manifesto maskulinisme!


Salut, hebat betul, angkat topi, angkat jempol sampai empat malah (sekalian sama kaos kaki dan sandal-sandalnya deh biar gak nanggung) buat perempuan-perempuan yang telah gigih menuntut persamaan hak-hak dengan laki-laki.

Tak percuma dulu mba Kartini memberi wejangan Habis Gelap Terbitlah Terang. Cut Nyak Dien lebih ekstrim lagi. Jauh-jauh hari sudah membuktikan bahwa bos di medan perang itu bukan cuma tergaris di telapak tangan laki-laki, anak cucu Hawa pun bisa jadi Rambo tatkala memimpin pasukan.

Olympe de Gouges, Mary Wollstonecraft, Betty Friedan serta segepok nama-nama produk luar negeri’ lainnya, wow jangan ditanya lagi kegaharannya. Warisan-warisan mereka inilah hingga feminisme bisa memperoleh akses pendidikan, hak politik, manager kantoran, menteri, hingga presiden sekalipun seperti sekarang ini.


Pokoknya te-o-pe be-ge-te es-ka-el dst deh, apa yang telah dicapai perempuan-perempuan masa kini.
Nah, laki-laki harus bahkan ‘wajib’ belajar 9 tahun dari prestasi ini. Jangan malu, apalagi sok gengsi karena dikuliahi perempuan. Seperti kata pepatah tempoe doloe “ keberhasilan orang lain adalah jejak awal untuk keberhasilan berikutnya.” (Emang ada ya..pepatah jaman dulu kayak gini? Aah..bodo amat. Gak usah protas-protes, sebab seperti kata pepatah lama lagi “orang protes nyaring bunyinya.” Hiks…^_^)

Balik ke soal wajib belajar. Ehem…eheem…eheeeemm…!! (sorry keselek nyamuk). Mencontek itu penting. Selama sedang kepepet dan tempat nyonteknya memang mumpuni. Meniru-niru apa yang telah diperbuat kaum perempuan bukan hal memalukan.

Apa yang harus ditiru? Sederhana saja kok, gak perlu pake mikir yang ribet-ribet: kalau perempuan sukses besar memperoleh kesetaraan hak lewat feminisme, laki-laki pun seharusnya bisa sukses menuntut kesetaraan hak lewat– sebut saja maskulinisme.

Kalau perempuan berhasil mendapatkan segala hak-hak yang selama ini menjadi ‘kuasa’ kaum laki-laki, sebaliknya laki-laki pun harus berhasil menuntut hak-hak yang selama ini masih dikuasai kaum perempuan.

Siapa bilang perempuan tidak ‘menyembunyikan’ kuasa hak-hak spesial dari balik penampilannya yang gemah gemulai? Kita sebenarnya sudah cukup lama dibuai tidur panjang oleh tutur kata perempuan yang lemah lembut.

Ambil contoh bunga-bunga di taman atau warna pink. Peraturan mana di dunia ini yang bilang kita (laki-laki) tidak berhak bercengkrama atas ‘kemewahan-kemewahan’ itu. Mana ada literatur yang menceritakan bahwa sejak pertama turun ke dunia, Hawa sudah mematok lebih dulu kedua hal tersebut ketimbang Adam.

Kaum laki-laki berhak berakrab-akrab ria dengan pewarna kuku, perona bibir, pelentik bulu mata, tato alis, bahkan mencukur abis seluruh bulu manapun di sekujur tubuhnya. Kalau ‘sensitif’ sedikit, laki-laki sangat ‘sah’ meneteskan air mata. Jangan mau percaya istilah “boys don’t cry” atau tipu daya embel-embel kita ini mahkluk macho.



Dalam hirearki sistem keluarga, kebijakan tak tertulis bahwa laki-laki ‘harus menjadi pemimpin’ sehingga wajib menafkahi keluarga, harus dihapuskan. Itu tidak sesuai dengan peri-kesetaran dan peri-kemanusiaan.

‘Harus menjadi pemimpin’ tak ubahnya menjadikan kita seperti ‘mesin produksi’. Seolah-olah, tatkala kita mendapati di balik celana dalam ada seonggok daging yang menjuntai, maka serta-merta sebuah sistem bekerja secara otomatis bahwa kitalah yang kemudian bertanggung jawab penuh atas kelangsungan hidup anggotra keluarga lainnya. Jika tidak, siap-siap di hari kemudian sejumlah dosa besar bakal mencekik leher kita. Paham model beginian sama saja paham ‘aliran sesat’.

Laki-laki juga punya hak sama untuk menyandang gelar ART alias Ayah Rumah Tangga (ini untuk menandingi istilah IRT: Ibu Rumah Tangga). Seperti halnya perempuan, kita berhak sepanjang hari nongkrong di rumah tok. Menyiapkan sarapan, nyuci piring, masak sayur, menyetrika, bersih-bersih, atau tidur-tiduran di sofa sambil ngemil dan termehek-mehek nonton telenovela. Jangan pernah percaya tudingan ‘laki-laki tak bisa becus ngurusin rumah’. Buktinya cleaning service dan chef hotel-hotel berbintang dominan kaum kita.

Andaikata, payudara laki-laki dikaruniai kemampuan untuk mengalirkan ASA alias Air Susu Ayah, sungguh kita pun punya hak untuk menyusui bayi sambil berucap “cup…cup…cup… sabar ya sayang… jangan nangis… ibumu sedang cari uang di bawah terik matahari, di tengah buasnya orang-orang di jalanan.”

Demi asas persamaan hak, dalam soal olahraga, pengkategorian putra dan putri sudah harus disingsirkan jauh-jauh lalu dikubur dalam-dalam. Roger Federer dan Maria Sharapova harus diadu demi penghindaran cerminan inferioritas perempuan di hadapan laki-laki.

Klub-klub sepakbola seperti Manchester United atau F.C Barcelona tak selalu harus mentranfer pemain berjenis kelamin batangan. Seru juga kalee… kalau di antara sebelas pemain ada wajah ayu yang menempel ketat kemanapun Didier Drogba, striker Chelsea yang berbadan raksasa itu mencari ruang kosong.

Bahkan, dalam soal yang tergolong remeh-temeh seperti menyeberang jalan, tak seharusnya tangan laki-laki yang terlihat harus selalu menggandeng tangan perempuan. Pemandangan konyol seperti itu hanya akan membuktikan bahwa perempuan sebenarnya nyaman dalam topeng ‘mahkluk lemah lembut’ dan laki-laki adalah makhluk bodoh yang tersesat dalam kepercayaan norak sebagai si macho pemberi rasa aman pada perempuan.

Bila perempuan dengan feminisme menuntut persamaan hak, menolak diskriminasi dan kondisi ketergantungan kepada laki-laki– demikian halnya laki-laki dengan maskulinisme, bukan dilahirkan unutk menjadi ‘tuan’ apalagi ‘pelayan’ perempuan. Seperti kata Jean Paul Sartre (1905-1980) “Manusia tidak mempunyai sifat dasar untuk saling bergantung. Kita menciptakan diri kita sendiri.

Jadi, besok-besok, kalau ketemu perempuan yang menjengkelkannya naudzubillah, tonjok aja hidungnya sampai mimisan. Atau kalau gak tahan lihat darah, tendang aja selangkangannya. Sekali lagi Jangan mau percaya pepatah lama “perempuan wajib dilindungi, gak boleh dikasari.”

Tapi ini hanya umpama kalau perempuan dan laki-laki mau konsisten full dengan konsep feminisme dan maskulinisme lho. (Anyway adakan pepatah lama yang bunyinya kayak gitu…???)
_________________________
Kampung Pettarani, Makassar 9 Februari 2010.

sumber gambar: sori lupa nyongkel di mana, pokoknya kalo gak gogle.com pasti deviantart.com hihihi...

6 komentar:

  1. ..muhahahahaha....liar.....itu yang saya suka dari ini tulisan...

    BalasHapus
  2. wah kak....jarang ada lelaki yg membela feminisme...i like it...

    BalasHapus
  3. @ VICSO: edd..sy tauji mksdx opo...sapi liar to..hihihi..

    @ meike: apa ya..kl dibilang tulisan ini mbela feminisme...bisa jd jg...pdhl tmpo hr sy justru nyindir feminisme lho...satu lg bukti slogan barthes..."the death of author.."

    BalasHapus
  4. sy suka gambarnya....hehehehehhehehe

    BalasHapus
  5. @dany: eh...potox sy lho yg jepret...prcaya gak? hahaha...

    BalasHapus