasaran. Hasilnya, Kesan yang muncul memanjakan penonton. Sebab tak bertele-tele sepeti kebanyakan film <span style="font-style: italic;">action</span> pada umumnya.<br /><br />Rodriguez, yang juga berduet dengan Frank Miller serta (sutradara tamu) Quentin Tarantino di film <span style="font-style: italic;">Sin City</span>, sangat alergi dengan alur kaku yang mengalir kelamaan. Ia menyajikan filmnya layaknya <span style="font-style: italic;">fast food</span>, cepat saji. Sebab ia paham kecenderungan pelanggan restoran, tak boleh bikin pantatnya dongkol gara-gara menunggu.<br /><br />Metode GPL– <span style="font-style: italic;">Gak Pake Lama</span>– inilah filosofinya. Coba rasakan sajiannya itu di film <span style="font-style: italic;">Planet Terror</span>. Malah disini ada bonus tambahan lain. Rodriguez berusaha mengisi unsur konyol saat membangun cerita pada setiap adegan. Naluri <span style="font-style: italic;">comedy of brutallityaction</span>-nya muncul. Hal yang membedakan film ini dengan trilogi <span style="font-style: italic;">El Mariachi.</span> Selebihnya, soal kegemarannya bantai-membantai dan hambur-hambur darah <span style="font-style: italic;">tuetep</span> dong!<br /><br />Paling kreatif di film <span style="font-style: italic;">Machete.</span> Rodriguez makin teliti membuat dialog-dialog yang bukan lagi lucu, tapi konyol dan cerdas. Menciptakan motif-motif <span style="font-style: italic;">nyeleneh</span> yang mendasari tindakan tokoh-tokohnya. Ada juga gugatan sosialnya tentang eksploitasi imigran. Serta tampilan adegan-adegan liar, seliar imajinasinya menari-nari. Inilah metamorfosanya, otak brutalismenya makin konyol.<br /><br />Saking konyolnya, dalam film ini ia menambahkan audio tepukan tangan, teriakan gembira atau gumaman wow... serupa penonton bioskop ketika ada adegan seru seperti antek-antek musuh kepalanya dibelah dua, si perempuan cantik bugil di kamar mandi atau usus si bajingan ditarik dari perutnya untuk dijadikan tali buat si jagoan melarikan diri.<br /><br />Tambahan tepukan serupa penonton di bioskop ini, betul-betul penemuan kreatif dan “original”. Ia seolah mengolok-olok kecenderungan film-film laga. Semacam kritikan surealis buat pecandu film, bahwa bahkan brutalisme pun kita jadikan hiburan renyah serenyah <span style="font-style: italic;">popcorn</span>.<br /><br />Itulah Rodriguez, makin brutal, sadis, penuh darah, tapi <span style="font-style: italic;">ongol-ongol</span>. Filmnya ekstra-entertain.<br /><br /><br /><span style="font-weight: bold;font-size:130%;" >18. Takeshi Kitano</span><br /><br />Ingat ‘Benteng Takeshi’? Nah, <span style="font-style: italic;">doi</span> inilah yang memerankan si raja yang mesti dikalahkan peserta saat sesi pertempuran menggunakan mobil-mobilan dan senjata air. Benar, raja yang suka jahil<span style="font-style: italic;"> getok-getok </span>kepala ajudannya pakai kipas. Dia juga produser sekaligus <span style="font-style: italic;">director</span> di acara TV jepang ini lewat label rumah produksi ‘Office Kitano’.<br /><br />Tentu saja bukan lantaran itulah namanya bisa<span style="font-style: italic;"> icip-icip </span>di <span style="font-weight: bold;">eeduyhaw.blogspot.com</span>.<span style="font-weight: bold;"> </span><span style="font-style: italic;">Zatoichi</span> adalah salah satu filmnya yang pantas diacungi jempol. Ceritanya berkisah tentang seorang jagoan samurai buta yang berkelana ke mana-mana.<br /><br />Takeshi, ketika memaknai seperti apa keinginan film-filmnya, adalah tipikal penyuka konsep gambar sederhana namun sarat nilai artistik. Di film ini, ia tak bergantung pada <span style="font-style: italic;">setting</span> ribet ala film-film silat<span style="font-style: italic;"> budget</span> besar. Tapi tanpa itu, ia mampu menunjukkan kecerdasan lewat penciptaan gerak dan <span style="font-style: italic;">framing</span> kamera yang indah.<br /><br />Adegan pertarungannya juga bukan tipe murahan sebab lebih mementingkan tata artistik adegan ketimbang unsur <span style="font-style: italic;">action</span> (perkelahian) seru macam punya Jet Li atau Jackie Chan yang berlebih-lebihan itu.<br /><br />Ia juga lihai dalam mengolah bahasa tubuh. Setiap lirikan mata, kepala yang menoleh, wajah yang tertunduk, gerak jari, atau bibir yang mengatup adalah kesengajaan yang ia tampilkan untuk mengundang rasa penasaran, sebab ternyata memang mempunyai makna <span style="font-style: italic;">surprise</span> pada <span style="font-style: italic;">shot</span> atau <span style="font-style: italic;">scene</span> selanjutnya.<br /><br />Eksplorasi simbolis lewat properti, serta keberpihakannya terhadap kekayaan tradisi budaya jepang terasa halus. Bahkan unsur alam seperti angin, api, salju, air, atau musim di film ini adalah untaian kata-kata filmis.<br /><br />Satu yang menjadi ciri khasnya, selain sering membintangi sendiri tokoh utama filmnya, yakni mengemas setiap cerita dalam komedi <span style="font-style: italic;">satire</span> secara terselubung. <span style="font-style: italic;">Zatoichi</span> jelas bukan genre komedi, tapi menontonnya sering kita dibuat tertawa kecil melihat adegan-adegan di dalamnya. Cerdaslah pokoknya unsur komedi tipis-tipisnya.<br /><br />Ciri khas ini ia bawa untuk dieksplorasi di film lainnya berjudul <span style="font-style: italic;">Achilles and the Tortoise</span>. Di sini unsur komedi-<span style="font-style: italic;">satire</span>nya semakin kental. Tapi tetap dengan seleranya yang tampil dengan konsep sederhana, set yang <span style="font-style: italic;">gak neko-neko</span>, namun eksplorasi pengadeganan yang kuat.<br /><br />Film ini bercerita tentang perjalanan hidup pelukis yang hingga masa tuanya sekalipun tak pernah mereguk sukses. Lucu, lucu sekali. Tapi lawakannya bukan tipikal Jim Carrey apalagi <span style="font-style: italic;">Opera van Java</span>, yang kalau kebanyakan suka bikin perut mual. Ini komedi <span style="font-style: italic;">satire</span> yang <span style="font-style: italic;">tune </span>humornya gelap tapi bukan suram apalagi horor. Susah mendeskripsikannya, nonton deh sendiri. Tapi, kalau <span style="font-style: italic;">gak</span> ketawa, marah-marahnya ke Takeshi jangan ke blog ini. (hehehe...)<br /><br />Di film yang naskahnya ia tulis sendiri ini, loncatan-loncatan berpikir Takeshi dalam menciptakan babak-babak cerita sangat baik. Ia bahkan menggugat kritis tentang seni itu sendiri lewat dunia lukis. Sangat filosofis, itu nilai lain seorang Takeshi yang menonjol melalui film ini.<br /><br />Film lainnya yang bernafas serupa adalah <span style="font-style: italic;">Glory to the Filmmaker! </span>Sementara <span style="font-style: italic;">Outrage</span>, sepertinya berdasarkan trailer, Takeshi sepertinya mencoba pengarapan gambar yang lebih serius (sayang belum sempat nonton… hihihii).<br /><br />Kecuali tentu saja <span style="font-style: italic;">Outrage</span>, menonton film Takeshi Kitano sama dengan menonton pengolahan bahan baku yang simpel tapi dengan tekhnik penciptaan adegan, sinematografi, simbol, makna yang memerlukan kemampuan artistik tinggi. Plus bonus gelak tawa kecil serta pandangan filosofis-kritis.<br /><br /><br /><span style="font-weight: bold;font-size:130%;" >17. Steven Spielberg</span><br /><br />Tak kenal Spielberg? Wuaaaduh... tak bisa berkata-kata deh kalau sampai iya.<br /><br />Ia diidentikkan dengan film genre <span style="font-style: italic;">science-fiction</span>. Kepiawaian sutradara dalam genre ini memang terletak pada manipulasi teknologi gambar. Utamanya tata artistik lalu dipadukan teknis editing.<br /><br />Sebut saja <span style="font-style: italic;">E.T. the Extra-Terrestrial</span> atau <span style="font-style: italic;">Jurassic Park</span>, dimana ia menghidupkan kembali makhluk punah Dinosaurus, dalam artian cara geraknya benar-benar seperti hidup (nyata) di layar film.<br /><br />Atau konsepsi masyarakat masa depannya dalam <span style="font-style: italic;">Minority Report</span>. Mobil-mobil yang dibuat melayang. Jalan-jalan yang mengantung di udara. Serta tampilan-tampilan bangunan futuristik. Semuanya membutuhkan pemikiran <span style="font-style: italic;">blocking</span> gambar yang tidak sederhana. Tentulah design produksi film ini butuh kecermatan dalam mengkonsepnya. Dan bila lensa kamera tak mungkin membuat manualnya, maka teknologi manipulasi gambar (efek khusus) pun berbicara.<br /><br />Satu yang selalu disebut-sebut kehebatan <span style="font-style: italic;">sci-fi</span> garapannya, temanya bukan untuk masa kini. Kelak, mungkin 1000 tahun ke depan, manusia di tahun itu akan tercengang bila sempat menonton film Spielberg, bahwa apa yang mereka tengah jalani telah diprediksi Spielberg 1000 tahun sebelumnya. Begitu karakter Spielberg memaknai filmnya.<br /><br />Tapi bila memeriksa filmographynya, sebenarnya bukan cuma itu batas daya jelajahnya. Justru secara kuantitas ia banyak menelurkan film-film drama. Contoh<span style="font-style: italic;"> Saving Private Ryan</span> dan <span style="font-style: italic;">Catch Me If You Can</span>.<br />Nah, paling menarik ketika ia menggarap <span style="font-style: italic;">Schindler List</span>. Di situ ia benar-benar tampil sebagai sosok humanis yang berkisah tentang betapa menyedihkannya kemanusiaan di kamp-kamp konsentrasi NAZI. Gambar-gambarnya tampil klasik, polos, dan sengaja dibuat dalam<span style="font-style: italic;"> coloring</span> hitam-putih. Ceritanya berdurasi kurang lebih 3 jam, namun itu serasa masih belum puas bila menyimaknya. Dramatik.<br /><br />Atau lihat pula <span style="font-style: italic;">The Terminal</span>, bagaimana ia mengeksplor habis gambar dan cerita yang setnya 100% tak boleh keluar dari bandara.<br /><br />Menariknya Spielberg, ia bisa selalu tampil tak terduga. Maka jangan heran, bila sewaktu-waktu ia muncul dalam ide yang tak terpikirkan sutradara lain sebelumnya.<br /><br /><br /><span style="font-weight: bold;font-size:130%;" >16. Ang Lee</span><br /><br />Sutradara asal Taiwan ini ibarat kata psikolog <span style="font-style: italic;">nyentrik</span>. Gemar menyelam jauh ke alam psikis manusia. Kalau saja alam bawah sadar itu seperti taman kota, Ang Lee bakal tiap hari bikin tenda disitu, mengamati.<br /><br />Akting kuat (berani) dari seorang aktor/aktris menjadi syarat utama untuk mendapat peran di filmnya. <span style="font-style: italic;">Brokeback Mountain</span> satu buktinya. Film tentang homoseksual ini menyabet kategori bergengsi <span style="font-style: italic;">best director</span> dan <span style="font-style: italic;">best film </span>pada perhelatan Oscar-78 tahun 2006.<br /><br />Lalu ada <span style="font-style: italic;">Couching Tiger, Hidden Dragon.</span> Film yang masuk nominasi Ocsar lagi, menonjolkan aksi jurus-jurus silat sambil terbang-terbangan secara halus. Di bungkus sinematografi erotis lanskap alam Cina. Walau demikian, di luar itu, cerita film ini seperti kecenderungan film silat Cina pada umumnya.<br /><br />Selepas itu, ia melahirkan film <span style="font-style: italic;">Lust Caution</span>. Ini film yang bikin leher tercekat dan wajib tonton. Kalau habis nonton horor yang benar-benar seram itu pasti bikin dada debar-debar, nah psikologi cerita di film ini sama menakutkannya. Akting tokoh-tokohnya bikin tenggorokan tercekat.<br /><br />Kerangka besar ceritanya (sinopsis) sepintas lalu boleh terlihat standar-standar saja, tentang gerakan sekelompok pemuda-pemudi kampus yang ingin merevolusi kaki tangan invasi jepang di Cina. Tapi penyelesaian ceritanya itu, sadis.<br /><br />Mungkin anda akan terganggu dengan adegan-adegan seks Tony Leung bersama Tiang Wei yang berseliweran di mana-mana. Tapi maknanya sama sekali bukan mengarah ke mesum film biru. Seks di film ini justru inti dari perang psikis karakter-karakter tokoh dan kekuatan motifasi cerita disematkan.<br /><br />Habis menonton film ini, seperti menimbulkan pertanyaan “Hah... iya ya, bagaimana jika betul-betul terjadi seperti itu?” lalu mulut mangap. Soalnya, kisahnya <span style="font-style: italic;">possible</span> terjadi di kehidupan nyata. Cuma, rasanya tak ada orang yang sudi mengekspos bila memang mengalami seperti itu. Dan film ini lalu berani datang mengungkap itu, meski sebatas fiksi. Itulah indahnya imajinasi. (cuma ini terlepas dari soal debat agama loh ya... itu konteksnya lain)<br /><br /><span style="font-style: italic;">Taking Wodstock</span> adalah film berikutnya. <span style="font-style: italic;">Setting</span> ceritanya diinspirasi kejadian nyata tentang usaha orang-orang muda <span style="font-style: italic;">flower generation</span> menggelar demonstrasi <span style="font-style: italic;">make love not war</span> melalui pertunjukan konser musik.<br /><br />Meski kategori film ini ‘baik tapi tak terlalu spesial’, yang menarik diperhatikan adalah lompatan-lompatan wawasan Ang Lee. Kelihatan bila ia tak sempit seumpama katak dalam tempurung.<br /><br />Ang Lee memang jarang menuliskan sendiri naskah filmnya, namun melihat caranya memilih skenario, sangat kelihatan kalau wawasannya luas. Terlebih soal eksplorasi alam bawah sadar manusia (individu). Ia lihai menggali, memunculkan dan memetik kemampuan puncak akting tokoh-tokohnya hingga tak ada lagi yang tersisa.<br /><br /><br /><span style="font-weight: bold;font-size:130%;" >15. Martin Scorsese</span><br /><br />Kakek<span style="font-style: italic;"> gaek</span> yang lahir tahun 1942 ini adalah sutradara keturunan Italia-Amerika yang daftar karya filmnya bejibun. Ia sangat produktif terhitung sejak film pertamanya <span style="font-style: italic;">Who's That Knocking at My Door </span>di tahun 1967.<br /><br />Tak banyak masalah yang bisa diceritakan mengenai gaya <span style="font-style: italic;">directing</span> kakek kita satu ini ini. Maksudnya tak banyak masalah itu adalah semua teknis filmnya oke. Sinematografi oke. Strategi cerita oke. Bobot cerita oke. Semua lini oke <span style="font-style: italic;">wae</span>lah.<br /><br />Cuma kalau menyelidiki loncatan pemikiran filmnya, kira-kira seperti ini.<br /><br /><span style="font-style: italic;">Casino</span>. Film ini ber<span style="font-style: italic;">setting </span>cerita tentang sepak-terjang mafioso kakap di balik perjudian kasino-kasino besar. Karakter berdarah dingin dunia mafianya terasa. Penciptaan adegan melalui tokoh-tokohnya dapat. Komposisi <span style="font-style: italic;">frame</span>, pergerakan kamera, hingga <span style="font-style: italic;">coloring </span>gambarnya mantaplah. Bangunan cerita dan <span style="font-style: italic;">sub-plot</span> juga baik dan cepat. Jadinya film ini enak ditontonnya.<br /><br />Lalu <span style="font-style: italic;">Kundun</span>. Tiba-tiba Scorsese jadi religius. Ia begitu dalam mengisahkan bagaimana bijaksananya Dalai Lama-14 yang dipaksa hijrah ke India akibat tekanan militeristis politik Cina. Ia jeli dan mampu menangkap pesona kearifan suasana hening tradisional keagamaan sudut-sudut alam Tibet. Tanpa sadar Scorsese seperti seorang budhisme.<br /><br />Terakhir <span style="font-style: italic;">Shutter Island.</span> Cerita film bergenre <span style="font-style: italic;">thriller</span>-psikologis ini menarik. Hingga<span style="font-style: italic;"> credit tittle </span>naik, mata masih berharap sesuatu, masih menyisakan tanda tanya soalnya. Apa iya tokoh yang diperankan Leonardo DiCaprio itu adalah pasien rumah sakit jiwa yang sedang dalam program rehabilitasi khusus ataukah ia sebenarnya memang Marsekal AS? Lewat <span style="font-style: italic;">scene-scene</span> ciptaannya, Scorsese sangat berhasil mengaduk-aduk otak penonton. Padahal lokasi pengambilan (set cerita) tak pernah keluar dari pulau (rumah sakit jiwa) itu. Ini film wajib nonton. Sebab walau lokasi simple, budget murah, tapi kemasan ceritanya unik.<br /><br />Banyak sutradara, suka boros-boros<span style="font-style: italic;">in</span> ongkos produksi. Pake teknologi canggih segala. Set lokasi yang mahal. Tapi di tangan Scorsese, beri bahan seberapapun, ia sanggup memolesnya jadi lebih keren.<br /><br />Konsistensi, hasil dari kenyang makan asam garam film. Itu mungkin yang membuat karya-karya Martin Scorsese selalu oke dan tak mengecawakan.<br /><br /><br /><span style="font-weight: bold;font-size:130%;" >14. Alejandro Gonzalez Inarritu<br /></span><br />Aktifis. Rasanya itu julukan yang cocok buat sutradara asal Meksiko ini.<br /><br />Peka dengan carut-marut masalah sosial, politik dan budaya masyarakat yang dampaknya tergambar di kehidupan sehari-hari tokoh-tokoh di filmnya. Bukan saja dalam skala di suatu negara, bahkan lintas masyarakat dunia sekalipun, ia tunjukkan seperti itu.<br /><br />Di film <span style="font-style: italic;">Amores Perros</span>, boleh saja ia mengambil judul tentang cinta. Tapi cinta dalam film ini hanyalah kegamangan, bahkan garang serupa <span style="font-style: italic;">Perros</span>. Sebab di balik itu, ada tekanan yang lebih besar mendasari setiap motifnya. Cinta dalam film ini, hanyalah suatu medium yang digunakan untuk menyingkap gagasan yang sebenarnya. Suatu konsep tema yang menuntut perhatian serius, yakni komplektisitas kondisi sosial-budaya masyarakat Meksiko<br /><br />Akan halnya di film<span style="font-style: italic;"> Babel</span>. Medan pemikiran sosial Inarritu justru makin mengglobal. Ia melihat komplektisitas masalah tokoh-tokoh di filmnya jauh lebih rumit. Ras dan negara kita boleh Meksiko, Amerika, Tokyo, atau Morroco. Namun, tidakkah kebijakan sosial-politik antar negara kita, kadang hanya tampil tak ubahnya palu besi yang justru mengekang hak dan kewajiban kemanusiaan kita.<br /><br />Begitulah kondisi sosial-politik-budaya dunia, yang divisualkan Inarritu pada kedua filmnya ini.<br /><br />Hebatnya lagi, unsur komplektisitas ini ia transformasikan ketika menyusun struktur cerita. Sehingga strategi ini, menjadikan nyawa dari gagasan besarnya kian terasa. Inilah yang menjadi ciri khas seorang Inarritu dalam memaknai filmnya. Si pengobrak-abrik <span style="font-style: italic;">sub-plot</span> dan alur, serta tak membuat pusat cerita mengalir hanya pada satu-dua tokoh utama.<br /><br />Bahkan kalau boleh dikata, tak ada istilah tokoh utama dalam kamus filmnya. Semua karakter yang terlibat adalah tokoh utama. Setiap karakter mengalirkan cerita masing-masing, yang boleh jadi saling bersinggungan secara tak sengaja dan tak kasualitas (sebab-akibat) satu sama lain.<br /><br />Itu lalu ia ramu dengan menghindari penyakit aliran cerita monoton yang kerap timbul pada langkah-langkah struktur naskah segitiga. Awal film mesti dimulai dengan pengenalan tokoh-lah, pemunculan masalah-lah, proses masalah-lah, penyelesaian masalah-lah (klimaks) dan ditutup ending.<br /><br />Strategi bercerita Inarritu ibarat struktur jaring laba-laba. Setiap sub-tema muncul bergantian, saling bersilangan antar satu jejaring dengan jejaring lainnya. Kadang makin diperindah lagi ketika alurnya ia bolak-balik sedikit. Ia tak ingin sok bijaksana menyodorkon solusi masalah. Ia malah membiarkannya mengambang, diserahkan ke masing-masing penonton.<br /><br />Kompleks, sekompleks masalah sosial di dunia ini. Begitu bila menyimpulkan gaya Inarritu dalam satu kalimat pendek.<br /><br /><div style="text-align: center;">* * *<br /></div><br />Oke segitu dulu deh… lanjutannya nanti. Ini saja panjangnya astagafirullah…<br /><br /><div style="text-align: center;">* * *<br /></div><br /><div style="text-align: center;"><span style="font-weight: bold;">Kampung Pettarani</span>, Makassar 31 Maret 2011<br /></div><br /></span>eeduy hawhttp://www.blogger.com/profile/10134103706243294400noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-3934846632721034012.post-33703868774373731932011-03-22T21:29:00.006+08:002011-03-23T06:46:16.965+08:00Pertaruhan<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://1.bp.blogspot.com/-pOH5TawpvcM/TYioLbZNaxI/AAAAAAAAAIQ/Nt-GEhqx8uk/s1600/Dice_by_dgeocello.jpg"><img style="display: block; margin: 0px auto 10px; text-align: center; cursor: pointer; width: 320px; height: 217px;" src="http://1.bp.blogspot.com/-pOH5TawpvcM/TYioLbZNaxI/AAAAAAAAAIQ/Nt-GEhqx8uk/s320/Dice_by_dgeocello.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5586900252038621970" border="0" /></a><br /><br />Dunia datang hanya sekali. Sungguh, kesia-siaan belaka hidup yang tak diresapi. Siapakah sudi hidup dengan wajah bukan dirinya, melainkan badut yang berdiri gagu.<br /><br />Lari, larilah sejauh mungkin. Ke ujung cakrawala atau ke angkasa malam. Meski tapak kaki dan sekujur tubuh, dikoyak-koyak pilu dan kegetiran.<br /><br />Ini tentang pertaruhan.<br /><br />Serupa dadu yang digelindingkan. Seumpama kartu yang dibagikan. Dalam hidup yang tak pernah pasti, keyakinan adalah barang taruhan. Pertimbangan matang adalah bahan analisa. Kita baru menjadi yakin, ketika semua nalar diri berkata "itu memang pantas untuk dipegang!"<br /><br /><span class="fullpost"><br />Dan bila hidup telah dipetaruhkan. Doa-doa memanjatkan syair rindu. Nyanyian tentang harapan yang menunggu kenyataan. Menunggu di sudut bangku sepi itu, ketika musim hujan yang tak mau usai, menggigil sepanjang ujung tahun.<br /><br />Lalu kita pun tertunduk. Saat resah mulai menghampiri. Lelah merasuk. Ataukah kita telah kecewa?<br /><br />Dan bila hidup telah dipertaruhkan. Semoga keyakinan, seteguh penantian hati seorang kekasih setia. Yang setitikpun takkan pernah membersitkan kata pulang. Walau langit runtuh sekalipun.<br /><br />Sungguh, kau tak harus ikut terseret menanggung deritanya. Cukup aku saja, keyakinan, harapan dan takdirnya yang mungkin hanya berwujud rasa pahit.<br /><br />Dan bila hidup telah dipetaruhkan.<br /><br /><br /><div style="text-align: center;">* * *<br /></div><br /><div style="text-align: center;"><span style="font-weight: bold;">Kampung Pettarani</span>, Makassar 22 Maret 2011<br /></div><br /><span style="font-size:85%;"><br />Sumber Gambar: <span style="font-style: italic;">dice </span>by <span style="font-weight: bold;">dgeocello</span> on deviantart.com</span><br /><div class="resview7-view" id="gmi-ResourcePageDisplayPane" name="gmi-ResourcePageDisplayPane"><div id="zoomed-in" class="dynamic-zoomed-in"><br /></div></div> <span class="cc-name"></span><br /><br /></span>eeduy hawhttp://www.blogger.com/profile/10134103706243294400noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-3934846632721034012.post-2674810794397972212011-03-05T15:00:00.018+08:002011-05-10T12:24:48.959+08:00Hukum Segala Sesuatu<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://1.bp.blogspot.com/-Z02hu8WGGiQ/TXHgHH7t2sI/AAAAAAAAAIA/WQX-t_-Iaqw/s1600/pray____by_mehmeturgut.jpg"><img style="margin: 0px auto 10px; display: block; text-align: center; cursor: pointer; width: 186px; height: 320px;" src="http://1.bp.blogspot.com/-Z02hu8WGGiQ/TXHgHH7t2sI/AAAAAAAAAIA/WQX-t_-Iaqw/s320/pray____by_mehmeturgut.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5580487826281978562" border="0" /></a><br /><em>Kadang kita memiki ‘benturan’. Dan kita tidak menyadarinya. Entah itu kesengajaan ataukah ketidaksengajaan. Tak ada yang bisa kita lakukan dengan hal tersebut. </em><br /><br /><em>“Ada seorang wanita di Paris yang ingin berbelanja. Tapi ia ketinggalan jaketnya, dan kembali untuk mengambilnya. Ketika ia meraih jaketnya, telepon berdering. Jadi dia berhenti untuk menjawabnya, beberapa menit.<br />Sementara wanita itu di telepon, Daisy sedang latihan balet di Paris Opera House. </em><br /><br /><em>Wanita di telepon itu kini telah keluar rumah dan memanggil sebuah taksi. Sementara latihan Daisy masih terus berlangsung. Namun wanita itu didahului oleh seorang penumpang lain. Ia terpaksa memberhentikan taksi lain yang melintas selanjutnya.</em><br /><strong></strong><span class="fullpost"><br /><em>Sebelumnya, pengemudi taksi yang diberhentikan itu, singgah di kedai untuk menikmati kopi. Kini ia telah mengangkut wanita yang ingin berbelanja itu, ketika Daisy masih terus berlatih di gedung opera.<br />Supir taksi salah mengambil putaran. Tiba-tiba ia merem mobil. Seorang pria menyeberang jalan tepat di depan mobilnya. Pria itu tengah terlambat 5 menit dari biasanya, hanya karena ia lupa menyalakan alarm.</em><br /><br /><em>Ketika pria itu terlambat pergi kerja dari biasanya, di seberang lain sehabis latihan, Daisy tengah mandi bersama teman-temannya. Dan sementara Daisy mandi, kini taksi sedang menunggu wanita yang ingin berbelanja itu, di luar butik untuk mengambil paketnya. Sayangnya, paket itu belum di bungkus, sebab gadis penjaga yang seharusnya membungkus paket itu sedang sedih baru putus dengan pacarnya, dan ia lupa melakukannya.</em><br /><br /><em>Paket telah selesai dibungkus, wanita itu pun kembali ke dalam taksi, yang lagi-lagi berhenti mendadak karena terhalang oleh sebuah truk, sementara Daisy sedang berpakaian. </em><br /><br /><em>Truknya pergi, dan taksi kembali melanjutkan perjalanan. Daisy menunggu temannya yang terakhir berganti pakaian. Ketika memasang sepatu, tali sepatu temannnya putus. Di saat itu, taksi sedang menunggu pergantian lampu rambu lalu lintas. </em><br /><br /><em>Daisy dan temannya keluar dari pintu belakang teater</em><br /><br /><em>Dan hanya jika 1 hal saja terjadi berbeda.<br />Tali sepatu itu tidak putus– atau truk itu tidak menghalangi jalannya taksi– atau paket itu telah siap dibungkus– atau gadis itu tidak patah hati– atau pria itu tidak lupa menyalakan alarm dan bangun lima menit lebih awal– atau supir taksi itu tidak mampir menikmati kopi– atau wanita itu tidak ketinggalan jaketnya – atau teleponnya tak berdering– atau penumpang lain tak mendahuluinya mengambil taksi yang pertama...<br /><br />Daisy dan temannya akan melintasi jalan dan taksi itu takkan menabraknya, hingga Daisy yang penari balet profesional, tak harus mengalami patah kaki dan terbaring di rumah sakit seperti sekarang.<br /></em><br />(Dipenggal dari salah satu<em> scene</em> yang indah di film “The Curious Case of Benjamin Button” karya sutradara David Fincher. Adaptasi dari cerita pendek Francis Scott Key Fitzgerald (1896-1940) yang berjudul sama dan diterbitkan di majalah <em>Colliers</em> tahun 1921)<br /><p style="text-align: center;">* * *</p>Demikian itu benturan. Yang setiap kita pasti memiliki, meski bentuknya berbeda-beda.<br /><br />Bahwa setiap peristiwa di alam semesta ini ternyata tak ada yang kebetulan. Semua terjadi disebabkan oleh peristiwa-peristiwa yang mendahuluinya. Dan dengan demikian, kepingan-kepingan peristiwa yang bereserakan, senyatanya adalah saling berkaitan satu sama lain, dalam suatu kesatuan peristiwa besar.<br />Maka dari atas kursinya, seorang penderita lumpuh yang juga guru besar matematika di University of Cambridge (Inggris), pun mengujar sebuah kesimpulan yang masyhur:<em> a Theory of Everything</em>, hukum segala sesuatu ucap Stephen William Hawking.<br /><br />Satu kepakan sayap kupu-kupu di Amazone, punya andil ketika <em>Hurricane Katrina</em> mengamuk hebat di New Orleans (2005).<br /><br />Gencarnya HPH di masa orde baru dulu adalah sama dengan para penduduk suku dayak dan perantau-perantau bugis-makassar yang buru-buru menukar parang di tangan dengan sensor. Lalu, <em>Pongo Pygmaeus</em> (Orangutan) dan <em>Elephas Maximus Borneensis</em> (Gajah Borneo) di lembabnya belantara Kalimantan angkat kaki entah kemana, tak tahan bising deru gergaji mesin.<br />Mengarunglah kapal-kapal cukong pengangkut kayu gelondongan, meski itu harus menembus badai di tengah samudera. Sebab hasrat gaya hidup mewah akan<em> lux furniture</em> berbahan baku kayu ulin, jati dan gaharu di kalangan elit Amerika dan Eropa, terlihat semakin menaik dalam neraca grafik permintaan.<br />Lalu lucunya, kini, beberapa tahun setelahnya, pemimpin-pemimpin negara sedunia dibuat kasak-kusuk mencari solusi, hanya karena beruang kutub utara terancam tak punya rumah dan bongkahan-bongkahan es Arktik satu-persatu mulai terkikis, meleleh di lautan.<br />Segala sesuatu saling terkoneksi, <em>“think global, act local”</em> teriak aktifis-aktifis lintas negara. Mereka mulai rewel akan plastik, sibuk dengan daur ulang, ramai-ramai menanam bibit pohon, dan mereka bersepeda menuju kantor.<br />Di laboratorium-laboratorium kampus, para profesor serius mencari penemuan energi baru.<br />Panas bumi, bolong lapizan ozon, cuaca ekstrim tak menentu, efek rumah kaca, tiba-tiba menjadi kosa-kata yang membuat bulu-kuduk merinding.<br /><br />Mungkin kita punya andil, atau benturan kata Benjamin (diperankan apik oleh Brad Pitt) dalam film di atas.<br /><br />Bahwa doa-doa tentang karunia rezeki yang kita panjatkan dari menara-menara gereja, kuil-kuil, atau corong-corong mesjid yang sepi – yang menghujam jauh ke dalam angkasa semesta, adalah sebuah daya picu hingga gumpalan-gumpalan pekat awan bergejolak– menumpahkan hujan di ladang-ladang sawah dan kebun– memekarkan butiran-butiran padi menjadi beras– menumbuhkan pucuk-pucuk tanaman menjadi sayur-mayur dan buah-buahan– hingga benak Pak Tani kemudian tersenyum, anaknya bisa melanjutkan sekolah hingga ke perguruan tinggi– sebab hasil panen itu kini mungkin telah terhidang mengepul hangat di meja makan kita siang tadi– atau mungkin malah membusuk hanya karena kelamaan tak tersentuh di lemari-lemari pendingin kita– lalu di siaran-siaran TV mengabarkan tentang barisan perempuan paruh umur saling berebutan memungut ceceran butir demi butir beras dari karung-karung goni milik para juragan di Pasar Induk Cipinang. Berharap itu dikumpulkan lalu dijual, ataukah paling tidak buat makan hari ini – ataukah tentang orang-orang yang terjun dari puncak <em>tower</em> seluler tak sanggup lagi bayar tunggakan SPP anaknya– ibu-ibu yang terpaksa menjual bayinya untuk melunasi utang– ataukah orang-orang gila yang makin ramai bermunculan di jalanan – lalu kita mungkin berkeluh-kesah, mengapa uang saku saya cuma segini, mengapa gaji ini perbulannya hanya cukup untuk mengisi lemari berpendingin itu.<br /><br />Bisa jadi kita bukan Daisy hari ini. Tetapi kita mungkin memerankan supir taksi itu, ataukah wanita yang ingin berbelanja, ataukah teman Daisy yang tali sepatunya putus, ataukah penumpang yang mendahului Daisy, ataukah gadis yang patah hatinya, ataukah pria yang terlambat lima menit.<br /><br />Kalau saja jejaring kepingan-kepingan peristiwa yang berserakan itu mampu kita tampung dalam suatu <em>hardisk</em> super canggih, maka tentulah kita akan mampu mengetahui segala sesuatunya. Sayangnya ia tak berhingga. Andai kata tidak, kita bahkan sanggup mengolah rumusan masa depan. Kita hari ini adalah cerminan di masa lalu. Dan kita hari ini adalah proyeksi di masa depan. Sebab waktu sesungguhnya tak berjalan secara<em> linear</em>.<br />Olehnya usah risau tentang masa depan, sebab eksintensi yang paling sejati, sebenar-benarnya adalah hari ini, saat ini. Begitu kata Martin Heidegger (1889-1976), filsuf eksistensialisme Jerman.<br /><br />Sehelai daun yang jatuh di pekarangan rumah, mungkin memainkan satu peran dalam sebuah rangkaian peristiwa besar. Mungkin cerita tentang cinta, atau mungkin sebuah tragedi. Kita tak mengetahuinya, sebab itu terlampau luas dan dalam masa yang tak berhingga.<br /><br />Lalu berfirmanlah kepada Muhammad SAW:<br /><em>“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang gaib; tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya, dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering melainkan tertulis dalam kitab yang nyata</em> (<em>Lauh Mahfuzh</em>).” QS. AL An’aam (6): 59<br /><br />Bahkan satu helaan nafas pendek yang kita hembuskan, punya peran dalam sebuah peristiwa besar. Dan kita kemudian tak sanggup tahu, seperti apa akibat yang akan ditimbulkannya. Maka manusia, dalam ketidakmampuannya, lantas memanjatkan harapan-harapan, doa-doa kepada suatu kekuatan besar yang diyakini. Sebab kita, hanya setitik debu dalam semesta yang tak berbatas. Teramat kecil dan tak berdaya.<br /><br /><em>Bismilliahirrahmanirrahim</em>. Doa ini, semata-semata dimulai karena meyebut nama Allah yang maha pengasih dan penyayang.<br /><br /><div style="text-align: center;">* * *<br /></div><br /><div style="text-align: center;"><span style="font-weight: bold;">Kampung Pettarani</span>, Makassar 5 Maret 2011<br /></div><br /></span>eeduy hawhttp://www.blogger.com/profile/10134103706243294400noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-3934846632721034012.post-22689518207320441102011-02-18T20:53:00.017+08:002011-02-22T23:54:55.907+08:00Tulisan ngawur dalam situasi stuck syndrome.<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://4.bp.blogspot.com/-c5f5X0-CpSw/TV5wVAYTwEI/AAAAAAAAAHw/wokDJoAKw5w/s1600/Solitude_in_an_Empty_Street_by_brianangg.jpg"><img style="margin: 0px auto 10px; display: block; text-align: center; cursor: pointer; width: 214px; height: 320px;" src="http://4.bp.blogspot.com/-c5f5X0-CpSw/TV5wVAYTwEI/AAAAAAAAAHw/wokDJoAKw5w/s320/Solitude_in_an_Empty_Street_by_brianangg.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5575016894912774210" border="0" /></a><br /><span style="font-style: italic;"><br /></span><div style="text-align: center;"><span style="font-style: italic;">Tak perlu takut sunyi</span><br /><span style="font-style: italic;">seperti jernih embun,</span><br /><span style="font-style: italic;">hinggap di dedaunan justru dimasa malam paling hening</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">Tak perlu takut sunyi</span><br /><span style="font-style: italic;">Sebab tuhan itu sendiri</span><br /><span style="font-style: italic;">Dan sedetikpun dia tak pernah cengeng</span><br /></div><br /><br />(ya ya ya... puisi dodol... <span style="font-style: italic;">dan terkutuklah aku terbakar hidup-hidup dalam api jahanam bernama “sepi” yang paling mengerikan</span>)<br /><br />Tai kucing!<br />Berani-beraninya “puisi <span style="font-style: italic;">nda</span> lucu kelas tong sampah” ini <span style="font-style: italic;">nangkring</span> tanpa undangan di kepala, mengolok-olok saya pula. <span style="font-style: italic;">Cuiiih</span>!<br />Ketimbang sibuk meladeni intuisi yang tak punya sopan-santun dan terutama <span style="font-style: italic;">gak</span> penting ini, mending ke depan komputer.<br /><span class="fullpost"><br /><span style="font-weight: bold;">Eeduyhaw2@gmail.com</span>, pencet <span style="font-weight: bold;">TAB</span> lalu ketik ***********, sebelas kombinasi kata sandi. Disusul pencet <span style="font-weight: bold;">ENTER</span>, atau mungkin lebih tepatnya kalau disebut menjitak <span style="font-weight: bold;">ENTER</span>. Soalnya, kekuatan tekannya sedikit berlebih dan bunyi yang dihasilkan agak menonjol dibanding tuts sebelumnya. Kebiasaan lucu ini lama-lama menjadi</span><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://2.bp.blogspot.com/-gdfFwXac4gI/TWPRjvrmjaI/AAAAAAAAAH4/CgK-5mCYJ60/s1600/dwi%2Bastini"><br /></a><span class="fullpost"> ritus.<br /><br /><span style="font-style: italic;">Loading</span> berlangsung sebentar saja, dan <span style="font-style: italic;">jrreenng... jrreenng... welcome to the new world</span>. FACEBOOK.<br /><br />Klik <span style="font-weight: bold;">pemberitahuan</span>, tak ada yang mencuri perhatian. Klik <span style="font-weight: bold;">kotak pesan</span>, <span style="font-style: italic;">sami mawon</span>. Isinya cuma info <span style="font-style: italic;">workshop</span> film oleh komunitas di seberang pulau <span style="font-style: italic;">sono</span>.<br />Periksa dinding halaman <span style="font-weight: bold;">berita populer</span>, lagi-lagi foto profil <span style="font-style: italic;">plus</span> kalimat status cewek satu ini seolah <span style="font-style: italic;">ogah</span> alpa di barisan pemimpin klasemen. Di bawahnya, belasan komentar antri bersusun rapi. Kalau tak salah, pernah malah komennya menembus angka 30-an lebih. Padahal isi statusnya kebanyakan <span style="font-style: italic;">chat-chit-chut</span> diri sendiri. Dari <span style="font-style: italic;">telat</span> ke kampus gara-gara tidur kesiangan, hingga sisir kesayangannya tiba-tiba <span style="font-style: italic;">ngumpet </span>entah kemana.<br /><span style="font-style: italic;">Ckckckckck</span>... FACEBOOK!<br /><br />Wajah imutnya mungkin punya pengaruh. Sebab yang <span style="font-style: italic;">nongol</span> komentar rata-rata laki-laki. Tapi itu mungkin <span style="font-style: italic;">loh</span> ya. Dan harus diakui, berdasarkan indikator umum foto-foto di album narsisnya, dia memang imut lagi ceria.<br />Saya sendiri enggan ikut-ikutan. Bukan karena tak ingin. Tapi tak mau dicap murahan. Biasalah, jaga <span style="font-style: italic;">image</span> biar dikira cowok berkualitas. Jurus “ular pura-pura <span style="font-style: italic;">cool</span> ”. (<span style="font-style: italic;">wkwkwkwk... hueeek</span>!)<br /><br />Bosan cari-cari info menarik dari status orang lain yang tak jua kunjung ada, kursor lalu diarahkan ke bawah. Periksa makhluk mana yang kira-kira sudi diajak <span style="font-style: italic;">ngobrol ngalur-ngidul gak</span> jelas.<br />Pilihan jatuh ke nama DWI ASTINI. Mengapa? Pertama, karena dia perempuan. Kedua, karena dia perempuan. Ketiga, karena dia perempuan.<br />Mengapa perempuan? Karena <span style="font-style: italic;">ngobrol</span> dengan lawan jenis lebih memungkinkan untuk mengusir sepi. Tapi, tentu teori absurd ini tak berlaku dalam kasus homo dan lesbian.<br /><br />Dalam tinjuan historisnya, DWI ASTINI tak punya hubungan kekerabatan dengan saya, atau dalam kalimat yang lebih fair “saya tak punya hubungan kekerabatan dengan DWI ASTINI. Saya bukan teman SD, SMP, SMU, kuliah, kerja, sepupu, saudara, pacar, apalagi ayahnya dia.<br />Satu-satunya alasan mengapa kami berteman adalah kebetulan.<br /><br />Kebetulan dia punya akun FACEBOOK saya pun demikian. Kebetulan dia gabung di grup KOMPASIANA saya pun demikian. Kebetulan saya mengklik tombol <span style="font-weight: bold;">add</span> di dindingnya, dia pun mengklik tombol <span style="font-weight: bold;">confirm</span> di kotak permintaan pertemanannya.<br /><br />Kebetulan dia asik diajak ngobrol <span style="font-style: italic;">ngaco</span> dan sampe hari ini masih juga tahan belum me-<span style="font-weight: bold;">remove</span> saya, maka terjadilah percakapan <span style="font-style: italic;">ngawur</span> di bawah ini yang inisiatif awalnya tentu saja dari saya:<br /><br />SAYA : dwi astiniiiiiiiii...<br />DWI ASTINI : iyaaaa aduduuhaayyy...<br />SAYA` : lg ngapaiiiiinnn...<br />DWI ASTINI : ngutak-ngatik blog saya...<br />SAYA : oh ya...bagi linkx donk...<br />DWI ASTINI : http/dwiastini.com<br /><br />(setelah beberapa lama)<br /><br />SAYA ` : udeh liat webx... blogx jg... bikin web buat tugas kuliah ya???<br />DWI ASTINI : bukan... buat nulis aja...<br />SAYA : sdh ada tulisan barunya blum??<br />DWI ASTINI : mau benerin web dulu... baru abis itu nulis yang singkat, padat dan jelas. Nulis status.... :p<br />SAYA : hehehe status... nah... krn sy lg stuck bingung mo nulis apa... bgmn kalo sy nulis tentang kamu aja boleh gak?<br />DWI ASTINI : silahkan, kalo itu mbuat kamu bisa menulis lagi<br />SAYA : hehehe...udeh dpt permit nih yeee... jangan nyesel blakngan lho yeee... xixixixixi (ktwa niat jahat)<br />DWI ASTINI : awas yeee...:p<br /><br /><br /></span><div style="text-align: right;"><a href="http://2.bp.blogspot.com/-gdfFwXac4gI/TWPRjvrmjaI/AAAAAAAAAH4/CgK-5mCYJ60/s1600/dwi%2Bastini"><img style="display: block; margin: 0px auto 10px; text-align: center; cursor: pointer; width: 240px; height: 320px;" src="http://2.bp.blogspot.com/-gdfFwXac4gI/TWPRjvrmjaI/AAAAAAAAAH4/CgK-5mCYJ60/s320/dwi%2Bastini" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5576531175639780770" border="0" /></a><span style="font-size:85%;">Tadinya foto DWI ASTINI ini tak ada...berhubung Pak Luvori <span style="font-style: italic;">nanya</span> di kotak komentar apakah sosok yg dimaksud <span style="font-style: italic;">cakep</span>? jadinya saya tempelkan...tentu saja belum minta izin sama yang punya foto. Kurang ajar kan... si Pak Luvori? <span style="font-style: italic;">Hahaha</span>...