19 sutradara versi eeduyhaw.blogspot.com yang musibah besar kalo nda nonton karyanya. (Last Part)




7. Gaspar Noe

Namanya boleh asing di telinga. Karyanya boleh tak satupun pernah tercatat meski sebatas nominasi di ajang Oscar. Tapi jangan tanyakan itu di perhelatan Cannes. Ia angker di sana.

Sama seperti nyentriknya Lars von Trier (director asal Denmark yang menghasilkan Manderlay dan Antichrist). Noe sengaja tak bernafsu untuk nyemplung di industri Hollywood untuk menghasilkan film-film Box Office sebagai syarat tak tertulis mengisi kategori-kategori Oscar.
Ia justru lebih sibuk mengeksplorasi sisi art film. Ia tipikal sutradara pendobrak struktur mapan dalam penciptaan film. Seumpama lukisan, karya Noe model aliran abstrak di awal kemunculannya yang mendombrak kecenderungan mainstream waktu itu. Tak mau ia terjebak dengan tatanan baku film.

Lebih parah lagi, tema pemikiran director asal Prancis ini suramnya naudzubillah. Ia selalu senang dengan sisi gelap manusia. Bibit-bibit itu bisa dilihat dari filmnya I Stand Alone. Film yang berkisah tentang sosok lelaki tukang jagal hewan yang bertemu dengan anak gadisnya setelah sekian lama. Mengambil paris sunyi nan muram sebagai setting lokasi cerita.


Ada satu scene di film ini yang cocok untuk menggambarkan bagaimana sebenarnya Noe itu; ketika si tukang jagal ini baru bertemu anak perempuannya. Bukannya malah digambarkan menjadi figur ‘ayah baik’ yang mencoba merajut kembali hubungan kedekatan dengan anaknya. Noe malah membeberkan dialog batin si Ayah, yang justru tergiur dengan tubuh anaknya yang beranjak dewasa. “Ketimbang direnggut pertama kali oleh pemuda-pemuda brengsek, masih lebih baik bila Ayah dulu yang melakukannya,” begitu kira-kira dialog dalam benak tokoh Ayah itu.

Tidak, justru pemikiran Noe belum tentu bisa dikatakan ‘sakit jiwa’ karena scene itu. Paris-lah yang tengah sakit jiwa menurutnya. Dan konon, ada penelitian yang menggambarkan bahwa 3 dari 10 figur Ayah di Prancis pernah menggagahi anak gadisnya sendiri.
Noe hanyalah sosok yang berani datang untuk jujur membeberkan keanehan tanah lahirnya itu.

Irreversible. Inilah film Gaspar Noe yang paling bikin tenggorokan tercekat. Standing applause untuk film ini. Kalau boleh sedikit hiperbolis, “Film ini sesungguhnya Tuhan langsung yang menciptakannya, hanya saja ia meminjam tubuh Noe sebagai medium biar tak merusak konstalasi kehidupan.” (Hahaha… ‘sedikit’ hiperbolis yang benar-benar parah).

Dari segala penjuru aspek teknis, film ini benar-benar brillian dan orisinil.
Alur mainstream dilabrak dengan memakai alur mundur. 20 menit pertama jidat mungkin mengkerut bingung, “Nih film maksudnya apa?” Tapi lewat beberapa menit, barulah kita sadar “Oh…alur mundur to! Openingnya di belakang, endingnya di depan to.” Walhasil, nontonnya direwind lagi dari awal.

Urusan sinematorgrafi, film ini lebih nyeleneh lagi. Noe cenderung mendekontruksi, apa itu komposisi beauty. Gerak kamera sebisa mungkin one-shot dan sengaja dibuat pusing berputar-putar menghantam atap, dinding atau apa saja hingga layar menjadi gelap dan tembus di tempat lain. Hasilnya, memang klop dengan mood serta tema cerita yang diangkat. Ditambah lagi, penggunaan backsound aneh. Lengkap sudah kurang ajarnya ini film.

Jalan ceritanya bagaimana? Percuma ia dijuluki Mr. Sakit Jiwa kalau ceritanya bersopan-santun ria. Seperti kegemarannya, tentang bengisnya makhluk (peradaban) bernama manusia. Settingnya kembali mengambil Paris. Garis besarnya, tentang seorang pemuda yang melabrak setiap sudut sebuah kawasan, untuk mencari siapa yang telah menyodomi pacarnya hingga sekarat.

Cuma, sedikit warning bagi yang berideologi ketat. Urusan gambar orang-orang telanjang hingga alat kelamin menjuntai kemana-mana, film-film Noe sangat dermawan. Meski rasa-rasanya konteks adegan-adegan itu bukan mengarah ke pornografi film biru, tetap perbedaaan budaya dan agama kita memang jadi kendalanya. So, kudu hati-hati wae-lah. Perbanyak pencet tombol forward tips-nya.

Cast tokoh utama film adalah Monica Bellucci dan suaminya sendiri Vincent Cassel. Nah, kalau masih ingat bagaimana totalitasnya Bellucci di salah satu scene film Malena (Giusseppe Tornatore), ketika aktingnya harus diseret dari dalam rumah keluar ke tepi jalan. Rambut dijambak. Baju disobak-sobek hingga compang-camping telanjang di depan umum. Digunduli pula. Diludahi. Lalu dituntut harus nangis sedih hingga air mata mengalir. Maka sodara-sodara, di filmnya Noe ini, adegan itu lewat.

Adegan manakah gerangan itu? Perhatikan baik-baik waktu adegan sodomi (aduh… jadi gak enak nyebutnya). Hitung, berapa menit durasi akting one-shot yang harus dilakukan Bellucci, sejak masih rapi keluar dari rumah, hingga ke tepi jalan raya, lalu memutuskan nyebrang lewat lorong bawah tanah, dan kemudian porak-poranda disodomi lelaki bengis penjahat kelamin. Plus harus telanjang compang-camping, mengerang tangis tak berdaya sambil mulutnya dibekap.

Bellucci, sekali lagi sukses membabptis dirinya, jika ia bukan aktris kacangan sekelas wajah imut-imut yang nongol dalam film-film Box Office Hollywood di bioskop Twenty One.


Film ketiga Noe (hanya segitu memang jumlah karya film panjangnya) adalah Enter The Void. Pada dasarnya, film ini adalah penyempurnaan teknik dan karakter khas Noe dalam Irreversible. Di sini, Ia seperti hanya ingin mengukuhkan, bahwa gaya bercerita dan teknik sinematografi seperti ini adalah temuannya. Miliknya.
Enter The Void ibarat finishing teknis yang belum sempat dilakukan di Irreversible. Tapi tema ceritanya cukup unik, sebab menuntut visualisai dunia pasca kematian. Selain itu, harapan kita belum terpuaskan untuk melihat hal-hal progresif dan lebih sakit lagi dari eksplorasi teknis seorang Noe.

Gaspar Noe, si pengeksplor jiwa-jiwa yang sakit, yang berani jujur mengingatkan bahwa dalam diri manusia ada potensi kengerian sifat iblis yang bersemayam. Dan ia sama-sekali tak butuh Oscar sebijipun untuk membuat namanya angker di jagat perfilman dunia.


6. Stanley Kubrick

Sayangnya dia adalah sutradara generasi awal abad 20 yang lahir di New York 1928 dan meninggal di Inggris 1999. Andai saja ia masih hidup, sungguh tak berani membayangkan sepeti apa bentuk imajinasi otaknya lewat karya film-filmnya.

Dimasanya, film-film Stanley Kubrick selalu kontroversi dan menjadi perdebatan. Konon, aktor dan aktris besar selalu bermimpi dipanggil Kubrick untuk medapat peran di film besutannya. Sebab, bermain disalah satu film Kubrick adalah tolak ukur pengukuhan diri sebagai bintang besar.

Kubrick memang kerap kontroversial. Kehebatannya ada di segala bidang maupun genre. Kalau bukan karena tema cerita yang diangkat, pasti imajinasi futuristiknya. Ataukah karena teknis pembuatan film-filmnya.

Clockwork Orange misalnya. Berkisah tentang perjalanan seorang pemuda bernama Alex (Malcolm Mc Dowell) bersama geng nyelenehnya dalam masa Inggris masa depan. Kelakuan sehari-hari mereka tak lebih dari kekerasan, perampokan, serta pemerkosaan yang sering disebutnya “ultraviolence”. Suatu waktu, Alex dihianati kawan-kawannya sendiri. Ia pun dijebloskan ke penjara dan harus melakukan theraphy untuk menghilangkan kecenderungan kriminalnya.

Film ini sangat unik. Gaya bercerita, kostum, penggunaan musik/ backsound aneh, manipulasi gambar, tata artistik, pengadeganan, eksplorasi mimik, serta semua-semuanyalah, benar-benar lain daripada yang lain. Ditambah jalan cerita yang nyentrik namun penuh kotroversial sebab sarat adegan kekerasan. Tapi Kubrick akhirnya menarik peredaran film ini, sebab ia dan keluarganya sempat mendapatkan ancaman mati.

Di masanya, Kubrick sangat kelihatan bila imajinasinya melampaui zamannya.

Lihat pula keanehan tematik Shut Wide Eyes yang merupakan film terakhirnya. Awal mula cerita tentang pertengkaran suami-istri (Tom Cruise dan Nicole Kidman) yang akhirnya membawa si suami menyusuri malam kota New York dan terkait dalam persekutuan sekte sex terselubung dimana para pejabat dan tokoh-tokoh penting juga ada didalamnya. Ritual pertemuannya serupa perkumpulan setan yang selalu hobi melakukan pesta seks massal sebagai ritual. Dan hasilnya, film ini tentu saja mengalami sensor kiri-kanan depan-belakang dan mungkin cibiran.

Tapi yang paling bikin orang tercengang adalah ketika ia memproduksi 2001: A Space Odyssey. Inilah film yang menempatkan dirinya sebagai bapak genre science-fiction jauh sebelum orang-orang mengenal Gerorge Lucas, Steven Spielberg atau James Cameron.
Bayangkan, ia memproduksi film itu di tahun 1968, masa ketika teknis pengolahan editing (post-production) belum secanggih sekarang

2001: A Space Odyssey, bercerita tentang perjalanan luar angkasa masa depan. Dimana Kubrick betul-betul berhasil dengan detil-detil penciptaan suasana di dalam pesawat luar angkasa. Astronaut-astronaut dibuat terbalik-balik. Benda-benda dibuat melayang. Desain interior pesawat yang tampak nyata melawan gaya gravitasi sana-sini. Lalu penggunaan propert-properti yang lazimnya model futuristik.
Puyeng
, ya puyeng dah itu bagaimana mikirnya.

Tahun 1968 sodara-sodara dibikinnya. Masyaallah deh imajinasi sutradara ini. Musibah besar kalau gak sempat nonton film yang memang tak salah bila akhirnya meraih kategori best special effects di ajang Oscar.

Stanley Kubrick adalah sutradara kontroversial yang pemikiran teknis film serta imajinasinya melampaui zaman dimana ia hidup.


5. Quentin Tarantino

Rock N Roll, sedikit brutal, tapi juga konyol. Tarantino, sutradara asal Amerika yang funky habis kemasan filmnya.

Bisa jadi, usia yang terbilang muda dibanding sutradara besar lainnya membawa pengaruh dalam karakternya. Energi filmnya powerfull. Dahsyat serasa hentakan musik rock. Gokil dah!

Sayang, di film terkhirnya Inglorious Bastard atraksi Tarantino tak sesuai harapan orang-orang. Meskipun masih masuk nominasi Cannes, namun secara keseluruhan, dibanding ketiga film sebelumnya, film ini jauh dari kemampuan asli directornya. Selain dialog berbobot panjang, kita tak melihat dengan gamblang teknik-teknik khas Tarantino seperti biasanya.

Tapi lupakan itu, sebab memang tak satupun sutradara di dunia ini yang sanggup membuat setiap filmnya masterpiece. Tak ada cerita itu.

Kasus Inglorious Bastard jadi kecil dan tak penting manakala kita telah menyimak Kill Bill Vol.1 dan Kill Bill Vol.2. Parah, kalau sampai belum sempat nonton juga. Soalnya, pecandu-pecandu film seluruh dunia saja sudah teriak-teriak tak sabar “We want Kill Bill Vol.3!”

Meski garis besar film ini, hanyalah laga berbumbu sedikit pengadeganan adu jurus silat indah ala tionghoa, dimana pusat cerita adalah perjalanan perempuan bernama Beatrix Kido (Uma Thurman) membabat satu-persatu musuh-musuhnya, namun cara Tarantino mengemasnya itu lho, benar-benar luar biasa.

Luar biasanya tak tanggung-tanggung: dalam segala hal. Perfecto. Alur dibuat maju-mundur, jadinya tak monoton. Sinematografi rapi. Dari urusan komposisi yang tak lazim; blocking pemain; pecah shot; coloring; apalagi teknik kameranya, wow jangan ditanya.

Kalau band tanah air Naif me-repro musik jadul, Tarantino pun punya ide sama untuk me-repro teknik kamera film silat cina tempoe doloe (misalnya “zoom in tiba-tiba close up” saat scene Beatrix Kido menimba ilmu pada suhu tionghoa-nya). Padahal, teknik shot ini mulai ditinggalkan kebanyakan DOP (Director of Fotography). Tapi ditangannya, itu dibuat kembali funky.

Teknik bercerita film ini juga cepat. Kaya akan montase antara suatu babak dengan babak setelahnya. Scene-scenenya sengaja dibuat padat. Sehingga jauh dari penyakit bertele-tele. Main langsung labrak. Tarantino seolah tak rela kalau mata penontonnya berkedip sekalipun.

Bahkan dalam urusan dialog, pun sutradara ini tak mau tampil-biasa-biasa. Dialog agak panjang namun cerdas adalah karakter Rock N Roll lain darinya. Di Kill Bill, gaya khas dialog tarantino sebenarnya sudah terasa. Cuma contoh paling cocok mungkin ada di Pulp Fiction. Film yang mengantarnya menyabet Palme d’Or (Golden Palm) di Cannes 1994.

