Catatan Kaki 3 Adegan Bullshit yang Kalau Diterjemahkan Jadinya: Tai Sapi

BAGIAN 1:“Kursi Si Hebat”


Empat orang berteman saling mengobrol. Tiap orang duduk di atas kursi masing-masing.

Selang berapa lama seorang temannya datang lagi. Yang datang ‘si hebat’. Hebat sebab di antara mereka beliaulah yang kantongnya paling tebal. Tebalnya gak bakal berkurang signifikan, meski setiap tiga jam nraktir keempat mahkluk yang pantatnya nyender di atas kursi-kursi tersebut.

Ganteng, muda, wangi, necis. Ke salon 3 kali seminggu. Kemana-mana dipayungi sedan. Punya kerjaan tetap, warisan ayah tapi. Ayahnya pejabat, itu tandanya dia anak pejabat (ya iyalah…dodol…masa ya iya dol……… spidol!).

Pokoknya, indikator-indikator ini kiranya sepakatlah untuk menganugerahi beliau sebagai ‘si hebat’. Biarpun dalam tanda kutip, tapi tak banyak kan orang yang dikaruniai seperti beliau.



Eiiiitt… hampir lupa… satu lagi, kalau ngobrol kaki kanannya suka diletakkan di atas paha kirinya. Apa maksudnya, mungkin hanya tuhan yang tahu. Yang pasti (ho…oh… yang pasti-pasti aja deh!) itu sudah jadi ciri khas dari sono-nya.

Balik ke adegan awal: ‘si hebat’ datang. Semua kursi yang ada di sekeliling meja sudah penuh. Tadinya, setiap yang baru datang, nantinya bakal mengambil sendiri kursi yang numpuk tak jauh dari meja itu. Sekarang, yang bersangkutan pun berhadapan dengan situasi yang sama: “gimana ya caranya duduk?”

Seper-sekian-detik kemudian, ‘si hebat’ celingak-celinguk. Bukan nunggu mukjizat, tapi impuls-impuls kelenjar elektromagnetik di otaknya mulai mikir. Eh…sekonyong-monyong delivery solusi langsung nyambar main datang aja. “Datangnya tak dijemput, pergi tak diant…………???”
(lengkapilah kalimat di atas. Lalu ucapkan tiga kali. Trus, ntar malam tidurnya ngadap kanan. Lalu coba sewaktu-waktu tengok tiba-tiba, wajah siapa yang rambutnya panjang, pakaiannya putih-putih, nongol di belakang punggung anda?
Anda benar… sekiranya menebak Dian Sastrowardoyo habis shampoo-an! Garing kan? Hi..hi..hi… ^_^)

Lanjut. Sekonyong-monyong, delivery solusi langsung nyambar main datang aja. Satu di antara empat temannya itu, yang hebatnya pula hanya dalam hitungan seper-sekian-detik, menyerahkan kursi yang diambilnya sendiri dengan ‘ikhlas’. Wuiih…. ada senyum manis pula nungging di bibirnya.

Mungkin mau pamer gigi yang barisannya gak rapi-rapi amat. Atau mungkin tanda silahkan duduk. Gak ada yang tahu persisnya (saya aja yang nulis gak tahu). Persisnya kayak apa, hanya dia sendiri yang tahu.
Iya… hanya dia sendiri, soalnya tuhan masih sibuk nyari tahu: “Apa maksud ‘si hebat’ kalau ngobrol kaki kanannya suka diletakkan di atas paha kirinya?”

Terakhir. Lalu dia– maksudnya (dia) bukan ‘si hebat’. Tapi temannya. Temannya yang senyumnya nungging– melangkah mengambil kursi untuk kedua kalinya. Kursi yang numpuk tak jauh dari meja itu.

(penting gak seeh endingnya? Ha..ha..ha… hanya tuhan yang tahu. Soalnya, tuhan udeh kelar nyari tahu: “Apa maksud ‘si hebat’ kalau ngobrol kaki kanannya suka diletakkan di atas paha kirinya.”)
Hi…hi…hi… udeh ah… TITIK!

__________________
Catatan kaki bau TAI SAPI: Ada yang mencium aroma nendang di hidung?

Yang jelas jangan nuduh ‘si hebat’. Sumbernya bukan dari beliau. Gak ada urusan kalau dia wangi kek. Duitnya segunung kek. Mobil sedannya tingkat empat kek. Jahitan kantong celananya sobek gara-gara nampung duit terlampau berat kek. Anak tuhan kek. Mau dia kakek-kakek kek. Ora urus!

Gak ada satu aturan kok– walau sampai ubanan ngutak-ngatik lembar-lembar kitab suci manapun– yang pernah bilang: “Kaya raya itu gak baik.” Kalau ada yang coba-coba ngotot berdalih, sirik kali tuh.

Yang patut dicurigai bau malah ‘si tuan ikhlas’– itu yang barisan giginya gak rapi-rapi amat. Apa maksudnya coba, serah-terima kursi yang sudah menjadi haknya. Padahal tadinya setiap orang telah menerapkan aturan yang disepakati secara tidak tertulis bahwa: setiap yang datang nantinya mengambil kursi masing-masing!

Coba misalnya yang datang bukan ‘si hebat’. Tapi ‘si kunyuk’. Kunyuk gara-gara mandinya seminggu 3 kali. Mukanya jelek. Kulitnya hitam belang-belang. Giginya rapi-rapi, cuma panjang-panjang. Bau badannya mirip bau ular kalau sedang ganti kulit. Kalau ngomong cakapnya nyinyir, sok profesor merasa pintar sendiri.
Kesana-kemari gelantungan di atas metromini. Suka ngupil di depan umum. Lalu upilnya dilengketin di kaca metromini. Kantongnya tipis. Sampai-sampai pas ditagih kenek metromini, bilangnya “udeh bang!” dengan nada gertak pelintir kumis, gak nyadar kumisnya udah dicukur tadi pagi biar kelihatan agak mudaan.

Nah, coba yang datang makhluk langka seperti ini. Rasa-rasanya belum tentu ‘si tuan ikhlas’ mau bela-belain setor kursi. Kalau nyetor juga, paling tidak batang hidung senyum nunggingnya itu deh yang gak bakal nongol-nongol di bibirnya.

Paling-paling dia hanya nengok sekilas. Lalu dalam hitungan tiga-per-sekian-detik, otaknya sudah berhasil mengidentifikasi siapa yang datang. Lengkap dengan sugesti reaksi apa yang harus ia keluarkan: “oh… si kunyuk, cuekin aja ah… toh sekunyuk-kunyuknya dia, kan masih punya tangan dan kaki!”

Layanan overacting delivery-nya ‘si tuan ikhlas’ itu pantasnya dicurigai sebagai usaha penerapan jurus ‘serigala tanpa bulu’. Kalau ‘serigala berbulu domba’ sih masih mending, masih ada malu-malunya. Ini mah telanjang. Naked sebulat-bulanya. Tanpa bulu-sehelai pun bo! Sebelas-duabelas dengan pelacur konvensional. Bedanya, yang pertama dibayar karena ‘jual diri’, yang kedua karena ‘jual harga diri’.

Membeda-bedakan sikap terhadap orang lain sih sama sekali gak ada masalah. Manusiawi malah. Semua orang juga pasti begitu. Selama pertimbangannya adalah apakah orang yang dihadapi ini baik atau buruk kualitasnya.
Tapi kalo hanya berdasar seberapa sering dia nraktir, seberapa elok parasnya, seberapa tinggi pangkatnya, seberapa berat kantongnya, seberapa populis popularitasnya, atau seberapa panjang resliting celananya, itu sih gak manusiawi. Belum cukup manusiawi. Levelnya setingkat di bawah manusia(wi).

Yang satu tingkat di bawah manusia, ya apalagi namanya kalau bukan binatang. Mana pernah macan kalau lapar pilih-pilih mangsa “ah…jangan rusa yang ini ah…dia suka ngeluarin zakat kalo lagi dapat rejeki!” lalu macannya nongkrong lagi gak jadi nerkam.

Cocoknya, orang suka nyodorin kursi ‘maut’, disuruh merintis bisnis baru nyaingin TUKANG PIJAT. Tinggal ambil papan nama, tempel di depan rumah: TUKANG JILAT. Lumayan untuk meminimkan kelangkaan lapangan pekerjaan, di antara segunung kelangkaan-kelanggkaan di negeri ini.

Syarat bagi yang mau melamar gampang, cuma satu: lidahnya harus panjang minimal seperti daun mangga. Kalau ada yang bergerigi seperti daun pepaya lebih bagus lagi. Efek jilatannya tentu bisa lebih dahsyat sampai nembus ke hati.

Mental-mental kayak gini nih yang namanya bibit materialisme. Sangat ‘bagus’ kalau dipiara tiap hari. Awalnya memang baru kuncup dan tunas. Tapi kalau udah disiram air, diberi pupuk, dipagari… klop udeh. Besok-besok pasti sukses jadi koruptor raksasa. Dijamin 127 % keniscayaannya. Niscaya bakal ngobrak-ngabrik negara. Bukan negara orang lain tapi.

Mental-mental kayak gini nih pakarnya ilmu pura-pura. Petantang-petenteng mondar-mandir kesana-kemari. Gak nyadar kalau kakinya sedang nginjak-nginjak kepala orang lain. Pas ditegur, senyam-senyum “ups sorry… saya gak liat kepala Anda!”

Sama kayak penyakit suka pura-pura gak liat-nya KITA dengan orang sekitar. Orang sekitar yang terpaksa makan nasi bekas yang dijemur-keringkan dulu, lalu direbus ulang. Disantapnya dengan garam atau krupuk. Kalau gak ada juga, ya lauknya dengan air mata berlinang.

Satu bulan kemudian, kejadian ada bayi yang mati gara-gara busung lapar. Kalau di negara gurun sih masih agak-agak masuk akal, meski kasus beginian tetap gak bisa dibenarkan. Tapi kalau kejadiannya di negara tropis, yang tiap tahun hujannya sampai tumpah-tumpah bikin banjir? Gak tahu deh mau ngomong apa lagi…

Hebat kan penyakit ‘suka pura-pura gak liat’-nya KITA dengan orang sekitar?
Eh…habis itu kita biasanya nepuk jidat sendiri lagi, ngomong sendiri “aduh sorry… saya gak liat kepala bayi Anda yang kena busung lapar itu, besarnya udah gak proporsional dengan lekuk-lekuk tulang rusuknya yang nonjol keluar. Padahal, beras di rumah saya suka dibuang pembantu saya gara-gara kutuan kelamaan gak di makan. Sayur-mayur juga, suka layu sendiri gara-gara kelamaan jadi pajangan hiasan kulkas.”

“Ini karena pemerintah sih kurang peka sama rakyatnya…” ngeles KITA nyari kambing ‘negro’.

Tololnya, cerita di atas sebenarnya belum benar-benar titik. Sewaktu ‘si tuan ikhlas’ menyodorkan kursi, sebenarnya tiga teman lainnya berperilaku sama. Cuma gara-gara posisi ‘si tuan ikhlas’ paling dekat aja, sampai-sampai ‘si hebat’ memilih kursinya dengan alasan pertimbangan kepraktisan.

Di negeri ini, sodor-sodoran kursi model begini memang banyak. Malah mungkin pernah, sedang atau bakal anda jumpai di rumah kerabat, di acara kondangan, di arisan, di instansi pemerintah, di ruang-ruang kuliah, di lingkungan kerja, di bandara, di balik gedung-gedung pencakar langit, di rumah sakit, di terminal-terminal, di tempat nongkrong, di pasar, di seminar-seminar, di hajatan maulid, di isi otak KITA yang lagi mikir kursi siapa yang duduk di samping sopir saat sedang pergi rame-rame dengan sejawat.

Kalau ketemu, untuk membuktikan apakah mental beginian semacam kategori TAI SAPI apa kagak, gampang. Caranya: ambil mistar 30 cm, minta permisi dulu sebelumnya “mas/mba mohon maaf, bisa minta tolong julurkan lidahnya sebentaaar… aja?” Ukur, kalau panjangnya seperti daun mangga, tak salah lagi. Apalagi pas waktu lidahnya terjulur ternyata bentuknya mirip daun pepaya, mistarnya gak perlu difungsikan deh. Cukup bersuara dalam hati “manusia matreialisme!”

Nah… abis itu langsung sarankan “mas/mba anda cocoknya hidup di air, kenapa gak ke laut aja? maen jilat-jilatan ama capit kepiting…!”

To be continued … (tapi tergantung kondisi sih…)



* * *

Kampung Pettarani, Makassar 13 Maret 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar