19 sutradara versi eeduyhaw.blogspot.com yang musibah besar kalo nda nonton karyanya. Part II



Sebelumnya, sekali lagi award ini jelas sifatnya subyektif belaka.
Tentulah deskripsi mengenai sutradara-sutradara yang dimaksud, sama sekali jauh dari mewakili gambaran sebenarnya. Apalagi, itu hanya didasarkan pada beberapa film-filmya yang kebetulan sempat ditonton. Padahal kalau filmographynya dicek, daftar karyanya berderet-deret.

So, kalau ada yang tak setuju dengan penggambaran atas sutradara-sutradara yang namanya disebutkan, itu wajar dan sah adanya.
Karena itu, dengan subyektifitas blog ini, si jenius-jenius yang pantas disebutkan namanya itu adalah:
(bagi yang belum menyimak urutan sebelumnya, klik disini)

13. Wong Kar-wai

Tak ada kalimat lain lagi yang lebih pas untuk menggambarkan gaya directing sutradara yang lahir di Shanghai dan hijrah ke Hongkong ini: jagoan ruang sempit.

Hanya dengan dua atau tiga rumah sempit sebagai lokasi shooting, dia sudah mampu mengemas sebuah cerita apik melalui film pendek The Hand yang merupakan salah satu dari 3 kumpulan film pendek berjudul Eros bersama Steven Soderbergh (Equilibrium) dan Michelangelo Antonioni (The Dangerous Thread of Things ). Ceritanya pun tak lazim, tentang obsesi seorang lelaki tukang jahit terhadap perempuan pelacur langganan jahitannya.

Tematik film Wong Kar-wai sejauh ini memang berkutat tentang cinta. Namun ia bukan penganut romantisme cinta yang happy ending. Ia malah lebih suka mengeksplorasi dimensi hubungan cinta yang rumit, suram dan terbelenggu suatu keadaan kompleks. Itu kemudian divisualkan di dalam ruang sempit seumpama kontrakan kecil.

Wong Kar-wai bahkan sanggup menghabiskan puluhan menit durasi filmnya untuk mengalirkan kisah yang terjadi dalam masa berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun di dua kamar sempit itu. Lihatlah In the Mood for Love yang masuk nominasi Palme d’Or Cannes 2000. Film yang berkisah tentang seorang jurnalis(Tony Leung) dan sekertaris (maggie Cheung) yang tinggal bersebelahan kamar di sebuah apartemen kecil. Hampir 50% lokasi pengambilan gambarnya hanya seputar apartemen itu.

Dengan kecenderungannya itu, tak ayal gambar-gambar Wong Kar-wai lebih berkutat pada ekspresi kuat (close up) wajah tokoh, detil makna gesture, dan eksplorasi simbolis properti-properti kecil semisal foto, gantungan kunci, dasi, atau sapu tangan yang menyiratkan makna tertentu atau penanda mengalirnya masa.

Wong Kar-wai tergolong debutan di level sutradara dunia. Bisa dikatakan My Blueberry Night adalah Film yang menandai kedatangannya sekaligus karya perdananya di level internasional. Film yang berkisah mengenai pejalanan cinta seorang penjaga Cafe kecil (Jude Law) dan seorang gadis (Norah Jones) yang baru patah hati dan akhirnya juga hidup di seputar Cafe. Seperti biasa, ruang sempit Cafe dan sepi-senyapnya esensi kehidupan hiruk-pikuk kota besar menjadi titik eksplorasinya. Alienasi diri masyarakat perkotaan, juga adalah karakter lain dalam film-film Wong Kar Wai.

Dan itu, disampaikan hanya melalui shot-shot sempit, di dalam ruang-ruang yang sempit.


12. Joel Coen & Ethan Coen (Coen Brothers)

Sungguh, gaya directing duo bersaudara ini begitu mencuri perhatian. Sodoran visualisasinya fresh.

Sayang, karya terakhirnya True Grit berbicara lain. Walaupun masuk nominasi Oscar tahun ini, tapi rasa-rasanya film ini meleset dari ekspektasi besar orang-orang terhadap kekhasan karakternya. Entah, disebabkan setting cerita wild west jaman koboi yang memang dunia baru dalam penggarapan mereka. Ataukah ingin mencoba hal lain. Ataukah faktor over-produktifnya mereka beberapa tahun terakhir dalam menghasilkan karya. Entah.

Tapi lupakan itu. Mari menyaksikan No Country For Old Men. Di film inilah gaya Coen Brothers dipertontonkan habis-habisan. Dan pantas jika apresiasi yang diterimanya dari Oscar adalah Best Picture sekaligus Best Director.

Kalau membaca sinopsisnya, jalan cerita film bergenre thriller ini mungkin terlihat datar saja. Tentang Llewelyn Moss (Josh Brolin) yang dikejar-kejar pembunuh bayaran berdarah dingin yang diperankan apik oleh aktor kawakan Spanyol Javier Bardem. Namun, manakala memperhatikan strategi visualisasinya, kesan datar itu lenyap seketika.

Thriller kebanyakan, suasana tegangnya dibangun lewat penggambaran terang-terangan proses kekerasan. Misalnya metode membunuhnya dengan cara mata dicungkil. Atau dampak kekerasannya bikin sebuah rumah banjir darah, porak-poranda, dan ada tangan terpenggal di mana-mana.
Di film ini, itu seolah sengaja dihindari. Yang ditonjolkan justru ekspresi tokoh lewat mimik, pilihan adegan yang tak biasa, cara berfikir (motivasi tindakan), isi dialog yang menohok dan simbolisasi brutalisme lewat properti-properti sederhana. Brillian, bayangkan hanya dengan medium sederhana itu, film ini justru terlihat lebih thriller daripada film thriller sendiri. Rasa cold-bloody lebih menyegat di lidah. Jenius dan “orisinil”.
Nonton deh. Ini film wajib nonton.

Gaya khas duo ini diampilkan lagi di Burn After Reading. Uniknya, di sini keduanya seperti mempermainkan thriller dengan cara mencampurkan unsur komedi-satire di dalamnya. Garis besar ceritanya berlatar-belakang dipecatnya seorang agen CIA di masa “mati segan hidup tak mau-nya” dunia mata-mata pasca perang dingin. Dunia yang identik dengan kode-kode rahasia dan pembunuhan-pembunuhan terselubung diolok-olok dengan motivasi kejadian yang sebenarnya hanya disebabkan satu hal: kekonyolan. Dan itu makin memikat sebab khas eksplorasi medium sederhana Coen Brother yang hanya mengandalkan mimik satire serta karakter tokoh yang unik secara emosional.

Begitu juga di A Serious Man. Kali ini thrillernya ditinggalkan, dan yang tersisa drama-komedi-satire. Sutrdaranya diserahkan sendirian di tangan Ethan. Tapi screenplay tetap berduet dengan Joel.
Eksplorasi adegan, utamanya ekspresi tokoh-tokoh yang bermain, tetap menjadi titik fokus directing. Dan humor yang dihasilkan benar-benar terasa lain. Lucunya, tak biasa. Tapi, kalau nontonnya ngarep sampai dibuat ngakak-ngakak pegang perut, wah... salah besar. Ini bukan komedi murni, ini satire. Sarat dengan olok-olok kecerdasan, bukan penonjolan tingkah bodoh yang menjurus absurd. Ini konyolnya eleganlah gitu.

Joel &Ethan Coen hebat di pengolahan secara tak biasa ekspresi tokoh-tokohnya. Gambar-gambarnya cenderung tenang (still). Sebab lebih ingin berbicara melalui penonjolan mimik, gesture dan pengadeganan secara umum. Di situ kekuatan khas duo bersaudara ini.


11. Bernardo Bertolucci

Mungkin film-filmnya tak terlalu populis dan jarang bergema di telinga. Kecuali tentu saja The Last Emperor yang memborong 9 kategori dari 9 nominasi Oscar yang diikutinya. Termasuk kategori bergengsi Best picture dan Best Director di tahun 1987.

Hanya saja, dari dua filmnya yang lain, corak berfikir sutradara asal Italia sungguh misterius. Ia seperti punya kedalaman ketika memilih tema cerita yang akan diangkat.

Di The Dreamers ia seolah menyalurkan hasrat pemberontakannya. Film yang bersetting tentang pergolakan kelompok anak muda khususnya di kalangan mahasiswa Prancis 1968 yang berdampak pada peregeseran nilai-nilai konsevatif ke liberalisme di negara tersebut. Idealisme pemikirannya seolah diwakilkan ketika memutuskan untuk memilih naskah ini.

Urusan sinematografi Bertolucci sendiri, sama baiknya dengan sutradara yang lain. Tak perlu diragukan. Hanya kekuatan dirinya, mungkin memang tidak dititik-beratkan ke hal teknis tersebut. Ia lebih fokus pada apa yang ingin disampaikan sebuah film. Maka di kedalaman ceritalah tujuan eksplorasinya.

Itu juga yang kemudian membuat dirinya menyutradarai Little Buddha. Kisah yang mengangkat kembali hikayat hidup Sidharta Gautama yang mahasuci di masa mudanya. Diperankan Keanu Reeves, film yang ia tulis sendiri ini, sangat tepat mengangkat angle cerita Sidharta Gautama dalam masa transisi sebagai putra mahkota kerajaan yang kemudian memilih pergi dari istana dan menjadi pertapa suci untuk menemukan kesejatian.

Dua tema film ini sungguh menarik dicermati, sebab isi kepala atau ideologi director biasanya tercermin dari film yang diangkatnya. Dan Bertolucci menjadi sosok sutradara misterius, sebab seperti ada sesuatu yang kerap gelisah dalam dirinya. Sesuatu yang bisa jadi sangat religius dan sifatnya pribadi.

Bernardo Bertolucci, sosok misterius yang menyertakan kegelisahan diri dalam film garapannya.


10. Franciss Ford Coppola

Kapan menyangkut sutradara senior, maka penyakitnya cuma satu: tak banyak yang bisa diceritakan. Sama seperti Scorsese, pengalaman Coppola tak terhitung. Belakangan ia lebih banyak bertindak sebagai produser.

Trilogi Godfather adalah masterpiece-nya. Sampai sekarang, setiap nonton film dengan setting dunia mafioso, film inilah patokan pembandingnya. Ciamik memang jalan ceritanya.
Inilah satu-satunya trilogi yang menggondol 2 kali oscar kategori Best Picture dan hanya gagal di sekuel terakhir (nominasi). Rekor fantastis ini belum terpecahkan.

Coppola menarik justru ketika ia mendirect Dracula. Tak ada hujan apalagi badai, ia bagai ingin tamasya sejenak setelah habis-habisan serius menguras jidat di Godfather. Dari judulnya, jelas film ini adalah horor-mistis dunia makhluk penghisap darah pemburu keabadian. Tapi dasar Coppola, ia nyeleneh sedikit memasukkan unsur humor. Tanpa merusak nuansa mistisnya. Ramuannya pas.

Manipulasi gambar, dan teknik sinematografi film ini juga patut diacungi jempol. Ambil contoh bagaiamana ia menciptakan gerak bayangan si Dracula yang selalu tak sesuai dengan wujud aslinya. Kocak, namun dibuat tentu dengan manipulasi teknik tinggi.

Harusnya, film terakhir Coppola mesti di bahas. Khususnya Youth Without Youth, dari theatrical release poster-nya kayaknya wajib jajal. Sayang belum sempat nonton. Namun biar bagaimanapun, hasilnya tak akan berpengaruh banyak. Kesimpulannya tetap, Coppola adalah master serba bisa yang tak terkungkung dalam satu genre spesialis. Ia multitalenta, hebat dalam apapun.

Tak banyak yang bisa diungkit lagi manakala menyebut Franciss Ford Coppola. Begini saja ringkasnya: Bayangkan bila disebuah ruangan dipenuhi pecandu film. Tiba-tiba ada yang menyebut namanya. Nah, siapapun diruangan itu yang sempat mendengar, lidahnya langsung kelu gemetaran. Siapapun!


9. Danny Boyle

Director asal Inggris yang awalnya melejit lewat film Trainspotting. Tipikal penganut pop-culture yang sama sekali tak meningalkan unsur-unsur kritis dalam cerita.

Kalau menyimak The Beach dengan saksama, maka cerita film ini sebenarnya tak hanya menyodorkan sepak terjang dunia pelancong di tengah lanskap indah pulau Phi-phi, Thailand itu. Di balik itu, ada kritik Boyle tentang betapa utopisnya harapan-harapan yang selalu menyelimuti setiap lubuk hati backpacker; suatu tempat yang indah dan damai bernama tanah surgawi. Harapan yang juga menjadi dambaan setiap orang.

Dan itu disampaikannya secara tak langsung agar tak berkesan menggurui. Itu justru implisit di balik eksplorasi pop-culture gambar indahnya akan laut nan biru, pasir putih, hutan kecil tropis, dan kerlap-kerlip malam di pulau itu.

Di film Millions sikap kritisnya lebih kelihatan. Kisah anak kecil yang menemukan tas beirisi penuh tumpukan uang. Gaya berceritanya pop abis, enak dicerna. Sinematografinya juga memukau. Kadang malah dia melabrak kecendeurngan mainstream dengan membagi frame menjadi dua atau tiga bagian di tengah-tengah cerita berlangsung. Atau memasukkan unsur grafis dalam gambarnya. Tapi ya itu tadi, ia sama sekali tak pernah lupa kecenderungan kritisnya akan ironi gap mencolok negara-negara maju dan negara dunia ke-tiga yang berkembang dengan cara merangkak.

Lewat gayanya ini, Boyle kemudian memperoleh puncak apresiasi dengan menyabet Oscar sebagai Best Picture dan Best Director lewat film Slumdog Millionaire. Film yang mengambil setting cerita kisah hidup pemuda dari perkampungan kumuh Mumbai di tengah semrawutnya kehidupan kota di negara berkembang sekelas India. Cerdasnya, perjalanan hidupnya itu teruraikan melalui keikutsertaannya lewat acara TV “Who Wants To Be A Millionaire”.

Gaya pop-culture Boyle juga masih terasa lewat film 127 Hours. Diangkat dari kejadian nyata terjepitnya tangan seorang pemanjat tebing Aron Ralston (James Franco) di tengah gurun batu gersang Canyon, Utah. Film ini masuk nominasi lagi dalam kategori Best Picture dan Best Director di ajang Oscar tahun ini.Tak terlalu kental memang, tapi paling tidak, karakter Boyle masih terasalah di awal-awal pembukaan film. Utamanya labra-labrak framenya, atau penambahan garis asap pesawat yang melukis langit biru. Itu khas sinematografi lanskap Boyle.

Strategi pop-culuture film Boyle itu ibarat ‘kompromistis yang pas-lah’. Kisah filmnya selalu enak ditonton dan disajikan dengan sinematografi indah. Tapi ia tak pernah melupakan sisipan argumen kritis. Apalagi kenakalannya dengan labrak-labrak frame serta penambahan unsur grafis.
Danny Boyle itu bukan tipikal sutradara yang ‘lebih disatu sisi tapi kurang di sisi lain’. Warna-warni ramuannya selalu pas.


8. Giuseppe Tornatore

Ini dia si pendongeng hebat dari negeri Pizza. Giuseppe Tornatore.
Hebatnya, dongeng Tornatore malah berkisah tentang karakter tokoh yang tak biasa. Malas dia dengan karakter macam putri salju, pangeran tampan, legenda tokoh-tokoh heroik atau pemimpin-pemimpin besar sekalipun. Baginya setiap orang, siapapun dia, kisah hidupnya adalah drama yang sama hebatnya. Ia tipikal pendongeng realis.

Maka di Cinema Paradiso, Sutradara asal Italia ini mulai berdongeng tentang hikayat bioskop dan si pemutar pita film. Latar belakang tokohnya saja sudah terasa unik. Dari latar inilah, ia lalu mengembangkan cerita dengan memasukkan bagaimana situasi sosial dan sikap budaya masyarakat tempat bioskop itu berdiri. Bagaimana berlalunya waktu, bergantinya rezim politik tercermin dari perubahan-perubahan yang mengiringi bioskop itu. Lewat bioskop dan si pemutar pita film itulah romantisme sejarah sosial-budaya terekam.

Lalu di film Malena, tentang istri cantik tentara berpangkat rendahan yang ditinggal pergi suaminya berperang. Di perankan apik oleh aktris spektakuler Monica Bellucci.
Kisah ini berpusat pada sosok Malena dan seorang anak kecil akil baligh yang jatuh cinta kepadanya. Anak kecil inilah yang menjadi saksi hidup bagaimana perjuangan Malena mencoba melanjutkan hidupnya di tengah kota dimana semua lelaki ingin menidurinya, dan sebaliknya di lain sisi semua perempuan tentu ingin merajamnya.
Sinematografinya beauty. Pengadeganannya kuat. Simbolisasinya keren. Urusan teknis, Tornatore memang rapi di semua sisi. Kehebatannya lengkap.

Lalu tengok lagi The Legend of 1900. Kisah tentang sebuah kapal laut dan seorang bayi yang ditinggal penumpangnya. Bayi itu kemudian tumbuh dewasa bersama buruh kapal dan menjadi pianis otodidak hebat. Uniknya, seumur hidup pianis ini tak sekalipun pernah menyentuh daratan. Film ini sekaligus nostalgia Tornatore dengan kapal uap berbahan bakar batu bara dan dunia buruh di geladak mesin. Shootingnya hampir 100% sengaja diisolir tak keluar dari atas kapal.

Memang begitu ciri khas Tornatore, di sekitar perjalan hidup tokoh utamanya selalu disisipkan dinamika perubahan sosial, budaya, politik atau teknologi. Dan tokoh-tokoh yang diangkat itu, ibarat orang-orang “tak terpikirkan” yang ada di keseharian kita. Tapi di tangan Tornatore, kisah hidup mereka ternyata menyimpan drama-romantik.

Giuseppe Tornatore, si pendongeng unik,jagoan dramaturgi. Tapi jangan salah sangka, bukan berarti ia lemah sinematografi, sebab gambar-gambar yang ia bangun sedramatis karakter pilihan tokoh-tokohnya dan lika-liku kisah yang ia ciptakan.


* * *
Oke segitu dulu. Seperti sebelumnya bersambung lagi... harap maklum... ^_^


Kampung Pettarani, Makassar 10 April 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar