Fenomenologi Briptu Norman Kamaru



"Saya nggak tahu siapa yang upload, saya malah dikasih tahu sama ibu saya. Sempat takut juga, takut kalau kenapa-kenapa." Briptu. Norman Kamaru, detik.com, Rabu (6/4/2011).

Tak perlu pula menjelaskan ulang siapa Briptu Norman? Selama di ruang tengah masih ada TV, dan TVnya masih sering dinyalakan, semua pasti sudah tahu.

Yang menarik justru pertanyaan:
1. Lho kok bisa, video lip sync kualitas butek kamera HP milik Norman diklik hingga lebih sejuta orang?
2. Lho kok bisa, seminggu terakhir ini, Norman hilir-mudik kayak piala bergilir, jadi rebutan segmen acara stasiun-stasiun TV?


Norman dan Jejaring Internet


Kasus Norman, sekali lagi bukti betapa spektakulernya new media!
Siapapun tak pernah tahu, bakal berefek sejauh mana materi-materi yang ia unggah di situs-situs jejaring. Lihat kutipan di atas, Norman sendiri aja garuk-garuk kepala gak habis pikir!”


“POLISI GORONTALO MENGGILA”. Dari judul sudah menarik, memancing rasa ingin tahu. Seorang teman malah nyeletuk waktu temannya mengirim tautan ini ke dindingnya, “Bikin ulah apa lagi ini polisi Indonesia!” Everybody know so well-lah kalau bicara soal aparat kita.

Eh… tahu-tahu, setelah pencet tombol play lalu pause (biasa, mempersilahkan loading sampe finish dulu) yang ada malah gambar laki-laki berseragam, lip sync sambil joget india tipis-tipis.
Awalnya kecewa, ekspektasi teman saya itu meleset. Cuma kalau diperhatikan lebih jauh, video ini lucu dan norak-norak gimana gitu. Gemesin. Tautan ini lalu diteruskan ke teman-temannya yang lain.

Dimulailah pola epidemik. Sebangsa dengan virus H5N1 penyebar flu burung (burung beneran). Dalam kajian ilmu sosial-budaya, pola ini disebut penyebaran dikursus (discourse) oleh Michel Foucault (1926 – 1984). Yang nyebar, namanya agen-agen diskursus. Agen itu misalnya; yang ngirim ke dinding teman saya, teman saya sendiri, dan temannya teman saya, yang jumlahnya gak tahu (boro-boro ngitung).

Apalagi kalau agen-agen si penyebar ini masuk kategori “top-markotop agent”. Maksudnya, tipe figur ngetop-lah. Ada tingkatan-tingkatan memang dalam dunia agen.
Tipe ini, ibarat kalau SMU dulu suka tergabung dalam suatu geng pertemanan, si opinion leader-nya. Yakni mereka yang kalau sekali ngomong, yang lain pasti banyak ikut angguk-angguk.
Alasan angguk-angguknya macam-macam. Ada yang karena hormat, memang percaya kalau dia cerdas, takut, karena dia cakep, keseringan ditraktir, suka diantar pulang, suka diberi contekan pas ujian, atau sekedar ikut-ikutan doang. Pokoe peduli setan, yang penting setuju wae-lah.

Agen tipe inilah salah satu faktor kunci menyebar luasnya suatu diskursus. Tipe inilah kalau di Facebook, sekali update status, yang nanggepin bejibun. Tipe inilah, karena dia cakep, sekali upload foto-foto narsis, hidung-hidung belang pada keluar dari sarangnya. Cerewet muja-muji busuk minta nomor HP segala. Kalau gak dapat, malah nyetor nomor HP sendiri. Dahsyat kan tipe 'top-markotop agent'?

Kasus Norman boleh jadi seperti ini. Awalnya ada yang iseng doang ngupload ke YouTube. Lalu link-nya disebarkan ke beberapa orang. Yang nengok, mungkin motifnya kenal Norman. Atau paling tidak karena penasaran, ingin tahu seperti teman saya. Berhubung videonya memang menggelitik, lalu diteruskan. Diteruskan lagi. Diteruskan lagi. Efek domino. Eh… tahu-tahu yang klik udeh nembus sejuta umat.