<br /></span></div><span class="fullpost"><br /><br /><br />Percakapan absurd selesai. Diinterupsi bosan yang datang lagi. Padahal baru 10 menit saya berada di <span style="font-style: italic;">world wide web</span>.<br /><span style="font-style: italic;">Log out</span> mungkin lebih baik.<br /><br />Hmm... alienasi, atomisasi, sepi dalam keramaian, fenomena khas peradaban baru. Mestinya saya telah mampu mengantisipasi hal seperti ini sejak dulu. Tapi lucunya jebol-jebol juga.<br />Dunia yang makin serba cepat, sunyi yang juga makin mudah merasuk.<br /><br />Dia, Mark Elliot Zuckerberg, boleh melipat-lipat jarak dan waktu.<br />Tapi 10 menit <span style="font-style: italic;">ngobrol ngawur</span> dengan DWI ASTINI, itu masih sama absurdnya dengan diamnya saya dan teman sepermainan meski kami telah bertatap muka sekalipun.<br /><br />Sudah sebulan <span style="font-style: italic;">stuck syndrome</span> menyerang. Buntu tak tahu mau bikin apa. Tak satupun yang mampu bikin bersemangat. <span style="font-style: italic;">Kunyuk</span>nya, sudah 3 minggu terakhir pula kondisi tubuh lagi loyo-loyonya.<br />Batuk betah <span style="font-style: italic;">gak</span> pergi-pergi. Capek sedikit badan langsung demam. Payah.<br /><br />Biasanya nafsu jajan jadi pelampiasan. Makan sana, makan sini. Kali ini resep ini pun tak lagi manjur.<br />Mau jalan-jalan <span style="font-style: italic;">males</span>. Syuting <span style="font-style: italic;">eneg</span>. Nonton, bosan. Baca, <span style="font-style: italic;">gak</span> ada pemikiran baru. <span style="font-style: italic;">Nulis</span>, mati ide. Mabok, <span style="font-style: italic;">capcai</span> deh. Ke panti pijat, <span style="font-style: italic;">not my style</span>.<br /><br />Besok saya niat puasa saja. Tak peduli itu hari sabtu, bukan senin atau kamis. Bukan karena ingin mengejar pahala. Semata-mata hanya ingin mengubah perspektif saja.<br />Puasa ibaratnya membalikkan badan. Kepala di bawah, kaki di atas. Kalaupun tak dapat energi baru, paling tidak lumayanlah dapat view baru.<br /><br />Kadang-kadang, dalam <span style="font-style: italic;">stuck syndrome</span> yang sunyi seperti ini, hidup tak ubahnya seperti seonggok tai kucing. Sama sekali tak menarik!<br /><br />Tiba-tiba <span style="font-style: italic;">handphone</span> saya berbunyi. Teman saya SMS. Bunyinya begini:<br /><br /></span><div style="text-align: center;"><span class="fullpost"><span style="font-style: italic;">Hidup ini bagaikan film</span> </span><br /><span class="fullpost"><span style="font-style: italic;">Saat kau tertawa... komedi</span> </span><br /><span class="fullpost"><span style="font-style: italic;">Saat kau berkelahi... action</span> </span><br /><span class="fullpost"><span style="font-style: italic;">Saat kau menangis... drama</span> </span><br /><span class="fullpost"><span style="font-style: italic;">Saat kau bercermin... hantuuuuuuu...</span></span><br /></div><span class="fullpost"><br /><br />(haha...lucumu...basi...<span style="font-style: italic;">wuuueeekkk</span>!!!)<br /><br />Sebaiknya sudah dulu ah... makin lama saya nulis, jidat saya makin bingung sendiri dengan barisan kata-kata yang saya buat.<br />Begini ini bilamana situasi <span style="font-style: italic;">stuck syndrome</span> merasuk.<br /><br /><br /><div style="text-align: center;">Makassar, <span style="font-weight: bold;">Kampung Pettarani</span> 18 Februari 2011.<br /></div><br /><br /><span style="font-weight: bold;">catatan</span>: Saya rasa tulisan ini jadi tulisan terburuk yang pernah saya buat. Sebab untuk pertama kalinya saya berSAYA-SAYA ria dalam sebuah tulisan. Hal yang sebenarnya saya benci. Cengeng...!!!<br /><br /><span style="font-weight: bold;">sumber gambar</span>: <span style="font-style: italic;"><br />* Solitude in an Empty Street</span> by <span style="font-weight: bold;">brianangg</span> deviantart.com<br />* galeri foto dwi astini @ http://www.facebook.com/dwi.astini<br /></span>eeduy hawhttp://www.blogger.com/profile/10134103706243294400noreply@blogger.com6tag:blogger.com,1999:blog-3934846632721034012.post-49468428242067520142011-01-22T01:41:00.012+08:002011-02-02T11:37:07.717+08:00Lenteng, How Are You Today? (Part 2)<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://1.bp.blogspot.com/_wgKbOaWKnCI/TTnGGWkUIhI/AAAAAAAAAHk/CP7vdaP7PlY/s1600/Girl_by_WillixArtist.jpg"><img style="margin: 0pt 0pt 10px 10px; float: right; cursor: pointer; width: 254px; height: 320px;" src="http://1.bp.blogspot.com/_wgKbOaWKnCI/TTnGGWkUIhI/AAAAAAAAAHk/CP7vdaP7PlY/s320/Girl_by_WillixArtist.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5564696627032367634" border="0" /></a><br />(<em>Flash back</em> sedikit. Biar agak <em>nyambung</em> bacanya. Buat yang baru baca klik <a href="http://sosbud.kompasiana.com/2010/12/05/lenteng-how-are-you-today/">disini</a> <em>part </em>1)<br /><br /><em>Di kelas, kecenderungan otak Lenteng berbanding lurus dengan sosok fisiknya yang serba bulat. Riwayat PR dan tugas-tugas kelasnya, kerap berakhir bulat alias nilai ‘telur’. Terima rapor, urutan rangkingnya bermain dikisaran angka dua digit berkepala 4 dari 48 siswa.</em><br /><br /><em> Oke. Sampai di sini, tambah dua hal lagi yang bikin Lenteng populis di otak konyol kanak-kanak kami: genit dan </em>oon<em>.<br />Sebenarnya masih banyak lagi. Cuma lima poin ini rasa-rasanya sudah cukup untuk menggambarkan sisi “antagonis’ (bacanya </em>kudu<em> lengkap dengan tanda kutipnya </em>lho<em>!) si gadis cilik bernama tak lazim ini.</em><br /><br /><em> Lantas apa dampak 5 poin ini terhadap kehidupan sehari-hari Lenteng di masa kanak-kanak kami?...</em><br /><br /><span class="fullpost"><br /><strong>Dampak 1: Lenteng tak punya teman, padahal ke manapun sehari-hari kami berlabuh, ia pasti <em>nimbrung</em> juga di sana.</strong><br /><br />Mengapa di sekolah Lenteng<em> nimbrung</em>?<br />Berhubung kampung kami biasa-biasa saja; lalu kantong orang tua kami juga biasa-biasa saja; sehingga bisanya cuma sekolahan yang murah, meriah, dan tak jauh dari rumah (biar irit transportasi); ditambah Lenteng diringankan dari kewajiban iuran SPP; maka sekolah kami adalah sekolah Lenteng juga.<br /><br />Mengapa di tempat <em>ngaji</em> Lenteng nimbrung?.<br />Dikarenakan tempat <em>ngaji</em>nya gratis; dan oleh ibunya, Lenteng juga disuruh <em>ngaji</em>; kemudian rumah Lenteng, rumah kami, serta rumah tempat <em>ngaji</em> itu saling bertetangga; maka tempat <em>ngaji</em> Lenteng adalah tempat <em>ngaji</em> kami juga.<br /><br />Mengapa di mesjid Lenteng <em>nimbrung</em>?<br />Disebabkan Lenteng islam; dan kami juga islam; kemudian di kampung kami yang biasa-biasa saja itu mesjidnya sebiji <em>doang</em>; maka mesjidnya Lenteng adalah mesjid kami juga.<br /><br />Meski demikian, dari sekian banyak tempat, sekian macam ragam anak-anak seumuran kami mondar-mandir di tempat-tempat yang disebutkan di atas, <em>tuetep</em> Lenteng tak berhasil punya teman, teman dekat, terlebih sahabat, apalagi cinta monyet.<br /><br /><strong>Dampak 2: DI tempat <em>ngaji</em>, Lenteng duduk (di)sendiri(k)an. Pulang paling lambat, biarpun datang sebelum ayam berkokok.</strong><br /><br />Ya, misalnya sambil lesehan kami bergerombol <em>cekakak-cekikik</em> di sektor kiri teras rumah guru <em>ngaji</em>, maka Lenteng harus di sektor kanan. Sendirian.<br />Bila kebetulan Lenteng datang paling awal lalu memilih sektor kiri, maka secara naluriah tanpa perintah siapa-siapa kami akan memilih sektor kanan.<br />Kalaupun kami dipaksa duduk dalam satu kumpulan besar, maka radius Lenteng minimal +/- 1,5 meter di sebelah kiri, kanan, depan dan belakang kami.<br /><br />Sebelum pulang, ada peraturan: setiap murid diharuskan mengulang dulu surah bacaan masing-masing. Minimal satu kali, disaksikan langsung oleh guru. Biasanya digilir berdasarkan siapa yang datangnya paling cepat.<br /><br />Karena semua malas <em>ngantri</em>, tapi maunya pulang juara 1, maka ini artinya ajang rebutan.<br />Semua lalu paling bisa pasang muka 'manis' <em>trus</em> <em>ngaku</em> paling rajin. Terlebih bila kena giliran verifikasi dengan Lenteng. Contoh:<br /><br />GURU : “Siapa yang datang duluan, kamu atau Lenteng?”<br />Yang terverifikasi dengan Lenteng : “Oh… saya <em>dong</em> Guru!”<br />Orang ketiga (anaknya guru misalnya) : “ bohong ma… Lenteng duluan!”<br /><br />Siasat ‘abu-nawas’ terbongkar. Anehnya, sedikitpun kami tak merasa malu. Malah merasa dongkol. Jelas-jelas itu percobaan penipuan. Dan kenyataannya memang Lenteng lebih dulu datang. Tapi kami tetap tak terima.<br />“Bisa-bisanya Lenteng pulang lebih dulu daripada saya. <em>Hmm</em>… Guru sudah mulai berlaku tak adil!” Begitu pikiran yang melintas di kepala kami.<br /><br /><strong>Dampak 3: Lenteng adalah senjata andalan jika di antara kami ada yang berselisih paham.</strong><br /><br />Lenteng terbukti <em>tokcer</em> jika ada perselisihan. Bukan untuk meredakan ketegangan, apalagi mendamaikan<em> cekcok</em>.<br />Justru Lenteng digunakan untuk membuat lawan tak berkutik, tersudut di pojok ring. Ibarat kata, perselisihan itu adalah api dalam sekam. Nah, Lenteng adalah 1 liter bensin-nya.<br /><br /><strong>Contoh 1 : Skala NORMAL</strong><br /><br />Si A : “<em>Ciieee</em>… temannya Lenteng. Kemarin beli asam di rumahnya!”<br />Si B : “Mana… kapan saya beli asam!” pasang muka <em>sok</em> tenang tapi degup jantungnya tiba-tiba kencang.<br /><br />Kenyataannya, kemarin sore si B benar-benar disuruh ibunya beli asam. Pakai di<em>omelin</em> segala. Asamnya penuh debu gara-gara jatuh.<br /><br /><strong>Contoh 2 : Skala HAMPIR NORMAL</strong><br />Si J : “<em>Hayo</em>… siapa yang larinya paling lambat sampai di lapangan, berarti dialah cowoknya Lenteng!”<br />Semuanya : ambil langkah seribu biarpun belum ada aba-aba.<br /><br /><strong>Contoh 3 : Skala SAMA SEKALI ABNORMAL</strong><br />Si X : “<em>Eh</em>… Y coba kau panjat, ambil itu jambu!”<br />Si Y : “<em>nda</em> mau… capek<em>k</em>a.”<br />Si X : “malasnya ini<em>e</em>… sebentar itu kalau sudah ada<em>mi</em>, ikut<em>ji</em> itu makan!<br />Dasar <em>kutbal</em> (singk: <em>kuttu na balala</em> alias ‘malas tapi rakus’)!<br />Si Y : “biar<em>mi</em>… daripada kau, cowoknya Lenteng”<br />Si X : “anak <em>sun</em>… (<em>teet</em>… sensor…! Makian kotor dalam bahasa Makassar) apa kau bilang,<br />ulangi coba!”<br />Si Y : “cowoknya Lenteng!”<br /><br />Adegan selanjutnya adalah Si X <em>nonjok</em> Si Y. Si Y balik <em>nonjok</em>. Tak lama keduanya saling <em>piting</em>. Sampai guling-guling di tanah segala. Sesekali ada selingan adu jurus gigit. Kalau salah satu sudah terdesak, biasanya langsung <em>celingak-celinguk</em> cari batu. Andai kata tak ada yang <em>misahin</em>, mungkin keduanya saling bunuh-bunuhan.<br />Terbukti <em>tokcer</em>kan senjata andalan kami?<br /><p style="text-align: center;">* * *</p><br /><br /><em><strong>20 tahun kemudian…</strong></em><br /><br />Tadi malam, kami <em>ngobrol</em> lepas. Temanya bebas. Dari soal sol sepatu, nenek-nenek <em>nyeberang</em>, sampe soal pegang taruhan mana seumpama misil nuklir Korea Utara iseng 'tamasya' di Korea Selatan?<br />Eh… tiba-tiba pembicaraan <em>nyerempet</em> ke soal betapa kelunya lidah kami, bila melamar kerja pakai tes <em>ngaji</em>. Serta merta, otak kami<em> flashback</em> melanglang buana ke sekitar teras rumah guru <em>ngaji</em> kami.<br /><br />“Iya ya… padahal dulu jagonya itu saya rasa diriku mengaji!”<br />“<em>Eh</em> dengar-dengar… Lenteng sekarang itu PNS <em>lho</em>!” Potong yang lain tanpa ada angin atau hujan. Tak peduli <em>nyambung</em> apa <em>nyasar</em>.<br />“Masa <em>sih</em>… siapa yang bilang?” Seru yang lain lagi serasa tak percaya, tapi penasaran.<br />“Aduh… siapa lagi itu… <em>ah</em> kulupa<em>i</em>. Pokoknya ada yang pernah bilang,” sambil tepuk jidat.<br />“<em>Wuiih</em>… dimanak<em>i</em> sekarang lenteng itu tinggal?” Tanya yang sedari tadi cuma menyimak.<br />“Katanya di kampung,” jawab si penyebar kabar bahwa Lenteng sekarang PNS.<br /><br />Sudah lama memang, gubuk itu tak ada lagi. Kini berganti rumah-toko. Kapan tepatnya Lenteng pindah, kalau tak salah ingat, tak lama setelah insiden kakak laki-lakinya itu kabur meninggalkan sepeda, tabung gas dan sepasang sendal jepit <em>butek</em> merek <em>swallow</em>.<br />Setelah itu kami tak lagi pernah melihatnya.<br /><br />Lenteng itu polos.<br />Hatinya maksudnya. Bayangkan, menghadapi perlakuan kurang ajar kami di masa kanak-kanak seperti itu, sedikitpun dia tak bergeming.<br />Sekolah, dia tetap sekolah. Mengaji, dia tetap mengaji. Ke mesjid, dia tetap ke mesjid.<br /><em>Track-record</em> seberapa banyak dia <em>nangis</em> gara-gara kami <em>dzolimi</em>, pun setahu kami cuma hitungan jari. Itupun besoknya dia pasti kembali. Tanpa bawa dendam apalagi kesumat.<br /><br />Kalau kami mau jujur, sampai hari ini, rasanya belum ada ‘kesabaran tingkat tinggi’ yang kami temui setelah dia.<br />Sebab tahu tidak, misalnya Lenteng <em>ngambek</em> lalu kami mengggodanya, maka tak lama di wajahnya akan muncul senyum yang memperlihatkan gigi kelincinya yang lebih tampak bulat ketimbang segi empat.<br /><br /><em>Duh</em> Lenteng… <em>How are you today</em>?<br />Kami berhutang beribu-ribu maaf padamu. Yang belum jua terucapkan hingga hari ini.<br /><br />Demikianlah… cerita tentang Lenteng dan biadab-nya kami di masa kanak-kanak. Di kampung kami yang biasa-biasa saja. Di sebuah kota yang belum seramai sekarang ini.<br /><p style="text-align: center;">* * *</p><br /><p style="text-align: center;"><strong>Kampung Pettarani</strong>, Makassar 8 Desember 2010</p><br /><br /><p style="text-align: center;"><strong><em>Dedicated to</em></strong>:<br />Orang-orang yang merasa dirinya (dijadikan) <em>freak</em> dalam pergaulan sosial.<br /><em>Please</em>, jangan buru-buru jadi inferior, apalagi putar haluan jadi psikopat. Sampai-sampai, biji mata para pengganggunya satu-persatu dicungkil dengan gergaji mesin, lalu dicelupkan ke akuarium buat sarapan pagi Ikan <em>Louhan</em> peliharaan, seperti yang ada di film-film horor.<br /><em>Be patient like</em> Lenteng. Sebab bahkan langit atau bumi berhutang maaf kepadamu, jika berani-berani mengusik tampilan fisikmu. Biarpun itu sekedar satu senyuman tipis, tapi bernada pelecehan.<br /><br /></p></span><div style="text-align: left;"><strong>Catatan</strong>: Tulisan ini dibuat, sama sekali bukan bermaksud mengekskploitasi apalagi menelanjangi kembali secara tak beretika tentang sosok Lenteng. Jadi, mohon maaf kiranya jika terdapat hal-hal yang terkesan terlampau hiperbolis. Itu semata-semata sudut pandang subyektif penulis dalam hal gaya serta pemilihan kata-kata. Harap dimaklumi dan terima kasih.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">sumber gamba</span>r: http://browse.deviantart.com/cartoons/?q=fat%20girl&order=9&offset=24#/d2a9183<br /></div><span class="fullpost"><p style="text-align: center;"></p></span>eeduy hawhttp://www.blogger.com/profile/10134103706243294400noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-3934846632721034012.post-14240939616128066962011-01-20T00:15:00.004+08:002011-02-02T11:36:44.526+08:00Lenteng, How Are You Today?<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://1.bp.blogspot.com/_wgKbOaWKnCI/TTcP589Mh3I/AAAAAAAAAHc/HztcCQDVtrE/s1600/black_fat_girl_by_sterna.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 266px; height: 320px;" src="http://1.bp.blogspot.com/_wgKbOaWKnCI/TTcP589Mh3I/AAAAAAAAAHc/HztcCQDVtrE/s320/black_fat_girl_by_sterna.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5563933352929298290" /></a><br />Lenteng.<br />Bukan nama kawasan, apalagi nama benua.<br /><br />Itu nama panggilan seseorang.<br />Bagaimana asal-muasal ia memperoleh nama aneh tersebut? Tak jelas.<br />Sebab, kalau tak salah ingat, nama aslinya Nurhayati. Bayangkan, selain ‘N’, rasa-rasanya tak ada lagi huruf yang kembar dari dua nama ini.<br />Kok bisa-bisanya jadi <em>nickname</em>? Benar-benar tak lazim. Sama tak lazimnya, maksud maupun bunyi yang terdengar bila nama ini diucapkan; Lenteng.<br /><br />Lenteng adalah sosok <em>alien</em> pakai tanda kutip. Tepatnya ter<em>alien</em>asi, dari masa kanak-kanak kami yang serba sok-sokan dan tentu saja konyol.<br />Begini deskripsi konyol kami mengenai Lenteng, saat umur kami sekitar 9 tahunan dan Lenteng lebih muda satu atau dua tahun:<br /><span class="fullpost"><br />Alkisah, persis di sudut pertigaan jalan kampung kami yang biasa-biasa saja, di sebuah kota yang dulunya belum seramai sekarang, tersebutlah tempat tinggal yang belum layak disebut 'rumah'.<br />Gubuk. Kecil pula.<br />(<em>yeee</em>… bukaan paragraf 'tempoe doloe' <em>banget</em>! Mungkin ini yang dimaksud kartunis kompas 'terjebak masa lalu' <em>hihihi</em>…)<br /><br />Dinding anyaman bambu atau papan bekas. Atap pelepah daun kelapa. Tiang dari bongkahan-bongkahan balok. Dimana, tak satupun dari semuanya itu, yang ‘tidak’ bertampang lusuh bin terseok-seok.<br />Ukurannya super-<em>imut</em>, 3x3 meter. Sekaligus kamar, ruang keluarga, ruang tamu dan dapur. <em>Multy-function</em>.<br />Di atas tanah milik ‘entah siapa’. Yang jelas bukan miliknya. Sukur-sukur kalau waktu dibangun seizin empunya tanah.<br /><br /><em>Nah</em>, di dalamnyalah, sehari-hari Lenteng dan ibunya berlindung dari terjangan panas, hujan, petir, guntur, banjir, gempa, tsunami, wabah diare, TBC, malaria, demam, susah buang air, kepala pening, diabetes, asam urat, kolesterol...<br />(<em>ups</em>… kejauhan ya? Oke… penggal saja sendiri sesuai selera masing-masing. Asal jangan lupa bubuhkan tanda titik)<br /><br />Kakaknya ada yang laki-laki. Namanya khas Suku Makassar, Pudding. Cuma kalau diperhatikan secara saksama pakai perspektif lain, namanya jadi kebarat-baratan dan memancing selera.<br /><em>Doi</em> kebanyakan <em>nginap</em> diluar. Biasanya kerja sebagai tukang becak. Juga dengar-dengar gosip, di musim-musim tertentu suka alih ke profesi sampingan. Maling.<br /><br />Gosip bukan sembarang gosip. Suatu malam, ketika remaja, kami memergoki Pudding mendorong sepeda sambil menenteng tabung gas. Salah satu dari kami melirik jam tangan. Tampak deretan angka 03:15 dini hari Waktu Indonesia Tengah Malam Banget Menjelang Pagi Buta.<br /><br />Diteriaki “woiii… apa<em>an</em> tuh?!!”<br />Doi refleks bereaksi. Reaksinya berupa kabur meninggalkan sepeda, tabung gas serta tak ketinggalan sepasang sendal jepit butek merek <em>swallow</em>. Warnanya lupa.<br /><br />Ayahnya, tak jelas rimba. Maksudnya, kami jarang sekali melihatnya pulang. Jadinya, seumpama waktu itu ia ternyata sesekali datang, paling-paling kami berkesimpulan ‘om-nya Lenteng sedang bertamu’.<br /><br />Ibunya sudah lumayan tua. Berjualan di gubuk itu. Yang dijual sebagian diletakkan di meja. Ada mangga muda, jambu batu, cabe dan tomat. Sebagian lain lagi digantung. Berderet asam, vetsin, kemiri dan merica yang dibungkus manual kemasan <em>sachet</em>.<br /><br />Berdasarkan fakta-fakta itu, otak konyol kanak-kanak kami menganggap Lenteng kelewat miskin. Sehingga bukan target populis untuk digauli. Maksudnya dijadikan teman <em>gaul</em>. Populis Lenteng cuma dalam satu hal: bahwa dia kelewat miskin.<br /><br />Tapi tangan Lenteng tak suka ‘kreatif’ macam tangan kakak laki-lakinya itu. Malahan, sebenarnya polos. Maksudnya hatinya Lenteng yang polos, bukan tangannya. Tangan Lenteng justru ramai dengan hiruk-pikuk sisik bisul sebesar biji keringat yang mengering. Entah ‘kudis kering’ atau apalah namanya.<br /><br />Celakanya, hiruk-pikuk itu tak cuma di tangan. Menjalar hingga ke kaki, bahkan <em>offside</em> sampai ke wajah. Sekujur tubuh pokoknya.<br /><br />Dan kian diperparah lagi, sosoknya yang dari bawah hingga ke atas serba ‘bulat’.<br />Perawakan = pendek bulat. Telapak kaki = lebar bulat. Betis = besar bulat. Badan = gempal bulat. Jari-jari tangan = gemuk, pendek, bulat. Wajah = bulat tok. Bibir = agak tebal cenderung membulat. Mata = belok, agak besar, bulat. Bahkan <em>subhanallah</em>, ‘gigi kelinci’nya = lebih tampak bulat ketimbang segi empat.<br />Jadi penasaran, pasti ada satu rahasia di balik <em>chemistry</em> yang begitu kuat antara Lenteng dan bulatan.<br /><br />Dan gara-gara bulatan itu jualah, sampai-sampai, saat kami sedang menggores-gores tanah suka bersenandung:<br /><br /><em>Lingkaran kecil, lingkaran kecil</em><br /><em>Lingkaran besar</em>... (2x)<br /><em>Enam… enam… tiga puluh enam</em>…(dst)<br /><br />Jika salah satu bertanya apa gerangan yang kami gambar, spontan tanpa pikir panjang-panjang, dengan cueknya kami <em>nyeletuk</em> “Itu Lenteng!” Lalu kami terkekeh-kekeh secara berjamaah.<br /><br />Dengan demikian bertambah dua hal lagi yang membuat lenteng populis: Kudis kering dan serba bulat.<br />(Sekedar mengingatkan, sekarang total kepopulisannya Lenteng sudah ada tiga: kelewat miskin, kudis kering dan serba bulat)<br /><br />Walau kelewat miskin, bukan berarti Lenteng tak mampu ke sekolah. Dia mampu kok. Cuma, di sekolah dialah satu-satunya murid yang rutin setiap bulan <em>nunggak</em> SPP. Saking rutinnya, pihak sekolah akhirnya 'menyerah'. Apa boleh buat, diambil kebijakan yang <em>tumben</em> tak terduga.<br />Lenteng diringankan (bahkan mungkin dibebaskan) dari kewajiban iuran SPP.<br /><br />Maka, tiap pagi buta, berangkatlah Lenteng dengan seragam ‘merah-putih kekuning-kuningan’. Kuning gara-gara kusam dimakan waktu. Ditambah belum ada <em>budget</em> buat beli baru.<br />Tak lupa dandan ‘sedikit’. Sedikit lagi muka Lenteng <em>overlapping</em> maksudnya. Pipi belepotan bedak bayi. Rambut becek gara-gara minyak rambut cap ‘kemiri’. Pernah malah, bibir bulatnya itu disapu gincu.<br /><br />Di kelas, kecenderungan otak Lenteng berbanding lurus dengan sosok fisiknya yang serba bulat. Riwayat PR dan tugas-tugas kelasnya, kerap berakhir bulat alias nilai ‘telur’. Terima rapor, urutan rangkingnya bermain dikisaran angka dua digit berkepala 4 dari 48 siswa.<br /><br />Oke. Sampai di sini, tambah dua hal lagi yang bikin Lenteng populis di otak konyol kanak-kanak kami: genit dan <em>oon</em>.<br /><br />Sebenarnya masih banyak lagi. Cuma lima poin ini rasa-rasanya sudah cukup untuk menggambarkan sisi “antagonis’ (bacanya kudu lengkap dengan tanda kutipnya lho!) si gadis cilik bernama tak lazim ini.<br /><br />Lantas apa dampak 5 poin ini terhadap kehidupan sehari-hari Lenteng di masa kanak-kanak kami?<br /><br /><em>Break </em>dulu ah... <em>bersambung</em>…<br />Sambungannya besok, paling lambat lusa deh…<br /><p style="text-align: center;"></p><br /><p style="text-align: center;"><strong>* * *</strong></p><br /><p style="text-align: center;"></p><br /><p style="text-align: center;">Sekedar <strong><em>trailer</em></strong>:</p><br /><p style="text-align: center;"><em>Next</em>… baca kelanjutannya tentang dampak 5 poin tersebut terhadap Lenteng… Apa yg terjadi pada lenteng sekarang? Akankah ia sebenarnya adalah ‘putri kodok’ yang lagi njalani kutukan seperti di dongeng-dongeng? <em>coming soon… only on </em><strong>Lenteng, How Are You Today</strong> <em>Part 2</em>.</p><br /><br />sumber gambar: http://browse.deviantart.com/manga/?qh=&section=&q=fat+girl#/dak4bo<br /></span>eeduy hawhttp://www.blogger.com/profile/10134103706243294400noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-3934846632721034012.post-83282179058935049612010-12-24T07:31:00.005+08:002011-02-02T11:34:37.258+08:00Dear Diary<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://3.bp.blogspot.com/_wgKbOaWKnCI/TRPcs7QO2bI/AAAAAAAAAHQ/WHgIjJ-f1qA/s1600/diary-book1.jpg"><img style="display: block; margin: 0px auto 10px; text-align: center; cursor: pointer; width: 320px; height: 213px;" src="http://3.bp.blogspot.com/_wgKbOaWKnCI/TRPcs7QO2bI/AAAAAAAAAHQ/WHgIjJ-f1qA/s320/diary-book1.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5554025429856082354" border="0" /></a><br /><br />Jalan fikiranmu selalu tak akur dengan jalan fikiranku.<br />Padahal, sejak kecil, aku tinggal serumah denganmu.<br />Kita memang tak sepadan. Usiamu terlalu jauh melebihi aku.<br />Terlalu tua logikamu bagi isi kepalaku.<br /><br />Soal membetulkan pagar depan rumah saja, kita berseberangan.<br />Metodemu usang dengan apa yang kumau. Hanya kamu satu-satunya yang bisa mengerti cara berfikirmu.<br />Lebih baik aku meningalkanmu sendiri. Sebab watakmu keras kepala.<br />Dan terus-terang, sikapmu itu bikin hatiku jengkel.<br /><br />Lalu, apa gunanya aku sedari tadi mencoba berdiri di sampingmu?<br /><br />Belakangan, kamu juga rewel.<br />Aku tahu ini tengah malam. Makanya volume TV selalu kukecilkan hingga tersisa satu digit.<br />Tapi <em>masyaallah</em>, masih saja setiap malam pintu kamarmu itu tiba-tiba terbuka sedikit, atau kamu melintas pura-pura ke toilet, lalu <em>nyeletuk</em> kalau suara TV itu terlalu berisik mengganggu tidurmu.<br /><br />Hey… yang benar saja, ini sudah digit terakhir, seumpama kukecilkan lagi, apa iya saya harus nonton potongan gambar tanpa ada suara?<br /><br /><span class="fullpost"> Bukan TV itu yang bikin kamu tak bisa tidur. Tapi tidurmu itu terlampau kebanyakan. <em>Overstock</em>!<br /><br />Pikir sejenak. Tidur siangmu dimulai jam 10 pagi. Habis makan siang, kamu shalat dhuhur, lalu tidur lagi sampai sore.<br /><br />Giliran lepas isya dari mesjid, saat jarum pendek jam dinding baru <em>nunjuk</em> angka 9, kamu sudah ada di ranjang kamarmu.<br /><br />Tidur <em>sih</em> tidur… tapi <em>ngantuk</em> tak bisa dipaksa-paksa…<br /><br />Pernah aku menyarankan, bagusnya kamu sering berolahraga lagi.<br />Seperti dulu dengan raketmu.<br />Atau apalah… jalan-jalan pagi misalnya. Paling tidak perbanyak aktifitas.<br /><br />Apalagi usiamu makin tambah. Kesehatanmu makin drop.<br />Biar hidupmu tak monoton.<br />Biar bila malam, tidurmu makin lelap dan bekerja sempurna me<em>recovery </em>tubuhmu.<br /><br />Setelah kupikir-pikir, itu lebih baik kutitipkan saja pada ibu.<br />Aku sudah tak tahan adu argumen denganmu.<br />Jalan fikiranmu selalu tak akur dengan jalan fikiranku.<br />Sebab watakmu keras kepala.<br />Tak mempan bantahan.<br /><br />Tapi, aku hapal betul setiap inci gerak-gerikmu.<br />Dari malam hingga pagi. Pagi hingga malam.<br />Sebab sejak kecil, aku tinggal serumah denganmu.<br /><br />Seperti malam ini.<br />Tak biasanya suara batuk dari kamarmu tak terdengar meski cuma sekali.<br />Tak biasanya pintu kamarmu itu tiba-tiba tak terbuka barang sedikitpun.<br />Tak biasanya kamu tak melintas pura-pura ke toilet, dan<em> nyeletuk</em> kalau suara TV itu terlalu berisik mengganggu tidurmu.<br />Biasanya, aku bahkan bisa mendengar desah nafasmu hanya dari depan TV ini saat kau terlelap.<br /><br />Hmm... pasti ini karena hujan yang mengguyur daun-daun mangga di halaman rumah.<br /><br />Subuh berkumandang.<br />Sejenak kuletakkan <em>remote control</em>.<br />Dalam sujudku yang tak lagi khusyuk aku berfikir lain, kamu sudah bangun apa belum?<br />Apa iya, tadi aku luput hingga tak sempat memperhatikanmu.<br /><br />Biasanya kamu yang paling cepat terjaga. Lalu bergegas mengejar adzan menuju mesjid.<br /><br />Kupastikan itu di pintu depan rumah.<br />Kuperiksa sandal yang biasa kau gunakan. Masih tergeletak di tempatnya.<br /><br />Aku menuju kamarmu. Gagang pintu kuputar. Terkunci.<br />Kuketuk sambil memanggil-manggilmu pelan beberapa kali. Tak ada jawaban.<br /><br />Aku keluar rumah. Mencoba menangkap sosokmu dari balik jendela kaca dan sela gorden.<br />Gelap.<br /><br />Kuputuskan ke dapur. Kubuka peti perkakas lalu kembali ke tempat semula. Jendela kaca itu berhasil kubuka dengan obeng. Aku memanjat sambil menyibak helai gorden. Kamu masih meringkuk dalam sarung di atas ranjangmu.<br /><br />Kuhampiri dirimu, lalu kupegang kakimu.<br />Terlalu dingin dan kaku.<br /><br />Suara Ibu memanggil-manggilmu dari balik pintu kamar.<br />Aku nyalakan saklar lampu, kemudian kubuka pintu kamar yang masih terkunci,<br /><br />“Bapak meninggal…” kataku coba tegar.<br />Ibu menghambur ke dalam. Memeluk dalam, dengan tangis.<br /><br />Aku keluar mengambil <em>handphone</em>, mengabarkan berita ini ke tiga anak ibu, yang tentu saja anak-anakmu juga, tiga saudaraku yang tinggal terpencar.<br /><br />Satu-satu tetangga berdatangan.<br />Mereka mendengarnya setelah peristiwa ini diumumkan lewat corong mesjid itu.<br /><br />Aku sibuk mengangkat kursi, meminjam karpet, mendirikan tenda buat orang-orang yang akan datang melayat. Itu hingga siang hari.<br /><br />Saat ashar, setelah memandikanmu, kami lalu membawamu ke mesjid. Dishalatkan, lalu dihantarkan ke pemakaman di luar kota.<br /><br />Aku kini di dasar lubang yang sedikit becek digenangi hujan siang tadi.<br />Di atas, orang-orang yang menghantar memberi kami petunjuk tata cara kamu dibaringkan.<br />Kamu pun dibenamkan dengan gundukan tanah merah bekas gali liang itu.<br /><br />Sekembali di rumah.<br />Aku masuk ke kamar mandi. Ingin membersihkan badan.<br /><br />Tiba-tiba, lidahku kelu, bibirku bergetar, dan mataku berkaca-kaca.<br /><br />Aku geram.<br />Aku geram sebab jalan fikiranku selalu tak akur dengan jalan fikiranmu.<br />Sebab usiamu terlalu jauh melebihi aku.<br />Sebab watakmu dan watakku memang keras kepala.<br />Sebab semua isi kepalaku selalu tak berhasil kusepahamkan denganmu.<br />Meski itu barang sediktpun.<br /><br />Padahal begitu banyak resah yang sesungguhnya sangat ingin kubagi denganmu.<br />Tentang dunia dan segala isinya.<br /><br />Seperti jua malam ini.<br />Tiba-tiba, lidahku kelu, bibirku bergetar, dan mataku berkaca-kaca.<br /><em>I miss u</em>…<br /><p style="text-align: center;">* * *</p><br /><p style="text-align: center;"><em>Dedicated to my father</em>:</p><br /><br />Bapak meninggal karena gagal jantung. Di suatu jum’at dini hari (tengah malam). Pulang dalam tidurnya yang sendiri. Di kamarnya yang sengaja ia kunci.<br /><br />Sebab entah mengapa belakangan ia lebih suka tidur tanpa ditemani ibu.<br /><br />Seumpama ditanya, kesan apa yang paling melekat pada dirinya? Saya akan menjawab ‘kejujuran’. Tanpa ada ragu sedikitpun.<br /><p style="text-align: center;"><strong>Kampung Pettarani</strong>, Makassar 8 Oktober 2010.</p><br /><br />sumber gambar: http://sosbud.kompasiana.com/2010/09/20/masihkah-kau-sapa-buku-diarymu/<br /></span>eeduy hawhttp://www.blogger.com/profile/10134103706243294400noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-3934846632721034012.post-24422220995893263822010-12-24T06:59:00.015+08:002011-02-02T11:29:07.092+08:00Catatan Kaki 3 Adegan Bullshit yang Kalau Diterjemahkan Jadinya: Tai Sapi<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://3.bp.blogspot.com/_wgKbOaWKnCI/TRPbOEsZq-I/AAAAAAAAAHI/FKrCYVaZ8SA/s1600/httpchou32.deviantart.comartcow-shit-39694026.jpg"><img style="display: block; margin: 0px auto 10px; text-align: center; cursor: pointer; width: 300px; height: 225px;" src="http://3.bp.blogspot.com/_wgKbOaWKnCI/TRPbOEsZq-I/AAAAAAAAAHI/FKrCYVaZ8SA/s320/httpchou32.deviantart.comartcow-shit-39694026.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5554023800302578658" border="0" /></a><br />BAGIAN 2 :<strong> "teman saya uring-uringan" </strong>(<em>hehehe</em>... syukur, akhirnya ada juga bagian duanya) <strong><br /></strong><br /><br />Teman saya uring-uringan.<br />“<em>Gile aje</em>…kampungannya itu orang!” Gerutu teman saya dengan logat gado-gado.<br />Gara-garanya 2 jam 53 menit yang lalu, depan toko rental DVD, dia tak sengaja ketemu bekas teman SMP-nya. Rekonstruksi kejadian versi teman saya kira-kira begini:<br /><br />“Heeeii…!”<br />“Haaiii…!” balas teman saya sambil memperhatikan sosok bersih, putih, berpakaian necis, sepatu mengkilap, menampakkan seorang karyawan perusahaan besar di depannya ini. Tadinya teman saya tak mengenali. Syukurlah <em>memory</em> otaknya masih disisakan beberapa <em>gygabyte</em> untuk keperluan mengingat masa lalu.<br /><br />Keduanya lalu salaman, saling <em>cengengesan</em>, adu senyum basa-basi.<br />“Dimana<em>ko</em> sekarang?”<br />Mendengar pertanyaan itu, <em>cengengesan</em> teman saya tiba-tiba menciut. Dia tertegun beberapa detik, minta contekan ke <em>memory</em> lagi, buat cari jawaban.<br />Bukan sekali sebenarnya, dia kena todong pertanyaan konotatif penuh bias seperti ini. Dulu, ia jawab tukang lisktrik. Memang itulah keahlian sehari-harinya. Tahu-tahu, pertanyaan susulannya jadi banyak; Bagaimana itu maksudnya? Punya CV ya? Oh, Proyeknya untuk pengadaan listrik gedung-gedung dan perumahan-perumahan ya?<br />Terpaksalah dengan saksama, teman saya menjelaskan kalau jasanya sekedar melayani orderan dari rumah ke rumah. Hasilnya, ekspresi wajah lawan bicaranya jadi kuyu turun gairah seperti kurang darah.<br /><span class="fullpost"><br /><br />Karena itu setelah menimbang, mengingat, memperhatikan serta memutuskan, maka ditetapkan untuk memberi jawaban normatif-diplomatif seperti yang sudah dilakukan sebelum-sebelumnya. Ini demi memenuhi azas ‘hasrat tak mau repot’.<br /><br />“Biasalah bisnis kecil-kecilan, bukan orang kantoran jadi banyakan dirumahlah.”<br /><br />Mantap. Walau sedikit kikuk, teman saya yakin jawaban ini biasanya cukup efektif meredam potensi dampak sistemik timbulnya ‘anak-anak pertanyaan’ <em>ngaco</em> yang melebar <em>gak</em> jelas ke mana-mana.<br /><br />Tapi sekonyong-konyong, air muka teman SMP-nya jadi lain. Sepertinya, jurus “Biasalah bisnis kecil-kecilan…” bekerja tak sesuai naskah.<br /><br />“Ya… begitulah… hidup memang bukan<em>mi</em> lagi main-main…”<br />Alis mata teman saya mulai bengkok mendengar kalimat ini. Perasaannya mulai gak enak. Apalagi tangan teman SMP-nya, kini sudah tak lagi menjabat tangannya. Justru sekarang merangkak ke atas menepuk-nepuk bahunya.<br /><br />“…sampai kapan memang kita mau santai terus. Dulu<em>ji</em> mungkin kita bebas nakal-nakal. Sekarang masa depan harus<em>mi</em> dipikirkan. Bukan <em>meki</em> lagi anak muda. Kalau ingat umur, harus <em>meki</em> memang cepat-cepat kawin. Bukannya apa, nanti kalau terlambat, kita sudah jadi akik-akik pensiunan, eh anak<em>ta </em>malah masih kuliah, belum<em>pi</em> bisa bantu kita orang-tuanya.<br />Eh.. <em>ngomong-ngomong</em> sudah <em>meko</em> menikah ini?” sergah teman SMP-nya.<br /><br />Teman saya hanya bisa kaku. Bibirnya mencoba memunculkan senyum tipis, tapi terasa kecut karena memang dipaksakan. Lalu, baru saja ia mau menjawab “belum menik…,” teman SMP-nya keburu <em>ngacir </em>duluan dipanggil seorang perempuan dari dalam toko.<br /><br />“Oke ya bos… saya ke dalam dulu. Mau carikan mamaknya anak-anak, filmnya <em>The Last Airbender</em>.”<br /><br />Dan bersamaan dengan kalimat terakhir itu, tepukan di bahu teman SMP-nya itu akhirnya berhenti juga. Kata teman saya, kalau ditotal-total, tepukannya sekitar 6 kali. Bahkan mungkin lebih.<br /><br />Karena kejadian inilah, 2 jam 53 menit berikutnya; teman saya uring-uringan.<br /><br />Begini uring-uringannya teman saya versi lengkapnya:<br /><br />“<em>Gile aje</em>…kampungannya itu orang! Ketemu teman, pertanyaan pertama langsung tendensius; “Dimana<em>ko</em> sekarang?”<br />Orang <em>tuh</em> ya, tanya kabar dulu. “Apa Kabar?” Kalau yang bersangkutan jawab “baik,” itu artinya hidupnya ya baik-baik saja. Bukannya tanya “Di mana…?”<br />Seolah-olah, kualitas hidup seseorang itu bergantung apa dan di mana orang kerja. Apa coba maksud air mukanya berubah, pas saya bilang, “Saya bisnis kecil-kecilan.” Tendensius kan yang dipiara di otaknya?<br /><br />Kunyuk… dia pikir kalau pakaiannya <em>necis</em>, sepatunya mengkilap, kerja di perusahaan besar, gajinya jutaan, lantas dia punya hak bisa seenaknya tepuk-tepuk bahu orang yang kerjanya jadi tukang listrik. Apa ada yang salah kalau bisnisnya orang itu kecil-kecilan?<br />Itu lagi… telinga saya dia beraki dengan model ceramah Jum’atan berjudul “Hidup itu bukan lagi main-main maka manfaatkanlah masa muda.” Padahal hari ini hari Rabu <em>loh</em>. Sinting… salah mimbar kali <em>tuh </em>setan kesiangan!<br />Heran saya... tau apa dia dengan masa muda saya? <em>Wong</em>… dia tinggalnya di mana, saya di mana. Seumur-umur setelah SMP dulu, baru dua kali saya jumpa batang hidungnya. Lagian, masa muda saya biasa-biasa <em>aja</em> kok. <em>Ndak</em> terlalu baik, tapi <em>ndak</em> juga terlalu buruk. <em>Ndak</em> pernah tuh jadi maling, apalagi punya niatan ikut-ikutan kelompok <em>Al-Qaedah</em>.<br /><em>Lha</em>… bisa-bisanya dia bilang, “Ya itulah… sampai kapan kita santai-santai terus… nakal-nakal terus… soal masa depan-lah…soal cepat menikah-lah… akik-akik yang anaknya masih muda karena kelamaan punya anak-lah…!”<br /><em>Loe</em> kali <em>tuh</em> yang mudanya <em>gak</em> becus… yang punya cita-cita bikin anak cepat-cepat, biar bisa dijadi<em>in</em> sapi perah bapak. Biar kalau sudah akik-akik, hidupnya bergantung di tetek anak-anaknya.<br /><br />Yang paling kurang ajar… dia seolah-olah menyulap depan toko rental DVD itu jadi ‘pengadilan mini’. Siang-siang bolong begini, tak ada angin apalagi hujan, hidup saya dijadikan tersangka. Padahal nama saya pun dia tak ingat. Tahu tidak dia panggil saya apa?<br />“Oke ya bos… saya ke dalam dulu…”<br />Bos dari Hongkong <em>pala loe</em> peyang…!<br />Mana selera filmnya bikin perut serasa mau <em>boker</em> lagi. <em>Udeh tuir</em> begitu <em>ngebet</em> nonton <em>The Last Airbender</em>.”<br /><br />Nah, selesai sudah uring-uringan teman saya.<br /><br />Sebenarnya, waktu dia ucapkan sendiri, speednya tak kalah gila-gilaannya dengan Valentino Rossi <em>kalo</em> lagi balapan GP. Meliuk-liuk mirip lagu dangdut. Meledak-meleduk kayak tabung gas 3 kg. Cuma, biar dibacanya <em>gak</em> bikin mata <em>nyasar</em> ke sana ke mari, maka kutipan di atas dibubuhi titik koma dan tanda baca lainnya.<br /><br />__________________________<br /><strong>Catatan Kaki Bau Tai Sap</strong>i:<br />Suatu waktu, Teman saya yang uring-uringan itu pernah bilang; Di masyarakat itu ada semacam lomba adu ‘panjat posisi sosial’. Modelnya persis kayak ‘panjat pinang’ pas tujuh-belasan. Yang dikejar ya ‘posisi sosial’ itu .<br />Aturannya cuma satu; tak ada aturan. Takting ‘kepiting’ yang saling mencapit juga sah dilakukan. Saling sikut boleh. Tebas kayu kaki lawan legal. Pura-pura jatuh di kotak penalti juga halal.<br /><br />Kalau posisi sosial telah diraih, orang akan mendapatkan tempat dan perlakuan istimewa di dalam masyarakat. Dihormati, dikagumi, dan dimanggut-mangguti.<br /><br />Posisi sosial itu dianggap identitas. Sampai-sampai mengukur seseorang tak lagi melalui integritas.<br /><br />Saya adalah hakim agung. Saya adalah pengusaha properti. Saya adalah wartawan. Saya adalah bintang film. Saya adalah mahasiswa. Saya adalah presiden. Saya adalah polisi. Saya adalah foto model. Saya adalah aktifis LSM. Saya adalah jenderal. Saya adalah ulama. Saya adalah pilot. Saya adalah dosen. Saya adalah dokter. Saya adalah rockstar. Saya adalah penemu nuklir. Saya adalah putri kecantikan. Saya adalah orang kaya.<br />Begitu cara orang memperkenalkan identitas.<br /><br />Besok-besok, kalau ketemu orang lalu bilang, “Saya adalah petani,” atau “Saya adalah <em>cleaning service</em>,” atau “Saya adalah tukang sate,” siap-siaplah bikin sorot wajah orang lain meredup, alis mengkerut, bibir menciut, pendengaran kabur dan mata berkunang-kunang.<br /><br />Eh... seumpama anda berfikir, yang dimaksud teman saya dengan ‘masyarakat’ itu adalah masyarakat sekitar kita, mungkin anda ada benarnya.<br /><br /><em>To be continued</em> … (tapi seperti biasa, tergantung kondisi lagi... <em>hiks</em>! <strong>: </strong>P )<br /><br />* * *<br /><strong></strong><br /><br />sumbergambar: lupa...hihihihi...yg jelas kayakx di deviantart deh mungutx... <br /><br /><strong>Kampung Pettarani</strong>, Makassar 22 Sepetember 2010.<br /></span>eeduy hawhttp://www.blogger.com/profile/10134103706243294400noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3934846632721034012.post-74219421651891731142010-09-20T00:38:00.020+08:002011-06-11T19:13:00.160+08:00Legenda Hidup dari Kampung Tempat Tinggalku<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://4.bp.blogspot.com/_wgKbOaWKnCI/TJZOnmu5T4I/AAAAAAAAAGo/551ruOgi6vo/s1600/Pakistan_Darvish_Taming_Lion_Tiger.jpg">fe<img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer; width: 222px; height: 320px;" src="http://4.bp.blogspot.com/_wgKbOaWKnCI/TJZOnmu5T4I/AAAAAAAAAGo/551ruOgi6vo/s320/Pakistan_Darvish_Taming_Lion_Tiger.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5518684835708227458" border="0" /></a><br />Sering ia ikut ke gedung olahraga, bilamana menengok rumahnya di kampung kami. Pemukiman kelas ‘menengah cenderung biasa-biasa saja’ di kota ini. Tempat dulu ia juga tumbuh besar.<br /><br />Tapi tidak untuk mengayunkan raket. Bukan untuk bermain bulutangkis. Ia hanya duduk di salah satu sudut bangku, tersenyum geli bila ada kejadian lucu di tengah lapangan. Sesekali ia mengusap jenggot lebatnya, ataukah membetulkan kuncir rambut gondrongnya yang kuning keemasan oleh pewarna rambut.<br /><br />Bukan berarti pula ia tak pandai bulutangkis. Ia mahir. Malah dulu, di masa usianya dua-puluhan, tiap perayaan tujuh-belasan kerap ia tampil sebagai juara. Si pemilik <em>jumping smash</em> keras, begitu ia kesohor di kampung kami. Tentulah jika malam ini ia bermain, paling tidak jejak-jejak kelihaiannya masih membekas.<br /><br />Yang tak kalah hebatnya, saat itu ia sebenarnya adalah atlit voli pantai profesional. Sebagaimana atlit, masa mudanya mengalir dari satu kejuaraan ke kejuaraan lainnya. Kadang ia berada di Lombok, Ambon, Manado, ataukah Bali. Dari satu tepi pantai ke tepi pantai lainnya. Bertanding di ajang PON ataukah Kejurnas. Beberapa <em>trophy</em> masih terpajang di rumah orangtuanya, di kampung kami yang biasa-biasa saja.<br /><br /><span class="fullpost"><br />Lama-lama usianya kian bertambah. Kondisi kebugarannya tak segesit dulu lagi. Karir atlitnya beralih menjadi karyawan di salah satu kantor cabang perusahaan penjualan mobil yang letaknya ratusan kilo dari kota ini.<br /><br />Walau waktu itu terpaksa hidup jauh dari rumah, tetapi tali hubungan terikat erat di tiang nadi kehidupan keluarganya. Beberapa tahun sebelumnya, ayahnya berpulang. Sebagai anak lelaki tertua, ia harus menjadi motor penggerak bagi ibu dan ketujuh saudaranya yang lain. Ia tumpuan sekaligus nahkoda bagi perahu keluarga.<br /><br />Segala kebutuhan sehari-hari maupun keperluan sekolah adik-adiknya ia penuhi. Peran yang ditinggalkan ayahnya berusaha dilakoni dengan baik dan sungguh-sungguh.<br /><br />Syukur karirnya kian menanjak. Tumpuan itu semakin lama semakin kokoh. Ia lebih mapan. Kami masih ingat, murah-hatinya ia jika membelikan barang yang diidam-idamkan adik-adiknya. Tak tanggung-tanggung, ia hanya akan membungkus yang terbilang kualitas bagus. <em>Made in</em> luar negeri adalah kesukaannya. Sebab ia punya semboyan ‘lebih baik bayar mahal untuk mutu bagus ketimbang murah tapi sehari <em>keok</em>’. Pun tak jarang, kami para tetangganya kecipratan <em>traktir</em>an beramai-ramai bila ia kebetulan datang.<br /><br />Perahu itu kini bisa berlayar dengan tenang. Tak lama, ia pun menikah dengan seorang gadis di kota tempatnya bekerja dan dikaruniai 2 anak. Semua berjalan dengan baik. Rumah dan mobil pribadi meski sederhana, dimiliki. Tak lupa, Ibunya ia berangkatkan ke hadapan Ka’bah untuk menunaikan rukun islam yang kelima. Peran yang ditinggalkan ayahnya dilakoninya dengan baik dan sungguh-sungguh. Sungguh-sungguh baik malah.<br /><br />Hingga sekitar tujuh tahun yang lalu. Tak ada angin apalagi hujan, tiba-tiba saja ia memutuskan berhenti dari pekerjaannya. Kemudian meninggalkan rumah dan seluruh isinya. Hijrah ke sebuah dataran di perbatasan kota ini. Memilih hidup baru secara sederhana, bersama dengan sebuah komunitas islam bernama <em>An-Nadzir</em>*.<br /><br />Di tempat baru itu, bersama dengan komunitasnya, ia harus memulai bertani, berkebun, dan memelihara tambak ikan untuk menghidupi kehidupan bersama. Setiap orang harus memotong pohon di hutan untuk dijadikan tiang-tiang rumah tempat berteduh.<br /><br />Tak ada yang bisa mengira akan keputusannya ini. Tidak saudara-saudaranya, ataukah istrinya, bahkan ibunya sendiri. Semua tiba-tiba terjadi begitu saja.<br /><br />Dan seperti biasa, perdebatan pun bermunculan. Yang di dalam rumah apalagi yang di luar rumah. Orang-orang sekampung kami, meski ributnya tak sampai macam petasan meletus, tapi mulut-mulut usilnya tak tahan ikut bisik-bisik. Bergunjing pagi dan sore hari, persis acara gosip di tivi-tivi.<br /><br />“Besar kemungkinan komunitas ini aliran sesat, karena tak menyeimbangkan urusan duniawi dan akhirat,” begitu bunyi argumen yang bercokol di balik sebagian besar batok kepala orang-orang di kampung kami waktu itu.<br /><br />Tetapi hatinya <em>haqul-yaqin</em>. Tak pernah sekalipun ia terlihat menyinggung soal keputusannya itu. Apalagi berusaha meyakinkan siapapun yang ia jumpai, bahwa apa yang ditempuhnya adalah beralasan. Ia seperti telah memperkirakan kondisi ini sebelumnya, tapi tak mau menggubrisnya.<br /><br />Ia telah pasrah terhadap konsekuensi terberat apapun yang harus diterima. Itulah mengapa isteri dan anaknya ia titipkan kembali ke orangtua (mertuanya). Ia telah bersiap, “Jika dalam suatu keluarga, istri atau anak-anak tak lagi mempercayai pemimpinnya, maka pemimpin harus ikhlas memeberikan kebebasan jalan baginya untuk menentukan pilihan,” itu yang pernah ia ucapkan bertahun-tahun kemudian. Meski saat itu pertanyaan kami bukan dimaksudkan ihwal istrinya, melainkan soal pandangannya tentang sebuah keluarga. Namun bagi kami, kalimat ini sekaligus menjawab soalan istrinya waktu itu.<br /><br />Kini tujuh tahun telah berlalu. Pelan-pelan, perahu-perahu itu mulai menemukan air tenang. Semakin lama semakin tenang. Peran yang ditingalkan ayahnya berpindah ke tangan lain. Malah peran itu terasa tak berasa, sebab hampir semua saudaranya melakoninya dengan baik. Tumpuan keluarga kini tak lagi diemban satu orang. Setidaknya enam orang saudaranya sekaligus telah menggantikannya sebagai nahkoda.<br /><br />Sampannya sendiri, meski hanya terbuat dari kayu sederhana hasil tebangannya dan orang-orang sekomunitasnya, terus berlayar tegak menantang lautan. Beberapa tahun terakhir, anak dan isterinya telah berkumpul dengannya di dataran perbatasan kota itu. Namun, sama sekali bukan berarti ia dan istrinya merajut kembali hubungan, sebab mereka memang tak pernah berpisah.<br /><br />Tentang pernikahannya waktu itu, sekali lagi, ia hanyalah menitipkan isteri dan anaknya ke orangtua (mertuanya). Sifatnya hanyalah sementara, tentulah sewaktu-waktu ia berhak memintanya jika semuanya memang bersedia.<br /><br />Tadi siang kami lewat depan rumah orangtuanya, di kampung kami yang biasa-biasa saja. Ia berjongkok menyikat tembok pagar rumah itu dengan air. Tinggal hitungan hari lagi Idul Fitri datang. Seperti tahun-tahun kemarin, itu pertanda ia bermaksud mengecat tembok rumah itu, biar penampilannya semakin cerah.<br /><br />Selepas maghrib kami bertemu adiknya. Kami menanyakan, kapan kiranya Kakak Tom datang, sedari dulu kami memanggil abangnya dengan nama itu.<br /><br />“Kemarin sore. Eh, dia bawa ikan dari tambaknya banyak, besar-besarnya lagi. Coba malamnya kau ke rumah, pasti kau dapat<em>ki </em>acara bakar-bakar ikan di pekarangan,” seru adiknya yang sehari-harinya memang sepergaulan dengan kami.<br /><br /><br /><br />Sekonyong-konyong, tawa terpingkal-pingkal menyeruak sampai ke langit-langit gedung. Pasalnya, salah satu dari kami terbaring menjatuhkan diri di tengah lapangan karena tergopoh-gopoh berusaha mengambil <em>dropshot</em> lawan yang melesat tipis di bibir net. Semua yang melihatnya pasti tertawa. Adegan itu memang sungguh lucu.<br /><br />Tak terkecuali dirinya, yang berada di salah satu sudut bangku, sembari berkomentar mengenai kejadian itu, dengan salah satu dari kami yang kebetulan duduk di sebelahnya. Sesekali ia mengusap jenggot lebatnya, ataukah membetulkan kuncir rambut gondrongnya yang kuning keemasan oleh pewarna rambut.<br /><br />Pakaian yang dikenakannya sangat sederhana. Teramat sederhana. Celana gombrangnya berbahan kain. Panjangnya tak melebihi mata kaki. Di ujung lipatan bawahnya, tampak ada bagian benang yang dijahit tangan. Kali ini ia memadukannya dengan topi rimba di kepala, yang warnanya telah memudar.<br /><br />Tak ada yang bisa mengira akan keputusannya waktu itu. Tidak itu saudara-saudaranya, istrinya, bahkan ibunya sekalipun. Apalagi kami yang cuma adik-adik tetangganya. Bahkan bertahun-tahun hingga sekarang, bila mendengar kisah ini, masih saja ada yang pikirnya tak bisa habis.<br /><br />Dulu, lain waktu di gedung olahraga ini, dia pernah berkata, “Segala sesuatu (kejadian) itu hanyalah keinginan Allah, sebab tak ada sesuatu pun yang memang bukan miliknya.”<br />Seperti halnya malam ini, bila melihatnya tertawa geli di sudut bangku itu, selalu mengingatkan tentang Ibrahim Ibn Adham* dan Sidharta ‘Buddha’ Gautama.<br /><br />Demikian tentang legenda hidup dari tempat tinggalku.<br /><br /><br />***<br />Kampung Pettarani, 2 Sepetember 2010<br /><br />sumber gambar: blepot.com - <span style="font-style: italic;">tittle </span><span>"Pakistan Darvish Tamin"<br /><br />___________________<br />*<strong>Komunitas <em>An-Nadzir</em></strong> adalah sebuah kelompok muslim yang mungkin jumlahnya sekarang mencapai 300an orang. Mereka hidup <em>commune</em> di kawasan Mawang, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, dekat dengan perbatasan Kota Makassar.<br />Komunitas ini memiliki ciri khas dari sisi penampilan, kaum lelaki berambut gondrong berwarna pirang. Sementara, kaum perempuan memakai cadar. Pakaiannya selalu berwarna hitam-hitam.<br />Pada dasarnya, mereka menghidupi diri dengan mengelola sawah, kebun dan tambak ikan. Namun kabarnya juga membuka bengkel dan dan usaha penyulingan air galon.<br /><br />*<strong>Ibrahim ibn Adham</strong> atau lebih lengkapnya Abu Ishaq Ibrahim Ibn Adham adalah seorang legenda darwish dalam wiracarita sufisme. Seperti juga ‘Buddha’ Gautama yang tadinya seorang pangeran kerajaan, ia adalah pewaris tahta keturunan Arab Kerajaan Balkh.<br />Yang diceritakan orang-orang suci (wali), meski dunia di bawah kekuasaannya, meski 40 pedang emas dan 40 tongkat emas selalu mengiringi depan serta belakangnya, tetapi semuanya urung menghalangi bisikan hatinya.<br />Suatu waktu, setelah pertemuan misteriusnya dengan seseorang di atap rumahnya pada tengah malam buta, serta dialognya dengan lelaki asing di dalam istananya, hati Ibrahim Ibn Adham menjadi gelisah. Konon, lelaki di atap rumah dan di dalam istananya itu tak lain adalah Nabi Khidhr as.<br />Hingga akhirnya, ketika bisikan hatinya telah paripurna, ia lalu menghampiri seorang gembala domba. Diberikannya jubah bersulam emas serta mahkota bertahta permata yang biasa ia kenakan, kemudian ia berganti dan mengenakan pakaian dan penutup kepala sang gembala yang terbuat dari bulu hewan.<br />Syahdan, saat itu semua malaikat seraya berdiri memandang Ibrahim Ibn Adham.<br />“Betapa agung kerajaan yang kini dimiliki Ibn Adham,” ujar para malaikat.<br />“Ia telah membuang pakaian dekil duniawi, dan kini mengenakan jubah agung kemiskinan.”<br />Ibrahim Ibn Adham, seorang legenda sufi, lalu memilih menghilang dari Kerajaan Balkh, dan mengembara ke arah barat untuk menjalani kehidupan sebagai pertapa (asketisme). Dengan dan dalam kealpaan harta.<br />Dalam riwayat sufisme, ia akhirnya syahid di tahun 165 H/ 782 M dalam sebuah ekspedisi laut melawan pasukan Byzantium. </span></span>eeduy hawhttp://www.blogger.com/profile/10134103706243294400noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3934846632721034012.post-63915974856167107302010-09-20T00:05:00.004+08:002010-09-20T00:31:38.711+08:00“Siapa Yang Bilang Kita Telah Merdeka!”<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://2.bp.blogspot.com/_wgKbOaWKnCI/TJY5Sq1rUXI/AAAAAAAAAGY/CJdoIfIMBpM/s1600/bendera_merah_putih+xxxxx.JPG"><img style="float: left; margin: 0pt 10px 10px 0pt; cursor: pointer; width: 200px; height: 160px;" src="http://2.bp.blogspot.com/_wgKbOaWKnCI/TJY5Sq1rUXI/AAAAAAAAAGY/CJdoIfIMBpM/s200/bendera_merah_putih+xxxxx.JPG" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5518661386288976242" border="0" /></a><br />Syamsul sebenarnya <em>pin-pin-bo</em>, alias ‘pintar-pintar bodoh’. Dibilang pintar ya iya juga, dibilang bodoh ya iya juga.<br /><br />Pintarnya, meskipun masih duduk di kelas 2 SMP, syamsul wawasannya luas. Dia hobi baca. Kalau lagi semangat-semangatnya, bekas koran yang dipakai Kang Udin buat bungkus kacang goreng dipelototi juga sambil manggut-manggut. Walhasil, dibanding teman-temannya di kelas, omongan Syamsul kadang suka aneh sendiri. Ciri-ciri anak kritis.<br /><br /><em>Nah</em>, bodohnya, Syamsul suka kurang perhitungan. Padahal, di rapor matematikanya bagus <em>lho</em>. Mulut nyinyirnya ini, kadang asal tubruk saking kelewat jujur dengan isi kepalanya. Suka <em>asbun-sektu</em>, alias ‘asal bunyi sembarang waktu’. Kalau dalam bahasa jawanya; <em>timing</em> Syamsul sering kurang pas. Apa yang dipikirkan selalu dibuat kompak dengan bibirnya.<br /><span class="fullpost"><br />Kejujuran Syamsul itu mungkin bawaan kandungan. Soalnya, waktu sedang dihamilkan, emaknya <em>ngidam</em> kue ‘cucur’ (<em>lha</em>… apa hubungannya?).<br /><br />Tapi kalau bukan, pasti hasil didikan almarhum bapaknya. Maklum, tiap mau tidur dan bangun pagi, si bapak tak pernah alpa mengingatkan, “Hanya satu yang membuat orang selamat Sul, jujur dan iman. (<em>whooaaalaaaah</em>… itu sih bukan satu pak…!!!).<br /><br />Dan wasiat itu memang bekerja efektif. Terhadap jualan pisang goreng Bu Warsih kantin, Syamsul menjadi satu-satunya murid laki-laki yang tak pernah sekalipun menerapkan jurus <em>katga-kutu</em>, alias ‘sikat tiga <em>ngaku</em> satu’. Ia tumbuh sebagai anak yang jujur. Kelewat jujur malah.<br /><br />Tak pernah terlintas di kepala Syamsul untuk berbohong. “Faedahnya sama sekali <em>gak</em> ada…” pikirnya. Saking antinya dengan yang namanya bohong, dalam hati Syamsul berjanji, tak akan pernah bibirnya menghianati isi kepalanya. Maka, bersama ikrar kesetiaannya ini, omongan Syamsul suka bebuah bumerang.<br /><br />Seperti di kelas kemarin, penyakit Syamsul kumat lagi. Ceritanya, guru sejarah Syamsul menjelaskan soal Proklamasi. Biasalah kalau bulan Agustus, bukan cuma umbul-umbul yang muncul musiman di gang-gang. D kelas juga dijangkiti euforia merah-putih.<br /><br />Iseng-iseng atau entah apa namanya, tiba-tiba gurunya lempar pertanyaan ke Syamsul, “Coba Syamsul, tanggal berapa proklamasi kemerdekaan dibacakan Bung Karno?” begitu bunyi pertanyaannya.<br /><br />Syamsul tiba-tiba tersentak, diam lumayan lama. Diamnya Syamsul, bukan lantaran dia sulit menemukan jawaban. Pikirannya bercabang dua.<br /><br />Cabang yang pertama : “<em>Nih</em>, guru <em>goblok</em> apa salah tingkah ya? Padahal <em>udeh</em> tahunan <em>ngajar</em> di sekolah ini. Masa <em>sih</em> masih kena <em>syndrome</em> kikuk, macam guru baru di hari pertama <em>nginjak</em> kelas. Pertanyaannya kok begitu ya? <em>Whooiii</em>… Pak Guru kalau pertanyaannya begini <em>sih</em>, bocah kelas 1 SD juga bisa jawab <em>kalee</em>…” seperti itu pikiran Syamsul keheranan.<br /><br />Cabang yang kedua : <em>Nah</em>, ini lain lagi. Isinya agak lebih panjang. Hanya saja, bibir Syamsul terlanjur bulat lebih memilih cabang ini untuk diucapkan sebagai jawaban pertanyaan Pak Guru.<br /><br />“Siapa bilang kita telah merdeka?”<br />Sontak siswa sekelas <em>ngakak-ngakak</em> mendengar jawaban Syamsul yang ternyata berupa pertanyaan. Mata Pak Guru sendiri ikut-ikutan membelalak kaget. Tak menyangka jawaban Syamsul seperti itu.<br /><br />“Alasa…”<br />Baru saja Pak Guru mengucapkan awalan tersebut, bermaksud menayakan alasan Syamsul berkata demikian, yang bersangkutan sudah langsung <em>nyerocos</em> duluan melanjutkan kalimat pertamanya tanpa ada lagi yang bisa membuatnya jeda.<br /><br />“Bagi saya, sampai hari ini kita belum merdeka. Merdeka itu artinya bebas dari penjajahan. Sementara penjajahan itu adalah pemaksaan perilaku tidak adil dari pihak yang menjajah ke pihak lain.<br /><br />Contohnya Belanda. Dia datang bawa bedil. Memaksa mengatur hasil bumi kita. Memaksa orang-orang kita melakukan kerja rodi. Itu jelas ketidakadilan. <em>Nah</em>, sekarang Belanda sudah pergi. Tapi itu bukan berarti penjajahan ikut-ikutan pergi. Ketidakadilan ikut-ikutan pergi.<br /><br />Penjajahan masih tetap tinggal di negeri kita. Cuma, kali ini pelakunya tidak berkulit putih seperti Raymond Pierre Paul Westerling. Pelakunya sama seperti kita juga, berkulit sawo matang. Makannya sama seperti kita juga, nasi dan tempe, bukan roti dan keju. Tapi kelakukannya <em>sebelas-duabelas</em> dengan pembantaian Westerling di Makassar 1946 lalu.<br /><br />Kalau dulu gara-gara penjajah, nasib rakyat jadi kelaparan. Sekarang ya hampir sama saja. Buktinya, masih banyak yang sekarang makan tiwul dan nasi <em>aking</em>. Lauknya kalau bukan krupuk ya air mata.<br /><br />Orang miskin banyak. Lihat grafik angka pengangguran tiap tahun, kejar-kejaran dengan jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT). Cari kerja susah, kena PHK yang gampang. Tiap bulan pasti ketemu.<br /><br />Buntutnya kriminalitas marak terjadi. Tak kenal tempat apalagi waktu. Modusnya macam-macam. Itu tandanya, perut memang makin banyak yang keroncongan.<br /><br />Ekonomi susah. Petani susah berkembang. Dulu <em>meneer </em>Belanda memonopoli dan memaksakan harga. Sekarang bentuk akal-akalannya lain, tapi intinya sama <em>doang</em>. Bila musim tanam, harga pupuk naik. Pas musim panen, harga jual langsung menurun. Apa namanya ini kalau bukan pengaturan harga.<br /><br />Mau dagang susah. Daya beli masyarakat <em>megap-megap</em>, senin-kamis lagi. Perusahaan perkreditan menjamur, padahal sekarang musim kemarau. Jangankan mobil atau motor, hari <em>genee</em> kipas angin bisa dikredit.<br /><br />Harga-harga naik. Tarif listrik naik. Bensin naik. Minyak tanah apa lagi. Air PAM juga tak mau ketinggalan. Bahkan hebatnya <em>sodara-sodara</em>, cabe naik pula.<br /><br />Jaman Belanda dulu, banyak granat meledak dan senapan meletus. Sekarang <em>sami mawon</em>. Lihat acara kriminal di tivi-tivi. Sedikit-sedikit berita residivis tersungkur di<em>do</em>r aparat. Gedung-gedung <em>ringsek </em>diledakkan bom teroris.<br /><br />Paling dahsyat temuan bom mutakhir model terbaru: tabung elpiji 3 kg. Tak tanggung-tanggung puluhan nyawa sudah merasakan kedahsyatannya. <em>Nah</em>, ajaibnya sebentar lagi harga bom tabung elpiji ini bakal dinaikkan juga. <em>Astagfirullah</em>.<br /><br />Bukannya sekarang ada wakil-wakil rakyat yang akan membela?<br />Orang-orang di senayan politiknya ya politik Belanda juga. Kalau dulu politiknya ‘adu domba’, sekarang dimodifikasi sedikit ’serigala berbulu domba’. Tukang hisap rakyat. Sedikit-sedikit tunjangan ini-itu dinaikkan. Mau bikin rumah aspirasi, minta anggaran tinggi-tinggi. Giliran sidang, mending kalau tidur seperti di lagunya<em> Bang</em> Iwan Fals, ini batang hidungnya yang <em>gak</em> <em>nongol-nongol</em>, alias <em>mbolos</em> macam anak sekolahan.<br /><br />Politiknya, politik hisap rakyat. Partai pendapatnya tergantung ke mana angin berhembus. Kalau merugikan Partai di tentang habis-habisan. Kalau menguntungkan, dibela mati-matian. Buntut-buntutnya transaksi politik.<br /><br />Contoh waktu <em>Century Gate</em>, saat rapat paripurna menentukan sikap, salah satu partai pilih opsi ‘kasus ini diusut’. Giliran 2 bulan berikutnya, suaranya sudah putar haluan 180 derajat. “Kasus ini masukkan peti saja dulu,” begitu kilahnya. Politik ’serigala berbulu domba’, pikirnya untuk diri sendiri. Rakyat <em>sih</em> “selamat tinggal”.<br /><br />Anehnya, tak satupun penjajah-penjajah masa kini ini yang masuk bui. Itu karena polisi kegemarannya cuma satu, makan uang suap. Macam polisi yang ada di film-film India. Hobi Jaksanya juga sama. Hakimnya ikut-ikutan. Pengacaranya mafia kasus. Di rekaman Anggodo, pengakuan Gayus Tambunan, Jaksa Urip, atau nyanyian Susno jelas mendendangkan lagu, banyak praktek suap di tata peradilan. Malah bisa bikin kamar hotel, tempat<em> spa</em> atau karaoke <em>room</em> di ruang tahanan LP.<br /><br />Yang bermental korupsi-nepotisme, persis seperti anjing-anjing Belanda di jaman dulu, lebih banyak lagi sekarang. Dari urusan KTP di kantor lurah, pembangunan infrastruktur, hingga penggelapan pajak. Semunya punya budaya satu; tak punya malu. Mau kaya- raya agar terpandang. Jadinya halalkan segala cara.<br /><br />Mau bersuara lantang menantang Belanda? Siap-siap di bungkam. Syukur-syukur kalau cuma dilemahkan seperti KPK, atau kena tonjok orang tak dikenal macam Tama Satya Langkun (aktifis ICW).<br /><br />Kalau nasibnya kayak Munir, yang diracun di udara, lalu misteri kasusnya tak terkuak karena disembunyikan, ya terpaksa dibawa ke masjid. Seperti biasa, mengadu kepada Tuhan YME saja. Kemudian lagu ‘Gugur Bunga’ dilantunkan. Daftar Pahlawan Kemerdekaan yang mati (di)sia-sia(kan), tambah satu lagi.<br /><br />Yang namanya pahlawan, jaman sekarang hanya bisa mengurut dada, terima nasib. Tak usah jauh-jauh, yang senior veteran angkatan pejuang 45 saja, tiap malam tidurnya tak bisa nyenyak. Bukan lantaran Agresi Militer Belanda jilid III yang membonceng NICA mau datang lagi. Melainkan was-was sama Pol PP yang siap-siap menggusur rumah dengan pentungan.<br /><br />Ini belum soal prestasi olahraga kita yang suka bikin malu. Soal TKI yang selalu di<em>cuek</em>i. Atau soal seringnya insiden pelecehan oleh pihak Malaysia di perbatasan.<br /><br />Kalau sudah begini, <strong>siapa yang bilang kita telah merdeka!</strong>”<br /><br />Alhamdulillah, khutbah Ju’mat<em>an</em> Syamsul selesai juga. Teman-teman Syamsul yang sebelumnya <em>ngakak-ngakak</em>, kini terpaku kaku sambil menatap tak percaya ke arahnya. Sebagian di antara mereka, bahkan tak sadar kalau air liurnya menetes. Sama sekali bukan karena paham apalagi takjub dengan isi kalimat Syamsul.<br /><br />“ini anak kesurupan jin apa…??? <em>Ba..bi..bu..ngomong</em> tak jelas mirip orang rapal mantra. Main krasak-krusuk <em>aja</em> tak kenal titik-koma,” itu yang serempak ada di kepala teman-teman Syamsul.<br /><br />Pak Guru sendiri malah mematung. Mulutnya masih <em>mangap</em>. Nanti lima menit, baru bisa sadar diri, ketika seekor lalat terbang di dekat pipinya.<br /><br />Dan lima menit kemudian pula, Syamsul sudah harus berdiri di depan kelas hingga lonceng pulang berbunyi. Syukur, kali ini tak pakai angkat satu kaki, sambil kedua tangan disilangkan ke telinga.<br /><br /></span><div style="text-align: center;"><span class="fullpost"><strong>* * *</strong></span><br /><span class="fullpost"><strong></strong></span></div><span class="fullpost"><strong><br /></strong></span><div style="text-align: center;"><span class="fullpost"><strong>Dedicated to:</strong></span><br /><span class="fullpost">Generasi hari esok, mereka yang pernah menduduki senayan di tahun Reformasi 98. Yang nantinya akan mengambil bagian dalam usaha mengusir penjajah model baru. Generasi baru wajib lebih adil.</span><br /></div><span class="fullpost"><br /><strong><br />Kampung Pettarani, Makassar </strong>19 Agustus 2010<br /></span><span style="font-weight: bold;"></span>eeduy hawhttp://www.blogger.com/profile/10134103706243294400noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3934846632721034012.post-50019020511315453972010-09-10T02:59:00.015+08:002010-09-20T00:28:57.158+08:001 Syawal 1431 H, Mengucapkan “Selamat Menunaikan Ibadah Puasa”<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://1.bp.blogspot.com/_wgKbOaWKnCI/TIkvi9uehVI/AAAAAAAAAGQ/bWLAvHPkMPQ/s1600/ktupat+x.JPG"><img style="display: block; margin: 0px auto 10px; text-align: center; cursor: pointer; width: 320px; height: 224px;" src="http://1.bp.blogspot.com/_wgKbOaWKnCI/TIkvi9uehVI/AAAAAAAAAGQ/bWLAvHPkMPQ/s320/ktupat+x.JPG" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5514991496423441746" border="0" /></a><br /><em>Kamis, 30 Ramadhan 1413 H.<br />Di atas tembok depan Benteng Rotterdam. Dua menit sebelum toa Mesjid di sana itu memperdengarkan bunyi-bunyian bedug digebuk.</em><br /><br />Sore kali ini, cerah. Padahal, siangnya hujan. Berturut-turut tiga hari lalu juga. Langit di ufuk, biru membaur kuning serta merah menyala. Kumpulan riak awan jadi hiasan pemanis. Sedikit lagi, horizon menelan utuh benda bulat berwarna emas itu. Pantai Losari mengalun tenang. Camar terbang bersahut-sahutan.<br /><br />Kalau saja momen ini perempuan, lutut ini pasti langsung sujud bilang “<em>I luv U</em>… hidup matiku kuserahterimakan padamu!” <em>Ora urus</em>, kalau hati perempuan ini ternyata BBT (alias beda-beda tipis) dengan Medusa. Gampang, belakangan diatur.<br /><span class="fullpost"><br />Ini mungkin– sekali lagi mungkin– pertanda kuasa Tuhan. Di buka puasa terakhir, alam kembali ceria. Seolah siap menyambut sesuatu dengan hati gembira. (<em>Tuuueeeennngg</em>… model tanda-tanda kekuasaan yang berkesan <em>maksa</em>. Tepatnya dipaksa-paksa<em>in</em>! <em>Sunset</em> Losari <em>mah</em> lanskapnya dari dulu juga <em>emang</em> begitu <em>kalee</em>…!)<br /><em>Hihihihi</em>… <em>bodo’ </em>amat <em>kalee</em>!!! Kan… di atas <em>udeh ngomong</em> duluan: m+u+n+g+k+i+n… alias bersin! <em>Bwuuueeeekk</em>…^_^<br /><br />Sebentar lagi, di segenap penjuru takbir berkumandang. Iring-iringan mobil hias, berparade keliling kota. Di atasnya, bedug dipukul bertalu-talu. Anak-anak kecil berlarian membunyikan petasan. Orang-orang berdesakan di toko pakaian, berburu diskon tengah malam. Lalu laksana bunga, kembang api beradu bintang menghias angkasa malam. Besok lebaran (versi pemerintah).<br /><br />Sedari pagi tadi, ibu-ibu telah sibuk di dapur. Buku primbon warisan nenek-moyang, keluar sarang menerapkan jurus-jurus resep terbaik. Toples berisi <em>nastar dan putri salju</em>, malahan sudah sejak kemarin berjejer rapi di dalam lemari. Bersama dengan botol-botol sirup atau minuman ringan bersoda.<br /><br />Ketupat dimasak di panci besar. Sekalian dengan buras ikut serta. Paling bagus dimasaknya dengan kayu bakar. Aromanya lebih alami. Pasangannya kari ayam atau soto.<br /><br />Ada juga yang masih setia membuat<em> lappa-lappa </em>dan <em>lopis</em>. Penganan khas Bugis-Makassar, semacam lontong tapi dibuat dari beras ketan hitam atau putih. <em>Lappa-lappa</em> dibungkus daun kelapa, sementara <em>lopis</em> daun pisang. Dimakan dengan <em>bajabu</em> (abon ikan). Biasa juga dengan kelapa yang disangrai dengan sedikit ikan sunu yang dihaluskan sebagai perasa.<br /><br />Tapi paling enak, kalau disantapnya dengan ayam <em>likku</em>. Ayam yang dimasak dengan santan dan lengkuas hingga kering. <em>Trus</em>… ayamnya ayam kampung. <em>Mm</em>h… te-o-pe sudah!<br />Sehari sebelum lebaran, ayam ramai <em>nongkrong</em> di kiri-kanan jalan besar. Tinggal pilih, mana yang ‘beruntung’ dibawa pulang. Kaki dan kepala dibasuh air, pisau dapur diasah sampai tajam, lalu ucap <em>basmalah</em>. <em>Sreeeett</em>… darah muncrat dari leher ayam.<br /><em></em><br /><em>Hahaha</em>… kasian si ayam. Dipikir-pikir, inilah hari dimana peristiwa ‘bengis’ penggorokan tenggorokan bangsa ayam oleh tangan manusia, paling massal terjadi. Setiap tahun pula. Paling brutal tentu negara kita. <em>Wong</em>… penduduk muslimnya terbesar di dunia.<br /><br />Mari berhiperbola; kalau saja setiap rumah tangga muslim Indonesia, acara sembelih ayamnya disatukan di Pantai Losari. Mungkin hamparan air tenang ini, bakal mengental berwarna merah. Selat Makassar mandi darah. (<em>Wuuiidiiihh</em>… sadis juga <em>nih</em> lebaran!).<br /><br />Besok Lebaran! Pagi buta, orang-orang mandi dan bergegas. Dari balita sampai aki-aki. Semuanya pakai sarung dan peci. Menuju surau atau mesjid. Memenuhi lapangan atau jalanan. Sujud 2 rakaat, lalu kembali ke rumah masing-masing sambil bersalaman. Ribuan lembar koran pengalas adalah sisa-sisa jejaknya.<br /><em>Eiitt</em>… hampir lupa. Tumpukan piring berlemak bekas opor dan kari ayam, <em>plus</em> potongan-potongan daun pandan anyaman ketupat adalah jejak-jejak yang lain lagi. Cuma mereka adanya sejam kemudian di meja makan.<br /></span><div style="text-align: center;"><span class="fullpost"><br />* * *</span><br /></div><span class="fullpost"><br />Kumandang takbir, parade mobil hias, petasan, kembang api, diskon toko pakaian, sirup, minuman ringan, <em>nastar</em> dan <em>putri salju</em> di toples, sarung, peci, baju koko, baju baru, THR, bagi-bagi <em>angpao</em>, saling bersalaman, ketupat, opor ayam, kari ayam, ayam goreng, semuanya adalah simbol-simbol lebaran.<br /><br />Tentulah simbol bukan esensi. Melainkan makna di balik simbol itu. Tak perlu <em>semiotika</em> (ilmu tentang tanda), untuk memahami bahwa lebaran bukan semata berarti makan ketupat dan opor ayam dengan memakai baju baru.<br /><br />Simbol hanyalah sekedar penanda untuk hadir sebagai wakil dari sesuatu yang lain. Sesuatu bernama makna, tentang fitrah yang baru (idul fitri). Setelah mensucikan diri melalui kontemplasi asketis (puasa) satu bulan lamanya. Menahan lapar, dahaga, nafsu hingga amarah.<br /><br />Maka ketupat hanyalah tanda yang mewakili suatu kemenangan, keberhasilan menjalani semua itu.<br /><em>(Anyway</em>, kok kedengarannya tiba-tiba jadi serius mirip ceramah dosen di ruang kuliah <em>gini</em> ya…? Ah… e-ge-pe!)<br /><br />Nah, hanya saja, dan sesungguhnya (<em>tuh</em> kan… makin ribet berbelit-belit <em>dah ngomong</em>nya!), ramadhan itu pun semata-mata sebuah simbol belaka. Ramadhan hanyalah satu di antara sekian bulan yang sengaja dipilih (dihadirkan) untuk mewakili 11 bulan lainnya. Sama seperti opor ayam mewakili Idul Fitri. Atau pepatah ‘ada udang di balik batu’. Yang penting bukan ‘udang’nya, melainkan ‘di balik batu’nya. (nah <em>lho</em>… bingung kan? Yang <em>nulis aja ora ngerti </em>maksud dan juntrungan<em>e opo re</em>k…!)<br /><br />Oke kita ganti contoh: (Kode DW <em>mode on</em>) misalnya simbol ‘lampu merah’. Yang terpenting dari konteks ini, tentu saja bukan lampu yang mengeluarkan cahaya warna merah itu, tapi apa konsep (makna) di baliknya. Konsep yang tidak lain ingin mengatakan, ‘jangan jalan/<em>nyebrang</em> dulu’ alias <em>stop</em>. Soalnya, kalau <em>ngotot</em> juga, tanggung sendiri akibatnya bila ban metromini disusul roda raksasa tronton, <em>nggilas</em> batok gundul sampean hingga terburai, macam buah semangka yang dijatuhkan dari lantai 14 gedung Hotel Indonesia.<br />(Bagaimana? Sepertinya contoh ini cukup jelas. Jelas-jelas berbau <em>horror </em>menjurus sadisme maksudnya. <em>Hiks</em>! ^_^… Kan <em>udeh </em>di<em>warning </em>kode DW. Maksudnya ‘hati-hati bukan untuk konsumsi anak-anak’)<br /><br />Jadi, jika kita tarik garis lurus dari koordinat x menuju y… (<em>ups</em>! Maaf <em>ngaco</em>. Sabar… <em>ta’ liat</em> dulu di halaman berapa contekan saya. <em>ckliik</em>… <em>ckliik</em>… bunyi kertas dibolak-balik) Oke <em>nemu </em>sudah!). Jadi, singkatnya, bukan ramadhan-nya yang penting, atau dalam kalimat lain: ramadhan ‘tidak penting’. Yang terpenting adalah apa yang diwakili ramadhan, yakni 11 bulan berikutnya.<br /><br />Puasa– kontemplasi asketis melalui menahan lapar, dahaga, nafsu dan amarah– yang sejati bukan di bulan ramadhan. Melainkan di 11 bulan berikutnya. Atau dalam kalimat lain lagi: Bulan ramadhan sebagai simbol, ada 1. Sementara bulan ramadhan sejati sebagai makna, ada 11. Kalau ditambah = puasa satu tahun penuh alias 12 bulan.<br /><br />Bila demikian, sepantasnyalah kita mengucap ‘syukur’ seperti ini, “<em>Wah</em>… terima kasih ya Allah, engkau ternyata memberikan kepada kami puasa (ramadhan) sejati yang jumlahnya bukan cuma satu, tapi gak tanggung-tanggung <em>lho</em>… 11 bulan<em> bo’</em>!”<br /><br />Nah… sekarang bayangkan, andaikata puasa 11 bulan yang sejati itu, juga harus menahan lapar dan haus (selain yang utama amarah dan hawa nafsu). <em>Duh</em>… Gusti Allah tak kebayang apa yang terjadi. (Masalahnya, <em>wong</em> diberi kelonggaran bisa makan dan minum saja seperti biasa, orang-orang di negeri ini gendengnya sudah <em>naudzubillah min dzalik</em>)<br /><br />Macam omongannya Armand Maulana vokalisnya GIGI:<br /><em><br />Ramadhan tahan nafsu<br />Abis itu lupa lagi<br />Ramadhan tahan amarah<br />11 bulan berikutnya amnesia </em><br /><br />Jadi, minta <em>maap nih ye</em> sebelumny<em>e</em>, 1 Syawal 1431 H itu sama <em> </em>dengan<em> </em>“Selamat menunaikan Ibadah puasa.”<br /><br />Sama sekali bukan perayaan kemenangan parade mobil hias, petasan, kembang api, diskon toko pakaian, sirup, minuman ringan, <em>nastar</em> dan <em>putri salju</em>, sarung, peci, baju koko, baju baru, THR, bagi-bagi angpao, ketupat, opor ayam, kari ayam, ayam goreng, dan seterusnya… dan seterusnya…<br /><br />Menang <em>opo</em>? Perayaan <em>opo</em>? <em>Wong</em>… takbir berkumandang di akhir ramadhan itu pertanda lonceng pertarungan sejati had <em>just begun</em>. Ibarat <em>kate</em> nonton layar tancap, “Ramadhan <em>ntu trailer</em>-<em>nye</em> <em>doang</em>!” kata bapaknya SI Doel seumpama masih <em>idup</em>.<br /><br /></span><div style="text-align: center;"><span class="fullpost">* * *</span><br /></div><div style="text-align: center;"><span class="fullpost"><span style="font-weight: bold;"><br />Kampung Pettarani</span>, Makassar 9 September 2010</span><br /></div><span class="fullpost"><br /><span style="font-weight: bold;">sumber gambar</span>: reproduksi<br /> http://rivafauziah.files.wordpress.com/2007/09/lebaran_cianjur.JPG </span>eeduy hawhttp://www.blogger.com/profile/10134103706243294400noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3934846632721034012.post-88446221767839954672010-08-12T02:59:00.009+08:002010-08-12T05:40:51.848+08:00Sebab Hidup Tak Seperti Sastra Picisan Apalagi Seperti Reality Show dan Sinetron-Sinetron Murahan di Layar TV<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://2.bp.blogspot.com/_wgKbOaWKnCI/TGL4gcQo0fI/AAAAAAAAAFY/0zWhZZjOKjE/s1600/no_tv__by_gnato.jpg"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer; width: 204px; height: 320px;" src="http://2.bp.blogspot.com/_wgKbOaWKnCI/TGL4gcQo0fI/AAAAAAAAAFY/0zWhZZjOKjE/s320/no_tv__by_gnato.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5504234930825646578" border="0" /></a>Sebuah senyum hadir di balik malam yang meringkuk kuyu mencari kehangatan.<br /><br />Bibir hitam yang melebar perlahan. Kedua sudutnya menyerong sekian derajat ke atas. Diikuti gerak helai-helai kumis cepak yang tak rapi belum dicukur. Samar dalam gelap, barisan gigi atas yang kecoklatan karena uap tembakau itu akhirnya tampak.<br /><br /><div style="text-align: center;">* * *<br /><br /></div>Panggil saja dia <em>Bang</em> Ali. Bukan lantaran untuk menyamarkan identitasnya, tapi memang itu nama panggilannya. Ayahnya memberikan nama itu karena sangat mengagumi <em>Khalifah ar-Rasyidin</em>. Makanya, tiga nama anak laki-lakinya yang lain diembeli dengan Umar, Abu Bakar dan Usman.<br /><br />Sayang, harapan si bapak jauh panggang dari api. Sifat-sifat tauladan Ali bin Abi Thalib sama sekali tak menular ke diri anak ketiganya ini. Hari-hari <em>Bang</em> Ali <em>gak</em> kenal istilah shalat. Jangankan Ju’matan, sampai umur kisaran 38-an saja, rekor partisipasinya di Idul Fitri tak lebih dari jumlah jari tangan kiri.<br /><br /><span class="fullpost"><br />Perawakannya lumayan seram. Kalau <em>ngomong</em> suranya serak dengan pilihan oktaf di nada-nada tinggi.<span> </span>Kulitnya hitam. Sekujur tangannya penuh dengan tato. Model rambutnya cuma satu: botak. Soalnya, kalau rambutnya mulai <em>nongol</em> sekitar 2 cm, yang tampak kebanyakan berwarna putih.<br /><br /><em>Bang</em> Ali tak suka mandi. Sukanya, <em>ngumpul</em> dengan anak-anak muda tetangganya. Kalau anak-anak muda itu ditanya; Berapa kali <em>Bang</em> Ali mandi dan gosok gigi dalam seminggu? <p class="MsoNoSpacing">“Tidak pernah…!!!” jawab anak-anak muda kompak.<br /><br />Namun justu disitulah letak rahasia sukses <em>Bang</em> Ali mengelola bisnisnya, kata anak-anak muda itu berseloroh. Tiap hari <em>Bang</em> Ali berprofesi sebagai mandor parkir dengan 3 orang anak buah. Jatah wilayah garapannya, yakni sekitar 6 ruko di bilangan jalan protokol kawasan <em>elite</em> kota Makassar.<br /><br />Meski hanya sebagai tukang parkir, tapi siapa bilang penghasilannya pas-pasan. Bang Ali pernah buka kartu, pendapatannya tiap hari sekitar 150-200 ribu. Itu sudah bersih. Bersih dari setoran ke Pemda, ongkos gaji <em>plus</em> jatah makan anak buahnya. Dikalikan 30 hari, gaji Bang Ali mungkin masih lebih tinggi ketimbang <em>teller</em> Bank.<br /><br />Jam kantornya dari 10 pagi hingga 10 malam. Kalau pulang dia tak langsung ke rumah. Tapi mampir dulu ke tongkrongan anak-anak muda di pertigaan gang dekat tempat tinggalnya. Menenggak anggur hitam hingga larut malam, tiap malam. Tapi tak sampai mabok. Soalnya, minum berapa banyak pun, tak pernah sekalipun mereka terlibat ribut apalagi sampai <em>malak</em> orang lewat atau <em>nimpuk </em>rumah sekitar segala.<br /><br />Yang ada tiap malam malah suara <em>ngakak-ngakak. </em>Lalu kalau <em>duit</em> habis dan botol tak ada lagi yang berisi, ya semuanya pada langsung bubar pulang ke rumah masing-masing. Mungkin saking khatamnya mereka dengan cairan beralkohol, sampai-sampai <em>nganggap</em>-nya kayak air putih.<br /><br />Oh iya, Bang Ali tinggal di kamar kontrakan dengan istri dan 4 orang anaknya yang masih kecil-kecil. Anak paling besar baru kelas enam SD. Yang paling kecil baru bisa ngomong<span> </span><em>aa…ii…uu…</em>tapi sudah bisa jalan sendiri. Luas kamarnya cuma 4×4 meter. Isinya 1 ranjang pendek ukuran sedang dan 1 lemari pakaian.<br /><br />Dulu, kamar ini juga sering dijadikan tempat minum-minum anak-anak muda. Kadang-kadang sambil main kartu. Maklum, istri <em>Bang</em> Ali selain doyan <em>ngerokok</em> juga hobi main judi. <em>Doi</em> juga suka <em>gaul</em> dengan anak-anak muda dan penganut paham “<em>freestyle</em> asal <em>gak reseh</em>”. Singkatnya, tipikal ibu-ibu <em>funky-</em>lah.<br /><br />Walhasil, di ruangan sekecil itu suka macet. Disesaki lingkaran anak-anak muda yang main judi. Botol-botol dan kartu bertebaran di lantai. Yang <em>gak</em> main, <em>ngobrol</em> di tempat tidur sekalian <em>gangguin</em> Ling-ling, anak <em>Bang</em> Ali paling bontot yang sedang tidur. Sementara 3 <em>sodara </em>Ling-ling<em> </em>yang lain, kalau belum tidur di kasur yang digelar di lantai samping tempat tidur, juga sering ikutan menonton.<br /><br />Belum lagi asap rokok yang mengepul di langit-langit kamar. Padahal jarum pendek jam di dinding tripleks itu sudah <em>nunjuk</em> angka 2. Anehnya, ‘<em>the show still go on till</em> adzan subuh berkumandang’. Malah, kalau <em>nanggung</em>,<em> </em>ya sampai matahari <em>celingak-celinguk </em>di ufuk timur.<br /><br />Tapi belakangan tidak lagi. Soalnya Ibu kontrakan uring-uringan. Gara-garanya, suka ada anak cewek yang ikut-ikutan <em>nimbrung</em>. Pikirnya, mungkin anak-anak muda melakukan pesta seks massal seperti di situs-situs porno. Padahal anak cewek itu cuma datang untuk ikut merokok dan minum-minum. Soalnya, kalau di jalan dia takut ketahuan orang rumahnya. Selebihnya tak ada yang macam-macam.<br /><br />Istri <em>Bang</em> Ali, biarpun sekarang <em>gak</em> hobi-hobi amat minum-minum, tapi dia masih suka ikut-ikutan <em>nongkrong</em> di pertigaan gang. Hanya sesekali kalau lagi <em>pengen</em>, dia angkat gelas juga beberapa kali. Mungkin dia lagi <em>kangen</em>, soalnya sebelum kawin dengan <em>Bang</em> Ali dia tergolong ‘ratu minum’. Ling-ling juga suka diajak <em>nongkrong.</em><br /><br />Pernah, istri <em>Bang</em> Ali <em>minggat</em> dari kontrakan dan pulang ke rumah orang tuanya. Pasalnya Bang Ali ketahuan selingkuh. Tapi beberapa bulan lalu sudah <em>baikan</em> lagi. Dan sekarang perut istri Bang Ali gendut lagi. Alamat Ling-ling, yang sedari tadi berlari-lari kecil <em>senyam-senyum</em> sendirian, bakal dapat adik baru lagi bila nanti melahirkannya direstui Yang Maha Esa.<br /><br />Istri Bang Ali pikirannya <em>simple</em>. Biarpun di bungkus rokok ada tulisan “MEROKOK DAPAT MENYEBABKAN KANKER, SERANGAN JANTUNG, IMPOTENSI, DAN GANGGUAN KEHAMILAN DAN JANIN” sementara perutnya sedang bucit begitu, toh asap rokok tetap menegepul dari bibirnya.<br /><br />“Itu Ling-ling dan tiga <em>sodara-sodara</em>nya sudah besar begitu <em>gak</em> ada <em>tuh</em> gangguan-gangguannya sama sekali,” begitu jawabnya enteng membeberkan fakta. Dalam hati ia juga <em>sih</em>, padahal ibu <em>funky </em>ini merokoknya sejak masih gadis.<br /><br />Lain lagi, waktu anak-anak muda <em>ngobrol</em> soal mahalnya ongkos masuk sekolah. Dia cuma bilang, kalau seumpama nantinya uang <em>gak</em> cukup, ya terpaksa di antara anak-anaknya harus ada yang dirumahkan alias menganggur. Dan otak yang paling <em>jeblok</em>-lah yang bakal kena batunya menunggu sampai uang cukup lagi. Kalau di suruh <em>ngutang</em> ke tetangga ia <em>ogah</em>.<br /><br />“Saya <em>gak</em> punya bakat dan bekal muka tebal untuk <em>ngutang</em>,” akunya.<br /><br />Sayup-sayup suara motor <em>Bang</em> Ali terdengar mendekat. Dia baru saja pulang <em>ngantor</em>. Setelah duduk, ia lalu mengeluarkan selembar uang 50-ribuan buat tambahan pasokan botol minuman malam ini. Ling-ling dengan sigap mendekat ke pangkuan Ayahnya. Setelah dua <em>shot</em> sloki anggur hitam mengalir di tenggorokan, dia kemudian menyuruh salah satu dari anak-anak muda mengambil kantongan plastik hitam yang digantung di motor kreditannya.<br /><br /><em>Bang</em> Ali memang sering membawa pulang oleh-oleh jatah dari deretan ruko parkirannya. Biasanya seporsi besar mie goreng rumah makan <em>chinesse. </em>Atau apel dan jeruk <em>import</em> yang cacat sedikit karenanya sudah tak memenuhi standar jual. Atau kalau tidak, pasti batagor. Dan benar, kali ini batagor lengkap dengan sambal-sambalnya.<br /><br />Diam-diam malam makin lembut menyentuh tulang. Tak ada lagi orang yang lalu-lalang. Hanya ada satu-dua kendaraan yang melintas malas di ujung gang. Gembok pagar rumah-rumah sekitar sudah melekat sebagaimana mestinya.<br /><br />Yang tersisa hanya gelak tawa sekumpulan anak-anak muda, <em>Bang</em> Ali, istrinya, serta Ling-ling yang baru saja tertidur dipangkuan ibunya. Gelak tawa itu membuyarkan sepi, ketika salah-satu dari anak-anak muda itu, bercerita tentang lelucon; bagaimana seorang lelaki kelimpungan mengutak-atik saluran peranakan seorang pelacur jalanan karena cincin pernikahannya seberat 5 gram tertinggal di dalamnya, lalu lelaki itu ditegur oleh seorang tukang becak yang kebetulan lewat, bahwa usahanya sia-sia semata sebab dulu dia sendiri gagal menemukan becaknya yang lama.<br /><br />Dan bibir hitam itu pun mulai melebar perlahan. Kedua sudutnya menyerong ke atas sekian derajat. Diikuti gerak helai-helai kumis cepak yang tak rapi belum dicukur. Samar dalam gelap, barisan gigi atas yang kecoklatan karena asap tembakau itu kemudian tampak. Kali ini, disertai tepukan tangan bersisik penuh tato ke kepala botak yang ditumbuhi sebagian besar rambut yang memutih.<br /><br />Itu senyum milik <em>Bang</em> Ali.<br /><br />Sebab hidup di kepala <em>Bang</em> Ali, sesungguhnya tak seperti di novel-novel sastra picisan yang selalu berakhir; kalau bukan tragis pasti <em>happy ending</em>.Apalagi seperti intrik meliuk-liuk serba rumit dalam <em>reality show</em> dan sinetron-sinetron murahan yang selalu mubazir menghambur air mata pura-pura di layar TV.<br /></p><div style="text-align: center;">* * *<br /><br /></div><strong>Catatan</strong>: tulisan ini dibuat sekedar <em>theraphy</em> diri sendiri untuk mengatasi rasa mual di kerongkongan yang nyaris membuat perut muntah akibat dari model-model sastra yang terlampau <em>gak</em> realistis apalagi <em>reality show</em> dan sinetron-sinetron yang penuh dengan kebohongan-kebohongan paling tolol yang pernah terpikirkan oleh otak manusia.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Sumber Gambar:</span> no tv <span style="font-style: italic;">by</span> <span style="font-weight: bold;">gnato</span><br />http://browse.deviantart.com/photography/?qh=&section=&q=tv#/di8d7a<br /><p></p><p class="MsoNoSpacing"><span class="fullpost"><span style="font-weight: bold;">Kampung Pettrarani</span>, Makassar 9 Juli 2010.</span><br /><br /></p></span>eeduy hawhttp://www.blogger.com/profile/10134103706243294400noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3934846632721034012.post-73114744845475789152010-06-27T21:09:00.000+08:002010-06-28T01:28:24.741+08:00Mari, Sama-Sama Hantamkan Botol ke Kepala Masing-masing Hingga Pecah<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://4.bp.blogspot.com/_wgKbOaWKnCI/TCIH8ycMrAI/AAAAAAAAAFI/lff3HWA7NJU/s1600/The_Bottom_Of_The_Bottle__by_Kinky_chichi.jpg"><img style="display: block; margin: 0px auto 10px; text-align: center; cursor: pointer; width: 225px; height: 320px;" src="http://4.bp.blogspot.com/_wgKbOaWKnCI/TCIH8ycMrAI/AAAAAAAAAFI/lff3HWA7NJU/s320/The_Bottom_Of_The_Bottle__by_Kinky_chichi.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5485956037004274690" border="0" /></a><br /><span style="font-weight: bold;">catatan awal:</span> tadinya tulisan ini maunya diedit pendek. tapi setelah dicoba <span style="font-style:italic;">gak</span> dapat-dapat juga. <span style="font-style:italic;">so</span> jangan <span style="font-style:italic;">keder</span> duluan ya <span style="font-style:italic;">kalo</span> tulisannya kepanjangan. sebab seperti kata pepatah “orang sabar panjang….. kumisnya.” <span style="font-style:italic;">he..he..he..</span>^_^ salaaam….selamat membaca…<br /><br />Di setiap punggung orang-orang muda, generasi ahli waris hari esok, melekat hutang yang harus dibayar kontan.<br /><br />Hutang itu bukan hutang uang, hutang harta, apalagi ‘hutang’ belantara (lalu hutang <span style="font-style: italic;">opo</span> mas…??? <span style="font-style: italic;">Gak</span> usah <span style="font-style: italic;">sok</span> lucu apalagi bermaksud bikin TTS <span style="font-style: italic;">deh</span>, takutnya kuno bin ‘garing’ nugroho!!!)<br /><br />Perubahan. <span style="font-style: italic;">Yup</span>…hutang itu berupa perubahan dan hal-hal baru. ‘Perubahan’ terhadap segala hal yang telah terbukti menjadi penyakit kronis, parasit perusak kehidupan hari ini. Perubahan dalam wujud ‘hal-hal baru’ yang belum diciptakan bahkan belum terpikirkan. Biar tatanan kehidupan di masa depan bisa lebih bermartabat.<br /><br /><span class="fullpost"><br />Kehidupan mutlak harus selalu berekfleksi dan berevaluasi. Sebab zaman bukan bus antar-propinsi yang berangkat dari terminal A <span style="font-style: italic;">finish</span> di terminal Z. Tak ada satu titik final di dunia ini (final hanya ada di lapangan sepakbola). Zaman selalu bergerak seperti air mengalir. Sungai yang kita lihat hari ini, tak pernah sama seperti yang kita lihat kemarin dan hari esok.<br /><br />Setiap zaman, selalu berjalan membawa seabrek kisah dan masalah masing-masing.<br /><br />Dan masa depan bukan sesuatu yang jatuh dari langit. Serupa jamur yang ‘bukan sulap bukan sihir’ tiba-tiba batang hidungnya <span style="font-style: italic;">nongol</span> di musim hujan. Masa depan adalah hasil ‘konstruksi’ setiap anak-anak zaman (<span style="font-style: italic;">emang</span> bangunan…<span style="font-style: italic;">pake</span> acara ‘konstruksi’ segala).<br /><br />Dan sekali lagi, orang-orang muda adalah pion-pion handal paling <span style="font-style: italic;">progresif</span> yang harus rela berani mati memberi garansi bahwa masa depan itu akan dibangun secara lebih baik ketimbang hari ini. Tanpa itu, masa depan dari dulu <span style="font-style: italic;">ke</span>buru almarhum terkubur di pemakaman umum.<br /><br />Apa jadinya jika Thomas Alva Edison tak bikin ribuan mata lampu me<span style="font-style: italic;">leduk</span> hingga menemukan satu yang tetap menyala dalam percobaannya– dunia dikabuti gulita. Apa jadinya jika Montesqueiu, Rousseau, Voltaire tak mencak-mencak kesurupan meneriakkan <span style="font-style: italic;">liberte, egalite, fraternite</span> di akhir masa Raja Louis XVI– kekuasaan tak bakal ingat, “<span style="font-style: italic;">eh</span> ada kosa kata <span style="font-style: italic;">lho</span> bernama demokrasi,” kekuasaan hanya berputar-putar di tangan segelintir para aristokrat yang kalau tangannya teriris konon keluar cairan berwarna biru.<br /><br />Apa jadinya hari ini– jika dulu Socrates, Gutenberg, Al-jabar, Phytagoras, Archimedes, Wright bersaudara, Gandhi, atau Einstein duduk berpangku tangan dan tidur bermalasan-malasan?<br /><br />Otak mesti diperas lebih kencang, biar tetesan inspirasi revolusioner muncrat keluar. Jangan dibuat adem ayem, mubazir. Sampai jaman kuda gigit <span style="font-style: italic;">pizza</span> sekalipun, <span style="font-style: italic;">gak</span> bakalan ada cerita, ‘otak awet’ harga jual-belinya melambung tinggi.<br /><br />Tangan dan kaki mesti dipaksa lebih terampil, biar bisa membuah-tangan-kakikan secuil apapun itu, asalkan berguna bagi siapa saja dan terutama bukan cuma buat diri sendiri.<br /><br />“Tidur jangan keseringan. Makan mesti dikurangi (puasa senin-kamis <span style="font-style: italic;">kalo</span> perlu ditambah sabtu. Ini <span style="font-style: italic;">kalo</span> perlu). Kebanyakan makan-tidur justru sama ‘udang’ usaha bunuh diri secara perlahan-lahan karena obesitas.<br /><br />Kita butuh mencambuk diri lebih keras, biar sesuatu bernama energi ‘kreatif’ (baca ‘kreatif’ secara harfiah: sifat untuk mencipta. <span style="font-style: italic;">Gak</span> usah diartikan bersifat <span style="font-style: italic;">nyeni</span>-lah, unik-lah, atau <span style="font-style: italic;">keren</span>-lah. Terlalu muluk-muluk!) itu bisa tumbuh-terawat di balik tulang rusuk.<br /><br />Berkelitlah dari musibah terbesar yang kerap merasuki orang-orang muda, apalagi mereka yang sudah uzur. Apa itu? Menjadi manusia <span style="font-style: italic;">mediocre</span> (mas…mas…istilah apalagi nih? <span style="font-style: italic;">Mang</span> rambutnya situ blonde ya…<span style="font-style: italic;">pake</span> <span style="font-style: italic;">nyaplok</span> Bahasa Jerman seenak udel!)<br /><br />Oke. <span style="font-style: italic;">Gak</span> perlu malu, kita pinjam (<span style="font-style: italic;">he..he..he..</span> ketahuan kan…suka <span style="font-style: italic;">minjem</span> barang orang!! Malu, malu! Tapi jangan bawa-bawa nama kita <span style="font-style: italic;">dong</span>, <span style="font-style: italic;">situ aja kaleee…</span>!) kalimatnya M. Arief Budiman, Vice President Petakumpet AIM, Yogyakarta, di Blank! Magazine. Dia bilang begini:<br /><br />“Hal yang seharusnya dibenci seseorang adalah menjadi manusia normal, manusia yang biasa-biasa saja. <span style="font-style: italic;">Mediocre.</span><br /><br />Manusia kelas rata-rata ini menduduki posisi mayoritas, memenuhi hampir setiap sudut kehidupan. Mereka ada di upacara bendera setiap senin. Berbaris kaku di instansi pemerintah. Mengantuk dan membuat <span style="font-style: italic;">ngantuk</span> di setiap rapat. Kutu buku dengan perspektif kaca mata kuda. Rektor yang mewisuda mahasiswanya dengan kata-kata sambutan yang sama setiap tahun, selama bertahun-tahun.<br /><br />Menjadi normal adalah kutukan terberat yang ditanggung mayoritas bangsa ini, sehingga jutaan <span style="font-style: italic;">fresh graduate</span> balapan jadi pegawai negeri. Hanya karena rindu akan keamanan dan tunjangan sosial <span style="font-style: italic;">plus</span> pensiun. Memprihatinkan!<br /><br />Mereka yang ingin mandiri, ditakut-takuti oleh orang-orang tua kolot yang miskin mimpi dan <span style="font-style: italic;">faqir </span>keberanian. Mereka yang berani lancang dengan suara berbeda, dibungkam. Dibuat jera dan kapok. Dianggap seperti anak kecil yang belum mampu mengurus dirinya sendiri.<br /><br />Banyak hal menarik yang akan terjadi jika kungkungan nilai-nilai lama itu dibuka atau kalau perlu dihancurkan. Seperti design kalimat pada <span style="font-style: italic;">t-shirt</span> After Hour: <span style="font-style: italic;">good boy going to heaven, bad boy going everywhere. </span>Dan mereka akan menembaki kita dengan tuduhan tidak hormat pada senior, kurang ajar pada leluhur, ‘Malin Kundang’ pada tatanan. Gumamkan: F**K OFF (tak perlu teriak, boros energi)”<br /><br />Umpama kutipan di atas <span style="font-style: italic;">gak</span> <span style="font-style: italic;">sampe</span> bikin orang lain tersinggung, <span style="font-style: italic;">alhamdulillah</span>. Soalnya bukan rahasia, salah satu ciri-ciri manusia <span style="font-style: italic;">mediocre</span>: baru kena kritik sedikit, kuping dan mukanya lekas memerah.<br /><br />Mari menjauh dari gaya hidup normal lanjut Arief. Mari tidur sepanjang siang dan berfikir keras sepanjang malam. Mari <span style="font-style: italic;">kabur</span> ketika dosen <span style="font-style: italic;">goblok</span> yang– entah bagaimana ceritanya kok bisa-bisanya lolos seleksi <span style="font-style: italic;">ngajar </span>di kampus– <span style="font-style: italic;">nge-rap</span> di depan kelas.<br /><br />Rambut boleh gondrong, celana boleh robek di lutut. Boleh kencing di bawah pohon kalau kepepet. Boleh jarang mandi bila sedang takut kena air, tapi jangan takut menolong orang buta menyeberang jalan.<br /><br />Orang-orang tua harus diajari cara berfikir <span style="font-style: italic;">future minded</span>, supaya tak terlalu dan selalu menuhankan masa lalu. Cium tangan bapak-ibu adalah keluhuran, tapi mem’beo’ dengan pilihan mereka untuk menentukan sekolah kita, cita-cita kita, dengan siapa pasangan hidup kita, sampai bagaimana jalan hidup kita: absolut 100% kebodohan.<br /><br />Bilang sama orang-orang tua yang pikirannya udik: kalau mau punya turunan generasi dengan <span style="font-style: italic;">prototype</span> kayak <span style="font-style: italic;">gitu</span>an, saat malam <span style="font-style: italic;">nda’</span> usah repot-repot masukin cairan sperma ke saluran peranakan. Sampai-sampai repot teriak-teriak menyabung nyawa saat melahirkan. Cukup sebelum jam 9 malam iseng-iseng ke <span style="font-style: italic;">mall</span>, beli robot yang ada tulisan made in Japan. Dijamin, tak ada yang bisa menandingi kepatuhan mahkluk ini. Disuruh minum air kencing pun mau. Dengan catatan, ini bagi yang sudah siap disuruh angkat kopor dari rumah.<br /><br />Orang-orang muda yang berfikir progresif, mari sama-sama beli sebotol <span style="font-style: italic;">coca-cola</span>. Yang mau minum, minum. Yang anti produk <span style="font-style: italic;">sono</span>, <span style="font-style: italic;">monggo</span> tuangkan ke tanah. Isinya tak penting. Segera setelah kosong, mari sama-sama hantamkan botolnya ke kepala masing-masing hingga pecah. Siapa tahu struktur syaraf bisa korslet di beberapa bagian, sehingga energi ‘kreatif’ bisa mulai mengalir seperti mata air yang baru ditemukan. Kalaupun ternyata tidak, minimal kita bisa abnormal. Lumayanlah ketimbang normal (<span style="font-style: italic;">mediocre</span>).<br /><br />Menjadi orang-orang muda generasi ‘kreatif’ jelas penuh rintangan. (sekali lagi, selalu baca ‘kreatif’ secara harfiah saja: sifat untuk mencipta. Bukan <span style="font-style: italic;">nyeni</span>, unik, <span style="font-style: italic;">keren</span>, atau de-el-el. <span style="font-style: italic;">Katro</span>, <span style="font-style: italic;">ndeso</span> kata Tukul). Akan ada banyak tanjakan, kelokan, dan kerikil tajam.<br /><br />Memang, <span style="font-style: italic;">face to face</span> dengan warisan nilai-nilai usang yang sebenarnya tak lagi relefan, sudah cukup bikin tenggorokan telan ludah. Apalagi melawan dan menghancurkan.<br /><br />Tapi ini namanya tantangan bung! Mainan hanya buat mereka yang ‘laki-laki’. Mainan yang bikin kaum <span style="font-style: italic;">hybrid</span> <span style="font-style: italic;">keder</span> duluan. Mainan yang bikin kaum perem…(<span style="font-style: italic;">woii…woiii…</span>stop…rasis…rasis…<span style="font-style: italic;">woii</span>! Ingat rambu-rambu <span style="font-style: italic;">mas</span>. Di<span style="font-style: italic;">uber-uber</span> aktivis sekte garis keras feminisme dan hybridisme, baru <span style="font-style: italic;">nyaho sampeyan</span>!).<br /><br />Mental <span style="font-style: italic;">fight</span> dan tahan banting adalah senjata utama. Di samping hitung-hitungan yang cerdas tentu saja. Kalau sudah <span style="font-style: italic;">haqul-yaqin</span>, pegang dengan segenap jiwa-raga. Jangan pernah takut apalagi mau ditakut-takuti.<br /><br />Socrates tetap <span style="font-style: italic;">kuekeh</span> memilih minum racun, padahal diberi keringanan ‘bebas’ asalkan mengingkari kata-katanya. Galileo rela masuk bui, gara-gara tak sudi meralat pendapat bahwa bumi itu bulat. Joan of Arc dibakar hidup-hidup karena keyakinan spiritualitasnya, meski 500 tahun kemudian barulah diberi gelar <span style="font-style: italic;">santa</span> (wanita kudus) oleh otoritas gereja. Sejak dulu, teror memang senjata andalan tuan-tuan penguasa.<br /><br />Pengecut hanyalah wajah lain dari kebodohan. Di tahun 97 H (sekitar 710 Masehi), panglima perang Thariq Bin Ziyad membakar semua kapal yang ditumpangi pasukannya ketika memasuki Andalusia (Spanyol) yang dijaga oleh 25.000 pasukan pimpinan Raja Roderick. Ia lalu berkata:<br /><br />“<span style="font-style: italic;">Wahai saudara-saudaraku, lautan ada di belakang kalian, musuh ada di depan kalian, ke manakah kalian akan lari?, Demi Allah, yang kalian miliki hanyalah kejujuran dan kesabaran. Ketahuilah bahwa di pulau ini kalian lebih terlantar dari pada anak yatim yang ada di lingkungan orang-orang hina. Musuh kalian telah menyambut dengan pasukan dan senjata mereka. Kekuatan mereka sangat besar, sementara kalian tanpa perlindungan selain pedang-pedang kalian, tanpa kekuatan selain dari barang-barang yang kalian rampas dari tangan musuh kalian. Seandainya pada hari-hari ini kalian masih tetap sengsara seperti ini, tanpa adanya perubahan yang berarti, niscaya nama baik kalian akan hilang, rasa gentar yang ada pada hati musuh akan berganti menjadi berani kepada kalian. Oleh karena itu, pertahankanlah jiwa kalian.</span>”<br /><br />Sekali pilihan telah dijatuhkan, maka balik badan putar haluan adalah kekonyolan. Hidup kata Nietzsche memang seperti perang yang setiap saat berjalan dalam keadaan bahaya. Seperti berada di atas seutas tali dimana jurang tak berdasar telah menanti. Maju maka tali bergetar. Mundur juga tali bergetar. Diam pun tali tetap bergetar. Maka pilihan terbaik adalah maju ke medan perang, menyongsong perubahan dan hal-hal baru yang bisa jadi lebih baik.<br /><br />Sesekali konfrontasi memang diperlukan. Dorong-dorongan sedikit dengan aparat boleh-lah. Tapi kalau sudah pungut apa saja di tanah, lalu menimpuki batu barikade polisi (kecuali yang tidur terlentang di tengah jalan), mobil-mobil mewah yang melintas, restoran <span style="font-style: italic;">franchise</span> hanya karena bermerek asing, itu namanya ‘Jaka Sembung <span style="font-style: italic;">nenteng</span> golok’.<br /><br />Kadang kompromi bukan barang haram, dengan catatan selama tidak menghianati substansi. Api tak harus selalu dilawan dengan api. Nabi Muhammad SAW pernah diludahi seorang Quraisyi, tapi beliau malah menjenguknya ketika orang itu sakit.