Buncis


Ccrrruuiiiiiissst….crruiiiissst…!!” teriaknya.

Buncis yang malang. Melompat-lompat. Mengeluh panas di atas pemanggangan. Segenap tenaga berusaha untuk segera keluar dari dalam kuali. Lidah-lidah merah nyala api mulai menjilati sekujur punggunggnya.

Duhai…buncis yang malang, bersabarlah di dalam sana. Sebab di balik itu, sesungguhnya sang juru masak ingin mengajarkan suatu rahasia. Tentang hakikat bagi siapa saja.

Bahwasanya ia, buncis yang malang, yang tadinya hanyalah sebuah biji yang berkecamba, yang setiap pagi tumbuh kehijauan dengan embun dan pesona mentari, sekiranya akan tiba pada tujuan penciptaan berikut: suatu kehidupan baru.

Sekali buncis yang malang menjadi lembek dan benar-benar matang, selanjutnya menjadi sajian bagi manusia nan bijak. Dicerna dan diperhalus di dalam tubuh. Hingga suatu waktu, ia mengalir berubah menjadi gumpalan air mani. Kemudian menjelma, menjadi sesosok wajah kecil: manusia.

Buncis di dalam kuali, bertransformasi melalui tubuh, yang tadinya hanyalah tangisan bayi mungil dalam dekapan, kini ikut serta merasakan apa itu melihat, mendengar, imajinasi, inteleksi, keindahan, bahkan juga cinta yang tengah dirasuk rindu.

‘Maulana’ Jalaluddin Rumi (1207-1273), seorang penyair besar sufi dari Konya, yang dalam karyanya Mastnawi, mengumpakan manusia serupa buncis yang dimasak. Semua yang mentah harus dimasak. Semua yang mentah harus matang. Biar menjadi hidangan lezat bagi yang terberkati.

Juga manusia kata Rumi. Seperti halnya kuali, yang dihitamkan panas dan asap kayu tungku pembakaran. Namun manakala memang mereka terbuat dari emas, kehitaman luar takkan mampu mengurangi kadar hakikatnya.

Jalaluddin Rumi, sumber ajaran Tarekat Maulawiyah*, sesungguhnya ingin mengingatkan siapa saja. Bahwa ‘manusia’ pun harus melewati serangkaian proses. Seperti apa yang dirasakan buncis dan kuali. Tahap kematangan yang serasa penderitaan bagi kebanyakan manusia. Demi sampai ke tangga penciptaan menaik. Suatu ‘jalan rahasia’ ke kebahagiaan sejati. Suatu kehidupan baru, tempat dimana Dia– yang azali mungkin bersemayam.

* * *

Hujan belum reda hari ini.
Ada buncis yang ditumis di atas meja makan itu. Di temani sambal terasi dan lalapan, tempe goreng bahkan telur dadar.

Dan meski tanpa suara, buncis itu seolah sedang berkata, bahwa proses itu telah dilampaui dengan tawaduk. Lalu, mulut-mulut itukah milik manusia nan bijak? Yang nantinya sanggup membawanya merasakan apa itu melihat, mendengar, imajinasi, inteleksi, keindahan, bahkan juga cinta yang tengah dirasuk rindu?

Rasanya baru kemarin masa kanak-kanak itu. Ketika setiap ibu selalu mengingatkan. Tentang rapalan sederhana sesaat sebelum bersantap. Sekiranya engkau menagih, hanya doa yang entah telah berapa lama sering terlewati itu, yang bisa diberikan, duhai… buncis yang malang. Di balik hujan yang masih membasahi daun-daun akasia di seberang rumah.

Dan semoga esok, lalu hari-hari setelahnya. Sungguh, maaf bila hanya sekedar janji yang kerap terlewatkan itu.

Allaahumma Baarik Lanaa Fiima Razaqtanaa waqinaa ‘adzaaban Narii.

__________________

*Para Maulawis– pengikut Tarekat Maulawiyah– dikenal sebagai ‘Darwish (penganut sufisme) yang berputar cepat’. Ritualnya yang disebut sama’ (sama’- i samawi atau tarian surgawi), sebuah tarian berputar cepat menyerupai gasing, merupakan bentuk ekstatik/ mistisme mereka akan kecintaan mendalam pada Ilahi. Tarian ini, selain melambangkan kerinduan perpisahan dari ‘Yang Azali’ juga diumpamakan gerak kosmos yang harmonis (seperti gerak planet-planet yang selalu mengelilingi matahari pada orbitnya).
Tentang Jalaluddin Rumi, lihat Annemarie Schimel dalam Dunia Rumi; Hidupdan Karya Penyair Besar Sufi Penerbit Pustaka Sufi, Yogyakarta 2002.

catatan:
Tulisan ini didaur ulang dari penggalan awal tulisan berjudul Melampaui Manusia milik Eeduy Haw (pengasuh blog ini) yang di tulis pada 28 februari 2007 untuk naskah buku yang sampai hari ini belum juga diterbitkan.


sumber gambar: http://www.klikdokter.com/userfiles/memenuhi1.JPG

* *
Kampung Pettarani, Makassar 20 Januari 2010.

Selengkapnya...

Bahkan sampai Hendri Mulyadi turun lapangan pun kita keok ladeni Oman


Wkkwkwkwk…wkwkwk..wkwkwk..wkwkwk…!!!”

Tawa terbahak-bahak. Satu-satunya kepuasan yang pantas kita peroleh tatkala menyaksikan Tim Nasional PSSI bertanding melawan Oman Rabu malam (6/1).

Bak komedi, lebih lucu dari Opera Van Java atau Tukul Arwana dalam Bukan Empat Mata.

Bagaimana tidak, sebelum-sebelumnya orang-orang sudah kapok melihat bagaimana ‘ajaib’-nya sepakbila kita. Bahkan sekedar membicarakan saja, eneg dan buang-buang waktu rasanya. Semua sudah hapal mati bagaimana jalan ceritanya.

Dari kekonyolan Mursyid Efendi menjebol gawang sendiri hanya karena takut bertemu Singapura di semifinal Piala Tiger 1998, kompetisi dalam negeri yang full-action pemain ngejar-ngejar wasit layaknya maling ayam, Ketua PSSI yang bisa memimpin organisasi dari balik jeruji, hingga mimpi siang bolong mengajukan diri menjadi tuan rumah ajang akbar Piala Dunia.


Segelintir sejarah ini saja, sudah cukup bikin kepala angguk-angguk berdecak kagum kalau sepakbola kita memang ‘ajaib’.

Nah, soal luar biasanya prestasi timnas kurun waktu sepuluh tahun terakhir ini, wow jangan ditanya lagi. Awal Desember sebelum tutup tahun 2009 saja, di ajang SEA-Games timnas digasak negara anak bawang Laos O-2 sekaligus dijadikan juru kunci grup penyisihan dengan rekor tak sekalipun menang. Sekedar me-refresh ingatan, Laos itu negara Asia Tenggara ketiga paling bawah (178) dalam peringkat terbaru FIFA setelah Brunei (191) dan Timor Leste (200).

Baru enam hari setelah tahun 2010 berjalan, daftar panjang prestasi ‘ajaib’ itu bertambah lagi. Timnas senior dipecundangi 1-2 Oman di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta. Kandang sendiri yang kondisi rumputnya bergelombang bak sawah kering yang habis dibajak kerbau.

Sebenarnya, malam itu bukan kekalahan timnas yang dipersoalkan. Kemarin-kemarin tukang sayur pun sudah memprediksi, timnas sulit menang lawan Oman. Padahal ketika ditanya Oman itu dari benua apa, tukang sayur malah menyebut Afrika.

Cuma, orang penasaran saja. Seperti apa sih janji pelatih Benny Dollo yang dalam jumpa pers-nya mengatakan timnas akan turun dengan permainan ‘terbuka’.

Dalam permainan sepakbola, strategi permainan ‘terbuka’ itu artinya menggempur ‘habis’ lawan dengan serangan sejak peluit pertama kali ditiup wasit. Misalnya lawan ngotot juga ingin menyerang, maka setiap serangan dibeli-lunas dengan serangan. Pokoknya, mirip strategi yang diterapkan FC. Barcelona (Spanyol) kalau sedang bertanding.

“Menang adalah harga mati. Jika menang, harus menang banyak. Jika kalah, sekalian kalah banyak,” begitu sesumbar Benny di harian Kompas
sehari sebelum pertandingan penyisihan Piala Asia ini digelar.

Bisa dibayangkan, bagaimana serunya nanti pertandingan ini. Paling tidak, hujan gol akan beradu dengan hujan air di musim bulan-bulan seperti ini.

Hal itu pulalah yang membuat Hendri Mulyadi, lelaki asal Bekasi bela-belain datang jauh-jauh untuk menuntaskan hasrat penasarannya. Meski sesampai di luar stadion, ia terpaksa merogoh kocek dua kali lipat gara-gara karcis di loket ludes, keburu ditilap para calo.

Hendri tak sendirian, di dalam stadion puluhan ribu suporter sudah tak sabar menunggu. Gemuruh tabuhan genderang sudah serasa bakal ada perang. Di rumah, berjuta-juta pasang mata sejak tadi stand-by di depan layar TV.
Harapan tontonan seru, sesuai apa yang dijanjikaan pelatih timnas, sudah membayang di kepala.

Sekonyong-konyong, merpati ternyata ingkar janji. Tunggu punya tunggu, permainan ‘terbuka’ yang dijanjikan tak kunjung keluar. Yang ada, sejak peluit pertama timnas malah didikte Oman. Sedari tadi bola hanya mengalir dari kaki ke kaki pemain-pemain Oman saja.

Ponaryo Astaman, Boaz Solossa, Syamsul Chaeruddin, Bambang Pamungkas, atau pemain-pemain kita lainnya paling-paling hanya sesekali berhasil menyentuh si kulit bundar. Itu pun cuma menghasilkan out-ball, off-side, atau free-kick untuk lawan.
Hanya Markus Horison saja yang paling banyak menguasai bola sebab gawang yang ia jaga tak bosan-bosannya digempur tembakan dan sundulan lawan.

Sebuah tendangan bebas dilakukan Oman. Bola melambung ke dalam kotak penalti timnas. Sebuah sundulan mengarah ke tiang kanan. Markus tak bisa menghalau. Jala gawang timnas bergetar. Sebuah gol yang membuat suporter tuan rumah bergumam “aah…” sambil menepuk jidatnya.

Dewi Fortuna ternyata seperti akan memihak timnas malam ini. Gol tersebut dianulir wasit. Entah apa penyebabnya. Pemain-pemain Oman mencoba melakukan protes. Keputusan tetap menyebutkan tendangan bebas harus diulang. Syukur deh ada 'dewi' yang baik hati ini...

Tapi dasar tak tahu diuntung, kejadian yang sama terulang lagi. Proses gol kembali terjadi persis seperti gol yang dianulir wasit sebelumnya. Ibarat kata, timnas kita ‘dua kali nabrak tiang telepon yang sama’.
Entah ini ketololan atau lawakan. Yang pasti gol kali ini sah. Dan Fawzi Bashir, gelandang Oman yang menyundul bola tersebut, berlari-lari merayakan keberhasilannya di menit 32.

Sisa permainan kembali dilanjutkan. Bukannya bermain cerdik untuk mengejar ketertinggalan, pemain kita justru lagi-lagi dibuat mirip bola ping-pong. Hanya berlari ke sana kemari, mengejar bola yang tak bisa-bisa juga direbutnya. Prediksi tukang sayur sepertinya terbukti, kita memang kalah skill, fisik, kolektifitas permaian, dan segala-galanya.

Tiba-tiba bola melambung tinggi ke pertahanan lawan. Boaz mengejarnya. Ia berhasil mengontrol bola dengan dada, lalu adu sprint dengan bek tengah lawan. Namun dua pemain bertahan terlihat mencegatnya. Satu di antaranya berusaha menghalangi Boaz dengan badan. Pemain asal Papua ini tetap ngotot. Meski terlihat lebih kecil, body-charge ia lakukan hingga pemain belakang tersebut terjungkal.

Kini, tinggal Boaz yang ada paling depan. Satu pemain belakang Oman lainnya tetap berusaha mengejar. Bola digiringnya sekali lagi, lalu tembaaaak...!!!

Ali Al-Habsi, kiper Oman yang menjadi cadangan klub Bolton Wanderers (Inggris) buang badan ke samping mencoba mengikuti arah sepakan Boaz. Namun naas baginya, ketika melompat, bola ternyata lebih dahulu menyentuh kaki pemain belakang yang mengejar Boaz. Apa lacur, arah bola terlanjur berbelok berlawanan dengan arah lompatan Al-Habsi.

Goooooooooll….!!! Jala gawang Al-Habsi bergetar. Boaz berlari menerjang bendera tendangan sudut melakukan selebrasi. Skor berubah 1-1. Dan kembang api serta genderang suporter bergemuruh di langit-langit stadion.

Sebenarnya, bukan bermaksud sentimen dengan timnas, gol Boaz tersebut sedikit berbau pelanggaran dan keberuntungan. Saat replay slow motion ditayangkan, body-charge yang dilakukan Boaz terhadap badan pemain belakang Oman hingga terjunggkal terlihat berunsur pelanggaran. Pemain belakang tersebut pun terlihat mengangkat tangan meminta perhatian karena merasa dilanggar. Lagi-lagi beruntung ada 'dewi' malam ini bagi timnas, wasit mungkin tak melihatnya.

Namun, dalam sepakbola, kekhilafan wasit seperti ini kerap terjadi. Yang paling parah mungkin Hand of God-nya Diego Armando Maradona (Argentina) yang mencetak gol ke gawang Inggris dengan sentilan tangan kirinya. Atau, baru-baru ini ulah Thierry Henry (Prancis) yang mengontrol bola dengan tangan sebelum mengoper ke rekannya hingga tercipta gol yang membuat Irlandia mengubur dalam-dalam mimpinya ke ajang Piala Dunia 2010.

Apapun alasannya, Teh Sosro minumannya. Beruntung timnas memiliki kegigihan Boaz yang patut diacungi jempol. Trik yang dilakukannya juga bukan kategori ‘kelicikan’ seperti yang dilakukan Maradona atau Henry. Yang jelas Boaz telah berhasil mengembalikan harapan suporter di seluruh tanah air yang nyaris sirna.
Sayangnya permainan harus berhenti untuk mempersilahkan pemain turun minum. Babak pertama telah usai.

Lima belas menit kemudian, pemain timnas yang malam itu tampak gagah dengan seragam merah-putih kembali masuk lapangan. Kali ini dengan keyakinan dan semangat yang lebih mantap.

Hendri Mulyadi dan puluhan ribu suporter di tribun, serta berjuta pasang mata di layar TV boleh berharap, di babak kedua inilah mungkin saatnya strategi permainan ‘terbuka’ itu diperlihatkan.

Malangnya, kenyataan berselisih 180 derajat dengan perkiraan. Baru 5 menit permainan berjalan, jala gawang timnas ‘sobek’ untuk kedua kalinya. Tendangan keras Ismail Al-Ajmi tak terbendung akibat kecerobohan tak seorang pun pemain bertahan kita yang terlihat mengawal striker Oman tersebut.
Sontak mental suporter dan penonton di layar TV ambruk. Apalagi pemain-pemain di lapangan.

Dalam situasi seperti ini, keberuntungan tak akan datang berkali-kali. Dewi Fortuna tentu ogah bolak-balik dari kahyangan dan kembali ke tengah lapangan Gelora Bung Karno.

Benar tak ada jala lain: “Jika menang, harus menang banyak. Jika kalah, sekalian kalah banyak.” Permainan ‘terbuka’ adalah satu-satunya senjata pamungkas yang tersisa.

Namun, saudara-saudara, untuk kedua kalinya merpati kembali ingkar janji. Harapan menyaksikan pertempuran habis-habisan lewat permainan ‘terbuka’ tinggal harapan.

Hingga waktu memasuki menit 80, penonton kembali hanya disuguhkan permainan bola ping-pong Oman. Itu artinya 40 menit sudah pemain kita di babak kedua ini kembali hanya berlari ke sana kemari, mengejar bola yang tak bisa-bisa juga direbutnya. Kali ini ditambah dengan lidah terjulur dan tangan mengelus pinggang.

Jika sudah begini, seperti biasa penyakit pencinta sepakbola Indonesia bakal kumat. Di depan TV, mulut penonton mulai mengomel, menghardik, mencemooh bahkan mengumpat tanpa saringan. Waktu Mursyid menjebol gawang sendiri dengan sengaja di Piala Tiger 1998, malah ada yang sampai melempari layar TV-nya dengan asbak.

Di dalam stadion, pantat suporter mulai panas-panas gregetan. Sebagian yang sudah tak kuat menyaksikan pemandangan ini, serta-merta meninggalkan tribune. Padahal 10 menit masih tersisa. Sebagian yang lain, mencoba menunggu entah apa.

Satu di antara yang masih setia itu adalah Hendri Mulyadi.

Namun, merpati memang ternyata tak pernah menjanjikan apa-apa sebelumnya. Satu-satunya yang pernah berjanji hanyalah Benny Dollo, pelatih timnas kita, di depan sorotan kamera para wartawan saat jumpa pers.
Janji-janji manis serupa janji para politikus saat kampanye.

Hendri kecewa, hatinya geram, waktu telah menunjukkan injury time. Ia teringat jarak yang telah ia tempuh dari Bekasi hingga ke stadion. Ia teringat bagaimana terpaksa harus merogoh kocek dua kali lipat demi janji yang sangat ingin ia saksikan.

Maka, bila tak ada satupun pemain hingga pelatih di negara ini yang bisa menunjukkan seperti apa itu permainan ‘terbuka’ ala FC. Barcelona, sudah sepantasnya seseorang harus beraksi memperlihatkannya!

Selang berapa lama, dari kejauhan, ada seorang lelaki sedikit gempal yang berlari-lari. Ia berhasil ‘membuka’ hadangan pagar pembatas tribune. Setelah itu, ia juga berhasil berkelit ‘membuka’ kawalan petugas di pinggir lapangan.

Dalam tempo yang cukup cepat, ia malah telah berada di tengah-tengah lapangan. Pertandingan terhenti. Di depannya tampak Boaz berusaha mencegatnya, tapi ia lagi-lagi mengecoh dan sukses ‘membuka’ cegatan Boaz.

Inikah permaianan terbuka itu?

Ia terus saja berlari menuju bola yang terhampar di pinggir lapangan. Benny Dollo terlihat mengejarnya dari luar lapangan. Sang pelatih ‘ingkar’ janji itu jelas tak berhasil menghadang pergerakannya. Maklum saja badannya justru lebih tambur dari lelaki itu.

Kini, bola digiring sendirian, bahkan telah memasuki kotak penalti. Seorang polisi berseragam terlihat berusaha sekuat tenaga mengejarnya dari belakang. Ia tinggal berhadapan dengan Al-Habsi yang maju bergerak mempersempit ruang tembak.

Lelaki itu menggiring sekali lagi si kulit bundar. Momen inilah saatnya, harusnya efek slow-motion digunakan. Lalu saat ia melirik celah kosong antara posisi kiper Oman tersebut dan tiang gawang, harusnya ekspresi wajahnya diclose-up.

Dan setelah keyakinannya mantap, ia lalu melepaskan sebuah tembakan. Duaasssssss...!!! Arahnya sudah benar, sayang datangnya bola terlampau lemah. Terlalu mudah bagi Al-Habsi, kiper cadangan Bolton Wanderers itu untuk menangkapnya.

Langkah kaki lelaki itu terhenti. Ia kecewa, namun belum sempat ia menunjukkan ekspresi kekecawaannya, polisi berseragam yang sedari tadi mengejarnya memitingnya ke tanah.

Siapa lelaki itu sebenarnya?

Sosoknya muncul saat diwanwancara berita TV, namanya Hendri Mulyadi, lelaki asal Bekasi, suporter fanatik yang rela bayar dua kali lipat demi rindunya pada prestasi timnas PSSI. Ia meminta maaf kepada seluruh rakyat Indonesia atas ulahnya. Bahkan sampai memohon ampun kepada SBY segala.

Kalau saja Hendri tahu, bahwa sebenarnya ia telah berhasil menyuguhkan tontonan segar dalam sepakbola kita yang kerap bikin muka manyun. Berhasil mengubah tragedi umpatan suporter dan penonton TV menjadi gelak tawa yang benar-benar lucu. Rasa-rasanya ia tak perlu meminta maaf.

Sungguh, Hendri telah menyiratkan satu hikmah bagi kita semua: di balik karut-marut persepakbolaan kita, Ada banyak komedi tersimpan di dalamnya yang lebih lucu dari Opera Van Java atau Tukul Arwana dalam Bukan Empat Mata.

Hendri mungkin adalah representasi dari apa yang ada di hati berjuta-juta penggila bola di negeri ini. Sayang, malam itu ia gagal menjebloskan gol untuk menyamakan kedudukan.

Bahkan dengan 12 pemain pun kita keok meladeni Oman.
Bravo…bravo…bravo…Hendri Mulyadi !!!

__________________
Kampung Pettarani, Makassar 7 Januari 2010.

Selengkapnya...

‘Konser Akbar’; George Junus Aditjondro; Kembang Api; Suicide Contagion; Karl Marx; Infotainment; Gus Dur & Popularism. Ini Kado Buat Tahun Baru 2010.


Klasik. Teori sederhana ini, dalam jurnalistik sangat klasik. Tapi selalu bikin hati cengar-cengir kecut bila membacanya lagi.

“When a dog bite a man that is not a news,
but when a man bites a dog that is news.”
(Charles A. Dana 1882)
Masuk akal.

Belakangan, Mr. Klasik ini sedikit dapat bantahan. Bantahannya kira-kira begini: “When a dog bite a man is a news.”
Nah lho…kok bisa?

Menurut para pembantah, seseorang yang digigit anjing bisa saja sebuah berita. Misalnya, yang digigit bukan dari kalangan ‘orang biasa’.
Contoh; “Fauzi Baadilla digigit anjing di lokasi shooting”; atau “Saat lari pagi di halaman gedung putih, Barack Obama dikejar anjing putih.”


Kandungan nilai berita dua peristiwa di atas, katanya terletak pada popularitas Fauzi Baadilla & Barack Obama. Bukan pada anjingnya tentu saja. Begitu poin bantahan teori ini.
Sampai disini, yaaa…masuk akal-lah.

Kalau begitu, pantaslah selama ini infotainment laris-manis dikonsumsi menyaingi sandang, pangan dan papan. Lepas dari perdebatan apakah infotainment itu berita atau bukan.

Chris Martin (Coldplay) jatuh dari sepeda, Ahmad Dhani ditusuk kulit durian, Luna Maya manjat pohon pisang, hal beginian laku-jual di televisi. Bisa bikin heboh obrolan sehari-hari pirsawan.
Ini membuktikan kalau teori tentang ‘anjing gigit seseorang’ memang bekerja dengan baik.

Rabu, 30 Desember 2009. Siang menjelang sore.

Tangan kiri George Junus Aditjondro menggenggam naskah buku ‘kontorversial’ Membongkar Gurita Cikeas yang ditulisnya sendiri. Tiba-tiba, karena kupingnya serasa keriting, naskah buku ‘kontroversial’ itu mendarat di wajah kiri sekitar mata Ramadhan Pohan, politisi Partai Demokrat, yang saat itu ‘datang tak diundang’ (pergi mungkin dijemput mungkin tidak).

Sore hingga magrib. Berita ‘gurita mampir di wajah’ itu sudah berdesak-desakan di seluruh stasiun TV. Mengapa?

Logikanya rumus-rumusan ini; kalau yang menulis buku itu bukan George (cendekiawan yang kenyang cekalan pemerintah), melainkan Abdul Karim (si bukan siapa-siapa tetangganya George); atau judul bukunya bukan Membongkar Gurita Cikeas, melainkan Membongkar Kandang Ayam Tetangga di Ciledug; atau yang disambit bukan Ramadhan Pohan (Politisi Partai demokrat), melainkan Ramadhan Rohim (calon Kepala Dusun Ciledug si pemilik kandang ayam), maka blow-up televisi tak bakal segitu-gitu amat.

Apakah yang disorot stasiun TV itu George-nya, ataukah Ramadhan-nya, ataukah peristiwa penyambitannya? Sekali lagi, ini bukti bahwa teori tentang ‘anjing gigit seseorang’ memang manjur.

Selepas magrib, pukul 18:45– hari yang sama ketika guritanya George mampir di wajah Ramadhan.

Mantan Presiden RI ke-4, cendikiawan yang suka ceplas-ceplos “gitu aja kok repot,” wafat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Satu jam setelahnya, seluruh siaran TV penuh dengan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Disorot dari berbagai sudut, low hingga high angle.

Sambitan ‘gurita’nya George tergusur. Popularitas dikalahkan popularitas. ‘Bukan orang biasa’ digusur oleh yang ‘lebih bukan orang biasa’. Penggusuran berlangsung ganas– mengalahkan ganasnya aparat Satpol PP– hingga malam. Hingga tengah malam. Hingga menjelang pagi. Hingga pagi.

Koran datang, headline semua bicara Gus-Dur. Halaman dalamnya, kebanyakan masih tentang Gus Dur; In-memoriam, Tokoh Bicara, Obituari, perjalanan hidup, atau iklan turut berduka cita.

Siang hingga sore, liputan live TV pemakaman Gus Dur.

Giliran malam, yang berdasarkan kalender Gregorianik, diam-diam merapat ke tahun baru. Salah satu stasiun TV menayangkan ‘Konser Akbar 2009’. Jauh hari, publikasinya jor-joran dengan embel-embel konser paling ‘spektakuler’ tahun ini. Lima grup musik dalam negeri tampil secara bergantian: ST 12, Nidji, Ungu, The Changcuters dan D'Masiv.

Konser mulai disiarkan. Di screen latar panggung raksasa, muncul potongan visual Gus Dur. Saat itu giliran Muhammad Charlie Van Houtten (ST 12) membawakan tembang Saat Terakhir. Matanya berkaca-kaca, seperti petanda bila tentu ia turut sedih mengenang tokoh yang ada di screen itu.

Giring Ganesha Djumaryo (Nidji) setali tiga uang dengan Charlie, “Selamat jalan Gus Dur…” teriaknya dengan menengadah ke langit dan haru yang mendalam di sela-sela lirik lagu Sang Mantan.

Gus Dur masih mendominasi ruang ‘kesadaran publik’.

Pertanyaannya, apakah potongan visual Gus Dur pada screen, juga isak tangis Charlie dan Giring memang sengaja dipersiapkan jauh hari sebagai persembahan spektakuler? Jelas tidak mungkin. Sebab, masa sih mereka bisa tahu kapan harinya Gus Dur meninggal.

Kalau begitu, apakah potongan visual dan isak tangis itu berupa ungkapan perasaan spontanitas, ataukah sekedar rasa takut dianggap tak punya empati walau kesannya malah tampak dibuat-buat mirip nonton fragmen kelas rendahan? Wallahualam.

Yang jelas, tajuk ‘Konser Akbar 2009’ plus publikasi yang jauh hari diberi propaganda embel-embel konser paling ‘spektakuler’ itu, sudah kelihatan saljul alias ‘salah judul’ sampai-sampai terlihat salah tingkah. Kecele gara-gara mencampur-adukkan ‘histeria’ dan ‘belasungkawa’. Suatu pemaksaan racikan konyol menyatukan minyak dan air.

Kalau saja di 30 Desember 2009, selepas magrib pukul 18:45, yang wafat bukan Gus Dur, besar kemungkinan ceritanya akan lain. Mungkin pemandangan hambur-hambur isak tangis barisan vokalis grup musik, yang sama sekali jauh dari kesan natural di panggung raksasa yang direncanakan ‘spektakuler’ itu takkan pernah ada.

Kalaupun salah satu dari Richard Kurniawan Zakaria (36), ataukah Ice Juniar (24), ataukah Reno Fadillah (25), ataukah ketiga-tiganya sekaligus, mau menunda aksinya untuk bertukar hari dimana Gus Dur wafat, maka jangan pernah mimpi ketiga wajah orang ini nongol di screen raksasa itu.

Tapi sebentar! Richard, Ice, dan Reno ini siapa? Main sambar-sambar nama sembarangan.

Bolak-balik catatan halaman belakang, Richard adalah lelaki yang terjun dari lantai XI Mangga Dua Square, Jakarta Utara hingga tewas. Ice lain lagi, ia memilih lantai V Grand Indonesia sebagai titik aksi Superman-nya. Sementara Reno, entah janjian dengan Ice atau tidak, di hari yang sama ia pun memilih lantai V sebagai tempat terakhirnya berdiri. Hanya saja Reno lebih menyukai Senayan City ketimbang Grand Indonesia.

Konyolnya, rata-rata mulut bergincu para psikolog jebolan luar negeri yang manis-manis itu berteori bahwa fenomena ini sebagai suicide contagion. Maksudnya, bunuh diri yang menular akibat perilaku serupa yang pernah mereka saksikan. Tujuannya kadang untuk mencari perhatian, coba-coba, atau mau membuktikan dirinya hebat.

Selama ini mereka kurang perhatian orang-orang sekitarnya. Karenanya, maka itu sebagaimana daripadanya, para keluarga dan orang terdekat kudu memberikan perhatian ekstra terhadap orang-orang seperti ini.

Yang benar saja, masa sih ada orang mau melompat dari lantai ketinggian hanya karena coba-coba, mau membuktikan diri hebat, atau sekedar pengen jadi pusat perhatian.

Sepertinya lebih rasional sedikit bila mengatakan bahwa ada yang tak beres dengan kondisi sosial bangsa ini. Bahwa bahkan setelah 64 tahun– sama artinya dengan 64 kali tiup lilin ulang tahun– negara ini masih tak bisa juga mewujudkan PR-nya yang tertera di sila ke-5 Pancasila. (Kalau lupa bunyi sila ini, kutipannya sbb: “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”)

Andai kata Karl Marx masih hidup, mungkin dia sudah angkat corong wireless dan koar-koar di puncak Monas: “Ini mencurigakan, bahwa modal gemah ripah loh jenawi toto tentrem kertoraharjo yang dimiliki negara kita tercinta ini masih juga tak cukup mewujudkan kesejahteraan lahir maupun batin.

Richard, Ice, dan Reno mungkin dari keluarga yang gak parah-parah amat, sebab masih sempat memilih pusat-pusat perbelanjaan sebagai tempatnya berucap hasta la vista. Tapi di belakang mereka, seabrek kasus serupa yang lebih memprihatinkan. Grafik angka bunuh diri dari tahun ke tahun kejar-kejaran dengan angka pengangguran. Di hitung berdasarkan statistik, kebanyakan memilih tali jemuran, racun serangga, atau menara aliran listrik gara-gara nunggak uang sekolah anak, tak bisa bayar utang, atau kena PHK .

Obat mujarab pertolongan pertama pada ‘keadilan sosial’ itu adalah menyuapi satu-persatu anak-anak bangsanya dengan nasi secara adil dan merata. Bukan tiwul, nasi aking, apalagi sendal jepit. Kalau memenag negara kekurangan tangan, bikin lapangan pekerjaan agar mereka bisa menyuapi mulut sendiri. Bukan malah dalih menuding kurangnya perhatian ayah, ibu, istri, saudara, anak-anak, kerabat, bahkan tetangga sekitar mereka.

Dasar sableng !!!” maki Marx. Setelah orasinya itu, ia komat-komit dalam hati sebentar, lalu ikut-ikutan melompat dan terkapar bersimbah darah tepat di bawah monumen lambang kemerdekaan. “Untuk menemani Richard dkk curhat di liang lahat,” katanya.

Marx kena syndroma suicide contagion.

Balik ke soalan ‘Konser Akbar 2009’. Sampai di mana tadi?

Oh iya…kalau saja yang wafat di 30 Desember 2009 itu adalah Richard, Ice, atau Reno maka jangan pernah mau repot-repot mimpi, Giring dan lainnya mau berfikir mengeluarkan jurus ‘isak-tangis’ maut di atas panggung. Sekalipun pemandangan jurus basi itu sekedar pura-pura seperti yang terlihat untuk Gus Dur.

Paling-paling yang ada sorak-sorak ke-giring-an, “Ayo Indonesia…selamat tahun baru Ancol…happy new year Indonesia…semuanya lompaaaat…!!!” sembari berlari-lari ke sana ke mari. “This is disco lazy time… disco..lazy time…” teriaknya.

Dan di langit, terompet bersahut-sahutan, kembang api berhamburan “Jedar…jederr..dar…der...dor…teeet…teeeeeett!”

Sampai di sini, cara kerja teori ‘anjing gigit seseorang’ ini mulai agak gak connect di akal.
seolah-olah "when an ordinary man dead is not a news. But when an extraordinary man dead is a news.

Dikulik lebih dalam, teori ini seolah-olah mau bilang: “Kalau mau meninggal lalu ingin menjadi berita dominan di TV serta headline surat kabar, muncul di screen raksasa panggung ‘Konser Akbar’, diratapi vokalis-vokalis grup musik dalam negeri, syaratnya jadi ‘orang tidak biasa’ dulu (semisal John Lennon atau Gus Dur), baru kemudian monggo wafat.”

Andai di dalam kubur, bibir (alm) Gus Dur masih bisa ceplas-ceplos, mungkin dia akan ngomong seperti ini:

Gus Dur : “Gitu aja kok repot! Lha wong, Saya sudah wafat kok masih aja diomongin. Sampeyan gak takut dosa apa, ngomongin orang mati. Ini lagi, pakai bawa-bawa nama saya diblognya segala, kena undang-undang ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) baru tau rasa sampeyan.”

Empunya Blog : “Waduh…maaf Gus…maaf…tulisan ini nda bermaksud mendiskreditkan Charlie, Giring, Konser Akbar 2009, stasiun TV, surat kabar, George dengan guritanya, negara, pihak-pihak yang disebutkan di atas, apalagi mempertanyakan sumbangsih Gus selama ini terhadap bangsa.
Cuma, teori when a dog bite a man is a news itu lho Gus. Kayak ada sesuatu yang terlalu diistimewakan di balik kata man-nya itu lho.
Tapi kalau masih salah juga, ya man-nya diganti dog aja deh. Biar gak ada yang tersinggung.

Nah, sampai di sini, rasa-rasanya bukan teori ‘anjing gigit seseorang’ ini yang gak connect. Malah tulisan inilah yang makin ngawur. Makanya cukup sampai di sini saja. Nanti malah makin banyak yang naik pitam. Lagipula heran, anjing sebelah rumah kok tiba-tiba menggonggong. Tamat.

__________________
Kampung Pettarani, 4 Januari 2010.

Selengkapnya...

Fiksi Avatar Cameron sama sekali tak ‘fiksi’

Buang dulu jauh-jauh pikiran bahwa; This is a film by James Cameron. The most wanted director di jagad perfilman dunia.

Tadinya semua orang cukup sabar, tapi kalau sampai memakan waktu 12 tahun masa penantian, orang-orang pantas curiga jangan-jangan setelah masterpiece-nya Titanic di tahun 1997, Cameron telah dijangkiti sindrom yang biasa menjangkiti sutradara– ‘kehabisan bensin ide kreatif’ untuk kembali mengulang sukses melahirkan film yang pantas menjadi buah bibir.

Buang juga jauh-jauh pikiran tentang tingkah polah Cameron, director yang pernah bikin tenggorokan executive producer bak kesedak biji kedondong menghitung angka yang diajukannya dalam proposal budgetting film Titanic. Beberapa studio film menolak mentah-mentah proposal tersebut, sembari mengecapnya ‘orang gila yang hendak bikin Hollywood bangkrut’.


Dasar si Cameron memang ‘gila’, malah sekarang ‘kepalanya dari batu’, di Avatar kelakuan nyeleneh itu diulangnya. Menurut imdb.com biaya produksi film terbarunya ini 230 juta dollar AS (sekitar 2,3 triliun). Reuters lain lagi; ini salah satu dari film paling mahal yang pernah dibuat dan dipasarkan, menghabiskan dana 400 juta dolar AS.

Cuma, kalau mengingat-ingat predikat sukses Titanic sebagai film terlaris sepanjang masa, rasanya tak perlu heran jika reaksi 20th Century Fox tak lagi seperti kesedak biji kedondong. Justru mungkin dimatanya, otak Cameron sekarang dipandang mirip mesin raksasa penghasil fulus.

Buang juga jauh-jauh lebih dahulu, kutipan ‘kompor-kompor’ sanjungan beberapa media usai pemutaran perdana Avatar di London. Mereka menulis:

"James Cameron telah membuktikan dirinya bahwa dia memang rajanya dunia (film).
Sebagai panglima perang dari para teknisi efek visual, perancang makara, ahli teknik rekam gerakan (motion-capture), figuran, penari, aktor, penata musik dan suara, dia (James) mengubah film-film fiksi ilmiah era abad ke-21 menjadi keajaiban yang menakjubkan, yakni Avatar."
- Suratkabar The Hollywood Reporter -

"Avatar film paling mempesona dekade ini. Adegan perang di akhir babak yang panjangnya 20 menit benar-benar menakjubkan."
- Tabloid The Sun, Inggris -

"Kerja dengan ganjaran luar biasa besar, yang mana teknologi baru telah memudahkan para sutradara berkreasi.”
- Majalah Empire memberi lima bintang penuh kepada film ini -

"Avatar benar-benar lebih hebat dari perkiraaan. Film ini mengagumkan dan kisahnya mengena sekali, meski murahan di banyak bagian. Film mengerikan yang oleh banyak orang sempat dihindari itu, tidak terbukti (mengerikan). Bagus."
- Mark Brown dari The Guardian, London -

Buang juga jauh-jauh, cerita di balik proses produksi.
Bahwa imajinasi Cameron baru bisa terwujud setelah mengerahkan seluruh perangkat terbaik teknologi industri hiburan yang ada saat ini. Menerapkan reality camera system ciptaannya sendiri, yakni penggabungan dua kamera berlensa defenisi tinggi menjadi satu, guna menghasilkan citra setajam mata manusia.

Mengkombinasikan gambar asli dengan animasi komputer (computer generated images/ CGI), sehingga mampu melukiskan lanskap luar angkasa beserta penghuninya dengan visi yang meyakinkan.

Membutuhkan 4 tahun proses produksi. Menggunakan lebih 1 petabyte = 1.000 terabyte penyimpanan data digital bagi semua komponen yang dihasilkan komputer-produksi film. Setara dengan 500 kali jumlah penyimpanan data gambar digital yang digunakan untuk menciptakan dan mengkaramkan kapal Titanic bersama penumpangnya.

Dan untuk semua itu, sejak 1994, Cameron harus memendam imajinasinya tentang Avatar, meski cerita dan skenarionya telah selesai digarap, hanya karena teknologi waktu itu belum bisa mewujudkan mimpinya.

* * *

Barulah setelah membuang jauh-jauh hal-hal di atas, maka konsentrasi diarahkan untuk membongkar; cerita apa sih yang ingin Cameron sampaikan sampai harus menunggu waktu bertahun-tahun?

Alkisah, tersebutlah sebuah masa di tahun 2154, dimana sekerumunan ras manusia berada di Pandora– satelit seukuran bumi yang mengorbit di salah satu planet pada sistem bintang Alpha Centauri-A.

Mereka tergabung dalam satu korporasi besar. Tujuannya satu, menambang mineral bernilai tinggi bernama unobtainium, bahan baku bagi peradaban bumi yang tengah kehabisan sumber energi.

Proyek luar angkasa ini didukung dengan perkembangan sains dan teknologi super canggih. Komputerisasi hologram, sistem satelit informasi di planet lain, pesawat dan heli-heli dengan misil-misil kendali, prajurit berseragam robot raksasa, serta penggabungan DNA manusia dengan Na’vi (makhluk lokal berwarna biru) menjadi sosok kloning– wujudnya diserupakan Na’vi namun otaknya dikendalikan manusia melalui transfer gelombang kesadaran secara elektronik dari tempat yang aman (sistemnya mirip Neo dalam film Matrix, namun selangkah lebih maju sebab bila tombol off ditekan sang pengendali tak lantas mati).

Karakter utama film ini adalah Jake Sully (Sam Wortington), mantan marinir lumpuh yang diangkut ke Pandora menggantikan kakaknya yang meninggal. Misi Jake bukan untuk kembali menjadi serdadu, melainkan bergabung di unit ilmuwan mengendalikan sosok kloning (rekayasa genetika Na'vi dan kakaknya) untuk disusupkan mempelajari secara persuasif lingkungan serta kehidupan masyarakat Na'vi penghuni Pandora.

Persoalan kemudian muncul, masyarakat Na’vi ternyata bertalian erat secara spiritual dengan lingkungannya. Sehingga ini menjadi kendala dalam penambangan unobtainium.

Pandora sendiri digambarkan sebagai pemandangan hutan perawan luar angkasa dengan gunung dan tebing yang melayang di awan. Pohon-pohon raksasa yang menjulang ke langit, berbagai flora yang memendarkan cahaya di malam hari, serta makhluk-makhluk yang memikat hati.

Singkat cerita, oleh korporasi proses negoisasi tak bakal mungkin menemukan kesepakatan. Maka, seperti biasa, konfrontasi ala militer menjadi jalan keluar pilihan sekerumunan ras manusia.

Untuk melihat detil plot-plot cerita yang lain, alangkah baiknya bila menonton langsung. Masalahnya kalau harus diceritakan semua, bisa-bisa panjang halaman ini jadi bertumpuk-tumpuk macam tesis. Ini saja rasanya sudah cukup bikin Anda mau lari.

* * *

Lantas apa yang memukau dari model cerita konvensional macam beginian?

Benar, film-film yang pernah dibuat Cameron kebanyakan pop action-science fiction. Tengok Terminator, Aliens, Terminator 2, atau Titanic. Semuanya menitik-beratkan pamer teknologi canggih, special effect, teknik animasi, dan segala tetek bengek manipulasi gambar lewat komputer. Ibarat kung-fu, Cameron seperguruan dengan Steven Spielberg (meski Spielberg pernah membuktikan kepiawaian lainnya lewat film Schinder List dan The Terminal). Wajar, sebab konon basic yang bersangkutan berangkat dari seorang editor.

Ide cerita yang disuguhkan Cameron pun selalu pop yang biasa-biasa saja. Masih berkutat tentang jagoan yang susah payah menjungkalkan si jahat. Klise.
Jauh dari kesan cerita-cerita yang bikin dahi berkerut macam Lars Von Trier atau Gaspar Noe. Humanis seperti Takeshi Kitano atau Majid Majidi. Apalagi puitis seperti Giuseppe Tornatore atau Wong Kar Wai.

Cuma kali ini science fiction-nya Cameron ada yang terasa beda.
Menonton Avatar, seperti menyimak cerita humanis sekaligus kritis namun tetap dibungkus dengan kemasan pop pameran teknologi canggih. Kenapa Cameron masih tetap setia dalam genre spesialisasinya ini? Mungkin tujuannya agar penonton tidak kehilangan daya pikat dentuman sound system yang menggetarkan dada, action peperangan yang superfisial melampaui batas nalar, ditambah ilusi khayal yang begitu imajinatif saat duduk di ruang gelap kursi empuk bioskop.

Dan memang, justru kemasan inilah yang tetap menjadi pemikat bagi penonton untuk mengikuti suguhan-suguhan sinematografi Cameron, sekaligus dia mulai menyusupkan secara perlahan tujuan pola pikirnya dari balik gambar-gambar imajinatif tersebut.

Menonton Avatar seperti tidak menonton fantasi, melainkan menyimak rangkaian kritik pedas filosofis Cameron terhadap umat manusia. Seperti strategi pengucapan pantulan ‘cermin’. Ia hanya meminjam fiksi sebagai medium, namun sebenarnya hendak menelanjangi sebuah realita. Ia hanya meminjam setting persoalan yang terjadi di negeri antah-berantah nun jauh di luar angkasa, padahal sejatinya persoalan itu melekat di atas tanah yang kita jejaki.

Film ini seperti menyindir, bagaimana perilaku otak rakus tuan-tuan kapital korporasi raksasa di dunia, mengeksploitasi alam atau buruh-buruh negara dunia ketiga demi hitung-hitungan pengeluaran/pendapatan dan untung/rugi. Peduli setan dengan alam dan hal-hal kemanusiawian. Yang jelas grafik neraca laporan keuangan mesti meningkat.

Film ini seperti menyindir, bagaimana sifat agresor dan destruktif menjadi kecenderungan pilihan umat manusia dalam menyeleaikan suatu situasi pertentangan. Lihat bagaimana Jake Sully (karakter utama) ditampilkan sebagai sosok lumpuh mantan marinir korban perang. Atau sindiran Cameron terhadap arogansi George W Bush melalui ucapan “pre-emptive attack” serta “we will fight terror with terror.”

Film ini seperti menyindir, bagaimana dosa-dosa orang-orang Eropa– nenek moyang negara-negara di benua Amerika dahulu– dengan bedil dan meriam memaksa dan merampas wilayah teritori suku-suku Indian bahkan membinasakan populasi ras merah ini di tanah moyang mereka sendiri. Kala itu mereka datang dengan alasan emas, kali ini di Avatar mereka bermaksud menjarah unobtainium. Lihat saat peperangan terakhir, Jake Sully dalam wujud Na’vi, memimpin perlawanan dengan mengenakan bulu-bulu burung elang pada kuncir rambutnya serta deretan gigi binatang di kepala, seperti mengingatkan kita akan perlawanan gigih Gojyalka atau yang lebih populer dengan nama Geronimo dari kelompok Chiricahua Suku Apache.

Film ini seperti menyindir, bagaimana sains dan teknologi kadang tampil serupa benda laknat penghancur kemurnian alam yang eksotis. Begitu kontrasnya kehadiran mesin-mesin perang, misil-misil kendali, komputerisasi hologram, teropong-teropong satelit informasi yang datang bersekongkol hanya untuk menumbangkan pohon-pohon raksasa, tanaman-tanaman yang berpendar-pendar dimalam hari, tebing-tebing yang menggantung, serta sekelompok makhluk yang cuma bersenjatakan anak panah.

Film ini seperti menyindir, bagaimana umat manusia tak juga paham bila alam memiliki hukum ketetapan. Bahwa alam akan bereaksi sebesar bagaimana kita memperlakukannya. Bahwa semakin besar emisi CO2 di bumi ditebarkan, semakin cepat gunung-gunung es di kutub mencair dan semakin leluasa badai awan panas matahari menembus bolong-bolong lapisan ozon. Dan barulah kemudian, sekerumunan pemimpin negara-negara dunia krasak-krusuk di Kopenhagen (Denmark) pusing membicarakan bagaimana menyelamatkan bumi. Itupun masih tanpa hasil kesepakatan yang berarti.

Film ini seperti menyindir, bagaimanan umat manusia sama sekali tak menghargai makna suatu kehidupan. Bahwa satu mahluk hidup punya kontribusi dalam menjaga keseimbangan alam. Satu kematian makhluk hidup akan mempengaruhi struktur keseluruhan alam. Masyarakat Na’vi ternyata jauh lebih dulu mengetahui makna ‘Theory of Everything’-nya Stephen Hawking.

Film ini mau bilang, bahwa kitalah (umat manusia) para Avatar (peziarah) yang datang di muka bumi. Sayangnya kita tak punya sopan-santun saat telapak kaki mulai menebarkan jejak di atas tanah.

* * *

Ada tiga hal lain yang menarik mengenai film ini:

Pertama, di bagian ending James cameron itu seperti membuat pernyataan sikap melalui tokoh Jake Sully. Pada akhir cerita, semua ras manusia yang masih hidup diusir pulang ke bumi. Jake memilih untuk tinggal. Anehnya dia mematikan wujud manusianya, dan memilih hidup dalam wujud Na’vi.
Melalui scene ini, Cameron seolah menampar lewat pengumuman bahwa ia telah jenuh dan ingin berhenti menjadi manusia.

Kedua, tak satupun aktor dengan nama besar berakting dalam film ini. Avatar seperti tak butuh pemaksaan aura kebintangan wajah Natalie Portman, Monica Bellucci, Johnny Depp, atau Brad Pitt sekalipun. Cameron sepertinya telah yakin, bahwa film ini emang dari sono’nye udeh gede sendiri. Jadi, kehadiran lakon nama-nama besar sama sekali tak mempengaruhi apalagi mengurangi daya magis film ini.

Nah yang ketiga, film ini memang hebat. Saking hebatnya, film ini berhasil menipu sebagian ABG kisaran kelas 6 SD – 3 SMP yang hari itu mendominasi 80% kursi-kursi Studio 3 Bioskop 21 Mall Panakkukang, Makassar. Mungkin mereka pikir, Avatar-nya Cameron adalah Avatar: The Last Airbender. Film yang diadaptasi dari serial kartun, dimana si gundul Aang akan mengalahkan Sokka, sang pangeran kerajaan api.

Dia, James Cameron, sutradara pop action-science fiction yang sekali lagi membuktikan bahwa dirinya memang jenius, director sekaligus entertainer yang berubah makin kritis-filosofis, yang membalikkan gelar ‘orang gila yang hendak bikin Hollywood bangkrut’ menjadi ‘orang gila si mesin fulus Hollywood’, dan si penipu bagi anak-anak ABG.

______________
Kampung Pettarani, 26 Desember 2009.
Selengkapnya...