Dulu kasus Sandy Sondoro juga begitu. Cuma doi menarik bukan karena lucu dan gemesin. Suara Sandy memang jempolan. Prestasi dan Talenta nyanyinya tokcer di level Eropa. Biar begitu, pola penyebarannya sami mawon kayak Norman. Redaksinya saja yang beda. Kalau Norman sisipan kata-katanya “Eh… ada video polisi India lucu, nonton deh!” Nah kalau Sandy, “Eh… ada penyanyi dari Indonesia yang suaranya keren lho, nonton deh!”

Tentu karakter orang-orang yang suka terhadap kedua video ini juga berbeda. Coba deh bikin statistik, berani taruhan, kalau yang suka lihat link videonya Sandy Sondoro rata-rata tipe penuntut kualitas, selektif dan paling tidak wawasan musikalitasnya bukan katak dalam tempurung.

Justin Bieber pun begitu. Awal ngetopnya lewat YouTube juga. Suaranya bolehlah. Masih brondong, imut-imut, cute pula. Hasilnya, link video diklik berjuta juta orang.
Nah, kalau ada yang bikin statistik lagi, berani taruhan, ini dia selera cewek-cewek yang suka pecicilan teriak-teriak histeris di depan panggung konser entah sebabnya apa.

Paling seru video keong racun. Kasusnya sama. Cuma kalu dipikir-pikir masih mending Briptu Norman. Olah vokalnya masih bisa ada harapan. Meski butuh polesan dikit biar lebih stabil. Nah ini, hahahahaha…??? (Isi sendiri kelanjutannya).
Berani taruhan, biarpun gak ada yang bikin statistik sebelumnya, Yang suka lihat link video ini kebanyakan laki-laki yang nafasnya suka tiba-tiba gak teratur pas ketemu cewek centil. (eh… saya gak nulis kalimat Shinta dan Jojo itu cewek macam-macam lho yee… silahkan baca ulang…hahahahha).

Biar begitu, Shinta dan Jojo juga adalah bukti otentik kalau new media berbasis WWW itu memang spectacular and unpredictable. New media yang hukumnya cuma satu: HUKUM MENARIK.
Mampu tidak, materi-materi yang kita unggah itu “menarik” berjuta-juta pengunjung yang berserakan itu untuk datang melihat?


Norman dan Industri Televisi


Lho kok bisa, seminggu terakhir ini, Norman hilir-mudik kayak piala bergilir, jadi rebutan segmen acara stasiun-stasiun TV?

Era peradaban kita sekarang, ibaratnya masih dalam masa transisi dari penggunaan media satu arah (televisi, majalah, koran, dll) ke media yang mampu interaktif (Internet). Khususnya untuk materi-materi berkilobyte besar macam file audio-visual.

Kalau sekedar untuk kebutuhan magazine dan newspaper on-line, peradaban kita bolehlah. Hanya saja, dalam urusan meng-online-kan televisi misalnya, kita masih butuh terobosan pengembangan teknologi penyimpanan dan pengolahan (memory) data yang besar lagi super-cepat (real time). Di samping itu, akses perangkat teknologi internet ini belum ramah kantong kecil.

Andai kata telah sempurna, yakin deh… ruang tengah rumah kita tak butuh TV lagi. Semua ganti Internet. Someday kita bahkan mampu bikin TV sendiri. Tinggal bikin akun dan kelola, selesai. Begitu itu salah satu keuntungan sistem interaktif.

Berhubung belum, TV masih jadi mainstream. TV, sekali “update status” (menampilkan segmen acara), yang “klik” (nonton) acaranya = seberapa banyak orang yang punya TV dan mampu menjangkau frekuensinya. Ratus-ratus juta kalau ada yang nekad menghitung.

Ibarat waktu SMU dulu, TV adalah sebuah geng raksasa. Pengikutnya banyak. Nah, stasiun-stasiun TV itulah figure atau opinion leadernya. Yang kalau sekali ngomong, yang nonton pada angguk-angguk semua.

Maka TV adalah “super top-markotop agent”. Ini dia nih faktor paling berpengaruh yang bikin Norman makin kesohor. Di jejaring, ada semacam acara yang menampilkan celotehan-celotehan konyol bertajuk Tonyblank Show. Lumayan ngetoplah lewat Facebook. Cuma karena gak pernah dieksplorasi stasiun TV, jadinya gak seheboh Norman.

Salah seorang sahabat (senior KOSMIK UH) yang kebetulan bekerja di Trans TV pernah cerita, kalau acara ini susah masuk TV. Terlalu riskan untuk mengontrol rambu-rambu aturan. Misalnya menghindari hal-hal berbau SARA. Itu memang benar, soalnya bintang utama acara ini penderita schizophrenia alias “orang gila” beneran (baca “orang gila”nya pakai tanda kutip). Celotehannya susah dikontrol.

TV-lah yang mampu menggiring ke mana opini masyarakat berkembang. TVlah yang paling mampu menetukan isu apa yang harus dikonsumsi (masyarakat) penontonnya.

Karena TV dan internet sama-sama media, Hukumnya sama-sama satu: HUKUM MENARIK. Mampu tidak acara itu menarik pantat pemirsa sebanyak-banyaknya untuk duduk betah menonton.

TV itu juga industri. Apalagi dalam sisitem negara liberalis seperti kita. Hidup-matinya TV bergantung dari dari seberapa besar iklan yang tayang. Bagan analogi industrialisasinya begini: ibarat billboard di jalan protokol, pengiklan hanya mau pasang reklame di tempat-tempat strategis yang bisa dilihat orang sebanyak mungkin. TV seumpama jalan protokol, buntut-buntutnya pengiklan hanya mau beriklan di acara yang penontonya banyak. Duit dari pengiklan itulah yang dipakai bayar buat ongkos produksi acara, sekaligus bayar gaji manusia-manusia yang bekerja di dalamnya.

Dan berlomba-lombalah produser-prodoser satsiun TV. Pontang-panting mikir bagaimana membuat kemasan suatu acara yang hukumnya mampu menarik penonton sebanyak mungkin. Ketemulah Kata Kuincinya “PENONTON HARUS SEBANYAK MUNGKIN”. Kalau bisa sampai tak berhingga, itu lebih bagus lagi.

Maka dalam kaca mata Industri , TV sesungguhnya tak peduli; mau suaranya Sandy Sondoro dari emas kek, Justin Bieber itu lebay kek, Shinta-Jojo itu gak bisa apa-apa selain joget mirip orang tripping doang kek, atau Norman itu Brimob ‘lucu bin norak-norak gimana gitu kek, gak penting.
Yang penting dan produser TV pasti peduli adalah di belakang Sandy itu ada penonton berjuta-juta gak? Di belakang Justin itu ada penonton berjuta-juta gak? Di belakang Shinta-Jojo itu ada penonton berjuta-juta gak? Di belakang Norman itu ada penonton berjuta-juta gak? Kalau iya... buktinya apa?

Tuh… di YouTube!” jawab setan belang yang kebetulan lewat.
Lah udeh… mikir apa lagi dodol! Bawa cepat, itu orang-orang ke sini buat tampil di acara kita. Dia itu lumbung duit setan!” Seru produser-produser TV kasak-kusuk.

Melihat TV, sama dengan melihat snapshot gambaran kebudayaan suatu masyarakat. Apa dan bagaimana TV, begitu pula cerminan masyarakat kita. Kalau hari ini TV kita berisi; relity show murahan yang hambur-hambur air mata dibuat-buat; hantu-hantu gentayangan; kuis-kuis tengah malam yang doyan pamer belahan dada; atau rekayasa infotainment untuk mendongkrak popularitas artis; justru jangan salahkan TVnya. Apalagi produser-produser acara itu.
Masih mending kambing hitamkan masyarakatnya. Kok mau-maunya, seleranya kompak ramai-ramai kayak gituan.

Sekali lagi, TV itu industri. Kasarnya orang jualan. Dimana-mana, pedagang nyarinya tempat ramai untuk jualan. Bodoh kalau dagang di tepi jalan sepi. Salah-salah yang beli malah setan belang penghuni kuburan.

Kalau hari ini, gara-gara video butek kualitas HP, Norman keluar-masuk stasiun TV, jangan keburu uring-uringan bikin kampanye “Matikan TV” apalagi ngecap TV haram segala. Nanti, kesan yang ada malah mirip videonya Norman; lucu dan norak-norak gimana gitu.

TV seumpama pisau. Masa sih, gara-gara ada bocah mati ditusuk pisau oleh jambret, lantas kita bikin solusi musnahkan pisau di dunia ini. Lha… lantas ibu-ibu kalau lagi masak di dapur piye, potong-potong sayurnya pake ape? Jurus karate?

* * *

Di era jejaring, saling menarik perhatian adalah hukum mutlak. Semua saling berebut, sejauh mana materi-materi yang kita unggah itu mampu ‘menarik’ perhatian orang lain sebanyak-banyaknya.

Seperti kata Mark Zuckerberg, dalam dunia bernama internet, kita ingin memperhatikan sekaligus lebih senang bila diperhatikan. Bahkan untuk sekedar mengisi ”Apakah yang kita pikirkan” sekalipun. Tak ada yang sudi memajang foto terjeleknya sebagai picture profile. Citra adalah titik tumpu penanda identitas kita.

Ibarat anak kecil yang merengek, kita bahkan mungkin tega membanting vas bunga di ruang tamu, untuk sekedar mendaptkan perhatian Ibu. Sebab ini saatnya perang discourse, perang citra-citra.

Inilah masa, ketika hal-hal lucu, aroma pornografi, tingkah konyol, wajah-wajah cantik, talenta-talenta berkualitas, paham ideologi, data-data rahasia, berita, karya ilmiah, puisi-puisi, curhatan diary, esai-esai kebudayaan, bahkan orang jualan sayur pun, bercampur-aduk saling beradu mencoba mencuri perhatian.

Welcome to the new world! World Wide Web.


* * *

Kampung Pettarani, Makassar 13 April 2011

sumber gambar: http://barunews.com/cinta-farhat-video-briptu-norman-terbaru/

Selengkapnya...

19 sutradara versi eeduyhaw.blogspot.com yang musibah besar kalo nda nonton karyanya. Part II



Sebelumnya, sekali lagi award ini jelas sifatnya subyektif belaka.
Tentulah deskripsi mengenai sutradara-sutradara yang dimaksud, sama sekali jauh dari mewakili gambaran sebenarnya. Apalagi, itu hanya didasarkan pada beberapa film-filmya yang kebetulan sempat ditonton. Padahal kalau filmographynya dicek, daftar karyanya berderet-deret.

So, kalau ada yang tak setuju dengan penggambaran atas sutradara-sutradara yang namanya disebutkan, itu wajar dan sah adanya.
Karena itu, dengan subyektifitas blog ini, si jenius-jenius yang pantas disebutkan namanya itu adalah:
(bagi yang belum menyimak urutan sebelumnya, klik disini)

13. Wong Kar-wai

Tak ada kalimat lain lagi yang lebih pas untuk menggambarkan gaya directing sutradara yang lahir di Shanghai dan hijrah ke Hongkong ini: jagoan ruang sempit.

Hanya dengan dua atau tiga rumah sempit sebagai lokasi shooting, dia sudah mampu mengemas sebuah cerita apik melalui film pendek The Hand yang merupakan salah satu dari 3 kumpulan film pendek berjudul Eros bersama Steven Soderbergh (Equilibrium) dan Michelangelo Antonioni (The Dangerous Thread of Things ). Ceritanya pun tak lazim, tentang obsesi seorang lelaki tukang jahit terhadap perempuan pelacur langganan jahitannya.

Tematik film Wong Kar-wai sejauh ini memang berkutat tentang cinta. Namun ia bukan penganut romantisme cinta yang happy ending. Ia malah lebih suka mengeksplorasi dimensi hubungan cinta yang rumit, suram dan terbelenggu suatu keadaan kompleks. Itu kemudian divisualkan di dalam ruang sempit seumpama kontrakan kecil.

Wong Kar-wai bahkan sanggup menghabiskan puluhan menit durasi filmnya untuk mengalirkan kisah yang terjadi dalam masa berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun di dua kamar sempit itu. Lihatlah In the Mood for Love yang masuk nominasi Palme d’Or Cannes 2000. Film yang berkisah tentang seorang jurnalis(Tony Leung) dan sekertaris (maggie Cheung) yang tinggal bersebelahan kamar di sebuah apartemen kecil. Hampir 50% lokasi pengambilan gambarnya hanya seputar apartemen itu.

Dengan kecenderungannya itu, tak ayal gambar-gambar Wong Kar-wai lebih berkutat pada ekspresi kuat (close up) wajah tokoh, detil makna gesture, dan eksplorasi simbolis properti-properti kecil semisal foto, gantungan kunci, dasi, atau sapu tangan yang menyiratkan makna tertentu atau penanda mengalirnya masa.

Wong Kar-wai tergolong debutan di level sutradara dunia. Bisa dikatakan My Blueberry Night adalah Film yang menandai kedatangannya sekaligus karya perdananya di level internasional. Film yang berkisah mengenai pejalanan cinta seorang penjaga Cafe kecil (Jude Law) dan seorang gadis (Norah Jones) yang baru patah hati dan akhirnya juga hidup di seputar Cafe. Seperti biasa, ruang sempit Cafe dan sepi-senyapnya esensi kehidupan hiruk-pikuk kota besar menjadi titik eksplorasinya. Alienasi diri masyarakat perkotaan, juga adalah karakter lain dalam film-film Wong Kar Wai.

Dan itu, disampaikan hanya melalui shot-shot sempit, di dalam ruang-ruang yang sempit.


12. Joel Coen & Ethan Coen (Coen Brothers)

Sungguh, gaya directing duo bersaudara ini begitu mencuri perhatian. Sodoran visualisasinya fresh.

Sayang, karya terakhirnya True Grit berbicara lain. Walaupun masuk nominasi Oscar tahun ini, tapi rasa-rasanya film ini meleset dari ekspektasi besar orang-orang terhadap kekhasan karakternya. Entah, disebabkan setting cerita wild west jaman koboi yang memang dunia baru dalam penggarapan mereka. Ataukah ingin mencoba hal lain. Ataukah faktor over-produktifnya mereka beberapa tahun terakhir dalam menghasilkan karya. Entah.

Tapi lupakan itu. Mari menyaksikan No Country For Old Men. Di film inilah gaya Coen Brothers dipertontonkan habis-habisan. Dan pantas jika apresiasi yang diterimanya dari Oscar adalah Best Picture sekaligus Best Director.

Kalau membaca sinopsisnya, jalan cerita film bergenre thriller ini mungkin terlihat datar saja. Tentang Llewelyn Moss (Josh Brolin) yang dikejar-kejar pembunuh bayaran berdarah dingin yang diperankan apik oleh aktor kawakan Spanyol Javier Bardem. Namun, manakala memperhatikan strategi visualisasinya, kesan datar itu lenyap seketika.

Thriller kebanyakan, suasana tegangnya dibangun lewat penggambaran terang-terangan proses kekerasan. Misalnya metode membunuhnya dengan cara mata dicungkil. Atau dampak kekerasannya bikin sebuah rumah banjir darah, porak-poranda, dan ada tangan terpenggal di mana-mana.
Di film ini, itu seolah sengaja dihindari. Yang ditonjolkan justru ekspresi tokoh lewat mimik, pilihan adegan yang tak biasa, cara berfikir (motivasi tindakan), isi dialog yang menohok dan simbolisasi brutalisme lewat properti-properti sederhana. Brillian, bayangkan hanya dengan medium sederhana itu, film ini justru terlihat lebih thriller daripada film thriller sendiri. Rasa cold-bloody lebih menyegat di lidah. Jenius dan “orisinil”.
Nonton deh. Ini film wajib nonton.

Gaya khas duo ini diampilkan lagi di Burn After Reading. Uniknya, di sini keduanya seperti mempermainkan thriller dengan cara mencampurkan unsur komedi-satire di dalamnya. Garis besar ceritanya berlatar-belakang dipecatnya seorang agen CIA di masa “mati segan hidup tak mau-nya” dunia mata-mata pasca perang dingin. Dunia yang identik dengan kode-kode rahasia dan pembunuhan-pembunuhan terselubung diolok-olok dengan motivasi kejadian yang sebenarnya hanya disebabkan satu hal: kekonyolan. Dan itu makin memikat sebab khas eksplorasi medium sederhana Coen Brother yang hanya mengandalkan mimik satire serta karakter tokoh yang unik secara emosional.

Begitu juga di A Serious Man. Kali ini thrillernya ditinggalkan, dan yang tersisa drama-komedi-satire. Sutrdaranya diserahkan sendirian di tangan Ethan. Tapi screenplay tetap berduet dengan Joel.
Eksplorasi adegan, utamanya ekspresi tokoh-tokoh yang bermain, tetap menjadi titik fokus directing. Dan humor yang dihasilkan benar-benar terasa lain. Lucunya, tak biasa. Tapi, kalau nontonnya ngarep sampai dibuat ngakak-ngakak pegang perut, wah... salah besar. Ini bukan komedi murni, ini satire. Sarat dengan olok-olok kecerdasan, bukan penonjolan tingkah bodoh yang menjurus absurd. Ini konyolnya eleganlah gitu.

Joel &Ethan Coen hebat di pengolahan secara tak biasa ekspresi tokoh-tokohnya. Gambar-gambarnya cenderung tenang (still). Sebab lebih ingin berbicara melalui penonjolan mimik, gesture dan pengadeganan secara umum. Di situ kekuatan khas duo bersaudara ini.


11. Bernardo Bertolucci

Mungkin film-filmnya tak terlalu populis dan jarang bergema di telinga. Kecuali tentu saja The Last Emperor yang memborong 9 kategori dari 9 nominasi Oscar yang diikutinya. Termasuk kategori bergengsi Best picture dan Best Director di tahun 1987.

Hanya saja, dari dua filmnya yang lain, corak berfikir sutradara asal Italia sungguh misterius. Ia seperti punya kedalaman ketika memilih tema cerita yang akan diangkat.

Di The Dreamers ia seolah menyalurkan hasrat pemberontakannya. Film yang bersetting tentang pergolakan kelompok anak muda khususnya di kalangan mahasiswa Prancis 1968 yang berdampak pada peregeseran nilai-nilai konsevatif ke liberalisme di negara tersebut. Idealisme pemikirannya seolah diwakilkan ketika memutuskan untuk memilih naskah ini.

Urusan sinematografi Bertolucci sendiri, sama baiknya dengan sutradara yang lain. Tak perlu diragukan. Hanya kekuatan dirinya, mungkin memang tidak dititik-beratkan ke hal teknis tersebut. Ia lebih fokus pada apa yang ingin disampaikan sebuah film. Maka di kedalaman ceritalah tujuan eksplorasinya.

Itu juga yang kemudian membuat dirinya menyutradarai Little Buddha. Kisah yang mengangkat kembali hikayat hidup Sidharta Gautama yang mahasuci di masa mudanya. Diperankan Keanu Reeves, film yang ia tulis sendiri ini, sangat tepat mengangkat angle cerita Sidharta Gautama dalam masa transisi sebagai putra mahkota kerajaan yang kemudian memilih pergi dari istana dan menjadi pertapa suci untuk menemukan kesejatian.

Dua tema film ini sungguh menarik dicermati, sebab isi kepala atau ideologi director biasanya tercermin dari film yang diangkatnya. Dan Bertolucci menjadi sosok sutradara misterius, sebab seperti ada sesuatu yang kerap gelisah dalam dirinya. Sesuatu yang bisa jadi sangat religius dan sifatnya pribadi.

Bernardo Bertolucci, sosok misterius yang menyertakan kegelisahan diri dalam film garapannya.


10. Franciss Ford Coppola

Kapan menyangkut sutradara senior, maka penyakitnya cuma satu: tak banyak yang bisa diceritakan. Sama seperti Scorsese, pengalaman Coppola tak terhitung. Belakangan ia lebih banyak bertindak sebagai produser.

Trilogi Godfather adalah masterpiece-nya. Sampai sekarang, setiap nonton film dengan setting dunia mafioso, film inilah patokan pembandingnya. Ciamik memang jalan ceritanya.
Inilah satu-satunya trilogi yang menggondol 2 kali oscar kategori Best Picture dan hanya gagal di sekuel terakhir (nominasi). Rekor fantastis ini belum terpecahkan.

Coppola menarik justru ketika ia mendirect Dracula. Tak ada hujan apalagi badai, ia bagai ingin tamasya sejenak setelah habis-habisan serius menguras jidat di Godfather. Dari judulnya, jelas film ini adalah horor-mistis dunia makhluk penghisap darah pemburu keabadian. Tapi dasar Coppola, ia nyeleneh sedikit memasukkan unsur humor. Tanpa merusak nuansa mistisnya. Ramuannya pas.

Manipulasi gambar, dan teknik sinematografi film ini juga patut diacungi jempol. Ambil contoh bagaiamana ia menciptakan gerak bayangan si Dracula yang selalu tak sesuai dengan wujud aslinya. Kocak, namun dibuat tentu dengan manipulasi teknik tinggi.

Harusnya, film terakhir Coppola mesti di bahas. Khususnya Youth Without Youth, dari theatrical release poster-nya kayaknya wajib jajal. Sayang belum sempat nonton. Namun biar bagaimanapun, hasilnya tak akan berpengaruh banyak. Kesimpulannya tetap, Coppola adalah master serba bisa yang tak terkungkung dalam satu genre spesialis. Ia multitalenta, hebat dalam apapun.

Tak banyak yang bisa diungkit lagi manakala menyebut Franciss Ford Coppola. Begini saja ringkasnya: Bayangkan bila disebuah ruangan dipenuhi pecandu film. Tiba-tiba ada yang menyebut namanya. Nah, siapapun diruangan itu yang sempat mendengar, lidahnya langsung kelu gemetaran. Siapapun!


9. Danny Boyle

Director asal Inggris yang awalnya melejit lewat film Trainspotting. Tipikal penganut pop-culture yang sama sekali tak meningalkan unsur-unsur kritis dalam cerita.

Kalau menyimak The Beach dengan saksama, maka cerita film ini sebenarnya tak hanya menyodorkan sepak terjang dunia pelancong di tengah lanskap indah pulau Phi-phi, Thailand itu. Di balik itu, ada kritik Boyle tentang betapa utopisnya harapan-harapan yang selalu menyelimuti setiap lubuk hati backpacker; suatu tempat yang indah dan damai bernama tanah surgawi. Harapan yang juga menjadi dambaan setiap orang.

Dan itu disampaikannya secara tak langsung agar tak berkesan menggurui. Itu justru implisit di balik eksplorasi pop-culture gambar indahnya akan laut nan biru, pasir putih, hutan kecil tropis, dan kerlap-kerlip malam di pulau itu.

Di film Millions sikap kritisnya lebih kelihatan. Kisah anak kecil yang menemukan tas beirisi penuh tumpukan uang. Gaya berceritanya pop abis, enak dicerna. Sinematografinya juga memukau. Kadang malah dia melabrak kecendeurngan mainstream dengan membagi frame menjadi dua atau tiga bagian di tengah-tengah cerita berlangsung. Atau memasukkan unsur grafis dalam gambarnya. Tapi ya itu tadi, ia sama sekali tak pernah lupa kecenderungan kritisnya akan ironi gap mencolok negara-negara maju dan negara dunia ke-tiga yang berkembang dengan cara merangkak.

Lewat gayanya ini, Boyle kemudian memperoleh puncak apresiasi dengan menyabet Oscar sebagai Best Picture dan Best Director lewat film Slumdog Millionaire. Film yang mengambil setting cerita kisah hidup pemuda dari perkampungan kumuh Mumbai di tengah semrawutnya kehidupan kota di negara berkembang sekelas India. Cerdasnya, perjalanan hidupnya itu teruraikan melalui keikutsertaannya lewat acara TV “Who Wants To Be A Millionaire”.

Gaya pop-culture Boyle juga masih terasa lewat film 127 Hours. Diangkat dari kejadian nyata terjepitnya tangan seorang pemanjat tebing Aron Ralston (James Franco) di tengah gurun batu gersang Canyon, Utah. Film ini masuk nominasi lagi dalam kategori Best Picture dan Best Director di ajang Oscar tahun ini.Tak terlalu kental memang, tapi paling tidak, karakter Boyle masih terasalah di awal-awal pembukaan film. Utamanya labra-labrak framenya, atau penambahan garis asap pesawat yang melukis langit biru. Itu khas sinematografi lanskap Boyle.

Strategi pop-culuture film Boyle itu ibarat ‘kompromistis yang pas-lah’. Kisah filmnya selalu enak ditonton dan disajikan dengan sinematografi indah. Tapi ia tak pernah melupakan sisipan argumen kritis. Apalagi kenakalannya dengan labrak-labrak frame serta penambahan unsur grafis.
Danny Boyle itu bukan tipikal sutradara yang ‘lebih disatu sisi tapi kurang di sisi lain’. Warna-warni ramuannya selalu pas.


8. Giuseppe Tornatore

Ini dia si pendongeng hebat dari negeri Pizza. Giuseppe Tornatore.
Hebatnya, dongeng Tornatore malah berkisah tentang karakter tokoh yang tak biasa. Malas dia dengan karakter macam putri salju, pangeran tampan, legenda tokoh-tokoh heroik atau pemimpin-pemimpin besar sekalipun. Baginya setiap orang, siapapun dia, kisah hidupnya adalah drama yang sama hebatnya. Ia tipikal pendongeng realis.

Maka di Cinema Paradiso, Sutradara asal Italia ini mulai berdongeng tentang hikayat bioskop dan si pemutar pita film. Latar belakang tokohnya saja sudah terasa unik. Dari latar inilah, ia lalu mengembangkan cerita dengan memasukkan bagaimana situasi sosial dan sikap budaya masyarakat tempat bioskop itu berdiri. Bagaimana berlalunya waktu, bergantinya rezim politik tercermin dari perubahan-perubahan yang mengiringi bioskop itu. Lewat bioskop dan si pemutar pita film itulah romantisme sejarah sosial-budaya terekam.

Lalu di film Malena, tentang istri cantik tentara berpangkat rendahan yang ditinggal pergi suaminya berperang. Di perankan apik oleh aktris spektakuler Monica Bellucci.
Kisah ini berpusat pada sosok Malena dan seorang anak kecil akil baligh yang jatuh cinta kepadanya. Anak kecil inilah yang menjadi saksi hidup bagaimana perjuangan Malena mencoba melanjutkan hidupnya di tengah kota dimana semua lelaki ingin menidurinya, dan sebaliknya di lain sisi semua perempuan tentu ingin merajamnya.
Sinematografinya beauty. Pengadeganannya kuat. Simbolisasinya keren. Urusan teknis, Tornatore memang rapi di semua sisi. Kehebatannya lengkap.

Lalu tengok lagi The Legend of 1900. Kisah tentang sebuah kapal laut dan seorang bayi yang ditinggal penumpangnya. Bayi itu kemudian tumbuh dewasa bersama buruh kapal dan menjadi pianis otodidak hebat. Uniknya, seumur hidup pianis ini tak sekalipun pernah menyentuh daratan. Film ini sekaligus nostalgia Tornatore dengan kapal uap berbahan bakar batu bara dan dunia buruh di geladak mesin. Shootingnya hampir 100% sengaja diisolir tak keluar dari atas kapal.

Memang begitu ciri khas Tornatore, di sekitar perjalan hidup tokoh utamanya selalu disisipkan dinamika perubahan sosial, budaya, politik atau teknologi. Dan tokoh-tokoh yang diangkat itu, ibarat orang-orang “tak terpikirkan” yang ada di keseharian kita. Tapi di tangan Tornatore, kisah hidup mereka ternyata menyimpan drama-romantik.

Giuseppe Tornatore, si pendongeng unik,jagoan dramaturgi. Tapi jangan salah sangka, bukan berarti ia lemah sinematografi, sebab gambar-gambar yang ia bangun sedramatis karakter pilihan tokoh-tokohnya dan lika-liku kisah yang ia ciptakan.


* * *
Oke segitu dulu. Seperti sebelumnya bersambung lagi... harap maklum... ^_^


Kampung Pettarani, Makassar 10 April 2010

Selengkapnya...