1 Syawal 1431 H, Mengucapkan “Selamat Menunaikan Ibadah Puasa”


Kamis, 30 Ramadhan 1413 H.
Di atas tembok depan Benteng Rotterdam. Dua menit sebelum toa Mesjid di sana itu memperdengarkan bunyi-bunyian bedug digebuk.


Sore kali ini, cerah. Padahal, siangnya hujan. Berturut-turut tiga hari lalu juga. Langit di ufuk, biru membaur kuning serta merah menyala. Kumpulan riak awan jadi hiasan pemanis. Sedikit lagi, horizon menelan utuh benda bulat berwarna emas itu. Pantai Losari mengalun tenang. Camar terbang bersahut-sahutan.

Kalau saja momen ini perempuan, lutut ini pasti langsung sujud bilang “I luv U… hidup matiku kuserahterimakan padamu!” Ora urus, kalau hati perempuan ini ternyata BBT (alias beda-beda tipis) dengan Medusa. Gampang, belakangan diatur.

Ini mungkin– sekali lagi mungkin– pertanda kuasa Tuhan. Di buka puasa terakhir, alam kembali ceria. Seolah siap menyambut sesuatu dengan hati gembira. (Tuuueeeennngg… model tanda-tanda kekuasaan yang berkesan maksa. Tepatnya dipaksa-paksain! Sunset Losari mah lanskapnya dari dulu juga emang begitu kalee…!)
Hihihihibodo’ amat kalee!!! Kan… di atas udeh ngomong duluan: m+u+n+g+k+i+n… alias bersin! Bwuuueeeekk…^_^

Sebentar lagi, di segenap penjuru takbir berkumandang. Iring-iringan mobil hias, berparade keliling kota. Di atasnya, bedug dipukul bertalu-talu. Anak-anak kecil berlarian membunyikan petasan. Orang-orang berdesakan di toko pakaian, berburu diskon tengah malam. Lalu laksana bunga, kembang api beradu bintang menghias angkasa malam. Besok lebaran (versi pemerintah).

Sedari pagi tadi, ibu-ibu telah sibuk di dapur. Buku primbon warisan nenek-moyang, keluar sarang menerapkan jurus-jurus resep terbaik. Toples berisi nastar dan putri salju, malahan sudah sejak kemarin berjejer rapi di dalam lemari. Bersama dengan botol-botol sirup atau minuman ringan bersoda.

Ketupat dimasak di panci besar. Sekalian dengan buras ikut serta. Paling bagus dimasaknya dengan kayu bakar. Aromanya lebih alami. Pasangannya kari ayam atau soto.

Ada juga yang masih setia membuat lappa-lappa dan lopis. Penganan khas Bugis-Makassar, semacam lontong tapi dibuat dari beras ketan hitam atau putih. Lappa-lappa dibungkus daun kelapa, sementara lopis daun pisang. Dimakan dengan bajabu (abon ikan). Biasa juga dengan kelapa yang disangrai dengan sedikit ikan sunu yang dihaluskan sebagai perasa.

Tapi paling enak, kalau disantapnya dengan ayam likku. Ayam yang dimasak dengan santan dan lengkuas hingga kering. Trus… ayamnya ayam kampung. Mmh… te-o-pe sudah!
Sehari sebelum lebaran, ayam ramai nongkrong di kiri-kanan jalan besar. Tinggal pilih, mana yang ‘beruntung’ dibawa pulang. Kaki dan kepala dibasuh air, pisau dapur diasah sampai tajam, lalu ucap basmalah. Sreeeett… darah muncrat dari leher ayam.

Hahaha… kasian si ayam. Dipikir-pikir, inilah hari dimana peristiwa ‘bengis’ penggorokan tenggorokan bangsa ayam oleh tangan manusia, paling massal terjadi. Setiap tahun pula. Paling brutal tentu negara kita. Wong… penduduk muslimnya terbesar di dunia.

Mari berhiperbola; kalau saja setiap rumah tangga muslim Indonesia, acara sembelih ayamnya disatukan di Pantai Losari. Mungkin hamparan air tenang ini, bakal mengental berwarna merah. Selat Makassar mandi darah. (Wuuiidiiihh… sadis juga nih lebaran!).

Besok Lebaran! Pagi buta, orang-orang mandi dan bergegas. Dari balita sampai aki-aki. Semuanya pakai sarung dan peci. Menuju surau atau mesjid. Memenuhi lapangan atau jalanan. Sujud 2 rakaat, lalu kembali ke rumah masing-masing sambil bersalaman. Ribuan lembar koran pengalas adalah sisa-sisa jejaknya.
Eiitt… hampir lupa. Tumpukan piring berlemak bekas opor dan kari ayam, plus potongan-potongan daun pandan anyaman ketupat adalah jejak-jejak yang lain lagi. Cuma mereka adanya sejam kemudian di meja makan.


* * *


Kumandang takbir, parade mobil hias, petasan, kembang api, diskon toko pakaian, sirup, minuman ringan, nastar dan putri salju di toples, sarung, peci, baju koko, baju baru, THR, bagi-bagi angpao, saling bersalaman, ketupat, opor ayam, kari ayam, ayam goreng, semuanya adalah simbol-simbol lebaran.

Tentulah simbol bukan esensi. Melainkan makna di balik simbol itu. Tak perlu semiotika (ilmu tentang tanda), untuk memahami bahwa lebaran bukan semata berarti makan ketupat dan opor ayam dengan memakai baju baru.

Simbol hanyalah sekedar penanda untuk hadir sebagai wakil dari sesuatu yang lain. Sesuatu bernama makna, tentang fitrah yang baru (idul fitri). Setelah mensucikan diri melalui kontemplasi asketis (puasa) satu bulan lamanya. Menahan lapar, dahaga, nafsu hingga amarah.

Maka ketupat hanyalah tanda yang mewakili suatu kemenangan, keberhasilan menjalani semua itu.
(Anyway, kok kedengarannya tiba-tiba jadi serius mirip ceramah dosen di ruang kuliah gini ya…? Ah… e-ge-pe!)

Nah, hanya saja, dan sesungguhnya (tuh kan… makin ribet berbelit-belit dah ngomongnya!), ramadhan itu pun semata-mata sebuah simbol belaka. Ramadhan hanyalah satu di antara sekian bulan yang sengaja dipilih (dihadirkan) untuk mewakili 11 bulan lainnya. Sama seperti opor ayam mewakili Idul Fitri. Atau pepatah ‘ada udang di balik batu’. Yang penting bukan ‘udang’nya, melainkan ‘di balik batu’nya. (nah lho… bingung kan? Yang nulis aja ora ngerti maksud dan juntrungane opo rek…!)

Oke kita ganti contoh: (Kode DW mode on) misalnya simbol ‘lampu merah’. Yang terpenting dari konteks ini, tentu saja bukan lampu yang mengeluarkan cahaya warna merah itu, tapi apa konsep (makna) di baliknya. Konsep yang tidak lain ingin mengatakan, ‘jangan jalan/nyebrang dulu’ alias stop. Soalnya, kalau ngotot juga, tanggung sendiri akibatnya bila ban metromini disusul roda raksasa tronton, nggilas batok gundul sampean hingga terburai, macam buah semangka yang dijatuhkan dari lantai 14 gedung Hotel Indonesia.
(Bagaimana? Sepertinya contoh ini cukup jelas. Jelas-jelas berbau horror menjurus sadisme maksudnya. Hiks! ^_^… Kan udeh diwarning kode DW. Maksudnya ‘hati-hati bukan untuk konsumsi anak-anak’)

Jadi, jika kita tarik garis lurus dari koordinat x menuju y… (ups! Maaf ngaco. Sabar… ta’ liat dulu di halaman berapa contekan saya. ckliikckliik… bunyi kertas dibolak-balik) Oke nemu sudah!). Jadi, singkatnya, bukan ramadhan-nya yang penting, atau dalam kalimat lain: ramadhan ‘tidak penting’. Yang terpenting adalah apa yang diwakili ramadhan, yakni 11 bulan berikutnya.

Puasa– kontemplasi asketis melalui menahan lapar, dahaga, nafsu dan amarah– yang sejati bukan di bulan ramadhan. Melainkan di 11 bulan berikutnya. Atau dalam kalimat lain lagi: Bulan ramadhan sebagai simbol, ada 1. Sementara bulan ramadhan sejati sebagai makna, ada 11. Kalau ditambah = puasa satu tahun penuh alias 12 bulan.

Bila demikian, sepantasnyalah kita mengucap ‘syukur’ seperti ini, “Wah… terima kasih ya Allah, engkau ternyata memberikan kepada kami puasa (ramadhan) sejati yang jumlahnya bukan cuma satu, tapi gak tanggung-tanggung lho… 11 bulan bo’!”

Nah… sekarang bayangkan, andaikata puasa 11 bulan yang sejati itu, juga harus menahan lapar dan haus (selain yang utama amarah dan hawa nafsu). Duh… Gusti Allah tak kebayang apa yang terjadi. (Masalahnya, wong diberi kelonggaran bisa makan dan minum saja seperti biasa, orang-orang di negeri ini gendengnya sudah naudzubillah min dzalik)

Macam omongannya Armand Maulana vokalisnya GIGI:

Ramadhan tahan nafsu
Abis itu lupa lagi
Ramadhan tahan amarah
11 bulan berikutnya amnesia


Jadi, minta maap nih ye sebelumnye, 1 Syawal 1431 H itu sama dengan “Selamat menunaikan Ibadah puasa.”

Sama sekali bukan perayaan kemenangan parade mobil hias, petasan, kembang api, diskon toko pakaian, sirup, minuman ringan, nastar dan putri salju, sarung, peci, baju koko, baju baru, THR, bagi-bagi angpao, ketupat, opor ayam, kari ayam, ayam goreng, dan seterusnya… dan seterusnya…

Menang opo? Perayaan opo? Wong… takbir berkumandang di akhir ramadhan itu pertanda lonceng pertarungan sejati had just begun. Ibarat kate nonton layar tancap, “Ramadhan ntu trailer-nye doang!” kata bapaknya SI Doel seumpama masih idup.

* * *

Kampung Pettarani
, Makassar 9 September 2010


sumber gambar: reproduksi
http://rivafauziah.files.wordpress.com/2007/09/lebaran_cianjur.JPG

Tidak ada komentar:

Posting Komentar