‘Konser Akbar’; George Junus Aditjondro; Kembang Api; Suicide Contagion; Karl Marx; Infotainment; Gus Dur & Popularism. Ini Kado Buat Tahun Baru 2010.


Klasik. Teori sederhana ini, dalam jurnalistik sangat klasik. Tapi selalu bikin hati cengar-cengir kecut bila membacanya lagi.

“When a dog bite a man that is not a news,
but when a man bites a dog that is news.”
(Charles A. Dana 1882)
Masuk akal.

Belakangan, Mr. Klasik ini sedikit dapat bantahan. Bantahannya kira-kira begini: “When a dog bite a man is a news.”
Nah lho…kok bisa?

Menurut para pembantah, seseorang yang digigit anjing bisa saja sebuah berita. Misalnya, yang digigit bukan dari kalangan ‘orang biasa’.
Contoh; “Fauzi Baadilla digigit anjing di lokasi shooting”; atau “Saat lari pagi di halaman gedung putih, Barack Obama dikejar anjing putih.”


Kandungan nilai berita dua peristiwa di atas, katanya terletak pada popularitas Fauzi Baadilla & Barack Obama. Bukan pada anjingnya tentu saja. Begitu poin bantahan teori ini.
Sampai disini, yaaa…masuk akal-lah.

Kalau begitu, pantaslah selama ini infotainment laris-manis dikonsumsi menyaingi sandang, pangan dan papan. Lepas dari perdebatan apakah infotainment itu berita atau bukan.

Chris Martin (Coldplay) jatuh dari sepeda, Ahmad Dhani ditusuk kulit durian, Luna Maya manjat pohon pisang, hal beginian laku-jual di televisi. Bisa bikin heboh obrolan sehari-hari pirsawan.
Ini membuktikan kalau teori tentang ‘anjing gigit seseorang’ memang bekerja dengan baik.

Rabu, 30 Desember 2009. Siang menjelang sore.

Tangan kiri George Junus Aditjondro menggenggam naskah buku ‘kontorversial’ Membongkar Gurita Cikeas yang ditulisnya sendiri. Tiba-tiba, karena kupingnya serasa keriting, naskah buku ‘kontroversial’ itu mendarat di wajah kiri sekitar mata Ramadhan Pohan, politisi Partai Demokrat, yang saat itu ‘datang tak diundang’ (pergi mungkin dijemput mungkin tidak).

Sore hingga magrib. Berita ‘gurita mampir di wajah’ itu sudah berdesak-desakan di seluruh stasiun TV. Mengapa?

Logikanya rumus-rumusan ini; kalau yang menulis buku itu bukan George (cendekiawan yang kenyang cekalan pemerintah), melainkan Abdul Karim (si bukan siapa-siapa tetangganya George); atau judul bukunya bukan Membongkar Gurita Cikeas, melainkan Membongkar Kandang Ayam Tetangga di Ciledug; atau yang disambit bukan Ramadhan Pohan (Politisi Partai demokrat), melainkan Ramadhan Rohim (calon Kepala Dusun Ciledug si pemilik kandang ayam), maka blow-up televisi tak bakal segitu-gitu amat.

Apakah yang disorot stasiun TV itu George-nya, ataukah Ramadhan-nya, ataukah peristiwa penyambitannya? Sekali lagi, ini bukti bahwa teori tentang ‘anjing gigit seseorang’ memang manjur.

Selepas magrib, pukul 18:45– hari yang sama ketika guritanya George mampir di wajah Ramadhan.

Mantan Presiden RI ke-4, cendikiawan yang suka ceplas-ceplos “gitu aja kok repot,” wafat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Satu jam setelahnya, seluruh siaran TV penuh dengan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Disorot dari berbagai sudut, low hingga high angle.

Sambitan ‘gurita’nya George tergusur. Popularitas dikalahkan popularitas. ‘Bukan orang biasa’ digusur oleh yang ‘lebih bukan orang biasa’. Penggusuran berlangsung ganas– mengalahkan ganasnya aparat Satpol PP– hingga malam. Hingga tengah malam. Hingga menjelang pagi. Hingga pagi.

Koran datang, headline semua bicara Gus-Dur. Halaman dalamnya, kebanyakan masih tentang Gus Dur; In-memoriam, Tokoh Bicara, Obituari, perjalanan hidup, atau iklan turut berduka cita.

Siang hingga sore, liputan live TV pemakaman Gus Dur.

Giliran malam, yang berdasarkan kalender Gregorianik, diam-diam merapat ke tahun baru. Salah satu stasiun TV menayangkan ‘Konser Akbar 2009’. Jauh hari, publikasinya jor-joran dengan embel-embel konser paling ‘spektakuler’ tahun ini. Lima grup musik dalam negeri tampil secara bergantian: ST 12, Nidji, Ungu, The Changcuters dan D'Masiv.