Perhatikan dialog saat scene dimana John Travolta dan Samuel L. Jackson berkendara di atas mobil menuju suatu apartemen. Isi dialog mereka berdua hanyalah chat-chit- chut tentang orang Prancis yang memasukkan kentang gorengnya ke mayonaise- lah, tentang Amsterdam yang begitu longgar dimana kita bisa membeli segelas bir kedalam bioskop-lah, atau tentang apa yang seharusnya terjadi bila seseorang memijat kaki istri orang lain. Semuanya dibiarkan sama sekali tak berhubungan dengan tujuan gila bila keduanya telah masuk ke salah satu kamar di apartemen itu.

Dari dialog di adegan ini saja, kesan yang ditimbulkan jadi campur aduk. Pertama, bahwa awalnya kita tertipu tentang tujuan mereka berdua pergi. Bagaimana mungkin orang yang bermaksud membantai nyawa geng lain hanya ngobrol hal remeh-temeh di atas mobil. Kedua, yang tampak adalah dua eksekutor ini tentulah profesional tulen. Ketiga, dua orang ini konyol tentu saja. Keempat, bahwa tingkat kesadisan mereka jangan diragukan. Kelima, scene pembantaian ini jadinya sekaligus peragaan humor cerdas yang kocak.
Sungguh betapa cerdas efek dari strategi pengisian dialog Tarantino di scene ini.

Dan pastas dikatakan, bila Tarantino pulalah sutradara yang mampu mengangkat posisi dialog di dalam struktur kemasan film, tampil dominan melebihi backsound bahkan visual sekalipun.

Quentin Tarantino, caranya bikin film Rock N Roll abis. Kalau gak ngerti maksud kalimat ini? Coba, nonton sendiri. Kalee aje, dipenafsiran Anda dia justru lebih terlihat dangduters sejati.


4. James Cameron

“Sutradara gila yang bermaksud membuat Hollywood bangkrut.”

Konon, begitu cibiran yang ia terima dari mulut eksekutif produser distributor-distributor raksasa Hollywood, saat pertama kali menawarkan proposal filmnya berjudul Titanic. Bukan kepalang memang angka yang diajukan Cameron, US$200 juta. Itu setara dengan 7 film budget ecek-ecek.
Beruntung ada Paramount Pictures dan 20th Century Fox yang punya nyali mengakomodir ongkos produksinya. Meski dalam hati ketar-ketir membayangkan resikonya.

Tapi sekarang, coba saja jawab pertanyaan ini:
Sepanjang abad 20 kemarin, film apa yang memegang rekor sebagai film berpenghasilan terbesar?
Jawabannya: Titanic. Film ini mampu menghasilkan sebanyak US$1,843 miliar

Film apa, yang panjang antriannya dari depan loket hingga ke parkiran depan bioskop 21 Ratulangi Makassar, itupun buat jam pertunjukan setelahnya atau sebentar malam, sebab pertunjukan sekarang ludes diambil orang. Dan pemandangan itu berlangsung berminggu-minggu pula?
Jawabannya: Titanic.

Film apa yang memenangi 11 kategori Oscar dari 14 kategori yang dinominasikannya?
Jawabannya: Titanic.

Maka kalau ada pertanyaan: “Eh... be-te-we ceritanya Titanic itu seperti apa sih?” Dueeeerrrr... lidah beku, spechless, tau mo ngomong apa lagi.
Sekurang-kurangnya pernahlah mendengar kehebohan film inil. Kalau sampai gak juga; rasa-rasanya pantas dicurigai kalau pertanyaan ini datang dari sosok alien dari Planet Mars yang lagi nyamar untuk menjajah bumi.

Pertanyaan oke tuh misalnya kayak gini: “Berhubung Titanic berjaya di abad 20, apa ada di era millenium setelahnya, film yang mampu mematahkan rekor-rekor fantastisnya itu?
Nah, pertanyaan oke tuh harusnya model kayak gitu...

Iye dodol... pertanyaan oke sih pertanyaan oke... cuma jawabannya ada gak? Seru si alien dari Mars makin dongkol.
Jawabannya: ada. Judulnya Avatar.
Nah lho... berarti sutradaranya Avatar lebih hebat dari James Cameron dong. Wah... ketahuan... asal nih yang nulis blog ini!” ledek si alien makin sengit.
Gak... tuetep... lebih hebat Cameron!”
“kok bisa dodol... hal-ihwal asal-muasalnya kumaha?”
“Iya... karena sutradaranya Avatar, ya sutrdaranya Titanic juga. Wueeekkk...!”

Itulah gilanya James Cameron. 17 tahun setelah memproduksi Titanic, ia baru mau keluar kandang lagi. Di rentang waktu itu, tak sekalipun ia memproduksi film. Ia memilih bertapa.

Hasilnya? otak gilanya makin menjadi-jadi.
Angka proposal yang dibawanya malah melebihi Titanic, US$500 juta. Tapi tentu saja, tak ada lagi eksekutif distributor yang hatinya ketar-ketir apalagi mulutnya berani-berani lancang mencibir. Semua justru berebutan siap menalangi. Maklum, siapa yang tak tergiur dari pengalaman pundi-pundi keuntungan yang diraup dari Titanic. `
Dan benar saja, sekali lagi, Avatar James Cameron memecahkan rekor film berpenghasilan terbesar sepanjang sejarah (sejarah sampai hari ini tentu saja). Rekor yang dulu ditorehkannya sendiri.
(Ulasan lebih detil tentang Avatar pernah diposting di blog ini. Bagi yang mau tahu lebih jauh silahkan klik di sini).

Sebenarnya, terutama soal kedalaman isi cerita, James cameron jauh dari spesial. Kisah filmnya biasa saja. Di Titanic ia hanya menawarkan formula kesukaan kecenderungan penonton kebanyakan, romantisme kisah cinta dua sejoli. Di Terminator lebih biasa lagi, teror alien yang mengemban misi menguasai bumi.
Yang sedikit menarik barulah di Avatar, sisi kritis Cameron mulai terlihat di film ini.

Lantas, apa hebatnya film-filmnya dia?

Basic karir film Cameron berangkat dari seorang editor. Maka tak perlu heran bila genre science-fiction adalah pilihan kesukaannya. Sebab di sektor inilah ia bisa begitu leluasa beratraksi dengan jurus-jurusnya. Seperti yang semua sudah tahu, sci-fi sangat menonjol dalam eksplorasi sisi teknik penciptaan gambar (manipulasi gambar, teknis pengambilan, penggunaan perangkat canggih teknologi film, special effect, animasi, dan segala macamlah).

Makanya gambar-gambar yang dihasilkan sering bikin otak semaput... ini bikinnya gimana? Nah, Cameron itu adalah sutradara yang suka bikin sutradara lain di genre ini sadar, kalau jangan macam-macam dengan karyanya. Filmnya suka bikin film sci-fi lain malu-malu kucing, ketahuan tak ada apa-apanya.

Lihat bagaimana puyengnya sutradara lain, ketika di Terminator Cameron membuat si alien meleleh menjadi timah dan balik lagi menjadi manusia.
Lihat ketika di Titanic, bagaimana ia membuat kapal laut megah itu berjalan hidup, lalu terbelah dua, padahal behind the scene proses pembuatannya menunjukkan kalau selama shooting tak sekalipun kapal itu dijalankan.
Lihat ketika Avatar, bagaimana imajinasinya menciptakan sebuah planet yang dihuni oleh makhluk biru dan aneka flora dan fauna yang berpendar-pendar dan benar-benar terlihat real.

Konon, menurut analisa kritikus, setelah melihat Avatar, sutradara sci-fi lain yang gemar bikin robot-robot maupun makhluk-makhluk raksasa, ataukah gedung pencakar langit di sebuah kota metropolitan musnah ditelan banjir besar, jadi nangis tersedu-sedu dan sadar kalau garapannya hanya sebatas ujung kuku kelingking di hadapan film Cameron. (hihihi...konon tapi lho ini)

James Cameron, jawara di dunia sci-fi yang canggih, yang meramu filmnya dengan kisah yang sengaja dibuat ringan agar mudah dicerna, si pemilik ide-ide besar dengan konsekuensi budget besar, yang karena itu membawanya jauh melesat sebagai si pemilik rekor abadi Box Office fantastis sepanjang sejarah.


3. David Fincher

Biarlah orang bilang, kalau sutradara satu ini tak punya kekhasan dalam sisi teknis pengemasan film. Biar pula orang bilang, kalau prestasi filmnya di ajang festival tak spektakuler-spektakuler amat.

Fincher tak ribet dengan persoalan itu. Visinya soal film terletak pada satu hal penting: kedalaman cerita.
Maka sebuah film bagi Fincher adalah ketika sehabis menyaksikannya, orang akan duduk diam lalu merenung sejenak... Ah bagaimanan jika memang terjadi seperti itu? Dan pertanyaan itu, terus melekat mengusik kehidupan sehari-hari.

Ya, David Fincher meminjam medium film untuk mengungkapkan kecerdasan filosofisnya.

Lantaran itu, bukan berarti ia buruk soal sinematografi, teknik penyampaian cerita (alur atau plot), pengadeganan dan sebagainya. Ia hanya tak ingin bertumpu pada aspek teknis tersebut. Sebab baginya, kisah dalam film lebih menuntut perhatian lebih untuk menjaga agar sesuai target yang ingin dicapainya.

Bila tak percaya juga, baiklah simak Panic Room. Justru di sini kedalaman Fincher yang belum ditampakkan. Setting cerita film ini adalah tentang seorang ibu (Jodie Foster) dan anaknya yang berumur 11 tahun terjebak ketika suatu malam ia tersadar bahwa sekelompok perampok telah berkeliaran di dalam rumah barunya sendiri. Satu-satunya tempat aman bagi keduanya adalah satu ruang khusus yang oleh desainernya di beri nama Panic Room.

Sisi teknis apa yang menarik dari film ini? Perhatikan lokasi cerita selama film ini berlangsung. Shooting film 99% hanya dilakukan di rumah itu, dimana di dalamnya terdapat ruang untuk mengatasi situasi panik. Atau dalam kalimat yang lebih pas, Fincher sengaja memblock sebuah film agar kisahnya sama-sekali tak boleh keluar dari sebuah rumah.
Hanya melihat sebuah rumah, dan Fincher lalu mampu berimajinasi dan mengalirkan berpuluh-puluh menit suatu kisah hingga selesai.
Ini pertanda, bila ia memiliki kecerdasan dan kreatifitas teknis. Hanya saja ia tak mau bertumpu disitu.

Kedalaman Fincher barulah kelihatan ketika ia mendirect Fight Club. Hanya bagi yang tak akrab dengan tema-tema filsafat eksistensialisme, film ini mungkin jadi tak punya greget berarti. Tapi sebaliknya, bagi yang suka ribet meyelami dunia pemikiran, film ini mungkin pelepas dahaga. Ada banyak celah diskusi seru mengenai kisah film ini selepas menontonnya.
Hal inilah yang menjadi keunikan Fincher, filmnya bukan tipe yang habis nonton, kita merasa terhibur dan keluar bioskop. Lalu 10 menit setelahnya kita telah lupa dan sibuk dengan hal sehari-hari di depan mata.
Film Fincher selalu menawarkan perenungan setelah menontonnya, “Ah... bagaiamana jika sekiranya itu memang terjadi.”

Hal serupa terjadi di film The Curious Case Of Benjamin Button. Sama seperti Fight Club, lagi-lagi Brad Pitt didaulat menjadi tokoh utama di film ini. Kisahnya unik, tentang seorang lelaki yang mengalami fase terbalik dalam perjalanan hidupnya. Sejak bayi fisiknya mengalami penuaan dini. Namun, seiring tumbuhnya, berangsur-angsur fisiknya berbalik semakin muda, sementara kondisi otak dan mentalnya berjalan normal semakin dewasa.
Naskahnya di adaptasi dari cerita pendek dari F. Scott Fitzgerald, tetapi Fincher banyak mempermak isi ceritanya sendiri.

film ini berhasil masuk nominasi best picture dan best director di ajang Golden Globe. Hanya saja kalah saing dengan Slumdog Millionaire besutan Danny Boyle. Konyolnya, sabotase itu berlanjut hingga ke Oscar, oleh film yang sama pula. Padahal seumpama disuruh memilih, one-hundred percent blog ini bakal memenangkan The Curious Case Of Benjamin Button.

Film terakhir garapan Fincher adalah The Social Network. Film yang bercerita tentang apa dan bagaimana sisi belakang layar, fase munculnya situs jejaring fenomenal Facebook. Khususnya masalah kepemilikan saham Mark Zuckerberg dan kolega-koleganya.

Dari tema jejaring Facebook, orang-orang berharap banyak agar Fincher fokus mengeksplorasi wacana sosial-budaya diramu tinjauan filosofis dari Facebook itu sendiri. Hanya saja perkiraan itu meleset. Film ini justru mengimplisitkan hal tersebut dalam ambiguitas dan ironi dari sosok Mark, si pencipta Fecebook itu sendiri.

Tapi bagaimanapun, film ini masih menarik untuk disimak. Rasa Fincher-nya masih ada. Cukup pula kalau film ini akhirnya mampu menang sebagai best director dan best motion picture-drama di Golden Globe, serta sempat nominasi sebagai best picture dan best director di ajang Oscar 2010.

David Fincher, punya kekhasan dalam menjaga mutu dan bobot dari isi kisah filmnya. Sangat sulit untuk menjelaskan seperti apa gambaran kekhasan filosofisnya itu. Satu-satunya jalan untuk membuktikan, filmnya harus ditonton sendiri.


2. Akira Kurosawa

Setiap warga Amerika, setidaknya pasti tahu ketika ditanya tentang legenda penyanyi Frank Sinatra. Kita sendiri punya sosok Benyamin S.
Nah, kalau jepang punya legenda bernama Akira Kurosawa.

