Dear Diary



Jalan fikiranmu selalu tak akur dengan jalan fikiranku.
Padahal, sejak kecil, aku tinggal serumah denganmu.
Kita memang tak sepadan. Usiamu terlalu jauh melebihi aku.
Terlalu tua logikamu bagi isi kepalaku.

Soal membetulkan pagar depan rumah saja, kita berseberangan.
Metodemu usang dengan apa yang kumau. Hanya kamu satu-satunya yang bisa mengerti cara berfikirmu.
Lebih baik aku meningalkanmu sendiri. Sebab watakmu keras kepala.
Dan terus-terang, sikapmu itu bikin hatiku jengkel.

Lalu, apa gunanya aku sedari tadi mencoba berdiri di sampingmu?

Belakangan, kamu juga rewel.
Aku tahu ini tengah malam. Makanya volume TV selalu kukecilkan hingga tersisa satu digit.
Tapi masyaallah, masih saja setiap malam pintu kamarmu itu tiba-tiba terbuka sedikit, atau kamu melintas pura-pura ke toilet, lalu nyeletuk kalau suara TV itu terlalu berisik mengganggu tidurmu.

Hey… yang benar saja, ini sudah digit terakhir, seumpama kukecilkan lagi, apa iya saya harus nonton potongan gambar tanpa ada suara?

Bukan TV itu yang bikin kamu tak bisa tidur. Tapi tidurmu itu terlampau kebanyakan. Overstock!

Pikir sejenak. Tidur siangmu dimulai jam 10 pagi. Habis makan siang, kamu shalat dhuhur, lalu tidur lagi sampai sore.

Giliran lepas isya dari mesjid, saat jarum pendek jam dinding baru nunjuk angka 9, kamu sudah ada di ranjang kamarmu.

Tidur sih tidur… tapi ngantuk tak bisa dipaksa-paksa…

Pernah aku menyarankan, bagusnya kamu sering berolahraga lagi.
Seperti dulu dengan raketmu.
Atau apalah… jalan-jalan pagi misalnya. Paling tidak perbanyak aktifitas.

Apalagi usiamu makin tambah. Kesehatanmu makin drop.
Biar hidupmu tak monoton.
Biar bila malam, tidurmu makin lelap dan bekerja sempurna merecovery tubuhmu.

Setelah kupikir-pikir, itu lebih baik kutitipkan saja pada ibu.
Aku sudah tak tahan adu argumen denganmu.
Jalan fikiranmu selalu tak akur dengan jalan fikiranku.
Sebab watakmu keras kepala.
Tak mempan bantahan.

Tapi, aku hapal betul setiap inci gerak-gerikmu.
Dari malam hingga pagi. Pagi hingga malam.
Sebab sejak kecil, aku tinggal serumah denganmu.

Seperti malam ini.
Tak biasanya suara batuk dari kamarmu tak terdengar meski cuma sekali.
Tak biasanya pintu kamarmu itu tiba-tiba tak terbuka barang sedikitpun.
Tak biasanya kamu tak melintas pura-pura ke toilet, dan nyeletuk kalau suara TV itu terlalu berisik mengganggu tidurmu.
Biasanya, aku bahkan bisa mendengar desah nafasmu hanya dari depan TV ini saat kau terlelap.

Hmm... pasti ini karena hujan yang mengguyur daun-daun mangga di halaman rumah.

Subuh berkumandang.
Sejenak kuletakkan remote control.
Dalam sujudku yang tak lagi khusyuk aku berfikir lain, kamu sudah bangun apa belum?
Apa iya, tadi aku luput hingga tak sempat memperhatikanmu.

Biasanya kamu yang paling cepat terjaga. Lalu bergegas mengejar adzan menuju mesjid.

Kupastikan itu di pintu depan rumah.
Kuperiksa sandal yang biasa kau gunakan. Masih tergeletak di tempatnya.

Aku menuju kamarmu. Gagang pintu kuputar. Terkunci.
Kuketuk sambil memanggil-manggilmu pelan beberapa kali. Tak ada jawaban.

Aku keluar rumah. Mencoba menangkap sosokmu dari balik jendela kaca dan sela gorden.
Gelap.

Kuputuskan ke dapur. Kubuka peti perkakas lalu kembali ke tempat semula. Jendela kaca itu berhasil kubuka dengan obeng. Aku memanjat sambil menyibak helai gorden. Kamu masih meringkuk dalam sarung di atas ranjangmu.

Kuhampiri dirimu, lalu kupegang kakimu.
Terlalu dingin dan kaku.

Suara Ibu memanggil-manggilmu dari balik pintu kamar.
Aku nyalakan saklar lampu, kemudian kubuka pintu kamar yang masih terkunci,

“Bapak meninggal…” kataku coba tegar.
Ibu menghambur ke dalam. Memeluk dalam, dengan tangis.

Aku keluar mengambil handphone, mengabarkan berita ini ke tiga anak ibu, yang tentu saja anak-anakmu juga, tiga saudaraku yang tinggal terpencar.

Satu-satu tetangga berdatangan.
Mereka mendengarnya setelah peristiwa ini diumumkan lewat corong mesjid itu.

Aku sibuk mengangkat kursi, meminjam karpet, mendirikan tenda buat orang-orang yang akan datang melayat. Itu hingga siang hari.

Saat ashar, setelah memandikanmu, kami lalu membawamu ke mesjid. Dishalatkan, lalu dihantarkan ke pemakaman di luar kota.

Aku kini di dasar lubang yang sedikit becek digenangi hujan siang tadi.
Di atas, orang-orang yang menghantar memberi kami petunjuk tata cara kamu dibaringkan.
Kamu pun dibenamkan dengan gundukan tanah merah bekas gali liang itu.

Sekembali di rumah.
Aku masuk ke kamar mandi. Ingin membersihkan badan.

Tiba-tiba, lidahku kelu, bibirku bergetar, dan mataku berkaca-kaca.

Aku geram.
Aku geram sebab jalan fikiranku selalu tak akur dengan jalan fikiranmu.
Sebab usiamu terlalu jauh melebihi aku.
Sebab watakmu dan watakku memang keras kepala.
Sebab semua isi kepalaku selalu tak berhasil kusepahamkan denganmu.
Meski itu barang sediktpun.

Padahal begitu banyak resah yang sesungguhnya sangat ingin kubagi denganmu.
Tentang dunia dan segala isinya.

Seperti jua malam ini.
Tiba-tiba, lidahku kelu, bibirku bergetar, dan mataku berkaca-kaca.
I miss u

* * *


Dedicated to my father:



Bapak meninggal karena gagal jantung. Di suatu jum’at dini hari (tengah malam). Pulang dalam tidurnya yang sendiri. Di kamarnya yang sengaja ia kunci.

Sebab entah mengapa belakangan ia lebih suka tidur tanpa ditemani ibu.

Seumpama ditanya, kesan apa yang paling melekat pada dirinya? Saya akan menjawab ‘kejujuran’. Tanpa ada ragu sedikitpun.

Kampung Pettarani, Makassar 8 Oktober 2010.



sumber gambar: http://sosbud.kompasiana.com/2010/09/20/masihkah-kau-sapa-buku-diarymu/
Selengkapnya...

Catatan Kaki 3 Adegan Bullshit yang Kalau Diterjemahkan Jadinya: Tai Sapi


BAGIAN 2 : "teman saya uring-uringan" (hehehe... syukur, akhirnya ada juga bagian duanya)


Teman saya uring-uringan.
Gile aje…kampungannya itu orang!” Gerutu teman saya dengan logat gado-gado.
Gara-garanya 2 jam 53 menit yang lalu, depan toko rental DVD, dia tak sengaja ketemu bekas teman SMP-nya. Rekonstruksi kejadian versi teman saya kira-kira begini:

“Heeeii…!”
“Haaiii…!” balas teman saya sambil memperhatikan sosok bersih, putih, berpakaian necis, sepatu mengkilap, menampakkan seorang karyawan perusahaan besar di depannya ini. Tadinya teman saya tak mengenali. Syukurlah memory otaknya masih disisakan beberapa gygabyte untuk keperluan mengingat masa lalu.

Keduanya lalu salaman, saling cengengesan, adu senyum basa-basi.
“Dimanako sekarang?”
Mendengar pertanyaan itu, cengengesan teman saya tiba-tiba menciut. Dia tertegun beberapa detik, minta contekan ke memory lagi, buat cari jawaban.
Bukan sekali sebenarnya, dia kena todong pertanyaan konotatif penuh bias seperti ini. Dulu, ia jawab tukang lisktrik. Memang itulah keahlian sehari-harinya. Tahu-tahu, pertanyaan susulannya jadi banyak; Bagaimana itu maksudnya? Punya CV ya? Oh, Proyeknya untuk pengadaan listrik gedung-gedung dan perumahan-perumahan ya?
Terpaksalah dengan saksama, teman saya menjelaskan kalau jasanya sekedar melayani orderan dari rumah ke rumah. Hasilnya, ekspresi wajah lawan bicaranya jadi kuyu turun gairah seperti kurang darah.


Karena itu setelah menimbang, mengingat, memperhatikan serta memutuskan, maka ditetapkan untuk memberi jawaban normatif-diplomatif seperti yang sudah dilakukan sebelum-sebelumnya. Ini demi memenuhi azas ‘hasrat tak mau repot’.

“Biasalah bisnis kecil-kecilan, bukan orang kantoran jadi banyakan dirumahlah.”

Mantap. Walau sedikit kikuk, teman saya yakin jawaban ini biasanya cukup efektif meredam potensi dampak sistemik timbulnya ‘anak-anak pertanyaan’ ngaco yang melebar gak jelas ke mana-mana.

Tapi sekonyong-konyong, air muka teman SMP-nya jadi lain. Sepertinya, jurus “Biasalah bisnis kecil-kecilan…” bekerja tak sesuai naskah.

“Ya… begitulah… hidup memang bukanmi lagi main-main…”
Alis mata teman saya mulai bengkok mendengar kalimat ini. Perasaannya mulai gak enak. Apalagi tangan teman SMP-nya, kini sudah tak lagi menjabat tangannya. Justru sekarang merangkak ke atas menepuk-nepuk bahunya.

“…sampai kapan memang kita mau santai terus. Duluji mungkin kita bebas nakal-nakal. Sekarang masa depan harusmi dipikirkan. Bukan meki lagi anak muda. Kalau ingat umur, harus meki memang cepat-cepat kawin. Bukannya apa, nanti kalau terlambat, kita sudah jadi akik-akik pensiunan, eh anakta malah masih kuliah, belumpi bisa bantu kita orang-tuanya.
Eh.. ngomong-ngomong sudah meko menikah ini?” sergah teman SMP-nya.

Teman saya hanya bisa kaku. Bibirnya mencoba memunculkan senyum tipis, tapi terasa kecut karena memang dipaksakan. Lalu, baru saja ia mau menjawab “belum menik…,” teman SMP-nya keburu ngacir duluan dipanggil seorang perempuan dari dalam toko.

“Oke ya bos… saya ke dalam dulu. Mau carikan mamaknya anak-anak, filmnya The Last Airbender.”

Dan bersamaan dengan kalimat terakhir itu, tepukan di bahu teman SMP-nya itu akhirnya berhenti juga. Kata teman saya, kalau ditotal-total, tepukannya sekitar 6 kali. Bahkan mungkin lebih.

Karena kejadian inilah, 2 jam 53 menit berikutnya; teman saya uring-uringan.

Begini uring-uringannya teman saya versi lengkapnya:

Gile aje…kampungannya itu orang! Ketemu teman, pertanyaan pertama langsung tendensius; “Dimanako sekarang?”
Orang tuh ya, tanya kabar dulu. “Apa Kabar?” Kalau yang bersangkutan jawab “baik,” itu artinya hidupnya ya baik-baik saja. Bukannya tanya “Di mana…?”
Seolah-olah, kualitas hidup seseorang itu bergantung apa dan di mana orang kerja. Apa coba maksud air mukanya berubah, pas saya bilang, “Saya bisnis kecil-kecilan.” Tendensius kan yang dipiara di otaknya?

Kunyuk… dia pikir kalau pakaiannya necis, sepatunya mengkilap, kerja di perusahaan besar, gajinya jutaan, lantas dia punya hak bisa seenaknya tepuk-tepuk bahu orang yang kerjanya jadi tukang listrik. Apa ada yang salah kalau bisnisnya orang itu kecil-kecilan?
Itu lagi… telinga saya dia beraki dengan model ceramah Jum’atan berjudul “Hidup itu bukan lagi main-main maka manfaatkanlah masa muda.” Padahal hari ini hari Rabu loh. Sinting… salah mimbar kali tuh setan kesiangan!
Heran saya... tau apa dia dengan masa muda saya? Wong… dia tinggalnya di mana, saya di mana. Seumur-umur setelah SMP dulu, baru dua kali saya jumpa batang hidungnya. Lagian, masa muda saya biasa-biasa aja kok. Ndak terlalu baik, tapi ndak juga terlalu buruk. Ndak pernah tuh jadi maling, apalagi punya niatan ikut-ikutan kelompok Al-Qaedah.
Lha… bisa-bisanya dia bilang, “Ya itulah… sampai kapan kita santai-santai terus… nakal-nakal terus… soal masa depan-lah…soal cepat menikah-lah… akik-akik yang anaknya masih muda karena kelamaan punya anak-lah…!”
Loe kali tuh yang mudanya gak becus… yang punya cita-cita bikin anak cepat-cepat, biar bisa dijadiin sapi perah bapak. Biar kalau sudah akik-akik, hidupnya bergantung di tetek anak-anaknya.

Yang paling kurang ajar… dia seolah-olah menyulap depan toko rental DVD itu jadi ‘pengadilan mini’. Siang-siang bolong begini, tak ada angin apalagi hujan, hidup saya dijadikan tersangka. Padahal nama saya pun dia tak ingat. Tahu tidak dia panggil saya apa?
“Oke ya bos… saya ke dalam dulu…”
Bos dari Hongkong pala loe peyang…!
Mana selera filmnya bikin perut serasa mau boker lagi. Udeh tuir begitu ngebet nonton The Last Airbender.”

Nah, selesai sudah uring-uringan teman saya.

Sebenarnya, waktu dia ucapkan sendiri, speednya tak kalah gila-gilaannya dengan Valentino Rossi kalo lagi balapan GP. Meliuk-liuk mirip lagu dangdut. Meledak-meleduk kayak tabung gas 3 kg. Cuma, biar dibacanya gak bikin mata nyasar ke sana ke mari, maka kutipan di atas dibubuhi titik koma dan tanda baca lainnya.

__________________________
Catatan Kaki Bau Tai Sapi:
Suatu waktu, Teman saya yang uring-uringan itu pernah bilang; Di masyarakat itu ada semacam lomba adu ‘panjat posisi sosial’. Modelnya persis kayak ‘panjat pinang’ pas tujuh-belasan. Yang dikejar ya ‘posisi sosial’ itu .
Aturannya cuma satu; tak ada aturan. Takting ‘kepiting’ yang saling mencapit juga sah dilakukan. Saling sikut boleh. Tebas kayu kaki lawan legal. Pura-pura jatuh di kotak penalti juga halal.

Kalau posisi sosial telah diraih, orang akan mendapatkan tempat dan perlakuan istimewa di dalam masyarakat. Dihormati, dikagumi, dan dimanggut-mangguti.

Posisi sosial itu dianggap identitas. Sampai-sampai mengukur seseorang tak lagi melalui integritas.

Saya adalah hakim agung. Saya adalah pengusaha properti. Saya adalah wartawan. Saya adalah bintang film. Saya adalah mahasiswa. Saya adalah presiden. Saya adalah polisi. Saya adalah foto model. Saya adalah aktifis LSM. Saya adalah jenderal. Saya adalah ulama. Saya adalah pilot. Saya adalah dosen. Saya adalah dokter. Saya adalah rockstar. Saya adalah penemu nuklir. Saya adalah putri kecantikan. Saya adalah orang kaya.
Begitu cara orang memperkenalkan identitas.

Besok-besok, kalau ketemu orang lalu bilang, “Saya adalah petani,” atau “Saya adalah cleaning service,” atau “Saya adalah tukang sate,” siap-siaplah bikin sorot wajah orang lain meredup, alis mengkerut, bibir menciut, pendengaran kabur dan mata berkunang-kunang.

Eh... seumpama anda berfikir, yang dimaksud teman saya dengan ‘masyarakat’ itu adalah masyarakat sekitar kita, mungkin anda ada benarnya.

To be continued … (tapi seperti biasa, tergantung kondisi lagi... hiks! : P )

* * *


sumbergambar: lupa...hihihihi...yg jelas kayakx di deviantart deh mungutx...

Kampung Pettarani, Makassar 22 Sepetember 2010.
Selengkapnya...