Konser mulai disiarkan. Di screen latar panggung raksasa, muncul potongan visual Gus Dur. Saat itu giliran Muhammad Charlie Van Houtten (ST 12) membawakan tembang Saat Terakhir. Matanya berkaca-kaca, seperti petanda bila tentu ia turut sedih mengenang tokoh yang ada di screen itu.

Giring Ganesha Djumaryo (Nidji) setali tiga uang dengan Charlie, “Selamat jalan Gus Dur…” teriaknya dengan menengadah ke langit dan haru yang mendalam di sela-sela lirik lagu Sang Mantan.

Gus Dur masih mendominasi ruang ‘kesadaran publik’.

Pertanyaannya, apakah potongan visual Gus Dur pada screen, juga isak tangis Charlie dan Giring memang sengaja dipersiapkan jauh hari sebagai persembahan spektakuler? Jelas tidak mungkin. Sebab, masa sih mereka bisa tahu kapan harinya Gus Dur meninggal.

Kalau begitu, apakah potongan visual dan isak tangis itu berupa ungkapan perasaan spontanitas, ataukah sekedar rasa takut dianggap tak punya empati walau kesannya malah tampak dibuat-buat mirip nonton fragmen kelas rendahan? Wallahualam.

Yang jelas, tajuk ‘Konser Akbar 2009’ plus publikasi yang jauh hari diberi propaganda embel-embel konser paling ‘spektakuler’ itu, sudah kelihatan saljul alias ‘salah judul’ sampai-sampai terlihat salah tingkah. Kecele gara-gara mencampur-adukkan ‘histeria’ dan ‘belasungkawa’. Suatu pemaksaan racikan konyol menyatukan minyak dan air.

Kalau saja di 30 Desember 2009, selepas magrib pukul 18:45, yang wafat bukan Gus Dur, besar kemungkinan ceritanya akan lain. Mungkin pemandangan hambur-hambur isak tangis barisan vokalis grup musik, yang sama sekali jauh dari kesan natural di panggung raksasa yang direncanakan ‘spektakuler’ itu takkan pernah ada.

Kalaupun salah satu dari Richard Kurniawan Zakaria (36), ataukah Ice Juniar (24), ataukah Reno Fadillah (25), ataukah ketiga-tiganya sekaligus, mau menunda aksinya untuk bertukar hari dimana Gus Dur wafat, maka jangan pernah mimpi ketiga wajah orang ini nongol di screen raksasa itu.

Tapi sebentar! Richard, Ice, dan Reno ini siapa? Main sambar-sambar nama sembarangan.

Bolak-balik catatan halaman belakang, Richard adalah lelaki yang terjun dari lantai XI Mangga Dua Square, Jakarta Utara hingga tewas. Ice lain lagi, ia memilih lantai V Grand Indonesia sebagai titik aksi Superman-nya. Sementara Reno, entah janjian dengan Ice atau tidak, di hari yang sama ia pun memilih lantai V sebagai tempat terakhirnya berdiri. Hanya saja Reno lebih menyukai Senayan City ketimbang Grand Indonesia.

Konyolnya, rata-rata mulut bergincu para psikolog jebolan luar negeri yang manis-manis itu berteori bahwa fenomena ini sebagai suicide contagion. Maksudnya, bunuh diri yang menular akibat perilaku serupa yang pernah mereka saksikan. Tujuannya kadang untuk mencari perhatian, coba-coba, atau mau membuktikan dirinya hebat.

Selama ini mereka kurang perhatian orang-orang sekitarnya. Karenanya, maka itu sebagaimana daripadanya, para keluarga dan orang terdekat kudu memberikan perhatian ekstra terhadap orang-orang seperti ini.

Yang benar saja, masa sih ada orang mau melompat dari lantai ketinggian hanya karena coba-coba, mau membuktikan diri hebat, atau sekedar pengen jadi pusat perhatian.

Sepertinya lebih rasional sedikit bila mengatakan bahwa ada yang tak beres dengan kondisi sosial bangsa ini. Bahwa bahkan setelah 64 tahun– sama artinya dengan 64 kali tiup lilin ulang tahun– negara ini masih tak bisa juga mewujudkan PR-nya yang tertera di sila ke-5 Pancasila. (Kalau lupa bunyi sila ini, kutipannya sbb: “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”)

Andai kata Karl Marx masih hidup, mungkin dia sudah angkat corong wireless dan koar-koar di puncak Monas: “Ini mencurigakan, bahwa modal gemah ripah loh jenawi toto tentrem kertoraharjo yang dimiliki negara kita tercinta ini masih juga tak cukup mewujudkan kesejahteraan lahir maupun batin.

Richard, Ice, dan Reno mungkin dari keluarga yang gak parah-parah amat, sebab masih sempat memilih pusat-pusat perbelanjaan sebagai tempatnya berucap hasta la vista. Tapi di belakang mereka, seabrek kasus serupa yang lebih memprihatinkan. Grafik angka bunuh diri dari tahun ke tahun kejar-kejaran dengan angka pengangguran. Di hitung berdasarkan statistik, kebanyakan memilih tali jemuran, racun serangga, atau menara aliran listrik gara-gara nunggak uang sekolah anak, tak bisa bayar utang, atau kena PHK .

Obat mujarab pertolongan pertama pada ‘keadilan sosial’ itu adalah menyuapi satu-persatu anak-anak bangsanya dengan nasi secara adil dan merata. Bukan tiwul, nasi aking, apalagi sendal jepit. Kalau memenag negara kekurangan tangan, bikin lapangan pekerjaan agar mereka bisa menyuapi mulut sendiri. Bukan malah dalih menuding kurangnya perhatian ayah, ibu, istri, saudara, anak-anak, kerabat, bahkan tetangga sekitar mereka.

Dasar sableng !!!” maki Marx. Setelah orasinya itu, ia komat-komit dalam hati sebentar, lalu ikut-ikutan melompat dan terkapar bersimbah darah tepat di bawah monumen lambang kemerdekaan. “Untuk menemani Richard dkk curhat di liang lahat,” katanya.

Marx kena syndroma suicide contagion.

Balik ke soalan ‘Konser Akbar 2009’. Sampai di mana tadi?

Oh iya…kalau saja yang wafat di 30 Desember 2009 itu adalah Richard, Ice, atau Reno maka jangan pernah mau repot-repot mimpi, Giring dan lainnya mau berfikir mengeluarkan jurus ‘isak-tangis’ maut di atas panggung. Sekalipun pemandangan jurus basi itu sekedar pura-pura seperti yang terlihat untuk Gus Dur.

Paling-paling yang ada sorak-sorak ke-giring-an, “Ayo Indonesia…selamat tahun baru Ancol…happy new year Indonesia…semuanya lompaaaat…!!!” sembari berlari-lari ke sana ke mari. “This is disco lazy time… disco..lazy time…” teriaknya.

Dan di langit, terompet bersahut-sahutan, kembang api berhamburan “Jedar…jederr..dar…der...dor…teeet…teeeeeett!”

Sampai di sini, cara kerja teori ‘anjing gigit seseorang’ ini mulai agak gak connect di akal.
seolah-olah "when an ordinary man dead is not a news. But when an extraordinary man dead is a news.

Dikulik lebih dalam, teori ini seolah-olah mau bilang: “Kalau mau meninggal lalu ingin menjadi berita dominan di TV serta headline surat kabar, muncul di screen raksasa panggung ‘Konser Akbar’, diratapi vokalis-vokalis grup musik dalam negeri, syaratnya jadi ‘orang tidak biasa’ dulu (semisal John Lennon atau Gus Dur), baru kemudian monggo wafat.”

Andai di dalam kubur, bibir (alm) Gus Dur masih bisa ceplas-ceplos, mungkin dia akan ngomong seperti ini:

Gus Dur : “Gitu aja kok repot! Lha wong, Saya sudah wafat kok masih aja diomongin. Sampeyan gak takut dosa apa, ngomongin orang mati. Ini lagi, pakai bawa-bawa nama saya diblognya segala, kena undang-undang ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) baru tau rasa sampeyan.”

Empunya Blog : “Waduh…maaf Gus…maaf…tulisan ini nda bermaksud mendiskreditkan Charlie, Giring, Konser Akbar 2009, stasiun TV, surat kabar, George dengan guritanya, negara, pihak-pihak yang disebutkan di atas, apalagi mempertanyakan sumbangsih Gus selama ini terhadap bangsa.
Cuma, teori when a dog bite a man is a news itu lho Gus. Kayak ada sesuatu yang terlalu diistimewakan di balik kata man-nya itu lho.
Tapi kalau masih salah juga, ya man-nya diganti dog aja deh. Biar gak ada yang tersinggung.

Nah, sampai di sini, rasa-rasanya bukan teori ‘anjing gigit seseorang’ ini yang gak connect. Malah tulisan inilah yang makin ngawur. Makanya cukup sampai di sini saja. Nanti malah makin banyak yang naik pitam. Lagipula heran, anjing sebelah rumah kok tiba-tiba menggonggong. Tamat.

__________________
Kampung Pettarani, 4 Januari 2010.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar