Fenomenologi Briptu Norman Kamaru



"Saya nggak tahu siapa yang upload, saya malah dikasih tahu sama ibu saya. Sempat takut juga, takut kalau kenapa-kenapa." Briptu. Norman Kamaru, detik.com, Rabu (6/4/2011).

Tak perlu pula menjelaskan ulang siapa Briptu Norman? Selama di ruang tengah masih ada TV, dan TVnya masih sering dinyalakan, semua pasti sudah tahu.

Yang menarik justru pertanyaan:
1. Lho kok bisa, video lip sync kualitas butek kamera HP milik Norman diklik hingga lebih sejuta orang?
2. Lho kok bisa, seminggu terakhir ini, Norman hilir-mudik kayak piala bergilir, jadi rebutan segmen acara stasiun-stasiun TV?


Norman dan Jejaring Internet


Kasus Norman, sekali lagi bukti betapa spektakulernya new media!
Siapapun tak pernah tahu, bakal berefek sejauh mana materi-materi yang ia unggah di situs-situs jejaring. Lihat kutipan di atas, Norman sendiri aja garuk-garuk kepala gak habis pikir!”


“POLISI GORONTALO MENGGILA”. Dari judul sudah menarik, memancing rasa ingin tahu. Seorang teman malah nyeletuk waktu temannya mengirim tautan ini ke dindingnya, “Bikin ulah apa lagi ini polisi Indonesia!” Everybody know so well-lah kalau bicara soal aparat kita.

Eh… tahu-tahu, setelah pencet tombol play lalu pause (biasa, mempersilahkan loading sampe finish dulu) yang ada malah gambar laki-laki berseragam, lip sync sambil joget india tipis-tipis.
Awalnya kecewa, ekspektasi teman saya itu meleset. Cuma kalau diperhatikan lebih jauh, video ini lucu dan norak-norak gimana gitu. Gemesin. Tautan ini lalu diteruskan ke teman-temannya yang lain.

Dimulailah pola epidemik. Sebangsa dengan virus H5N1 penyebar flu burung (burung beneran). Dalam kajian ilmu sosial-budaya, pola ini disebut penyebaran dikursus (discourse) oleh Michel Foucault (1926 – 1984). Yang nyebar, namanya agen-agen diskursus. Agen itu misalnya; yang ngirim ke dinding teman saya, teman saya sendiri, dan temannya teman saya, yang jumlahnya gak tahu (boro-boro ngitung).

Apalagi kalau agen-agen si penyebar ini masuk kategori “top-markotop agent”. Maksudnya, tipe figur ngetop-lah. Ada tingkatan-tingkatan memang dalam dunia agen.
Tipe ini, ibarat kalau SMU dulu suka tergabung dalam suatu geng pertemanan, si opinion leader-nya. Yakni mereka yang kalau sekali ngomong, yang lain pasti banyak ikut angguk-angguk.
Alasan angguk-angguknya macam-macam. Ada yang karena hormat, memang percaya kalau dia cerdas, takut, karena dia cakep, keseringan ditraktir, suka diantar pulang, suka diberi contekan pas ujian, atau sekedar ikut-ikutan doang. Pokoe peduli setan, yang penting setuju wae-lah.

Agen tipe inilah salah satu faktor kunci menyebar luasnya suatu diskursus. Tipe inilah kalau di Facebook, sekali update status, yang nanggepin bejibun. Tipe inilah, karena dia cakep, sekali upload foto-foto narsis, hidung-hidung belang pada keluar dari sarangnya. Cerewet muja-muji busuk minta nomor HP segala. Kalau gak dapat, malah nyetor nomor HP sendiri. Dahsyat kan tipe 'top-markotop agent'?

Kasus Norman boleh jadi seperti ini. Awalnya ada yang iseng doang ngupload ke YouTube. Lalu link-nya disebarkan ke beberapa orang. Yang nengok, mungkin motifnya kenal Norman. Atau paling tidak karena penasaran, ingin tahu seperti teman saya. Berhubung videonya memang menggelitik, lalu diteruskan. Diteruskan lagi. Diteruskan lagi. Efek domino. Eh… tahu-tahu yang klik udeh nembus sejuta umat.

Dulu kasus Sandy Sondoro juga begitu. Cuma doi menarik bukan karena lucu dan gemesin. Suara Sandy memang jempolan. Prestasi dan Talenta nyanyinya tokcer di level Eropa. Biar begitu, pola penyebarannya sami mawon kayak Norman. Redaksinya saja yang beda. Kalau Norman sisipan kata-katanya “Eh… ada video polisi India lucu, nonton deh!” Nah kalau Sandy, “Eh… ada penyanyi dari Indonesia yang suaranya keren lho, nonton deh!”

Tentu karakter orang-orang yang suka terhadap kedua video ini juga berbeda. Coba deh bikin statistik, berani taruhan, kalau yang suka lihat link videonya Sandy Sondoro rata-rata tipe penuntut kualitas, selektif dan paling tidak wawasan musikalitasnya bukan katak dalam tempurung.

Justin Bieber pun begitu. Awal ngetopnya lewat YouTube juga. Suaranya bolehlah. Masih brondong, imut-imut, cute pula. Hasilnya, link video diklik berjuta juta orang.
Nah, kalau ada yang bikin statistik lagi, berani taruhan, ini dia selera cewek-cewek yang suka pecicilan teriak-teriak histeris di depan panggung konser entah sebabnya apa.

Paling seru video keong racun. Kasusnya sama. Cuma kalu dipikir-pikir masih mending Briptu Norman. Olah vokalnya masih bisa ada harapan. Meski butuh polesan dikit biar lebih stabil. Nah ini, hahahahaha…??? (Isi sendiri kelanjutannya).
Berani taruhan, biarpun gak ada yang bikin statistik sebelumnya, Yang suka lihat link video ini kebanyakan laki-laki yang nafasnya suka tiba-tiba gak teratur pas ketemu cewek centil. (eh… saya gak nulis kalimat Shinta dan Jojo itu cewek macam-macam lho yee… silahkan baca ulang…hahahahha).

Biar begitu, Shinta dan Jojo juga adalah bukti otentik kalau new media berbasis WWW itu memang spectacular and unpredictable. New media yang hukumnya cuma satu: HUKUM MENARIK.
Mampu tidak, materi-materi yang kita unggah itu “menarik” berjuta-juta pengunjung yang berserakan itu untuk datang melihat?


Norman dan Industri Televisi


Lho kok bisa, seminggu terakhir ini, Norman hilir-mudik kayak piala bergilir, jadi rebutan segmen acara stasiun-stasiun TV?

Era peradaban kita sekarang, ibaratnya masih dalam masa transisi dari penggunaan media satu arah (televisi, majalah, koran, dll) ke media yang mampu interaktif (Internet). Khususnya untuk materi-materi berkilobyte besar macam file audio-visual.

Kalau sekedar untuk kebutuhan magazine dan newspaper on-line, peradaban kita bolehlah. Hanya saja, dalam urusan meng-online-kan televisi misalnya, kita masih butuh terobosan pengembangan teknologi penyimpanan dan pengolahan (memory) data yang besar lagi super-cepat (real time). Di samping itu, akses perangkat teknologi internet ini belum ramah kantong kecil.

Andai kata telah sempurna, yakin deh… ruang tengah rumah kita tak butuh TV lagi. Semua ganti Internet. Someday kita bahkan mampu bikin TV sendiri. Tinggal bikin akun dan kelola, selesai. Begitu itu salah satu keuntungan sistem interaktif.

Berhubung belum, TV masih jadi mainstream. TV, sekali “update status” (menampilkan segmen acara), yang “klik” (nonton) acaranya = seberapa banyak orang yang punya TV dan mampu menjangkau frekuensinya. Ratus-ratus juta kalau ada yang nekad menghitung.

Ibarat waktu SMU dulu, TV adalah sebuah geng raksasa. Pengikutnya banyak. Nah, stasiun-stasiun TV itulah figure atau opinion leadernya. Yang kalau sekali ngomong, yang nonton pada angguk-angguk semua.

Maka TV adalah “super top-markotop agent”. Ini dia nih faktor paling berpengaruh yang bikin Norman makin kesohor. Di jejaring, ada semacam acara yang menampilkan celotehan-celotehan konyol bertajuk Tonyblank Show. Lumayan ngetoplah lewat Facebook. Cuma karena gak pernah dieksplorasi stasiun TV, jadinya gak seheboh Norman.

Salah seorang sahabat (senior KOSMIK UH) yang kebetulan bekerja di Trans TV pernah cerita, kalau acara ini susah masuk TV. Terlalu riskan untuk mengontrol rambu-rambu aturan. Misalnya menghindari hal-hal berbau SARA. Itu memang benar, soalnya bintang utama acara ini penderita schizophrenia alias “orang gila” beneran (baca “orang gila”nya pakai tanda kutip). Celotehannya susah dikontrol.

TV-lah yang mampu menggiring ke mana opini masyarakat berkembang. TVlah yang paling mampu menetukan isu apa yang harus dikonsumsi (masyarakat) penontonnya.

Karena TV dan internet sama-sama media, Hukumnya sama-sama satu: HUKUM MENARIK. Mampu tidak acara itu menarik pantat pemirsa sebanyak-banyaknya untuk duduk betah menonton.

TV itu juga industri. Apalagi dalam sisitem negara liberalis seperti kita. Hidup-matinya TV bergantung dari dari seberapa besar iklan yang tayang. Bagan analogi industrialisasinya begini: ibarat billboard di jalan protokol, pengiklan hanya mau pasang reklame di tempat-tempat strategis yang bisa dilihat orang sebanyak mungkin. TV seumpama jalan protokol, buntut-buntutnya pengiklan hanya mau beriklan di acara yang penontonya banyak. Duit dari pengiklan itulah yang dipakai bayar buat ongkos produksi acara, sekaligus bayar gaji manusia-manusia yang bekerja di dalamnya.

Dan berlomba-lombalah produser-prodoser satsiun TV. Pontang-panting mikir bagaimana membuat kemasan suatu acara yang hukumnya mampu menarik penonton sebanyak mungkin. Ketemulah Kata Kuincinya “PENONTON HARUS SEBANYAK MUNGKIN”. Kalau bisa sampai tak berhingga, itu lebih bagus lagi.

Maka dalam kaca mata Industri , TV sesungguhnya tak peduli; mau suaranya Sandy Sondoro dari emas kek, Justin Bieber itu lebay kek, Shinta-Jojo itu gak bisa apa-apa selain joget mirip orang tripping doang kek, atau Norman itu Brimob ‘lucu bin norak-norak gimana gitu kek, gak penting.
Yang penting dan produser TV pasti peduli adalah di belakang Sandy itu ada penonton berjuta-juta gak? Di belakang Justin itu ada penonton berjuta-juta gak? Di belakang Shinta-Jojo itu ada penonton berjuta-juta gak? Di belakang Norman itu ada penonton berjuta-juta gak? Kalau iya... buktinya apa?

Tuh… di YouTube!” jawab setan belang yang kebetulan lewat.
Lah udeh… mikir apa lagi dodol! Bawa cepat, itu orang-orang ke sini buat tampil di acara kita. Dia itu lumbung duit setan!” Seru produser-produser TV kasak-kusuk.

Melihat TV, sama dengan melihat snapshot gambaran kebudayaan suatu masyarakat. Apa dan bagaimana TV, begitu pula cerminan masyarakat kita. Kalau hari ini TV kita berisi; relity show murahan yang hambur-hambur air mata dibuat-buat; hantu-hantu gentayangan; kuis-kuis tengah malam yang doyan pamer belahan dada; atau rekayasa infotainment untuk mendongkrak popularitas artis; justru jangan salahkan TVnya. Apalagi produser-produser acara itu.
Masih mending kambing hitamkan masyarakatnya. Kok mau-maunya, seleranya kompak ramai-ramai kayak gituan.

Sekali lagi, TV itu industri. Kasarnya orang jualan. Dimana-mana, pedagang nyarinya tempat ramai untuk jualan. Bodoh kalau dagang di tepi jalan sepi. Salah-salah yang beli malah setan belang penghuni kuburan.

Kalau hari ini, gara-gara video butek kualitas HP, Norman keluar-masuk stasiun TV, jangan keburu uring-uringan bikin kampanye “Matikan TV” apalagi ngecap TV haram segala. Nanti, kesan yang ada malah mirip videonya Norman; lucu dan norak-norak gimana gitu.

TV seumpama pisau. Masa sih, gara-gara ada bocah mati ditusuk pisau oleh jambret, lantas kita bikin solusi musnahkan pisau di dunia ini. Lha… lantas ibu-ibu kalau lagi masak di dapur piye, potong-potong sayurnya pake ape? Jurus karate?

* * *

Di era jejaring, saling menarik perhatian adalah hukum mutlak. Semua saling berebut, sejauh mana materi-materi yang kita unggah itu mampu ‘menarik’ perhatian orang lain sebanyak-banyaknya.

Seperti kata Mark Zuckerberg, dalam dunia bernama internet, kita ingin memperhatikan sekaligus lebih senang bila diperhatikan. Bahkan untuk sekedar mengisi ”Apakah yang kita pikirkan” sekalipun. Tak ada yang sudi memajang foto terjeleknya sebagai picture profile. Citra adalah titik tumpu penanda identitas kita.

Ibarat anak kecil yang merengek, kita bahkan mungkin tega membanting vas bunga di ruang tamu, untuk sekedar mendaptkan perhatian Ibu. Sebab ini saatnya perang discourse, perang citra-citra.

Inilah masa, ketika hal-hal lucu, aroma pornografi, tingkah konyol, wajah-wajah cantik, talenta-talenta berkualitas, paham ideologi, data-data rahasia, berita, karya ilmiah, puisi-puisi, curhatan diary, esai-esai kebudayaan, bahkan orang jualan sayur pun, bercampur-aduk saling beradu mencoba mencuri perhatian.

Welcome to the new world! World Wide Web.


* * *

Kampung Pettarani, Makassar 13 April 2011

sumber gambar: http://barunews.com/cinta-farhat-video-briptu-norman-terbaru/

4 komentar:

  1. weits, muantap mentong briptu eeduy haw...wkwkwkwkwk

    BalasHapus
  2. dari bangku2 kuliah ini mi yang dibilang tentang sebuah "pemplitiran isu", tentang "pengupgradetan citra".
    dan, dari pinggir jalan ini yang dibilang "sampah"

    BalasHapus
  3. hihihihi....untuk kampung pettarani, dari kampung briptu norman memberi salam hormat ^_^

    BalasHapus
  4. hehehe....ulasan yang menarik nih kang briptu eeduy haw ( terus terang saya agak kerepotan nulis namamu yang ini). memang begitu logika umum televisi kita, "penonton dan rating..!!!", memang banyak producer tv yang juga berperang melawan logika dominan macam begini, Tapi ujung2nya mereka harus mencari ititk keseimbangan, antara mengikuti logika penonton, dan menitip sepotong dua potong idealisme mereka sebagai jurnalis, dan itu bukan perkara mudah, karena harus berkompromi dengan benyak kekuatan, termasuk kekuatan hati sendiri....dan parahnya lagi....ahh sudahlah, ntar kita lanjut obrolannya kalau ketemu di Mace kampus hehe...yang jelas saya selalu terhibur melihat sang Briptu, kemarin tanteku, dengan sumringah dan sedikit histeris menyambutku yang baru datang dengan kata-kata seperti ini.." budiiii.....anuuki Norman, sudah ko liat??, dehhh...kayak mikel jekson mi sekarangg...!!!" hehehe...

    BalasHapus