<br /><br />Di tengah jalan kita mungkin kalah. Rasa pahit terpaksa ditelan. Tapi yang berjiwa ‘petarung’ akan selalu bangkit dan berdiri tegak untuk mau belajar ulang setiap<span style="font-style: italic;"> inchi</span> kesalahan. Strategi harus dirancang ulang. Sesungguhnya kesalahan merupakan pelajaran paling berharga yang tak bakalan bohong.<br /><br />Jangan cepat putus asa dan jangan menyerah. Syukuri apa yang ada, hidup adalah anugerah. Tetap jalani hidup ini, melaku… (<span style="font-style: italic;">se’…se’…se’</span>...mas…mas…<span style="font-style: italic;">nyadar</span>…mas…lha itu syair lagunya D’Masiv).<br /><br />Generasi ‘kreatif’ adalah orang-orang muda yang setiap saat haus akan segala dimensi-dimensi baru. Penjelajah yang menyambangi setiap sudut-sudut antah-berantah penjuru dunia. Pemberani yang tetap membuka mata bahkan dalam gelap sekalipun.<br /><br />Si tolol tak akan pernah tahu seperti apa nikmatnya berenang, kalau hanya mematung kaku di pinggir kolam. Badan telah setengah telanjang, kaca mata renang terlanjur <span style="font-style: italic;">nangkring</span> di wajah, jangan justru terlihat makin konyol lalu berdalih, “ah…<span style="font-style: italic;">sorry</span>, rasanya lebih <span style="font-style: italic;">enjoy</span> jadi penonton.”<br /><br />Lihat penonton di lapangan sepakbola. Tak ada yang lebih brengsek darinya. Mulutnya tak henti-henti menegejek, mencela, memaki dan mengumpat. Giliran disuruh melakukan, bisanya cuma melongo, garuk-garuk kepala yang tak gatal, <span style="font-style: italic;">cengengesan</span> lagi!<br /><br />Lain lagi tingkah penonton yang mulutnya sempat kenal sekolahan. Julukannya <span style="font-style: italic;">sok</span> ilmiah: ‘pengamat’. Paling senang kalau ketemu debat. Senjatanya menganalisis segala sesuatu dari faktor ini, faktor itu dan faktor ini-itu. Semua jenis teori berhamburan keluar dari bibirnya. Berton-ton filsafat ia paparkan semudah merangkai bunga. Segala sesuatu di bahas, dari urusan sol sepatu, harga cabe, Inul naik haji, korporasi kapitalis, hingga <span style="font-style: italic;">global warming</span>. Giliran makan permen, bungkusnya dibuang ke tanah, padahal kotak sampah 5 meter di depan otaknya.<br /><br />Berenang tak butuh diskusi lama-lama sampai pantat pegal. Lompat! Ceburkan diri! Selesai. Tak perlu takut tenggelam, sebab orang yang mawas selalu menyiapkan pelampung dan isi kepala. Mengalami jauh lebih akurat daripada menganalisis.<br /><br />Radikalisme adalah kemewahan yang hanya dimiliki anak-anak muda progresif. Sampah-sampah busuk sifat pecundang, rasa takut, putus asa, cari titik aman, tak tahan banting harus disingkirkan jauh-jauh. Jangan melulu seperti kodok dalam panci. Tak punya nyali keluar dari tempurung sesat nilai-nilai kuno.<br /><br />Kita bukan anak kecil yang selalu cengeng bila tak dibelikan mainan. Kita bukan tukang suap apalagi polisi yang hobinya cuma satu: makan uang suap. Kita bukan orang yang suka lempar batu sembunyi tangan, <span style="font-style: italic;">trus nunjuk</span> orang lain segala. Kita bukan mahasiswa yang belajar <span style="font-style: italic;">korup </span>me<span style="font-style: italic;">mark-up</span> kwitansi belanja kegiatan kampus. Kita bukan Fransisco Totti yang suka pura-pura jatuh di kotak penalti. Kita bukan orang yang <span style="font-style: italic;">petantang-petenteng</span> bangga mengendarai mobil kreditan bapak. Kita bukan orang yang mau menikam orang dari belakang. Kita bukan pengamat yang mulut berbusa-busa dengan hal-hal ‘tong kosong <span style="font-style: italic;">cempreng</span> bunyinya’. Kita bukan bawahan kantoran yang gemar <span style="font-style: italic;">celetuk</span> ‘cari muka’ dihadapan bos: “<span style="font-style: italic;">wah</span>…bapak brillian!”; “apa <span style="font-style: italic;">sih</span> yang tidak buat bos.”; atau “alis mata kiri bapak bagus <span style="font-style: italic;">deh</span>!”<br /><br />Kelakuan yang beginian pantasnya diacungi jari tengah tinggi-tinggi! Dua-duanya sekaligus.<br /><br />Kita adalah generasi provokator perubahan, kreator hal-hal baru, anak-anak muda yang rela berkorban terbakar hidup-hidup demi sebuah nilai-nilai kehidupan yang lebih baik di masa depan.<br /><br />Tapi awas jangan terkecoh dengan kemenangan yang biasanya berbuah manis ‘popularitas’ dan ‘materi berlebih’. Garis-bawahi, <span style="font-style: italic;">bold</span>kan, tulis miring, dan beri ukuran <span style="font-style: italic;">font</span> 18<span style="font-style: italic;">pt</span> untuk kedua hal ini.<br /><br />Kapan buaian istana mulai membuat perasaan nyaman, itu tanda bahaya telah mengancam. Materialisme dan popularisme tak lain selimut dan bantal guling palsu di tengah badai salju. Me<span style="font-style: italic;">nina-bobo</span>kan diri hingga enggan beranjak. Dewa Arak yang paling memabukkan. Stagnasi tingkat tinggi. Tipu muslihat <span style="font-style: italic;">status-quo</span> paling licik. Nilai-nilai kuno yang paling kepala batu. Tirani otoritarian yang anti-kritik. Inilah raksasa paling bajingan, berhala paling akhir yang sulit terkalahkan dalam legenda: KEMAPANAN!<br /><br />Menjinakkannya butuh jurus rahasia tersendiri seperti dimiliki Ibrahim Ibn Adham dan Sidharta ‘Buddha’ Gautama yang meninggalkan kemilau Istana selama-lamanya demi panggilan jiwa tentang perubahan dan hal-hal baru.<br /><br />Kalau ternyata kedua orang ini tak juga mampu mengubah pola pikir. <span style="font-style: italic;">Yo wees</span>…mau apa lagi, bubur gak sudi jadi nasi. <span style="font-style: italic;">Nah</span>, jangan tanggung-tanggung, ambil jurus ini: kenakan kemeja rapi, pasang celana kain, semir sepatu kulit, badan semprotkan parfum, rambut minyaki dengan <span style="font-style: italic;">Brisk</span>. Satu lagi jangan<span style="font-style: italic;"> sampe</span> lupa, beli <span style="font-style: italic;">Firdaus Oil.</span> Budidayakan kumis sampai lebat, biar <span style="font-style: italic;">kalo</span> ketemu suaminya Inul, doi minder duluan.<br /><br />Masih belum cukup…??? Ambil tali jemuran, susul Kurt Cobain. Biar tampak lebih heroik.<br /><br />Di setiap punggung orang-orang muda, generasi ahli waris hari esok, melekat hutang yang harus dibayar kontan.<br /><br />Hutang hukumnya wajib dilunasi. Menunggak, sama artinya membiarkan malaikat Malik dibahu kiri mencatat satu lagi tambahan koleksi dosa. Setiap dosa ditimbang pada hari kemudian. Kalau terlalu kembung makan dosa, itu artinya di akhirat bakal masuk……………???<br /><br />“Masuk…angiiin!” sambar si mahkluk <span style="font-style: italic;">ghoib</span> yang sedari tadi banyak bacut di dalam kurung.<br /><br /><div style="text-align: center;">* * *<br /></div><br /><span style="font-weight: bold;">Kampung Pettarani</span>, Makassar 26 Februari 2010.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">catatan akhir:</span> Tulisan ini sangat dipengaruhi oleh beberapa artikel di Blank! Magazine, Yogyakarta. Malah ada kalimat yang mungkin sama. sama-sekali <span style="font-style: italic;">ndak</span> bermaksud plagiat, hanya sekedar meneruskan spirit artikel majalah tersebut. Matur Nuhun!<br /><br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">picture by</span> Kinky-chichi on deviantart.com<br /><br /></span>eeduy hawhttp://www.blogger.com/profile/10134103706243294400noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-3934846632721034012.post-63000649389742168552010-05-15T04:42:00.017+08:002010-09-08T20:03:30.629+08:00Catatan Kaki 3 Adegan Bullshit yang Kalau Diterjemahkan Jadinya: Tai SapiBAGIAN 1:<span style="font-weight: bold;">“Kursi Si Hebat”</span><br /><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://2.bp.blogspot.com/_wgKbOaWKnCI/S-246UGhdZI/AAAAAAAAAE8/yUgXaNvOtSE/s1600/httpchou32.deviantart.comartcow-shit-39694026.jpg"><img style="float: left; margin: 0pt 10px 10px 0pt; cursor: pointer; width: 300px; height: 225px;" src="http://2.bp.blogspot.com/_wgKbOaWKnCI/S-246UGhdZI/AAAAAAAAAE8/yUgXaNvOtSE/s320/httpchou32.deviantart.comartcow-shit-39694026.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5471232434293011858" border="0" /></a><br />Empat orang berteman saling mengobrol. Tiap orang duduk di atas kursi masing-masing.<br /><br />Selang berapa lama seorang temannya datang lagi. Yang datang ‘si hebat’. Hebat sebab di antara mereka beliaulah yang kantongnya paling tebal. Tebalnya gak bakal berkurang signifikan, meski setiap tiga jam <em>nraktir</em> keempat mahkluk yang pantatnya <em>nyender</em> di atas kursi-kursi tersebut.<br /><br />Ganteng, muda, wangi, <em>necis</em>. Ke salon 3 kali seminggu. Kemana-mana dipayungi sedan. Punya kerjaan tetap, warisan ayah tapi. Ayahnya pejabat, itu tandanya dia anak pejabat (ya iyalah…dodol…masa ya iya dol……… spidol!).<br /><br />Pokoknya, indikator-indikator ini kiranya sepakatlah untuk menganugerahi beliau sebagai ‘si hebat’. Biarpun dalam tanda kutip, tapi tak banyak kan orang yang dikaruniai seperti beliau.<br /><br /><span class="fullpost"><br /><br /><em>Eiiiitt</em>… hampir lupa… satu lagi, kalau <em>ngobrol</em> kaki kanannya suka diletakkan di atas paha kirinya. Apa maksudnya, mungkin hanya tuhan yang tahu. Yang pasti (<em>ho…oh</em>… yang pasti-pasti <em>aja</em> deh!) itu sudah jadi ciri khas dari <em>sono</em>-nya.<br /><br />Balik ke adegan awal: ‘si hebat’ datang. Semua kursi yang ada di sekeliling meja sudah penuh. Tadinya, setiap yang baru datang, nantinya bakal mengambil sendiri kursi yang <em>numpuk</em> tak jauh dari meja itu. Sekarang, yang bersangkutan pun berhadapan dengan situasi yang sama: “<em>gimana</em> ya caranya duduk?”<br /><br />Seper-sekian-detik kemudian, ‘si hebat’ <em>celingak-celinguk</em>. Bukan <em>nunggu</em> mukjizat, tapi impuls-impuls kelenjar elektromagnetik di otaknya mulai <em>mikir</em>. Eh…sekonyong-monyong <em>delivery</em> solusi langsung <em>nyambar</em> main datang <em>aja</em>. “Datangnya tak dijemput, pergi tak diant…………???”<br />(lengkapilah kalimat di atas. Lalu ucapkan tiga kali. <em>Trus</em>,<em> ntar</em> malam tidurnya <em>ngadap</em> kanan. Lalu coba sewaktu-waktu tengok tiba-tiba, wajah siapa yang rambutnya panjang, pakaiannya putih-putih, <em>nongol</em> di belakang punggung anda?<br />Anda benar… sekiranya menebak Dian Sastrowardoyo habis <em>shampoo</em>-an! Garing kan? Hi..hi..hi… ^_^)<br /><br />Lanjut. Sekonyong-monyong, <em>delivery</em> solusi langsung <em>nyambar</em> main datang <em>aja</em>. Satu di antara empat temannya itu, yang hebatnya pula hanya dalam hitungan seper-sekian-detik, menyerahkan kursi yang diambilnya sendiri dengan ‘ikhlas’. Wuiih…. ada senyum manis pula <em>nungging</em> di bibirnya.<br /><br />Mungkin mau pamer gigi yang barisannya <em>gak</em> rapi-rapi amat. Atau mungkin tanda silahkan duduk. <em>Gak</em> ada yang tahu persisnya (saya <em>aja</em> yang <em>nulis gak</em> tahu). Persisnya kayak apa, hanya dia sendiri yang tahu.<br />Iya… hanya dia sendiri, soalnya tuhan masih sibuk <em>nyari</em> tahu: “Apa maksud ‘si hebat’ kalau <em>ngobrol</em> kaki kanannya suka diletakkan di atas paha kirinya?”<br /><br />Terakhir. Lalu dia– maksudnya (dia) bukan ‘si hebat’. Tapi temannya. Temannya yang senyumnya <em>nungging</em>– melangkah mengambil kursi untuk kedua kalinya. Kursi yang <em>numpuk</em> tak jauh dari meja itu.<p></p> <p>(penting <em>gak seeh ending</em>nya? Ha..ha..ha… hanya tuhan yang tahu. Soalnya, tuhan <em>udeh</em> kelar <em>nyari</em> tahu: “Apa maksud ‘si hebat’ kalau <em>ngobrol</em> kaki kanannya suka diletakkan di atas paha kirinya.”)<br />Hi…hi…hi… <em>udeh</em> ah… TITIK!<br /><br />__________________<br /><span style="font-weight: bold;">Catatan kaki bau TAI SAPI</span>: Ada yang mencium aroma <em>nendang</em> di hidung?<br /><br />Yang jelas jangan <em>nuduh</em> ‘si hebat’. Sumbernya bukan dari beliau. <em>Gak</em> ada urusan kalau dia wangi <em>kek</em>. Duitnya segunung <em>kek</em>. Mobil sedannya tingkat empat <em>kek</em>. Jahitan kantong celananya sobek gara-gara <em>nampung</em> duit terlampau berat <em>kek</em>. Anak tuhan <em>kek</em>. Mau dia kakek-kakek <em>kek</em>. <em>Ora</em> urus!<br /><br /><em>Gak</em> ada satu aturan kok– walau sampai ubanan <em>ngutak-ngatik</em> lembar-lembar kitab suci manapun– yang pernah bilang: “Kaya raya itu <em>gak</em> baik.” Kalau ada yang coba-coba ngotot berdalih, sirik kali <em>tuh</em>.<br /><br />Yang patut dicurigai bau malah ‘si tuan ikhlas’– itu yang barisan giginya <em>gak</em> rapi-rapi amat. Apa maksudnya coba, serah-terima kursi yang sudah menjadi haknya. Padahal tadinya setiap orang telah menerapkan aturan yang disepakati secara tidak tertulis bahwa: <em>setiap yang datang nantinya mengambil kursi masing-masing</em>!<br /><br />Coba misalnya yang datang bukan ‘si hebat’. Tapi ‘si kunyuk’. Kunyuk gara-gara mandinya seminggu 3 kali. Mukanya jelek. Kulitnya hitam belang-belang. Giginya rapi-rapi, cuma panjang-panjang. Bau badannya mirip bau ular kalau sedang ganti kulit. Kalau <em>ngomong</em> cakapnya <em>nyinyir</em>, sok profesor merasa pintar sendiri.<br />Kesana-kemari gelantungan di atas metromini. Suka <em>ngupil</em> di depan umum. Lalu upilnya dilengket<em>in</em> di kaca metromini. Kantongnya tipis. Sampai-sampai pas ditagih kenek metromini, bilangnya “<em>udeh</em> bang!” dengan nada gertak pelintir kumis, <em>gak</em> <em>nyadar</em> kumisnya <em>udah</em> dicukur tadi pagi biar kelihatan agak muda<em>an</em>.<br /><br />Nah, coba yang datang makhluk langka seperti ini. Rasa-rasanya belum tentu ‘si tuan ikhlas’ mau bela-bela<em>in</em> setor kursi. Kalau <em>nyetor</em> juga, paling tidak batang hidung senyum nunggingnya itu deh yang <em>gak</em> bakal <em>nongol-nongol</em> di bibirnya.<br /><br />Paling-paling dia hanya <em>nengok</em> sekilas. Lalu dalam hitungan tiga-per-sekian-detik, otaknya sudah berhasil mengidentifikasi siapa yang datang. Lengkap dengan sugesti reaksi apa yang harus ia keluarkan: “oh… si kunyuk, <em>cuekin aja</em> ah… <em>toh</em> sekunyuk-kunyuknya dia, kan masih punya tangan dan kaki!”<br /><br />Layanan <em>overacting delivery</em>-nya ‘si tuan ikhlas’ itu pantasnya dicurigai sebagai usaha penerapan jurus ‘serigala tanpa bulu’. Kalau ‘serigala berbulu domba’ <em>sih</em> masih mending, masih ada malu-malunya. Ini <em>mah</em> telanjang. <em>Naked</em> sebulat-bulanya. Tanpa bulu-sehelai pun <em>bo</em>! Sebelas-duabelas dengan pelacur konvensional. Bedanya, yang pertama dibayar karena ‘jual diri’, yang kedua karena ‘jual harga diri’.<br /><br />Membeda-bedakan sikap terhadap orang lain <em>sih</em> sama sekali <em>gak</em> ada masalah. Manusiawi malah. Semua orang juga pasti begitu. Selama pertimbangannya adalah apakah orang yang dihadapi ini baik atau buruk kualitasnya.<br />Tapi <em>kalo</em> hanya berdasar seberapa sering dia <em>nraktir</em>, seberapa elok parasnya, seberapa tinggi pangkatnya, seberapa berat kantongnya, seberapa populis popularitasnya, atau seberapa panjang resliting celananya, itu sih <em>gak</em> manusiawi. Belum cukup manusiawi. Levelnya setingkat di bawah manusia(wi).<br /><br />Yang satu tingkat di bawah manusia, ya apalagi namanya kalau bukan binatang. Mana pernah macan kalau lapar pilih-pilih mangsa “ah…jangan rusa yang ini ah…dia suka <em>ngeluarin</em> zakat kalo lagi dapat rejeki!” lalu macannya <em>nongkrong</em> lagi <em>gak</em> jadi <em>nerkam</em>.<br /><br />Cocoknya, orang suka <em>nyodorin</em> kursi ‘maut’, disuruh merintis bisnis baru nyaingin TUKANG PIJAT. Tinggal ambil papan nama, tempel di depan rumah: TUKANG JILAT. Lumayan untuk meminimkan kelangkaan lapangan pekerjaan, di antara segunung kelangkaan-kelanggkaan di negeri ini.<br /><br />Syarat bagi yang mau melamar gampang, cuma satu: lidahnya harus panjang minimal seperti daun mangga. Kalau ada yang bergerigi seperti daun pepaya lebih bagus lagi. Efek jilatannya tentu bisa lebih dahsyat sampai <em>nembus</em> ke hati.<br /><br />Mental-mental kayak <em>gini nih</em> yang namanya bibit materialisme. Sangat ‘bagus’ kalau dipiara tiap hari. Awalnya memang baru kuncup dan tunas. Tapi kalau <em>udah</em> disiram air, diberi pupuk, dipagari… klop <em>udeh</em>. Besok-besok pasti sukses jadi koruptor raksasa. Dijamin 127 % keniscayaannya. Niscaya bakal <em>ngobrak-ngabrik</em> negara. Bukan negara orang lain tapi.<br /><br />Mental-mental kayak <em>gini nih</em> pakarnya ilmu pura-pura. Petantang-petenteng mondar-mandir kesana-kemari. <em>Gak nyadar</em> kalau kakinya sedang <em>nginjak-nginjak</em> kepala orang lain. Pas ditegur, senyam-senyum “<em>ups sorry</em>… saya <em>gak</em> liat kepala Anda!”<br /><br />Sama kayak penyakit suka pura-pura <em>gak</em> liat-nya KITA dengan orang sekitar. Orang sekitar yang terpaksa makan nasi bekas yang dijemur-keringkan dulu, lalu direbus ulang. Disantapnya dengan garam atau krupuk. Kalau <em>gak</em> ada juga, ya lauknya dengan air mata berlinang.<br /><br />Satu bulan kemudian, kejadian ada bayi yang mati gara-gara busung lapar. Kalau di negara gurun <em>sih</em> masih agak-agak masuk akal, meski kasus beginian tetap <em>gak</em> bisa dibenarkan. Tapi kalau kejadiannya di negara tropis, yang tiap tahun hujannya sampai tumpah-tumpah bikin banjir? <em>Gak</em> tahu <em>deh</em> mau <em>ngomong</em> apa lagi…<br /><br />Hebat kan penyakit ‘suka pura-pura <em>gak</em> liat’-nya KITA dengan orang sekitar?<br />Eh…habis itu kita biasanya nepuk jidat sendiri lagi, <em>ngomong</em> sendiri “aduh <em>sorry</em>… saya <em>gak liat</em> kepala bayi Anda yang kena busung lapar itu, besarnya <em>udah gak</em> proporsional dengan lekuk-lekuk tulang rusuknya yang <em>nonjol</em> keluar. Padahal, beras di rumah saya suka dibuang pembantu saya gara-gara kutu<em>an</em> kelama<em>an gak</em> di makan. Sayur-mayur juga, suka layu sendiri gara-gara kelama<em>an</em> jadi pajangan hiasan kulkas.”<br /><br />“Ini karena pemerintah <em>sih</em> kurang peka sama rakyatnya…” <em>ngeles</em> KITA <em>nyari</em> kambing ‘negro’.<br /><br />Tololnya, cerita di atas sebenarnya belum benar-benar titik. Sewaktu ‘si tuan ikhlas’ menyodorkan kursi, sebenarnya tiga teman lainnya berperilaku sama. Cuma gara-gara posisi ‘si tuan ikhlas’ paling dekat <em>aja</em>, sampai-sampai ‘si hebat’ memilih kursinya dengan alasan pertimbangan kepraktisan.<br /><br />Di negeri ini, sodor-sodoran kursi model begini memang banyak. Malah mungkin pernah, sedang atau bakal anda jumpai di rumah kerabat, di acara kondangan, di arisan, di instansi pemerintah, di ruang-ruang kuliah, di lingkungan kerja, di bandara, di balik gedung-gedung pencakar langit, di rumah sakit, di terminal-terminal, di tempat <em>nongkrong</em>, di pasar, di seminar-seminar, di hajatan maulid, di isi otak KITA yang lagi mikir kursi siapa yang duduk di samping sopir saat sedang pergi <em>rame-rame</em> dengan sejawat.<br /><br />Kalau ketemu, untuk membuktikan apakah mental beginian semacam kategori TAI SAPI apa <em>kagak</em>, gampang. Caranya: ambil mistar 30 cm, minta permisi dulu sebelumnya “<em>mas/mba</em> mohon maaf, bisa minta tolong julurkan lidahnya sebentaaar… <em>aja</em>?” Ukur, kalau panjangnya seperti daun mangga, tak salah lagi. Apalagi pas waktu lidahnya terjulur ternyata bentuknya mirip daun pepaya, mistarnya <em>gak</em> perlu difungsikan <em>deh</em>. Cukup bersuara dalam hati “manusia <em>matre</em>ialisme!”<br /><br />Nah… <em>abis</em> itu langsung sarankan “<em>mas/mba</em> anda cocoknya hidup di air, kenapa <em>gak</em> ke laut aja? <em>maen</em> jilat-jilatan <em>ama</em> capit kepiting…!”<br /><br /><em>To be continued</em> … (tapi tergantung kondisi <em>sih</em>…)<br /><br /><br /><br />* * *<br /><br /><strong>Kampung Pettarani</strong>, Makassar 13 Maret 2010<br /><br /></span>eeduy hawhttp://www.blogger.com/profile/10134103706243294400noreply@blogger.com0