Tapi ia sineas bukan musisi.
Akira punya kecerdasan teknis film yang sungguh luar biasa. Jauh melebihi director lain di zamannya. Cara ia menciptakan pergerakan kamera, pecah shot, eksplorasi alur, pemanfaatan simbol-simbol kecil, serta penggunaan feel suasana atau masa melalui unsur angin, air, api dan lain-lain betul-betul visioner. Kisah filmnya pun selalu unik dan dibangun dengan kecerdasan tinggi.

Tak kurang Steven Spielberg, George Lucas, Francis Ford Coppola, Robert Altman, mengakui bahwa apa yang dilakukan teknis film sekarang sebenarnya hanyalah pengembangan dari apa yang dilakukan Akira Kurosawa sebelumnya.

Ia lahir di Tokyo 1910 dan wafat di kota yang sama di tahun 1998. Menonton film-film Akira, sama sekali tak ada bedanya dengan film-film yang ada sekarang. Kecuali tentu saja film-film sekarang berwarna-warni sementara hampir semua film Akira masih berformat hitam-putih.
Tak terbayangkan, bila sosok legenda ini hidup di zaman sekarang.

Cobalah tonton strategi pergerakan kamera kurosawa dalam Seven Samurai. Atau bagaimana ia mengutak-atik alur di Rashomon. ataukah kisah unik seorang ronin cerdas dalam Yojimbo. Semua dasar-dasar teknik pembuatan film masa kini ada di situ. Film-film yang dibikinnya ketika era film masih berformat hitam-putih.

Hebatnya lagi, Akira Kurosawa tidak hanya jenius dalam hal teknis. Ia juga punya kecerdasan kritis. Intelektualitasnya bisa ditengok di Dreams. Film dengan kemasan ceita yang tak biasa, dialirkan menggunakan metode chapter to chapter. Film ini merupakan kritik Akira terhadap bahaya yang mungkin timbul dari eksplorasi teknologi yang tanpa disertai kearifan pertimbangan sosial-budaya. Menonton film ini, tiba-tiba saja Akira seperti seorang filosof.

Memang hanya BAFTA yang pernah menganugrahinya sebagai best direction melalui film Kagemusha. Serta Lifetime Achievement untuk Oscar di tahun 1989. Tapi tengok apa kata-kata yang keluar dari mulut sutrdara besar dunia semacam Ingmar Bergman, Roman Polanski, Bernardo Bertolucci, Robert Altman, Francis Ford Coppola, Steven Spielberg, Martin Scorsese, serta George Lucas. Semuanya mengakui kalau apa yang mereka lakukan sangat dipengaruhi oleh metode-metode Akira Kurosawa.

Akira Kurosawa itu adalah bapak (pencetus) strategi pengemasan film moderen. Seumpama dalam musik, ia adalah seseorang yang telah menciptakan do-re-mi- fa-sol-la-si-do(i) tangga nada. Dan karena rumusannya itu, orang lantas bisa membuat alunan musik dengan indah.

* * *


Fiuuh... sampai juga di tahap penulisan sosok director pamungkas versi blog ini. Sekedar mengingatkan kembali, kedalaman cerita (unsur filosofis) dalam relasinya dengan kehidupan sehari-hari adalah faktor nomor satu dalam memilih sutradara mana yang paling pantas menempati posisi terhormat ini.
Ya... kedalaman cerita. Setelah itu barulah aspek teknis film, seperti strategi penyampaian cerita (alur, pecah shot, montase), strategi sinematografi, pengadeganan, kecanggihan teknik editing, coloring, dan seterusnya.

Bagi blog ini, bagaimanapun, sebuah karya seni dituntut tidak hanya sekedar mampu menghibur (entertain) semata. Ataukah hanya sampai pada tahap mampu menginformasikan atau mendidik ke penonton sesuatu yang belum diketehui sebelumnya (inform/ educate).

Pada titik puncaknya, sebuah karya seni sejatinya sanggup mempengaruhi ataukah mengubah isi kepala, sikap bahkan perilaku penontonnya terhadap suatu fenomena yang tersajikan di dalam film itu. Pada tahap itulah, sisi filosofis suatu kisah film dipertaruhkan sampai sejauh mana kedalamannya.

Dan berdasarkan aspek tersebut, maka blog ini mengucap salute to:


1. Majid Majidi

Sederhana dan bijaksana.
Dua kata itu mewakili bagaimana sutradara Iran ini menyampaikan filmnya ke penonton.
Seluruh aspek film; dari tematik cerita, sinematografi, teknik editing, disampaikannya hanya dengan kesederhanaan. Namun penuh bunga-bunga makna yang bijak. Sering mata kita dibuat berkaca-kaca karenannya.
Ia benar-benar sutradara yang sangat bersahaja.

Kita mungkin masih ingat Children of Heaven. Kisah tentang seorang kakak laki-laki yang terpaksa harus merelakan sepatunya untuk dipakai bergantian dengan adik perempuannya. Sebab adik yang sangat ia sayangi tengah kehilangan sepatu. Dan suatu waktu ia berjuang memenangkan perlombaan lari agar memenangkan hadiah yang menjadi targetnya: sepasang sepatu buat adiknya.
Sangat sederhana, disampaikan dengan gambar sederhana, namun sarat dengan makna bijaksana.

Lalu ada Baran. Seorang anak perempuan imigran Afghanistan yang terpaksa menyamar menjadi laki-laki buruh bangunan. Mengantikan ayahnya yang mengalami kecelakaan berat, demi melanjutkan nafkah keluarga. Itu dilakukan di tengah sistem negara islam Iran, dimana perempuan tentu saja tak seenaknya bisa menembus akses kesetaraan kesempatan (gender).

Sekali lagi, tema kisah yang sangat sederhana, disampaikan dengan gambar sederhana, namun sarat dengan makna bijaksana.

Belum cukup dengan itu, tontonlah The Song of Sparrows. Kisah menyentuh sosok seorang ayah bernama Karim (Reza Naji) yang dipecat karena dituduh lalai hingga seekor burung unta lepas dari peternakan. Ia akhirnya mencoba mengadu nasib di kota sebagai tukang ojek agar bisa terus mengongkosi pengobatan masalah pendengaran yang mendera putrinya. Karim seorang yang murah hati kepada siapa pun. Tak peduli apakah itu mendapatkan balasan atau tidak. Kadang keluarga kecilnya sampai urung-uringan dengan sifatnya mulianya itu.

Dan itulah dari seorang Majid majidi, tentang kisah yang sangat sederhana, disampaikan dengan gambar sederhana, namun sarat dengan makna bijaksana.

Dari cara ia mengemas film-filmnya, Majid Majidi memang adalah seorang yang sangat setia dengan filosofi itu. Semua gambar-gambarnya ditampilkan sederhana. Tema cerita sangat sehari-hari. Tetapi kuat pada simbolisasi humanisme. Terutama model pengadeganan yang begitu real dan terlihat manusiawi sekali.
Kemampuan director untuk mengeksplorasi akting aktor-aktornya, adalah tumpuan agar sampai pada puncak lakon yang benar-benar dramatik.

Tapi dramatik, bukan berarti penuh adegan hambur-hambur tangis atau urat-urat leher yang meninggi seperti sering diperlihatkan sinetron televisi kita. Dramatik yang dimaksud adalah ketika sebuah adegan dilakonkan senatural mungkin. Semakin ia natural, ibaratnya semakin tak sadarlah penonton bahwa kejadian yang sementara disaksikannya adalah potongan gambar-gambar film semata.
Disitu kekuatan Madid Majidi, sebab tak sadar, mata tiba-tiba berkaca-kaca menyaksikan kisah dalam potongan-potongan adegan di filmnya.

Lebih memukaunya lagi, jangan sekali-kali pernah berfikir bahwa Majid Majidi tipikal “si penjual kesedihan”. Ia bukan pengeksploitasi “derita” sebagai bahan jualan di filmnya. Terlalu murahan itu.
Kesemua film-filmnya yang pernah ditonton, tak satupun yang bernada pesisimisme. Sebaliknya, ia selalu berusaha menunjukkan secara implisit kekuatan dari sebuah optimisme sederhana. Tak sekalipun tokoh-tokoh utamanya dikarakterkan sebagai tukang keluh dan pasrah dengan keadaan. Majid Majidi sangat mencintai kekuatan sebuah usaha. Meski itu terjadi dalam dimensi dunia sehari-hari orang-orang "kecil". Yang sering terlihat sebagai keremeh-temehan bagi sebagian orang lain.

Selembar uang seribuan bagi kita, mungkin itu hanya seharga tissue penyeka keringat wajah agar tetap terlihat segar.
Tapi di dimensi kehidupan film-film Madjid Majidi, selembar uang seribuan menyimpan sepenggal drama akan kekuatan suatu usaha dari orang-orang sederhana, di dunia yang sederhana, untuk meraih dan mencintai hidup dengan sebenar-benarnya.

Bagi yang punya keasikan menyelami kedalaman hidup, menonton film-film Majid Majidi serasa bukan menonton film. Lebih pada menyaksikan kepingan realitas sehari-hari terhampar di depan mata.

Majid Majidi, filmnya hidup seumpama punya nyawa. Blog ini, angkat topi karenanya.



* * *

Kampung Pettarani, Makassar 3 Mei 2011

2 komentar:

  1. majid majidi mengajak kita, lewat karya-karyanya, merenungi dan merasakan keajaiban cinta dalam kehidupan sehari-hari... salut untuk postingannya...

    BalasHapus
  2. aaarggghhh masih banyak film mereka yg belum ketonton!!! *jambak2 rambut*

    BalasHapus