Mari, Sama-Sama Hantamkan Botol ke Kepala Masing-masing Hingga Pecah


catatan awal: tadinya tulisan ini maunya diedit pendek. tapi setelah dicoba gak dapat-dapat juga. so jangan keder duluan ya kalo tulisannya kepanjangan. sebab seperti kata pepatah “orang sabar panjang….. kumisnya.” he..he..he..^_^ salaaam….selamat membaca…

Di setiap punggung orang-orang muda, generasi ahli waris hari esok, melekat hutang yang harus dibayar kontan.

Hutang itu bukan hutang uang, hutang harta, apalagi ‘hutang’ belantara (lalu hutang opo mas…??? Gak usah sok lucu apalagi bermaksud bikin TTS deh, takutnya kuno bin ‘garing’ nugroho!!!)

Perubahan. Yup…hutang itu berupa perubahan dan hal-hal baru. ‘Perubahan’ terhadap segala hal yang telah terbukti menjadi penyakit kronis, parasit perusak kehidupan hari ini. Perubahan dalam wujud ‘hal-hal baru’ yang belum diciptakan bahkan belum terpikirkan. Biar tatanan kehidupan di masa depan bisa lebih bermartabat.


Kehidupan mutlak harus selalu berekfleksi dan berevaluasi. Sebab zaman bukan bus antar-propinsi yang berangkat dari terminal A finish di terminal Z. Tak ada satu titik final di dunia ini (final hanya ada di lapangan sepakbola). Zaman selalu bergerak seperti air mengalir. Sungai yang kita lihat hari ini, tak pernah sama seperti yang kita lihat kemarin dan hari esok.

Setiap zaman, selalu berjalan membawa seabrek kisah dan masalah masing-masing.

Dan masa depan bukan sesuatu yang jatuh dari langit. Serupa jamur yang ‘bukan sulap bukan sihir’ tiba-tiba batang hidungnya nongol di musim hujan. Masa depan adalah hasil ‘konstruksi’ setiap anak-anak zaman (emang bangunan…pake acara ‘konstruksi’ segala).

Dan sekali lagi, orang-orang muda adalah pion-pion handal paling progresif yang harus rela berani mati memberi garansi bahwa masa depan itu akan dibangun secara lebih baik ketimbang hari ini. Tanpa itu, masa depan dari dulu keburu almarhum terkubur di pemakaman umum.

Apa jadinya jika Thomas Alva Edison tak bikin ribuan mata lampu meleduk hingga menemukan satu yang tetap menyala dalam percobaannya– dunia dikabuti gulita. Apa jadinya jika Montesqueiu, Rousseau, Voltaire tak mencak-mencak kesurupan meneriakkan liberte, egalite, fraternite di akhir masa Raja Louis XVI– kekuasaan tak bakal ingat, “eh ada kosa kata lho bernama demokrasi,” kekuasaan hanya berputar-putar di tangan segelintir para aristokrat yang kalau tangannya teriris konon keluar cairan berwarna biru.

Apa jadinya hari ini– jika dulu Socrates, Gutenberg, Al-jabar, Phytagoras, Archimedes, Wright bersaudara, Gandhi, atau Einstein duduk berpangku tangan dan tidur bermalasan-malasan?

Otak mesti diperas lebih kencang, biar tetesan inspirasi revolusioner muncrat keluar. Jangan dibuat adem ayem, mubazir. Sampai jaman kuda gigit pizza sekalipun, gak bakalan ada cerita, ‘otak awet’ harga jual-belinya melambung tinggi.

Tangan dan kaki mesti dipaksa lebih terampil, biar bisa membuah-tangan-kakikan secuil apapun itu, asalkan berguna bagi siapa saja dan terutama bukan cuma buat diri sendiri.

“Tidur jangan keseringan. Makan mesti dikurangi (puasa senin-kamis kalo perlu ditambah sabtu. Ini kalo perlu). Kebanyakan makan-tidur justru sama ‘udang’ usaha bunuh diri secara perlahan-lahan karena obesitas.

Kita butuh mencambuk diri lebih keras, biar sesuatu bernama energi ‘kreatif’ (baca ‘kreatif’ secara harfiah: sifat untuk mencipta. Gak usah diartikan bersifat nyeni-lah, unik-lah, atau keren-lah. Terlalu muluk-muluk!) itu bisa tumbuh-terawat di balik tulang rusuk.

Berkelitlah dari musibah terbesar yang kerap merasuki orang-orang muda, apalagi mereka yang sudah uzur. Apa itu? Menjadi manusia mediocre (mas…mas…istilah apalagi nih? Mang rambutnya situ blonde ya…pake nyaplok Bahasa Jerman seenak udel!)

Oke. Gak perlu malu, kita pinjam (he..he..he.. ketahuan kan…suka minjem barang orang!! Malu, malu! Tapi jangan bawa-bawa nama kita dong, situ aja kaleee…!) kalimatnya M. Arief Budiman, Vice President Petakumpet AIM, Yogyakarta, di Blank! Magazine. Dia bilang begini:

“Hal yang seharusnya dibenci seseorang adalah menjadi manusia normal, manusia yang biasa-biasa saja. Mediocre.

Manusia kelas rata-rata ini menduduki posisi mayoritas, memenuhi hampir setiap sudut kehidupan. Mereka ada di upacara bendera setiap senin. Berbaris kaku di instansi pemerintah. Mengantuk dan membuat ngantuk di setiap rapat. Kutu buku dengan perspektif kaca mata kuda. Rektor yang mewisuda mahasiswanya dengan kata-kata sambutan yang sama setiap tahun, selama bertahun-tahun.

Menjadi normal adalah kutukan terberat yang ditanggung mayoritas bangsa ini, sehingga jutaan fresh graduate balapan jadi pegawai negeri. Hanya karena rindu akan keamanan dan tunjangan sosial plus pensiun. Memprihatinkan!

Mereka yang ingin mandiri, ditakut-takuti oleh orang-orang tua kolot yang miskin mimpi dan faqir keberanian. Mereka yang berani lancang dengan suara berbeda, dibungkam. Dibuat jera dan kapok. Dianggap seperti anak kecil yang belum mampu mengurus dirinya sendiri.

Banyak hal menarik yang akan terjadi jika kungkungan nilai-nilai lama itu dibuka atau kalau perlu dihancurkan. Seperti design kalimat pada t-shirt After Hour: good boy going to heaven, bad boy going everywhere. Dan mereka akan menembaki kita dengan tuduhan tidak hormat pada senior, kurang ajar pada leluhur, ‘Malin Kundang’ pada tatanan. Gumamkan: F**K OFF (tak perlu teriak, boros energi)”

Umpama kutipan di atas gak sampe bikin orang lain tersinggung, alhamdulillah. Soalnya bukan rahasia, salah satu ciri-ciri manusia mediocre: baru kena kritik sedikit, kuping dan mukanya lekas memerah.

Mari menjauh dari gaya hidup normal lanjut Arief. Mari tidur sepanjang siang dan berfikir keras sepanjang malam. Mari kabur ketika dosen goblok yang– entah bagaimana ceritanya kok bisa-bisanya lolos seleksi ngajar di kampus– nge-rap di depan kelas.

Rambut boleh gondrong, celana boleh robek di lutut. Boleh kencing di bawah pohon kalau kepepet. Boleh jarang mandi bila sedang takut kena air, tapi jangan takut menolong orang buta menyeberang jalan.

Orang-orang tua harus diajari cara berfikir future minded, supaya tak terlalu dan selalu menuhankan masa lalu. Cium tangan bapak-ibu adalah keluhuran, tapi mem’beo’ dengan pilihan mereka untuk menentukan sekolah kita, cita-cita kita, dengan siapa pasangan hidup kita, sampai bagaimana jalan hidup kita: absolut 100% kebodohan.

Bilang sama orang-orang tua yang pikirannya udik: kalau mau punya turunan generasi dengan prototype kayak gituan, saat malam nda’ usah repot-repot masukin cairan sperma ke saluran peranakan. Sampai-sampai repot teriak-teriak menyabung nyawa saat melahirkan. Cukup sebelum jam 9 malam iseng-iseng ke mall, beli robot yang ada tulisan made in Japan. Dijamin, tak ada yang bisa menandingi kepatuhan mahkluk ini. Disuruh minum air kencing pun mau. Dengan catatan, ini bagi yang sudah siap disuruh angkat kopor dari rumah.

Orang-orang muda yang berfikir progresif, mari sama-sama beli sebotol coca-cola. Yang mau minum, minum. Yang anti produk sono, monggo tuangkan ke tanah. Isinya tak penting. Segera setelah kosong, mari sama-sama hantamkan botolnya ke kepala masing-masing hingga pecah. Siapa tahu struktur syaraf bisa korslet di beberapa bagian, sehingga energi ‘kreatif’ bisa mulai mengalir seperti mata air yang baru ditemukan. Kalaupun ternyata tidak, minimal kita bisa abnormal. Lumayanlah ketimbang normal (mediocre).

Menjadi orang-orang muda generasi ‘kreatif’ jelas penuh rintangan. (sekali lagi, selalu baca ‘kreatif’ secara harfiah saja: sifat untuk mencipta. Bukan nyeni, unik, keren, atau de-el-el. Katro, ndeso kata Tukul). Akan ada banyak tanjakan, kelokan, dan kerikil tajam.

Memang, face to face dengan warisan nilai-nilai usang yang sebenarnya tak lagi relefan, sudah cukup bikin tenggorokan telan ludah. Apalagi melawan dan menghancurkan.

Tapi ini namanya tantangan bung! Mainan hanya buat mereka yang ‘laki-laki’. Mainan yang bikin kaum hybrid keder duluan. Mainan yang bikin kaum perem…(woii…woiii…stop…rasis…rasis…woii! Ingat rambu-rambu mas. Diuber-uber aktivis sekte garis keras feminisme dan hybridisme, baru nyaho sampeyan!).

Mental fight dan tahan banting adalah senjata utama. Di samping hitung-hitungan yang cerdas tentu saja. Kalau sudah haqul-yaqin, pegang dengan segenap jiwa-raga. Jangan pernah takut apalagi mau ditakut-takuti.

Socrates tetap kuekeh memilih minum racun, padahal diberi keringanan ‘bebas’ asalkan mengingkari kata-katanya. Galileo rela masuk bui, gara-gara tak sudi meralat pendapat bahwa bumi itu bulat. Joan of Arc dibakar hidup-hidup karena keyakinan spiritualitasnya, meski 500 tahun kemudian barulah diberi gelar santa (wanita kudus) oleh otoritas gereja. Sejak dulu, teror memang senjata andalan tuan-tuan penguasa.

Pengecut hanyalah wajah lain dari kebodohan. Di tahun 97 H (sekitar 710 Masehi), panglima perang Thariq Bin Ziyad membakar semua kapal yang ditumpangi pasukannya ketika memasuki Andalusia (Spanyol) yang dijaga oleh 25.000 pasukan pimpinan Raja Roderick. Ia lalu berkata:

Wahai saudara-saudaraku, lautan ada di belakang kalian, musuh ada di depan kalian, ke manakah kalian akan lari?, Demi Allah, yang kalian miliki hanyalah kejujuran dan kesabaran. Ketahuilah bahwa di pulau ini kalian lebih terlantar dari pada anak yatim yang ada di lingkungan orang-orang hina. Musuh kalian telah menyambut dengan pasukan dan senjata mereka. Kekuatan mereka sangat besar, sementara kalian tanpa perlindungan selain pedang-pedang kalian, tanpa kekuatan selain dari barang-barang yang kalian rampas dari tangan musuh kalian. Seandainya pada hari-hari ini kalian masih tetap sengsara seperti ini, tanpa adanya perubahan yang berarti, niscaya nama baik kalian akan hilang, rasa gentar yang ada pada hati musuh akan berganti menjadi berani kepada kalian. Oleh karena itu, pertahankanlah jiwa kalian.

Sekali pilihan telah dijatuhkan, maka balik badan putar haluan adalah kekonyolan. Hidup kata Nietzsche memang seperti perang yang setiap saat berjalan dalam keadaan bahaya. Seperti berada di atas seutas tali dimana jurang tak berdasar telah menanti. Maju maka tali bergetar. Mundur juga tali bergetar. Diam pun tali tetap bergetar. Maka pilihan terbaik adalah maju ke medan perang, menyongsong perubahan dan hal-hal baru yang bisa jadi lebih baik.

Sesekali konfrontasi memang diperlukan. Dorong-dorongan sedikit dengan aparat boleh-lah. Tapi kalau sudah pungut apa saja di tanah, lalu menimpuki batu barikade polisi (kecuali yang tidur terlentang di tengah jalan), mobil-mobil mewah yang melintas, restoran franchise hanya karena bermerek asing, itu namanya ‘Jaka Sembung nenteng golok’.

Kadang kompromi bukan barang haram, dengan catatan selama tidak menghianati substansi. Api tak harus selalu dilawan dengan api. Nabi Muhammad SAW pernah diludahi seorang Quraisyi, tapi beliau malah menjenguknya ketika orang itu sakit.

Di tengah jalan kita mungkin kalah. Rasa pahit terpaksa ditelan. Tapi yang berjiwa ‘petarung’ akan selalu bangkit dan berdiri tegak untuk mau belajar ulang setiap inchi kesalahan. Strategi harus dirancang ulang. Sesungguhnya kesalahan merupakan pelajaran paling berharga yang tak bakalan bohong.

Jangan cepat putus asa dan jangan menyerah. Syukuri apa yang ada, hidup adalah anugerah. Tetap jalani hidup ini, melaku… (se’…se’…se’...mas…mas…nyadar…mas…lha itu syair lagunya D’Masiv).

Generasi ‘kreatif’ adalah orang-orang muda yang setiap saat haus akan segala dimensi-dimensi baru. Penjelajah yang menyambangi setiap sudut-sudut antah-berantah penjuru dunia. Pemberani yang tetap membuka mata bahkan dalam gelap sekalipun.

Si tolol tak akan pernah tahu seperti apa nikmatnya berenang, kalau hanya mematung kaku di pinggir kolam. Badan telah setengah telanjang, kaca mata renang terlanjur nangkring di wajah, jangan justru terlihat makin konyol lalu berdalih, “ah…sorry, rasanya lebih enjoy jadi penonton.”

Lihat penonton di lapangan sepakbola. Tak ada yang lebih brengsek darinya. Mulutnya tak henti-henti menegejek, mencela, memaki dan mengumpat. Giliran disuruh melakukan, bisanya cuma melongo, garuk-garuk kepala yang tak gatal, cengengesan lagi!

Lain lagi tingkah penonton yang mulutnya sempat kenal sekolahan. Julukannya sok ilmiah: ‘pengamat’. Paling senang kalau ketemu debat. Senjatanya menganalisis segala sesuatu dari faktor ini, faktor itu dan faktor ini-itu. Semua jenis teori berhamburan keluar dari bibirnya. Berton-ton filsafat ia paparkan semudah merangkai bunga. Segala sesuatu di bahas, dari urusan sol sepatu, harga cabe, Inul naik haji, korporasi kapitalis, hingga global warming. Giliran makan permen, bungkusnya dibuang ke tanah, padahal kotak sampah 5 meter di depan otaknya.

Berenang tak butuh diskusi lama-lama sampai pantat pegal. Lompat! Ceburkan diri! Selesai. Tak perlu takut tenggelam, sebab orang yang mawas selalu menyiapkan pelampung dan isi kepala. Mengalami jauh lebih akurat daripada menganalisis.

Radikalisme adalah kemewahan yang hanya dimiliki anak-anak muda progresif. Sampah-sampah busuk sifat pecundang, rasa takut, putus asa, cari titik aman, tak tahan banting harus disingkirkan jauh-jauh. Jangan melulu seperti kodok dalam panci. Tak punya nyali keluar dari tempurung sesat nilai-nilai kuno.

Kita bukan anak kecil yang selalu cengeng bila tak dibelikan mainan. Kita bukan tukang suap apalagi polisi yang hobinya cuma satu: makan uang suap. Kita bukan orang yang suka lempar batu sembunyi tangan, trus nunjuk orang lain segala. Kita bukan mahasiswa yang belajar korup memark-up kwitansi belanja kegiatan kampus. Kita bukan Fransisco Totti yang suka pura-pura jatuh di kotak penalti. Kita bukan orang yang petantang-petenteng bangga mengendarai mobil kreditan bapak. Kita bukan orang yang mau menikam orang dari belakang. Kita bukan pengamat yang mulut berbusa-busa dengan hal-hal ‘tong kosong cempreng bunyinya’. Kita bukan bawahan kantoran yang gemar celetuk ‘cari muka’ dihadapan bos: “wah…bapak brillian!”; “apa sih yang tidak buat bos.”; atau “alis mata kiri bapak bagus deh!”

Kelakuan yang beginian pantasnya diacungi jari tengah tinggi-tinggi! Dua-duanya sekaligus.

Kita adalah generasi provokator perubahan, kreator hal-hal baru, anak-anak muda yang rela berkorban terbakar hidup-hidup demi sebuah nilai-nilai kehidupan yang lebih baik di masa depan.

Tapi awas jangan terkecoh dengan kemenangan yang biasanya berbuah manis ‘popularitas’ dan ‘materi berlebih’. Garis-bawahi, boldkan, tulis miring, dan beri ukuran font 18pt untuk kedua hal ini.

Kapan buaian istana mulai membuat perasaan nyaman, itu tanda bahaya telah mengancam. Materialisme dan popularisme tak lain selimut dan bantal guling palsu di tengah badai salju. Menina-bobokan diri hingga enggan beranjak. Dewa Arak yang paling memabukkan. Stagnasi tingkat tinggi. Tipu muslihat status-quo paling licik. Nilai-nilai kuno yang paling kepala batu. Tirani otoritarian yang anti-kritik. Inilah raksasa paling bajingan, berhala paling akhir yang sulit terkalahkan dalam legenda: KEMAPANAN!

Menjinakkannya butuh jurus rahasia tersendiri seperti dimiliki Ibrahim Ibn Adham dan Sidharta ‘Buddha’ Gautama yang meninggalkan kemilau Istana selama-lamanya demi panggilan jiwa tentang perubahan dan hal-hal baru.

Kalau ternyata kedua orang ini tak juga mampu mengubah pola pikir. Yo wees…mau apa lagi, bubur gak sudi jadi nasi. Nah, jangan tanggung-tanggung, ambil jurus ini: kenakan kemeja rapi, pasang celana kain, semir sepatu kulit, badan semprotkan parfum, rambut minyaki dengan Brisk. Satu lagi jangan sampe lupa, beli Firdaus Oil. Budidayakan kumis sampai lebat, biar kalo ketemu suaminya Inul, doi minder duluan.

Masih belum cukup…??? Ambil tali jemuran, susul Kurt Cobain. Biar tampak lebih heroik.

Di setiap punggung orang-orang muda, generasi ahli waris hari esok, melekat hutang yang harus dibayar kontan.

Hutang hukumnya wajib dilunasi. Menunggak, sama artinya membiarkan malaikat Malik dibahu kiri mencatat satu lagi tambahan koleksi dosa. Setiap dosa ditimbang pada hari kemudian. Kalau terlalu kembung makan dosa, itu artinya di akhirat bakal masuk……………???

“Masuk…angiiin!” sambar si mahkluk ghoib yang sedari tadi banyak bacut di dalam kurung.

* * *

Kampung Pettarani, Makassar 26 Februari 2010.

catatan akhir: Tulisan ini sangat dipengaruhi oleh beberapa artikel di Blank! Magazine, Yogyakarta. Malah ada kalimat yang mungkin sama. sama-sekali ndak bermaksud plagiat, hanya sekedar meneruskan spirit artikel majalah tersebut. Matur Nuhun!

picture by Kinky-chichi on deviantart.com

Selengkapnya...