“Siapa Yang Bilang Kita Telah Merdeka!”


Syamsul sebenarnya pin-pin-bo, alias ‘pintar-pintar bodoh’. Dibilang pintar ya iya juga, dibilang bodoh ya iya juga.

Pintarnya, meskipun masih duduk di kelas 2 SMP, syamsul wawasannya luas. Dia hobi baca. Kalau lagi semangat-semangatnya, bekas koran yang dipakai Kang Udin buat bungkus kacang goreng dipelototi juga sambil manggut-manggut. Walhasil, dibanding teman-temannya di kelas, omongan Syamsul kadang suka aneh sendiri. Ciri-ciri anak kritis.

Nah, bodohnya, Syamsul suka kurang perhitungan. Padahal, di rapor matematikanya bagus lho. Mulut nyinyirnya ini, kadang asal tubruk saking kelewat jujur dengan isi kepalanya. Suka asbun-sektu, alias ‘asal bunyi sembarang waktu’. Kalau dalam bahasa jawanya; timing Syamsul sering kurang pas. Apa yang dipikirkan selalu dibuat kompak dengan bibirnya.

Kejujuran Syamsul itu mungkin bawaan kandungan. Soalnya, waktu sedang dihamilkan, emaknya ngidam kue ‘cucur’ (lha… apa hubungannya?).

Tapi kalau bukan, pasti hasil didikan almarhum bapaknya. Maklum, tiap mau tidur dan bangun pagi, si bapak tak pernah alpa mengingatkan, “Hanya satu yang membuat orang selamat Sul, jujur dan iman. (whooaaalaaaah… itu sih bukan satu pak…!!!).

Dan wasiat itu memang bekerja efektif. Terhadap jualan pisang goreng Bu Warsih kantin, Syamsul menjadi satu-satunya murid laki-laki yang tak pernah sekalipun menerapkan jurus katga-kutu, alias ‘sikat tiga ngaku satu’. Ia tumbuh sebagai anak yang jujur. Kelewat jujur malah.

Tak pernah terlintas di kepala Syamsul untuk berbohong. “Faedahnya sama sekali gak ada…” pikirnya. Saking antinya dengan yang namanya bohong, dalam hati Syamsul berjanji, tak akan pernah bibirnya menghianati isi kepalanya. Maka, bersama ikrar kesetiaannya ini, omongan Syamsul suka bebuah bumerang.

Seperti di kelas kemarin, penyakit Syamsul kumat lagi. Ceritanya, guru sejarah Syamsul menjelaskan soal Proklamasi. Biasalah kalau bulan Agustus, bukan cuma umbul-umbul yang muncul musiman di gang-gang. D kelas juga dijangkiti euforia merah-putih.

Iseng-iseng atau entah apa namanya, tiba-tiba gurunya lempar pertanyaan ke Syamsul, “Coba Syamsul, tanggal berapa proklamasi kemerdekaan dibacakan Bung Karno?” begitu bunyi pertanyaannya.

Syamsul tiba-tiba tersentak, diam lumayan lama. Diamnya Syamsul, bukan lantaran dia sulit menemukan jawaban. Pikirannya bercabang dua.

Cabang yang pertama : “Nih, guru goblok apa salah tingkah ya? Padahal udeh tahunan ngajar di sekolah ini. Masa sih masih kena syndrome kikuk, macam guru baru di hari pertama nginjak kelas. Pertanyaannya kok begitu ya? Whooiii… Pak Guru kalau pertanyaannya begini sih, bocah kelas 1 SD juga bisa jawab kalee…” seperti itu pikiran Syamsul keheranan.

Cabang yang kedua : Nah, ini lain lagi. Isinya agak lebih panjang. Hanya saja, bibir Syamsul terlanjur bulat lebih memilih cabang ini untuk diucapkan sebagai jawaban pertanyaan Pak Guru.

“Siapa bilang kita telah merdeka?”
Sontak siswa sekelas ngakak-ngakak mendengar jawaban Syamsul yang ternyata berupa pertanyaan. Mata Pak Guru sendiri ikut-ikutan membelalak kaget. Tak menyangka jawaban Syamsul seperti itu.

“Alasa…”
Baru saja Pak Guru mengucapkan awalan tersebut, bermaksud menayakan alasan Syamsul berkata demikian, yang bersangkutan sudah langsung nyerocos duluan melanjutkan kalimat pertamanya tanpa ada lagi yang bisa membuatnya jeda.

“Bagi saya, sampai hari ini kita belum merdeka. Merdeka itu artinya bebas dari penjajahan. Sementara penjajahan itu adalah pemaksaan perilaku tidak adil dari pihak yang menjajah ke pihak lain.

Contohnya Belanda. Dia datang bawa bedil. Memaksa mengatur hasil bumi kita. Memaksa orang-orang kita melakukan kerja rodi. Itu jelas ketidakadilan. Nah, sekarang Belanda sudah pergi. Tapi itu bukan berarti penjajahan ikut-ikutan pergi. Ketidakadilan ikut-ikutan pergi.

Penjajahan masih tetap tinggal di negeri kita. Cuma, kali ini pelakunya tidak berkulit putih seperti Raymond Pierre Paul Westerling. Pelakunya sama seperti kita juga, berkulit sawo matang. Makannya sama seperti kita juga, nasi dan tempe, bukan roti dan keju. Tapi kelakukannya sebelas-duabelas dengan pembantaian Westerling di Makassar 1946 lalu.

Kalau dulu gara-gara penjajah, nasib rakyat jadi kelaparan. Sekarang ya hampir sama saja. Buktinya, masih banyak yang sekarang makan tiwul dan nasi aking. Lauknya kalau bukan krupuk ya air mata.

Orang miskin banyak. Lihat grafik angka pengangguran tiap tahun, kejar-kejaran dengan jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT). Cari kerja susah, kena PHK yang gampang. Tiap bulan pasti ketemu.

Buntutnya kriminalitas marak terjadi. Tak kenal tempat apalagi waktu. Modusnya macam-macam. Itu tandanya, perut memang makin banyak yang keroncongan.

Ekonomi susah. Petani susah berkembang. Dulu meneer Belanda memonopoli dan memaksakan harga. Sekarang bentuk akal-akalannya lain, tapi intinya sama doang. Bila musim tanam, harga pupuk naik. Pas musim panen, harga jual langsung menurun. Apa namanya ini kalau bukan pengaturan harga.

Mau dagang susah. Daya beli masyarakat megap-megap, senin-kamis lagi. Perusahaan perkreditan menjamur, padahal sekarang musim kemarau. Jangankan mobil atau motor, hari genee kipas angin bisa dikredit.

Harga-harga naik. Tarif listrik naik. Bensin naik. Minyak tanah apa lagi. Air PAM juga tak mau ketinggalan. Bahkan hebatnya sodara-sodara, cabe naik pula.

Jaman Belanda dulu, banyak granat meledak dan senapan meletus. Sekarang sami mawon. Lihat acara kriminal di tivi-tivi. Sedikit-sedikit berita residivis tersungkur didor aparat. Gedung-gedung ringsek diledakkan bom teroris.

Paling dahsyat temuan bom mutakhir model terbaru: tabung elpiji 3 kg. Tak tanggung-tanggung puluhan nyawa sudah merasakan kedahsyatannya. Nah, ajaibnya sebentar lagi harga bom tabung elpiji ini bakal dinaikkan juga. Astagfirullah.

Bukannya sekarang ada wakil-wakil rakyat yang akan membela?
Orang-orang di senayan politiknya ya politik Belanda juga. Kalau dulu politiknya ‘adu domba’, sekarang dimodifikasi sedikit ’serigala berbulu domba’. Tukang hisap rakyat. Sedikit-sedikit tunjangan ini-itu dinaikkan. Mau bikin rumah aspirasi, minta anggaran tinggi-tinggi. Giliran sidang, mending kalau tidur seperti di lagunya Bang Iwan Fals, ini batang hidungnya yang gak nongol-nongol, alias mbolos macam anak sekolahan.

Politiknya, politik hisap rakyat. Partai pendapatnya tergantung ke mana angin berhembus. Kalau merugikan Partai di tentang habis-habisan. Kalau menguntungkan, dibela mati-matian. Buntut-buntutnya transaksi politik.

Contoh waktu Century Gate, saat rapat paripurna menentukan sikap, salah satu partai pilih opsi ‘kasus ini diusut’. Giliran 2 bulan berikutnya, suaranya sudah putar haluan 180 derajat. “Kasus ini masukkan peti saja dulu,” begitu kilahnya. Politik ’serigala berbulu domba’, pikirnya untuk diri sendiri. Rakyat sih “selamat tinggal”.

Anehnya, tak satupun penjajah-penjajah masa kini ini yang masuk bui. Itu karena polisi kegemarannya cuma satu, makan uang suap. Macam polisi yang ada di film-film India. Hobi Jaksanya juga sama. Hakimnya ikut-ikutan. Pengacaranya mafia kasus. Di rekaman Anggodo, pengakuan Gayus Tambunan, Jaksa Urip, atau nyanyian Susno jelas mendendangkan lagu, banyak praktek suap di tata peradilan. Malah bisa bikin kamar hotel, tempat spa atau karaoke room di ruang tahanan LP.

Yang bermental korupsi-nepotisme, persis seperti anjing-anjing Belanda di jaman dulu, lebih banyak lagi sekarang. Dari urusan KTP di kantor lurah, pembangunan infrastruktur, hingga penggelapan pajak. Semunya punya budaya satu; tak punya malu. Mau kaya- raya agar terpandang. Jadinya halalkan segala cara.

Mau bersuara lantang menantang Belanda? Siap-siap di bungkam. Syukur-syukur kalau cuma dilemahkan seperti KPK, atau kena tonjok orang tak dikenal macam Tama Satya Langkun (aktifis ICW).

Kalau nasibnya kayak Munir, yang diracun di udara, lalu misteri kasusnya tak terkuak karena disembunyikan, ya terpaksa dibawa ke masjid. Seperti biasa, mengadu kepada Tuhan YME saja. Kemudian lagu ‘Gugur Bunga’ dilantunkan. Daftar Pahlawan Kemerdekaan yang mati (di)sia-sia(kan), tambah satu lagi.

Yang namanya pahlawan, jaman sekarang hanya bisa mengurut dada, terima nasib. Tak usah jauh-jauh, yang senior veteran angkatan pejuang 45 saja, tiap malam tidurnya tak bisa nyenyak. Bukan lantaran Agresi Militer Belanda jilid III yang membonceng NICA mau datang lagi. Melainkan was-was sama Pol PP yang siap-siap menggusur rumah dengan pentungan.

Ini belum soal prestasi olahraga kita yang suka bikin malu. Soal TKI yang selalu dicueki. Atau soal seringnya insiden pelecehan oleh pihak Malaysia di perbatasan.

Kalau sudah begini, siapa yang bilang kita telah merdeka!

Alhamdulillah, khutbah Ju’matan Syamsul selesai juga. Teman-teman Syamsul yang sebelumnya ngakak-ngakak, kini terpaku kaku sambil menatap tak percaya ke arahnya. Sebagian di antara mereka, bahkan tak sadar kalau air liurnya menetes. Sama sekali bukan karena paham apalagi takjub dengan isi kalimat Syamsul.

“ini anak kesurupan jin apa…??? Ba..bi..bu..ngomong tak jelas mirip orang rapal mantra. Main krasak-krusuk aja tak kenal titik-koma,” itu yang serempak ada di kepala teman-teman Syamsul.

Pak Guru sendiri malah mematung. Mulutnya masih mangap. Nanti lima menit, baru bisa sadar diri, ketika seekor lalat terbang di dekat pipinya.

Dan lima menit kemudian pula, Syamsul sudah harus berdiri di depan kelas hingga lonceng pulang berbunyi. Syukur, kali ini tak pakai angkat satu kaki, sambil kedua tangan disilangkan ke telinga.

* * *

Dedicated to:
Generasi hari esok, mereka yang pernah menduduki senayan di tahun Reformasi 98. Yang nantinya akan mengambil bagian dalam usaha mengusir penjajah model baru. Generasi baru wajib lebih adil.


Kampung Pettarani, Makassar
19 Agustus 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar