Lenteng, How Are You Today?


Lenteng.
Bukan nama kawasan, apalagi nama benua.

Itu nama panggilan seseorang.
Bagaimana asal-muasal ia memperoleh nama aneh tersebut? Tak jelas.
Sebab, kalau tak salah ingat, nama aslinya Nurhayati. Bayangkan, selain ‘N’, rasa-rasanya tak ada lagi huruf yang kembar dari dua nama ini.
Kok bisa-bisanya jadi nickname? Benar-benar tak lazim. Sama tak lazimnya, maksud maupun bunyi yang terdengar bila nama ini diucapkan; Lenteng.

Lenteng adalah sosok alien pakai tanda kutip. Tepatnya teralienasi, dari masa kanak-kanak kami yang serba sok-sokan dan tentu saja konyol.
Begini deskripsi konyol kami mengenai Lenteng, saat umur kami sekitar 9 tahunan dan Lenteng lebih muda satu atau dua tahun:

Alkisah, persis di sudut pertigaan jalan kampung kami yang biasa-biasa saja, di sebuah kota yang dulunya belum seramai sekarang, tersebutlah tempat tinggal yang belum layak disebut 'rumah'.
Gubuk. Kecil pula.
(yeee… bukaan paragraf 'tempoe doloe' banget! Mungkin ini yang dimaksud kartunis kompas 'terjebak masa lalu' hihihi…)

Dinding anyaman bambu atau papan bekas. Atap pelepah daun kelapa. Tiang dari bongkahan-bongkahan balok. Dimana, tak satupun dari semuanya itu, yang ‘tidak’ bertampang lusuh bin terseok-seok.
Ukurannya super-imut, 3x3 meter. Sekaligus kamar, ruang keluarga, ruang tamu dan dapur. Multy-function.
Di atas tanah milik ‘entah siapa’. Yang jelas bukan miliknya. Sukur-sukur kalau waktu dibangun seizin empunya tanah.

Nah, di dalamnyalah, sehari-hari Lenteng dan ibunya berlindung dari terjangan panas, hujan, petir, guntur, banjir, gempa, tsunami, wabah diare, TBC, malaria, demam, susah buang air, kepala pening, diabetes, asam urat, kolesterol...
(ups… kejauhan ya? Oke… penggal saja sendiri sesuai selera masing-masing. Asal jangan lupa bubuhkan tanda titik)

Kakaknya ada yang laki-laki. Namanya khas Suku Makassar, Pudding. Cuma kalau diperhatikan secara saksama pakai perspektif lain, namanya jadi kebarat-baratan dan memancing selera.
Doi kebanyakan nginap diluar. Biasanya kerja sebagai tukang becak. Juga dengar-dengar gosip, di musim-musim tertentu suka alih ke profesi sampingan. Maling.

Gosip bukan sembarang gosip. Suatu malam, ketika remaja, kami memergoki Pudding mendorong sepeda sambil menenteng tabung gas. Salah satu dari kami melirik jam tangan. Tampak deretan angka 03:15 dini hari Waktu Indonesia Tengah Malam Banget Menjelang Pagi Buta.

Diteriaki “woiii… apaan tuh?!!”
Doi refleks bereaksi. Reaksinya berupa kabur meninggalkan sepeda, tabung gas serta tak ketinggalan sepasang sendal jepit butek merek swallow. Warnanya lupa.

Ayahnya, tak jelas rimba. Maksudnya, kami jarang sekali melihatnya pulang. Jadinya, seumpama waktu itu ia ternyata sesekali datang, paling-paling kami berkesimpulan ‘om-nya Lenteng sedang bertamu’.

Ibunya sudah lumayan tua. Berjualan di gubuk itu. Yang dijual sebagian diletakkan di meja. Ada mangga muda, jambu batu, cabe dan tomat. Sebagian lain lagi digantung. Berderet asam, vetsin, kemiri dan merica yang dibungkus manual kemasan sachet.

Berdasarkan fakta-fakta itu, otak konyol kanak-kanak kami menganggap Lenteng kelewat miskin. Sehingga bukan target populis untuk digauli. Maksudnya dijadikan teman gaul. Populis Lenteng cuma dalam satu hal: bahwa dia kelewat miskin.

Tapi tangan Lenteng tak suka ‘kreatif’ macam tangan kakak laki-lakinya itu. Malahan, sebenarnya polos. Maksudnya hatinya Lenteng yang polos, bukan tangannya. Tangan Lenteng justru ramai dengan hiruk-pikuk sisik bisul sebesar biji keringat yang mengering. Entah ‘kudis kering’ atau apalah namanya.

Celakanya, hiruk-pikuk itu tak cuma di tangan. Menjalar hingga ke kaki, bahkan offside sampai ke wajah. Sekujur tubuh pokoknya.

Dan kian diperparah lagi, sosoknya yang dari bawah hingga ke atas serba ‘bulat’.
Perawakan = pendek bulat. Telapak kaki = lebar bulat. Betis = besar bulat. Badan = gempal bulat. Jari-jari tangan = gemuk, pendek, bulat. Wajah = bulat tok. Bibir = agak tebal cenderung membulat. Mata = belok, agak besar, bulat. Bahkan subhanallah, ‘gigi kelinci’nya = lebih tampak bulat ketimbang segi empat.
Jadi penasaran, pasti ada satu rahasia di balik chemistry yang begitu kuat antara Lenteng dan bulatan.

Dan gara-gara bulatan itu jualah, sampai-sampai, saat kami sedang menggores-gores tanah suka bersenandung:

Lingkaran kecil, lingkaran kecil
Lingkaran besar... (2x)
Enam… enam… tiga puluh enam…(dst)

Jika salah satu bertanya apa gerangan yang kami gambar, spontan tanpa pikir panjang-panjang, dengan cueknya kami nyeletuk “Itu Lenteng!” Lalu kami terkekeh-kekeh secara berjamaah.

Dengan demikian bertambah dua hal lagi yang membuat lenteng populis: Kudis kering dan serba bulat.
(Sekedar mengingatkan, sekarang total kepopulisannya Lenteng sudah ada tiga: kelewat miskin, kudis kering dan serba bulat)

Walau kelewat miskin, bukan berarti Lenteng tak mampu ke sekolah. Dia mampu kok. Cuma, di sekolah dialah satu-satunya murid yang rutin setiap bulan nunggak SPP. Saking rutinnya, pihak sekolah akhirnya 'menyerah'. Apa boleh buat, diambil kebijakan yang tumben tak terduga.
Lenteng diringankan (bahkan mungkin dibebaskan) dari kewajiban iuran SPP.

Maka, tiap pagi buta, berangkatlah Lenteng dengan seragam ‘merah-putih kekuning-kuningan’. Kuning gara-gara kusam dimakan waktu. Ditambah belum ada budget buat beli baru.
Tak lupa dandan ‘sedikit’. Sedikit lagi muka Lenteng overlapping maksudnya. Pipi belepotan bedak bayi. Rambut becek gara-gara minyak rambut cap ‘kemiri’. Pernah malah, bibir bulatnya itu disapu gincu.

Di kelas, kecenderungan otak Lenteng berbanding lurus dengan sosok fisiknya yang serba bulat. Riwayat PR dan tugas-tugas kelasnya, kerap berakhir bulat alias nilai ‘telur’. Terima rapor, urutan rangkingnya bermain dikisaran angka dua digit berkepala 4 dari 48 siswa.

Oke. Sampai di sini, tambah dua hal lagi yang bikin Lenteng populis di otak konyol kanak-kanak kami: genit dan oon.

Sebenarnya masih banyak lagi. Cuma lima poin ini rasa-rasanya sudah cukup untuk menggambarkan sisi “antagonis’ (bacanya kudu lengkap dengan tanda kutipnya lho!) si gadis cilik bernama tak lazim ini.

Lantas apa dampak 5 poin ini terhadap kehidupan sehari-hari Lenteng di masa kanak-kanak kami?

Break dulu ah... bersambung
Sambungannya besok, paling lambat lusa deh…


* * *



Sekedar trailer:


Next… baca kelanjutannya tentang dampak 5 poin tersebut terhadap Lenteng… Apa yg terjadi pada lenteng sekarang? Akankah ia sebenarnya adalah ‘putri kodok’ yang lagi njalani kutukan seperti di dongeng-dongeng? coming soon… only on Lenteng, How Are You Today Part 2.



sumber gambar: http://browse.deviantart.com/manga/?qh=&section=&q=fat+girl#/dak4bo

2 komentar:

  1. begini nyanyiannya kak, ambil pensil/pulpen yahh, nyanyi sambil gambar..

    "lingkaran kecil, lingkaran kecil (membentuk bulatan kecil untuk kedua mata)
    liiiiinngkaran besar (membentuk bulatan besar untuk kepala)
    dikasi pisang, dikasi pisang (membentuk kedua telinga dengan bentuk pisang molen *hahaha)
    eeeggaa mauuu (membentuk mulut yg sedang menganga)

    enam, enam.. (membentuk kedua tangan dengan angka enam terbalik di sisi kanan)
    air mengalir.. (hubungkan dari sisi angka enam sebelah kiri ke kanan)

    enaam, enaam (sama dng bentuk tangan td)
    menjadi satu.. (temukan garis lurus sehingga membentuk segitiga dari kedua sisi angka enam tsb lalu sisipkan garis putus-putus dipuncak segitiga)

    *jaman sy sd dlu, bentuknya bgitu

    BalasHapus