Catatan Kaki 3 Adegan Bullshit yang Kalau Diterjemahkan Jadinya: Tai Sapi


BAGIAN 2 : "teman saya uring-uringan" (hehehe... syukur, akhirnya ada juga bagian duanya)


Teman saya uring-uringan.
Gile aje…kampungannya itu orang!” Gerutu teman saya dengan logat gado-gado.
Gara-garanya 2 jam 53 menit yang lalu, depan toko rental DVD, dia tak sengaja ketemu bekas teman SMP-nya. Rekonstruksi kejadian versi teman saya kira-kira begini:

“Heeeii…!”
“Haaiii…!” balas teman saya sambil memperhatikan sosok bersih, putih, berpakaian necis, sepatu mengkilap, menampakkan seorang karyawan perusahaan besar di depannya ini. Tadinya teman saya tak mengenali. Syukurlah memory otaknya masih disisakan beberapa gygabyte untuk keperluan mengingat masa lalu.

Keduanya lalu salaman, saling cengengesan, adu senyum basa-basi.
“Dimanako sekarang?”
Mendengar pertanyaan itu, cengengesan teman saya tiba-tiba menciut. Dia tertegun beberapa detik, minta contekan ke memory lagi, buat cari jawaban.
Bukan sekali sebenarnya, dia kena todong pertanyaan konotatif penuh bias seperti ini. Dulu, ia jawab tukang lisktrik. Memang itulah keahlian sehari-harinya. Tahu-tahu, pertanyaan susulannya jadi banyak; Bagaimana itu maksudnya? Punya CV ya? Oh, Proyeknya untuk pengadaan listrik gedung-gedung dan perumahan-perumahan ya?
Terpaksalah dengan saksama, teman saya menjelaskan kalau jasanya sekedar melayani orderan dari rumah ke rumah. Hasilnya, ekspresi wajah lawan bicaranya jadi kuyu turun gairah seperti kurang darah.


Karena itu setelah menimbang, mengingat, memperhatikan serta memutuskan, maka ditetapkan untuk memberi jawaban normatif-diplomatif seperti yang sudah dilakukan sebelum-sebelumnya. Ini demi memenuhi azas ‘hasrat tak mau repot’.

“Biasalah bisnis kecil-kecilan, bukan orang kantoran jadi banyakan dirumahlah.”

Mantap. Walau sedikit kikuk, teman saya yakin jawaban ini biasanya cukup efektif meredam potensi dampak sistemik timbulnya ‘anak-anak pertanyaan’ ngaco yang melebar gak jelas ke mana-mana.

Tapi sekonyong-konyong, air muka teman SMP-nya jadi lain. Sepertinya, jurus “Biasalah bisnis kecil-kecilan…” bekerja tak sesuai naskah.

“Ya… begitulah… hidup memang bukanmi lagi main-main…”
Alis mata teman saya mulai bengkok mendengar kalimat ini. Perasaannya mulai gak enak. Apalagi tangan teman SMP-nya, kini sudah tak lagi menjabat tangannya. Justru sekarang merangkak ke atas menepuk-nepuk bahunya.

“…sampai kapan memang kita mau santai terus. Duluji mungkin kita bebas nakal-nakal. Sekarang masa depan harusmi dipikirkan. Bukan meki lagi anak muda. Kalau ingat umur, harus meki memang cepat-cepat kawin. Bukannya apa, nanti kalau terlambat, kita sudah jadi akik-akik pensiunan, eh anakta malah masih kuliah, belumpi bisa bantu kita orang-tuanya.
Eh.. ngomong-ngomong sudah meko menikah ini?” sergah teman SMP-nya.

Teman saya hanya bisa kaku. Bibirnya mencoba memunculkan senyum tipis, tapi terasa kecut karena memang dipaksakan. Lalu, baru saja ia mau menjawab “belum menik…,” teman SMP-nya keburu ngacir duluan dipanggil seorang perempuan dari dalam toko.

“Oke ya bos… saya ke dalam dulu. Mau carikan mamaknya anak-anak, filmnya The Last Airbender.”

Dan bersamaan dengan kalimat terakhir itu, tepukan di bahu teman SMP-nya itu akhirnya berhenti juga. Kata teman saya, kalau ditotal-total, tepukannya sekitar 6 kali. Bahkan mungkin lebih.

Karena kejadian inilah, 2 jam 53 menit berikutnya; teman saya uring-uringan.

Begini uring-uringannya teman saya versi lengkapnya:

Gile aje…kampungannya itu orang! Ketemu teman, pertanyaan pertama langsung tendensius; “Dimanako sekarang?”
Orang tuh ya, tanya kabar dulu. “Apa Kabar?” Kalau yang bersangkutan jawab “baik,” itu artinya hidupnya ya baik-baik saja. Bukannya tanya “Di mana…?”
Seolah-olah, kualitas hidup seseorang itu bergantung apa dan di mana orang kerja. Apa coba maksud air mukanya berubah, pas saya bilang, “Saya bisnis kecil-kecilan.” Tendensius kan yang dipiara di otaknya?

