Seumpama Saya…Maka Bukan #KamiTidakTakut… melainkan #KamiIkhlas



Yaaa… kami sangat takutlah! One hundred percent itu…!!!

Bayangkan… di perempatan Sarinah, Jakarta, jalanan nomor satu paling sibuk di Indonesia, ada 3 orang ndak ngerti apa-apa, terpaksa tergeletak MATI, ditambah 4 orang pelaku yang tentu saja ngerti apa-apa, JUGA MATI dengan; ada yang terburai bom bunuh diri, ada yang ditimahpanaskan Polisi…
Total 7. Di bawah terik siang pula.

Bahkan jauh sebelum ini, kami ‘tidak kalah’ sangat takutnya, terpaksa tergeletak di tengah jalan raya, gara-gara metromini ugal-ugalan, begal motor ABG-ABG keroyokan, perang sipil di jalanan, tawuran SMU, pembunuhan ‘menggunakan racun’ berencana, ditembak pistol entah siapa, diperkosa di jembatan penyeberangan, perampokan, penodongan dan segala macam kekerasan.

Kita sebaiknya takut, bahwa kenyataan di negara kita; sebagai bangsa yang konon mewarisi nilai-nilai kebudayaan adiluhung, dimana manifestasi sejarah panjangnya masih dijumpai hingga hari ini; sebagai bangsa yang konon dengan komposisi penduduk Islam terbesar di dunia, yang mampu hidup harmoni dalam perbedaan keyakinan di atas tanah yang sama; kok… seperti mengobral murah harga sebuah nyawa dan kehidupan.


ini Tragedi. Tragedi yang bukan dari alam, tapi kemanusiaan.

Kita sebaiknya takut, meski telah sebagai manusia, kita seperti masih belum juga paham makna, bahwa kita adalah makhluk yang ditakdirkan untuk (di)mulia(kan). Bahwa sebagai manusia, siapapun tanpa kecuali, wajib menjunjung tinggi kehidupan atas dirinya dan kehidupan atas manusia lainnya.

Oh… mungkin karena ketidakadilan politik internasional, perang ideologi, mungkin karena desakan ekonomi, mungkin karena efek samping gejolak penduduk, mungkin karena ketimpangan kota dan desa, mungkin karena sistem pendidikan, keagamaan bahkan negara yang lemah, mungkin sebaiknya kita tidak terjebak dengan kedangkalan mencari jawaban ‘mungkin karena ini atau itu’.

#KitaTidakTakut… 

Oke, lalu karena itu besok-besok acaman teror atau horor tak akan kembali lagi?
Ibarat di ring tinju, seorang bocah usia belasan, sudah mimisan babak belur kena tonjok tangan orang dewasa, tetapi masih sok kuat bangkit berkata:

“Tidak sakit… Saya tidak takut!” 
Dan teror serta-merta bablas.. kapok tak mau datang lagi.

Aah.. Kalau begitu, biar kesannya arif bijaksana, bikin juga #KamiIkhlas, ataukah #KamiMenaikkanBenderaSetengahTiang, ataukah #KamiMengenangMereka3YangTergeletakMatiKarenaTakMengertiApa-ApaMaupun4YangKarenaDibutakanKeyakinanAneh.


Habis itu, kita sambung lagi #Kami juga bertanya pada negara, undang-undang, aparat-aparat penguasa, organisasi-organisasi masyarakat, profesi-profesi, setiap individu, dan tentu saja kami sendiri; Sudahkah kita paham, apa yang selanjutnya masing-masing harus kita lakukan agar tak ada lagi manusia yang tergeletak di tengah jalan raya, di bawah terik siang pula?

Kita wajib berdoa, bukan lantaran kejadiannya di negeri sendiri, tetapi setiap tempat di penjuru dunia, semoga kekerasan dengan alasan apapun itu, tidak terulang apalagi berulang-ulang. 

Tak bosan-bosannya kah kita kembali melecehkan kemanusiaan kita sendiri. Apakah kita perlu cermin untuk dibawa setiap saat? Jangan-jangan derajat kita sebenarnya hanya tampak seperti kawanan makhluk bertaring yang menghalalkan pemangsaan dan darah yang tertumpah.

Karena, sama-sekali tak ada alasan apapun yang bisa dibenarkan, bahwa manusia bisa menghilangkan nyawa manusia lainnya!” Titik.


Dedicated:

3 orang korban dan kelurga tercinta yang ditinggalkan, aparat kepolisian yang telah melakukan tindakan pencegahan, mereka-mereka yang melakukan pertolongan di tengah kejadian, 

dan 4 orang yang mati karena keyakinan aneh. 




Selengkapnya...

Direct Messages untuk akunnya bapak walikota terpilih Makassar.




Assalamualaikum, Pak Danny Pomanto & Dg Ical,

Bukan kebetulan sewaktu ini ditulis, durian, rambutan serta tentu saja hujan lagi deras-derasnya di kota kita. Memang sedang musimnya.

Sama seperti Jakarta. Hujannya maksudnya.

Malah di sana lebih parah. Itu yang kita lihat di pemberitaan. Bahkan pemimpin sekelas Jokowi-Ahok pun yang dipuja-puji ketika memimpin Solo dan Belitung Timur itu terpaksa mengakui bahwa parahnya kondisi Jakarta saat ini membuat keduanya merasa butuh proses tahunan untuk bisa betul-betul merampungkan program rehabilitasinya.

"Kita butuh waktu, kita harus belajar agar tidak mengulang kesalahan yang pernah dilakukan kota-kota di negara maju pada masa silam," kira-kira begitu jawaban yang diberikan kepada wartawan.

Soal banjir jakarta kita semua tentu turut prihatin.

Tapi bukan berarti kita juga ikut-ikutan lengah, bahwa sendainya didiagnosa, kota ini tampaknya mengalami fase gejala awal serupa yang dulu pernah dirasakan Jakarta.

Seumur-umur tinggal di kawasan Kecamatan Panakkukang, sekonyong-konyong rasanya baru beberapa tahun terakhir ini bisa menyaksikan Jalan A.P. Pettarani depan Ramayana-Pizza Hut ataupun belakang Kantor PU itu akhirnya rutin tergenang juga. Padahal hujan derasnya baru datang sehari.


Lalu, lampu merah Tugu Adipura depan PLTU menuju timur hingga depan M'tos, sepertinya sudah punya jadwal macet tetap. Jembatan Sungai Tello yang berada di tengahnya, juga sudah tampak kekecilan menampung volume kendaraan yang lewat. Lebih kelihatan seperti selang yang tersumbat.

Daerah-daerah yang tadinya resapan, satu-persatu berganti menjadi rumah toko atau kalau tidak rumah-rumah seragam milik pengembang. Depan STIMIK kawasan Perintis Kemerdekaan yang tadinya hamparan padang rawa membentang hingga ke belakang hutan pohon nipah, begitu cepatnya tertutup deretan toko-toko dan rumah bernyanyi.

Perilaku berkendaraan di kepadatan jalan juga makin laju, tapi ajaibnya makin masa bodoh juga dengan rambu-rambu apalagi etika. Saling salip adu gesit di tengah antrian entah di kejar apa. Meski tahu kalau sampai hari ini science belum mampu melahirkan ilmuwan penemu nyawa. Masa sih tuntutan roda ekonomi sampai nekat-nekatan seperti itu.

Kultur-sosial kita juga demikian. Makin absurd. Contoh pemandangan saudara-saudara yang kerap hadir di lampu merah. Ini soal usang, tapi faktanya masih susah menemukan jalan keluar yang tepat. Malah kok tampilannya makin muda-muda, sepintas lalu badannya kayak sehat-sehat saja.

Ini realitas di baliknya apa lagi? Apa ini kisah tentang pemulung Jakarta yang mampu punya uang simpanan puluhan juta di dalam gerobak ataukah memang benar karena tak ada pilihan? Tapi, masa sih sampai bilik ATM di pinggir jalan dipatok juga jadi lahan parkir dengan modal cuma sempritan, minus seragam apalagi karcis. Kalau kakek-kakek atau ibu-ibu masih mending, ini anak belasan yang dadanya tegap.

Data statistik menyatakan tingkat pertumbuhan ekonomi peradaban kota kita tergolong tertinggi dalam klasemen nasional. Bolehlah kita berbangga. Bilamana persoalan sosialnya masih itu-itu lagi, ya tetap saja namanya ironi.

Cerita klasik, ketika kota dengan kaki kanannya adalah geliat investasi bisnis yang agresif, tapi kaki kirinya masih susah mengasah kepekaan apalagi memberdayakan panti-panti sosial dengan layak. Cerita tentang ketimpangan. Klise.

Senang sekali, punya area publik keren macam Anjungan Pantai Losari dan Taman Rotterdam. Tapi rumor yang berhembus akan ketidaknyamanan pengunjung terhadap pedagang dan pengamen yang lebih mirip mengekori ketimbang menawarkan produk. Ekspektasi psikis pengunjung yang datang tentu cari ketenangan, bukan mengharapkan ketemu teror.

Tentu perlu lebih dipikirkan jalan tengahnya. Mungkin seperti strategi yang terdengar dilakukan di Surabaya. Tak perlu sampai hati menghilangkan, cukup penataan. Boleh jualan, tapi ngetem di satu sudut. Boleh ngamen tapi jangan datangi pengunjung. Pilih satu titik, nanti terserah orang yang datang atau melintas mau menyisihkan koin apa tidak. Itu terserah apresiasi masing-masing.

Tapi kita tentu saja salut, dengan ide pemikiran pengembangan kota hijau. Penguraian faktor magnet kepadatan kota yang terpusat di kawasan Losari yang rencananya disebar ke beberapa penjuru kota. Lebih-lebih rencana rehabilitasi kanal-kanal kembali kondusif yang konsepnya bisa sebagai saluran transportasi alternatif dan wisata kota. Ide progresif dan kreatifitas yang adil bagi semua pihak memang adalah kebutuhan mutlak agar kota bisa tumbuh secara sehat.

Kagum, ternyata bapak walikota kita punya akun twitter juga. Mungkin kalau ketemu wartawan TV dan Koran, akunnya disosialisasikan saja biar followernya bisa dari seluruh lapisan warga. Keep in touch dengan warga itu penting. Hitung-hitung bisa mengikis kendala sulitnya akses komunikasi warga dan pemimpin.

Paling tidak fungsinya bisa sebagai salah satu cermin, "apa sih keinginan warga riil sebenarnya?" Bukan hanya dijejali bisik-bisik orang-orang sekeliling yang mudah-mudahan bukan kompor-kompor jilatan 'asal bapak senang'. Apalagi maksud kapitalis terselebung pengusaha-pengusaha yang tipikal cuma bisa mikir laba segunung buat perut sendiri.

Sekali lagi, awalnya hanyalah agresifitas monopoli terhadap kue pembangunan disertai deru investasi bisnis tanpa perhitungan demi sebuah nama "kemajuan". Lalu datanglah lonjakan penduduk, dimana ada gula disitu ada semut. Mengorbankan lahan kosong, daerah resapan apalagi tanah pertanian. Sebab setiap manusia butuh tempat untuk bernaung dari yang mewah sampai kelas tripleks. Jalanan semakin terasa sesak. Setiap persimpangan berubah menjadi biang kemacetan. Bau tanah hilang berganti aspal atau pavin block. Air tak lagi bisa cepat meresap. Saluran got dan kanal makin kewalahan.

Kepadatan melahirkan kompetisi yang terlampau sengit. Akan ada banyak ijazah-ijazah yang menjadi penghias lemari. Maka ketimpangan tanpa kepekaan sosial hanyalah melahirkan kriminalitas. Kita tentu tak pernah mengharapkan kota kita mengarah menyerupai Gotham City yang setiap saat diliputi perasaan mencekam. Tak lucu kiranya membayangkan Dg Kulle mengganti seragam dengan kostum hitam-hitam bersayap kelelawar, mencoba menjadi Batman yang membekuk tukang hipnotis atau mengejar geng motor yang statusnya masih kreditan bapak.

Kita tentu memilih sosok yang terbaik ketika berada di balik bilik itu. Kiranya, tidak salah picca ji walikota ke depan adalah ahli desain tata kota. Anjungan dan reklamasi pantai masih soal fisik semata, kita medambakanu kemajuan pembangunan yang sepaket dengan peningkatan kultur-sosial-religi yang lebih humanis.

Sebab kota yang ideal bukan soal seberapa banyak pencakar langitnya, tapi seberapa nyaman dan aman warganya.

Terima kasih dan selamat bekerja bapak walikota serta wakil nantinya.



* * *
Kampung Pettarani, Makassar 29 Januari 2014
Sore-sore hujan, ketika iseng ketemu akun twitternya bapak @DP_dannypomanto.

sumber foto: "arsitektur manusia hari ini" eeduyhaw

Selengkapnya...

Ketupat



Tetangga samping rumah non-muslim. Tapi ia ikut senang manakala bulan puasa tiba. Banyak jajanan klasik tiba-tiba nongol di kiri-kanan jalan. Pisang ijo, sirup DHT, es-buah, cincau, kelapa muda, panada, putri ayu dan sebangsanya.

Ibu-ibu nyeletuk, bila ramadhan, belanja rutin dapur pasti membengkak.

Tahun ini, adik teman saya minder ke lapangan untuk shalat ied.
“Masa baju ini lagi, kayak tahun-tahun kemarin,” begitu katanya.

Baru H minus 4.
Jalan sekeliling Mall Panakkukang memadat dengan antrian kendaraan. Kerumunan orang adu jajal dengan diskon.

Malam takbiran, bocah-bocah rame main petasan dan kembang api.

Lelaki-lelaki perkasa, yang memerankan sosok kepala rumah tangga nan bijak, sibuk mondar-mandir dari satu toko ke toko lain, menghitung pengeluaran yang pas dengan isi kantong.

Sarung, peci dan koko udeh. Baju baru anak tercinta udeh. Nastar dan kue coklat istri tersayang udeh. Ayam kampung dan ketupat udeh. Kelop udeh!

*   *   *

Syahdan, kata sahibul hikayat, ketupat diperkenalkan Sunan Kalijaga sebagai salah satu sarana menyebarkan islam ke tanah Jawa. Beliau menanamkan budaya bakda lebaran dan bakda kupat.

Bakda kupat dilakukan seminggu setelah hari lebaran. Saat itu, hampir setiap rumah terlihat mengayam daun kelapa muda. Selesai dimasak kupat dihantarkan kepada sanak yang lebih tua, saudara maupun tetangga sebagai lambang penghormatan serta kebersamaan. Seikat kecil juga biasa digantungkan di depan pintu rumah, simbol kesyukuran.

Kupat sarat akan makna filosofis. Bentuknya yang bersudut empat, melambangkan utara, selatan, timur dan barat. Cara membuatnya melalui anyaman rumit yang berliku-liku, melambangkan perjalanan hidup manusia yang jauh dan tidaklah mudah. Meski demikian, kemanapun arah itu berkelana, ujung anyaman terakhir adalah sisa helaian yang menghadap ke atas. Semata-mata ini bermakna bahwa bagaimanapun rupa hidup itu hanyalah kembali dan untuk memuliakan-Nya.

Memasak kupat membutuhkan waktu yang cukup lama. Ini pertanda untuk menjadi manusia yang matang perlu tempaan sedemikian rupa dan tidaklah mudah. Manakala kupat telah matang, belahlah, kita akan bertemu sesuatu yang putih, suci nan lezat. Maka semoga setelah ramadhan, setiap manusia bisa lahir dan tumbuh seperti itu.

*   *   *

Manusia adalah mahluk semiotik (tanda). Kita membangun relasi sosial hingga akhirnya membentuk sebuah budaya bermula dari praktik-praktik ataupun dialektika penandaan yang tentunya memiliki makna.

Hanya, ketika simbol (tanda) yang berlangsung dalam relasi individu, relasi sosial serta relasi budaya tengah sedemikian kompleks hingga menjurus prestise, saat itulah sesungguhnya rentan terjerembab dalam ritus simbolik permukaan yang dangkal dan miskin makna

Mudah-mudahan kita mampu mengambil hikmah. Hakikat pelajaran menahan lapar, haus dan hawa nafsu selama sebulan, bila setiap sahur apalagi bedug buka tiba, meja makan selalu disesaki pesta pisang ijo, sirup DHT, es-buah, cincau, kelapa muda, panada, putri ayu dan sebangsanya. Disusul menu utama. Hingga karena berlebihannya, kadang sisanya berakhir ke tong sampah di pencucian piring. Dan itu berlangsung selama sebulan.

Mudah-mudahan kita bisa menghirup makna. Apa itu mengucap syukur atas rezeki yang telah diberikan. Sehingga kita mampu membangun empati sosial dan saling berbagi kepada sanak yang kurang beruntung, manakala biaya belanja rutin justru membengkak dari hari-hari biasanya. Dan itu berlangsung selama sebulan.

Semoga dengan petasan, sarung, peci, koko, baju baru anak tercinta, nastar, kue coklat crispy, opor ayam kampung dan ketupat, kita bisa memahami apa itu sesungguhnya shaum (menahan diri)

Kita mencoba belajar merasakan apa itu dhuafa, melalui parade ritus tahunan pesta-pesta berlimpah.

Simbol tak memuat pretensi. Tanda tak pernah salah. Sebab sejatinya ia kosong. Kita hanya kadang terlalu dangkal memberi atau bahkan menghilangkan makna itu sendiri.

Sungguh, Sunan Kalijaga ketika pertama kali memperkenalkan makna ketupat, juga mengajarkan semiotika dalam spiritualitas.
Bahwa, ramadhan semata-mata hanyalah sebuah simbol. Bulan yang disucikan sebagai sarana melatih diri. Dimana idul fitri hanyalah penanda lonceng mulai dibunyikan. Sebab pertarungan sesungguhnya terletak di 11 bulan berikutnya.

“1 syawal 1434 Hijriyah, selamat menunaikan ibadah puasa yang sebenar-benarnya!“


* * *


Kampung Pettarani, Makassar 8 Agustus 2013.
Selengkapnya...

Tadinya, mau diberi judul ‘Keyakinan Romantik di Neraka'. Lalu diganti 'Kesetiaan Jin’. Lalu kombinasi dari 'Keyakinan Romantik, Kesetian Jin'. Berhubung sesuatu dan lain hal, yang persisnya gak tahu dan gak jelas apa, maka batal.



“Kesabaran akan selalu berbuah manis...”
Demikian tertulis di dinding akun jejaringnya orang. Punya siapa? Seronok kalau identitasnya dibuka-buka. Di samping tentu saja kurang ajar, juga kurang kerjaan. Potensi efeknya, cuma menambah daftar panjang nama orang-orang yang dibuat jengkel. Lagipula, bukan orangnya yang penting. Kalimatnya.

“Kesabaran akan selalu berbuah manis...”
Dibaca kedua kali, hmm... ya... oke. Maksud yang bijak.

“KESABARAN AKAN SELALU BERBUAH MANIS...”
Nah, baru setelah yang ketiga, setelah menerawang lebih saksama demi memenuhi rasa penasaran stadium akut, hingga lebih cocok disebut 'kemasukan' daripada 'penasaran', setelah secara tampilan lebih 'ilmuwan' ketimbang ilmuwan itu sendiri, ibarat kata menerawang adalah nongkrong 7 hari 7 malam dalam laboratorium hanya karena tak ingin kecolongan sekedipan-mata aktifitas makhluk bintik-bintik super-kecil di balik teropong lensa kaca mikroskop, sampai-sampai saking seriusnya, astagafirullah... huruf-huruf pada kalimat itu sekonyong-konyong tiba-tiba saja 'bengkak' jadi kapital semua, yang sebabnya tak tahu apa, karena itu makin dilematislah keyakinan; apakah benda berstruktur lumayan ribet bernama mikroskop ini memang benar 'alat vital' ajaib untuk 'memperbesar sesuatu'; ataukah ini semata-mata fatamorgana otak akibat reduksi endapan sisa cairan alkohol semalam; ataukah ada makhluk halus yang melintas tanpa sengaja mengakibatkan keanehan pada huruf-huruf di kalimat itu; kiranya diperlukan pertolongan langkah berfikir lebih runut, dan tentu saja pertolongan pertamanya tak lain dan tak bukan mengakhiri sekerumunan barisan kata-kata yang lebih mirip kekacauan paragraf daripada satu kalimat utuh ini dengan tanda baca: titik.


Menggumam akhirnya dalam hati, “Hmm... kayak ada yang ganjil memang kalimat ini?”

Pertanyaan ganjilnya begini, kalau setiap kesabaran selalu berbuah manis, bagaimana jika ada kesabaran yang tidak berbuah manis? Trus, semakin ia sabar tetap saja kesabaran itu gak manis-manis? Bahkan gak berbuah-buah sama sekali? Trus, bagaimana jika yang menentukan apakah kesabaran itu dibuahi atau tidak, memang sengaja memilih orang yang melakukan kesabaran itu agar gak dibuahi yang manis-manis demi membuktikan sejauh apa kesabarannya? Malahan yang pahit? Kalau perlu sekalian saja gak dibuah-buahi? Biar tambah bingung. Atau yang menentukan buah itu bilang begini, “Situ mau sabar apa kagak, ora urus, gak kenal!” Biar lebih bingung lagi.

Nah, kalau sudah begitu, apa sebenarnya kesabaran itu? Maksudnya, adakah hubungan antara sabar dengan buah? Wuaah... mulai ribet. Maksudnya, toh sabar gak bakal berbuah-buah juga, tidak sabar gak berbuah-buah juga, jadi sabar yang mana?
Apakah sabar itu harus digagahi...eh... anu...dibuahi? Apakah sabar yang tak berbuah itu bukan sabar? Bukankah buah dari kesabaran yang wujudnya tak berbuah itu adalah "buah" juga? Hanya saja dibacanya buah pakai tanda kutip? Terakhir apa hubungannya sabar dengan pepatah 'buah jatuh tak jauh dari pohonnya'?    


Yang jelas Kesabaran itu berjodoh dengan obsesi. Keduanya sukar dipisahkan. Bersisi-mata-uang-logam-lah kurang lebih istilahnya.
Sementara, obsesi itu pada dasarnya keinginan yang belum terealisasi. Tentu, dibutuhkan usaha untuk mewujudkan.

Usaha pertama dilakukan. Hasilnya gagal, sebab tolol. Ada usaha kedua.
Usaha kedua nyaris. Nyaris bikin  frustasi. Ada usaha ketiga.
Nah, usaha ketiga replay. Siaran ulang dari usaha pertama dan kedua.

Maka selain usaha, harapan juga perlu ikut nimbrung ambil bagian. Hanya saja harapan itu konsep absurd yang lumayan tidak konkrit. Bertandemlah harapan dengan kesabaran. Tandem yang serasi. Pasangan sejoli.

"Sedikitpun, kesabaranku takkan pernah surut mengharapkanmu," kalimat yang romantis. Ini bukti kalau kedua kata ini memang jodoh. Cuma, siapa memerankan sebagai tulang rusuk kiri kurang tahu. Tapi sesungguhnya, sebaik-baik kesabaran adalah KESETIAAN."

Sempurna spekulasi teori terburu-buru ini. Bisa jadi hanya karena terinspirasi dari fenomena alam “Badai pasti berlalu. Meski pelan, awan gelap pasti beranjak. Langit bakal cerah kembali. Esok matahari akan mengintip lagi. Dan pelangi akan membentang indah di langit biru.”
Pas memang sebagai selimut hangat, pelipur lara disaat semangat nyaris membatu jadi fosil purbakala.

Dan hanya gara-gara satu sempilan kata 'KESETIAAN' itulah, dari sekian banyak pilihan kata yang menghambur di atas, yang kemudian mengingatkan satu cerita, yang entah berhubungan dengan kalimat di dinding akunnya orang itu atau tidak, atau kalaupun tidak nyambung paling tidak cerita ini bukan diinterpretasikan secara sok tahu bahkan mengada-ada dari sumber sebelumnya, ataupun paling tidak cerita ini minimal menarik, pun itu gak ada yang berani menjamin, yang jelas intinya teringat saja.


*     *     *

Kala itu penciptaan manusia pertama,
Ketika ruh baru saja ditiupkan ke dalam sanubari makhluk berasalkan tanah,
Tuhan lalu menyuruh semua makhluk besimpuh sujud kehadapan Adam.

Serta merta hati Jin diliputi resah mendalam. Tak pernah sekalipun sebelumnya, hatinya sesak seperti ini. Alkisah, dengan berat hati ia mengucap kalimat:

“Sungguh, semata-mata hanya kepadaMulah aku menyembah, tak ada yang lain.” Jin mematung, tak melakukan gerak apapun.

Sujud, gerak bukan sembarang gerak.
Sembah boleh berupa apapun.
Sekuntum wangi bunga, sesajenan, tetes darah hewan sembelihan, sekarung emas berlian atau istana megah sekalipun, ihklas sanggup kita berikan.

Tetapi sujud, punya sesuatu yang lain. Sesuatu yang berikrar tentang ketundukan, kepatuhan, kecintaan mendalam, penyerahan keseluruhan, kesetiaan, bahkan meleburnya harga diri.

Ketika kepala ini rebah ke tanah, ke landasan yang bahkan lebih rendah dari telapak kaki, itulah penegasan dari bahasa tubuh paling mulia, yang melukiskan bagaimana segenap diri ini mangakui bahwa dihadapannya adalah keagungan.   

Jin sangat paham akan itu.
Maka demi cinta yang teramat dalam, demi kesetiaan yang teramat suci, ia diluar dugaan terpaksa menampik perintah.
Baginya, hanya satu yang agung, hanya satu yang mulia. Cinta itu tak mendua, kesetiaan suci itu tak berbagi. Sujudku hanyalah milikMu. Tuhan.

Perintah terlanggar.
Meski hati kecilnya sedih, itu bukanlah maksud pembangkangan apalagi pemberontakan.

Setiap pelanggaran melahirkan hukuman.
Dilemparkan (diasingkan) dirinya ke tempat yang begitu mengerikan bagi siapa saja.
Begitu kitab mengisahkan.

Apalagi yang paling menyakitkan, bila kesetian seorang hamba dipisahkan dari sisi tuan yang dicintainya.
Apalagi yang paling memerihkan, bila cinta tak lagi mampu bertemu kekasih hati.
Bahkan untuk sekedar meresapi wajahnya ataukah mendengar bisik suaranya.

Apalagi yang paling mengerikan, sebuah tempat bernama Neraka.
Mengerikan.
(Sebab otak kanan kita terlanjur diajari, inilah tempat dimana isinya tak lain lidah-lidah api yang menjulur.
Lalu otak kiri kita juga diajari, bahwa Jin adalah makhluk yang diciptakan berbahan baku api).
Sungguh-sungguh mengerikan memang. Ajaran model kayak gini maksudnya.

Bayangkan bila seseorang yang mencinta teramat dalam,
terhukum perpisahan dengan kekasihnya.
Tak ada lagi perjumpaan. Wajah yang dipandang. Bisik suara. Aroma tubuh. Bahkan kabar tentangnya.
Tak akan pernah ada lagi setitik apapun denganNya. 

Tapi sedikitpun, Jin tak pernah mengeluh.
Hatinya tak tergoyahkan.
Perpisahan bukan hal apa-apa.
Hanya binasa (ketiadaan), satu-satunya yang pantas merubuhkan keyakinannya.
Bahwa cinta itu tak mendua, kesetiaan suci itu tak berbagi.
Karenanya, sujudku semata-mata hanya milikMu.

Itu ia pegang sejak pertama diciptakan dan akan sampai kapanpun.

“Aku hambaMu yang lebih setia daripada dia (manusia).  Aku lebih mencintaiMu daripada dia (manusia). Aku hanya memohon satu, izinkan aku ikut ke dunia, bersamanya, demi untuk membuktikan itu.”

Dan dia, asal muasal bangsa setan, yang ternyata memilih terlemparkan dalam kobaran api bersama cinta dipersemayaman abadinya, mungkin benar adanya.
Benar bila tentang kesabaran dan kesetiaan tak ada yang sebaik dirinya.
Sebab, kita kadang bahkan sanggup melakukan sujud yang munafik.

Sama seperti kalimat "Kesabaran akan selalu berbuah manis..."
Lama-lama makin terlihat materialistis. Udang di balik batu.
Sepertinya tapi.
 
NB: misalnya tulisan ini gak jelas juntrungan, maka paling tidak poin yang ditawarkan 'Jin ternyata jatuh cinta pada Tuhan'.  atau mungkin 'Betapa gak penting jadi matre, gak disuka jin, bisa-bisa tiap malam minggu diapeli'. 

*    *     *

Kampung Pettarani, Makassar 16 september 2011.

sumber gambar: http://anuranjanbhatia.deviantart.com/art/My-Heart-on-Fire-58522121?q=boost%3Apopular%20heart%20and%20fire&qo=16
Selengkapnya...