Kunyuk… dia pikir kalau pakaiannya necis, sepatunya mengkilap, kerja di perusahaan besar, gajinya jutaan, lantas dia punya hak bisa seenaknya tepuk-tepuk bahu orang yang kerjanya jadi tukang listrik. Apa ada yang salah kalau bisnisnya orang itu kecil-kecilan?
Itu lagi… telinga saya dia beraki dengan model ceramah Jum’atan berjudul “Hidup itu bukan lagi main-main maka manfaatkanlah masa muda.” Padahal hari ini hari Rabu loh. Sinting… salah mimbar kali tuh setan kesiangan!
Heran saya... tau apa dia dengan masa muda saya? Wong… dia tinggalnya di mana, saya di mana. Seumur-umur setelah SMP dulu, baru dua kali saya jumpa batang hidungnya. Lagian, masa muda saya biasa-biasa aja kok. Ndak terlalu baik, tapi ndak juga terlalu buruk. Ndak pernah tuh jadi maling, apalagi punya niatan ikut-ikutan kelompok Al-Qaedah.
Lha… bisa-bisanya dia bilang, “Ya itulah… sampai kapan kita santai-santai terus… nakal-nakal terus… soal masa depan-lah…soal cepat menikah-lah… akik-akik yang anaknya masih muda karena kelamaan punya anak-lah…!”
Loe kali tuh yang mudanya gak becus… yang punya cita-cita bikin anak cepat-cepat, biar bisa dijadiin sapi perah bapak. Biar kalau sudah akik-akik, hidupnya bergantung di tetek anak-anaknya.

Yang paling kurang ajar… dia seolah-olah menyulap depan toko rental DVD itu jadi ‘pengadilan mini’. Siang-siang bolong begini, tak ada angin apalagi hujan, hidup saya dijadikan tersangka. Padahal nama saya pun dia tak ingat. Tahu tidak dia panggil saya apa?
“Oke ya bos… saya ke dalam dulu…”
Bos dari Hongkong pala loe peyang…!
Mana selera filmnya bikin perut serasa mau boker lagi. Udeh tuir begitu ngebet nonton The Last Airbender.”

Nah, selesai sudah uring-uringan teman saya.

Sebenarnya, waktu dia ucapkan sendiri, speednya tak kalah gila-gilaannya dengan Valentino Rossi kalo lagi balapan GP. Meliuk-liuk mirip lagu dangdut. Meledak-meleduk kayak tabung gas 3 kg. Cuma, biar dibacanya gak bikin mata nyasar ke sana ke mari, maka kutipan di atas dibubuhi titik koma dan tanda baca lainnya.

__________________________
Catatan Kaki Bau Tai Sapi:
Suatu waktu, Teman saya yang uring-uringan itu pernah bilang; Di masyarakat itu ada semacam lomba adu ‘panjat posisi sosial’. Modelnya persis kayak ‘panjat pinang’ pas tujuh-belasan. Yang dikejar ya ‘posisi sosial’ itu .
Aturannya cuma satu; tak ada aturan. Takting ‘kepiting’ yang saling mencapit juga sah dilakukan. Saling sikut boleh. Tebas kayu kaki lawan legal. Pura-pura jatuh di kotak penalti juga halal.

Kalau posisi sosial telah diraih, orang akan mendapatkan tempat dan perlakuan istimewa di dalam masyarakat. Dihormati, dikagumi, dan dimanggut-mangguti.

Posisi sosial itu dianggap identitas. Sampai-sampai mengukur seseorang tak lagi melalui integritas.

Saya adalah hakim agung. Saya adalah pengusaha properti. Saya adalah wartawan. Saya adalah bintang film. Saya adalah mahasiswa. Saya adalah presiden. Saya adalah polisi. Saya adalah foto model. Saya adalah aktifis LSM. Saya adalah jenderal. Saya adalah ulama. Saya adalah pilot. Saya adalah dosen. Saya adalah dokter. Saya adalah rockstar. Saya adalah penemu nuklir. Saya adalah putri kecantikan. Saya adalah orang kaya.
Begitu cara orang memperkenalkan identitas.

Besok-besok, kalau ketemu orang lalu bilang, “Saya adalah petani,” atau “Saya adalah cleaning service,” atau “Saya adalah tukang sate,” siap-siaplah bikin sorot wajah orang lain meredup, alis mengkerut, bibir menciut, pendengaran kabur dan mata berkunang-kunang.

Eh... seumpama anda berfikir, yang dimaksud teman saya dengan ‘masyarakat’ itu adalah masyarakat sekitar kita, mungkin anda ada benarnya.

To be continued … (tapi seperti biasa, tergantung kondisi lagi... hiks! : P )

* * *


sumbergambar: lupa...hihihihi...yg jelas kayakx di deviantart deh mungutx...

Kampung Pettarani, Makassar 22 Sepetember 2010.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar